Kamis, 31 Desember 2015

Catper Kep. Seribu 2 : Harapan besar di Utara Jakarta

Snorkeling, sunset dan sunrise menjadi menu utama pada perjalanan kali ini. Pulau Harapan bersama dengan pulau-pulau kecil disekitarnya membentuk kecamatan sendiri dan merupakan kecamatan paling utara di kepulauan seribu. Hal ini otomatis menjadikan kecamatan pulau Harapan sebagai kumpulan pulau yang paling jauh letaknya dari teluk Jakarta, dimana limbah industri dan rumah tangga bersatu. Jauh dari perairan kelam dengan aroma yang menyiksa hidung.

Teorinya, semakin jauh dari pusat limbah, semakin baik dan semakin sehat pula isi lautnya. Itulah sebabnya pulau Harapan ialah pulau paling ideal untuk snorkeling di antara pulau-pulau lain di kepulauan seribu. Udara yang lebih bersih memungkinkan kita untuk menangkap matahari terbit dan terbenam dengan lebih baik karena gangguan polusi udara juga lebih minim daripada di pusat kota. Namun sebelum sampai kesana, saya harus menghadapi ganasnya polusi muara angke, terutama polusi air dan bau!

Off we goooo!
Berangkat dari dermaga muara Angke untuk yang pertama kalinya, mau tidak mau saya merasa takjub dengan bau amis yang menusuk hidung dan genangan-genangan air (entah air comberan, air laut, air seni, atau campuran ketiganya) yang bertebaran dimana-mana. Sebelum sampai saya memang sudah membaca tentang keadaan muara angke, namun merasakan sendiri keadaannya dengan kelima indra adalah dua hal yang sama sekali berbeda :(

Untunglah kami tidak perlu berlama-lama disitu. Kapal yang akan mengangkut penumpang menuju pulau-pulau di kepulauan Seribu sudah siap dan segera diserbu para penumpang. Kelebihan kapasitas merupakan hal biasa di sini. Jumlah jaket pelampung terlihat tidak sebanyak jumlah penumpang, semoga saja kapasitas penumpang yang berlebihan ini tidak menyebabkan kejadian yang tidak diinginkan ditengah laut. *berdoa, dimulai..

Setelah menunggu sekitar 45 menit, barulah mesin kapal terdengar dihidupkan. Saya memilih untuk berada di atas kapal karena ingin lebih banyak memotret selama perjalanan. Selain itu saya juga ingin melihat gugusan pulau-pulau lain yang kami lewati dalam perjalanan menuju pulau Harapan. Karena letaknya agak ke utara, saya yakin kami akan banyak melewati pulau-pulau kecil sebelum sampai kesana.

Dan memang demikian adanya. Pulau-pulau pertama yang kami jumpai adalah empat pulau bersejarah: Bidadari, Kelor, Cipir, Onrust. Pulau yang paling mudah dikenali dengan keberadaan reruntuhan bangunan dan benteng Martello yang masih tegak berdiri di pulau Kelor. Setelah itu pulau Rambut. Saya mengenalinya dari banyaknya burung yang berseliweran di sekitar pulau tersebut ditambah keberadaan menara pandang. Selebihnya saya tidak bisa mengenali karena semua pulau terlihat sama dari jauh. Mungkin hanya pulau Pramuka, pulau padat rumah penduduk dan jarang pohon yang saya kenali. Itupun dengan bantuan awak kapal yang saya tanyai, hehehe..

Mendekati pulau Harapan, kami disambut dengan rangkaian warna biru muda dan hijau toska diperairan sekitar dermaga. Tidak lupa sengatan matahari yang terik sebagai pelengkap cuaca pulau. Terus terang, awalnya saya skeptis dengan keadaan pulau ini. Awalnhya saya berpikir, masa sih pulau di dekat Jakarta masih ada yang bebas sampah? Dan ternyata ada!

Bahagia sekali rasanya jika kenyataan lebih indah daripada harapan. Tidak membuang waktu, jiwa narsis saya langsung keluar. Segera saya cari sukarelawan yang untuk memotret saya dengan latar belakang pulau Harapan beserta perairan hijau toska-nya yang bersih dan segar. Ingin rasanya segera nyebur meski saya belum bisa berenang saat itu.

Setelah menginjakkan kaki di dermaga, saya masih takjub dengan perairan sekitar yang masih jernih. Paling tidak saya bisa melihat dasarnya dan ikan-ikan yang berenang didalamnya. Meskipun mendekati pulau warnanya bergradasi menjadi agak kekuningan dan sampah-sampah mulai terlihat, namun saya masih merasa takjub dengan perbedaaan yang cukup jauh dari pantai Ancol.

(Setengah) Hari pertama
Begitu sampai dipenginapan dan menyantap makan siang (yang lumayan enak), kami bersiap untuk snorkeling. Di hari pertama, rencana kami ialah snorkling di empat titik dan sunset di pulau Perak. Belakangan saya baru tahu jika empat titik dalam sehari itu terlalu muluk. Idealnya paling 2 titik saja. Jika stamina masih kuat, bertambah satu, jadi total tiga titik.

Pada kesempatan kali ini, kami hanya berhasil mendatangi 2 titik saja. Keadaan angin dan arus laut sedang tidak bersahabat sore itu juga menjadi kendala tersendiri. Tidak apa, yang penting nyebur! Titik pertama ialah disekitar pulau Macan, dan yang kedua disekitar Kayu Angin Bira. Kedua titik tersebut termasuk populer di antara titik lain disekitar pulau Harapan. Tidak heran banyak kapal lain juga ikut menambatkan diri di titik tersebut.

Puas snorkeling, kami bergerak ke pulau Perak untuk menikmati matahari terbenam. Pulau Perak memiliki area pantai berpasir yang cukup luas untuk bermain pasir dan berenang-berenang disekitar pulau. Luas pantai pasirnya kira-kira 3-4 kali luas lapangan futsal. Pulau ini juga memiliki sedikit hutan yang membuat saya penasaran dengan isinya. Sayang, waktu saya di pulau itu hanya sebentar dan tidak sempat menjelajahi seluruh pulau. Ada rasa penasaran untuk mampir di lain waktu dan mencoba menelusuri hutan dan garis pantainya. Kegiatan yang saya anggap sebagai utang untuk kembali lagi.

Namun sayang sekali, renacana untuk memotret matahari terbenam gagal kali ini. Saya tidak mendapatkan sunset. Cuaca tidak bersahabat sehingga kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di pulau Perak. Dan ketika matahari tenggelam di cakrawala, kami sedang berada dalam perjalanan pulang menuju pulau Harapan. Meskipun demikian, saya berhasil memperoleh beberapa jepretan langit menjelang matahari tenggelam dari atas kapal.

Hari kedua..
Menanti terbitnya matahari ialah salah satu momen terbaik saya dalam perjalanan kali ini. Setelah pada malamnya saya gagal memotret astronomi karena mendung, saya bersyukur karena cuaca pagi itu cerah. Beberapa saat setelah subuh, saya kembali mengunjungi dermaga dan kawasan bakau di sebelah timur pulau. Kali ini saya berada di tempat dan waktu yang cukup baik dalam mengabadikan terbitnya  matahari. Namun saya tidak cukup puas karena tidak ada filter CPL dan ND pada peralatan yang saya bawa. Plus kamera time-lapse yang belum terbeli. Pada perjalanan selanjutnya, kamera time-lapse sudah harus ada!

Setelah sunrise, jadwal kami di hari kedua ialah kunjungan ke penangkaran penyu dan hunting foto di beberapa pulau: pulau Bulat, pulau Gosong, pulau Kayu Bira. Tidak ada lagi basah-basahan hari ini :(

Penangkaran penyu berada di pulau Kelapa Dua. Jenis penyu yang ada di sini ialah penyu sisik dan penyu hijau. Beberapa turis mengambil penyu dari kolam penangkaran dan berpose bersama mereka. Namun sepertinya sedih melihat tingkah polah manusia ketika berfoto dengan penyu. Saya ingin berfoto bareng mereka di laut lepas, di rumah mereka! Saya ingin berfoto bareng penyu dalam kemerdekaan mereka.

Pulau Kayu Bira (kalo nggak salah) merupakan tempat dengan spot panorama yang cantik dengan jembatan dan kejernihan airnya. Sekali lagi, waktu saya tidak cukup untuk memuaskan diri memburu foto-foto panorama terbaik dari pulau ini. Pada hari pertama, kami mampir sebentar hanya untuk pengarahan dari instruktur selam/snorkl dan pembagian alat snorkling.

Pulau Bulat yang konon bekas resor menawarkan keindahan pantai yang membuat saya betah berlama-lama disana. Apalagi saat itu kapal kami merupakan satu-satunya kapal yang bersandar di pulau itu. Jadi serasa pulau pribadi. Suasana tenang, jauh dari kegaduhan Jakarta saya dapatkan disini. Itulah yang menjadikan pulau ini sebagai pulau yang paling berkesan pada perjalanan saya kali ini.

Dua hari satu malam sama sekali tidak cukup untuk menjelajahi daerah ini. Hari pertama saya sudah lelah dengan kegiatan snorkling dan hari kedua yang cuma berlangsung setengahnya jauh dari cukup untuk mengumpulkan foto-foto dari spot terindah di daerah ini. Praktis hanya saat sunrise saya mendapatkan kesempatan penuh (yang cuma sebentar karena matahari naik dengan cepat) untuk mengambil foto. Tidak lama, namun cukup memuaskan.

Secara umum, saya cukup puas terhadap kunjungan kali ini ke pulau Harapan. Nama adalah doa kata orang tua, dan mungkin doa yang dipanjatkan pada saat menamakan pulau ini di dengar oleh Yang Maha Kuasa sehingga pulau ini kini cukup ramai dikunjungi wisatawan, terutama yang berasal dari ibukota. Semoga perkembangan pariwisata pulau ini diimbangi dengan kesadaran penduduknya dalam mengelola alam. Harapan, juga harus diimbangi dengan usaha untuk mewujudkan cita-cita. Setuju?

Perjalanan pertama ke pulau Harapan,
20 April 2014

Catper Kep. Seribu 1 : Memahami pertahanan laut di masa lampau

Akhirnya kesampaian  juga mengunjungi kepulauan seribu. Meski lahir dan besar di Jakarta, saya tidak pernah menapakkan kaki ke pulau-pulau di kepulauan seribu selama 30 tahun lebih. Sebuah aib bagi manusia yang menuliskan "travelling" sebagai hobi di kolom lamaran kerja. Apalagi lahir, besar, dan tinggal di Jakarta. Ah, saya juga sedikit menyesal kenapa baru sekarang saya berani menjelajahinya.. kenapa nggak dari dulu ya? Apa mungkin karena saya nggak bisa berenang? Eh, pernah bisa sih sebenernya, tapi jarang dipakai aja, jadinya saya ragu masih bisa apa nggak kalo disuruh berenang sama alam.

Ah sudahlah, lupakan saja penyesalan itu. Mari kita nikmati apa yang ada di depan mata.
Kunjungan kali ini dimulai dari muara kamal, tempat yang ditentukan biro perjalanan sebagai tempat berkumpul peserta. Saya memutuskan untuk mengambil paket dari biro perjalanan saja karena malas mengumpulkan orang, mencari sewaan kapal, dan lain-lain. Bisa saja sih saya nyewa kapal sendiri, tapi biayanya jadi mahal banget. Mending cari orang yang satu tujuan aja atau ikut tur, dan saya memilih yang kedua karena lagi nggak pengen ribet.
Kamal
Sebuah pagi di Muara Kamal
Jam keberangkatan ditetapkan pukul 07.00, tapi kami baru berangkat sekitar pukul 07.30. Penyebrangan tujuan pertama kami, pulau Kelor memakan waktu sekitar setengah jam. Setengah jam yang singkat bagi saya karena saya sangat menikmati perjalanan laut kembali. Ah, bahkan perjalanannya saja sudah menjadi rekreasi tersendiri bagi saya yang tiap hari dipusingkan dengan kemacetan ibukota..

Oh iya, saya lupa cerita tadi. Jadi perjalanan kali ini rencananya ialah mengunjungi tiga pulau di kepulauan seribu, yaitu pulau Kelor, pulau Cipir, dan pulau Onrust. Tiga pulau ini pada dasarnya pulau bersejarah namun bukan sejarah bangsa ini yang menjadi pelakon utamanya, melainkan Belanda dan Inggris. Ya, sejarah ketiga pulau ini lebih banyak bercerita mengenai perseteruan VOC dan kerajaan Inggris dalam memperebutkan Batavia.

Pelaku utamanya ialah pulau Onrust sebagai pulau galangan kapal (pada masa lalu). Pulau Kelor lebih difungsikan sebagai benteng pertahanan laut. Sedangkan pulau Cipir juga sempat menjadi bagian dari pertahanan laut, namun pulau ini juga memiliki sejarah sebagai asrama haji dan pulau pengasingan bagi orang sakit. Oleh sebab itu pulau Cipir dulu sempat disebut sebagai pulau Sakit sebelum diganti menjadi Cipir untuk kepentingan pariwisata.

Pulau Kelor
Kembali ke cerita perjalanan.. setelah kira-kira setengah jam perjalanan dari muara Kamal, sampailah kami ke pulau Kelor. Dulu pulau ini dinamakan sebagai pulau Kerkhoff oleh Belanda. Namun karena lidah pribumi sulit melafalkan kata itu, ditambah luasnya pulau ini yang tidak seberapa, maka pulau ini kemudian disebut sebagai pulau Kelor. Penamaan yang juga mengambil dari istilah "hanya seluas daun kelor" karena pulau ini tergolong kecil. Hanya perlu waktu sekitar 15 menit saja untuk mengitari garis pantai pulau ini.
Sebesar daun Kelor. Pulau ini memang kecil..
Sebesar daun Kelor. Pulau ini memang kecil..
Daya tarik utama pulau Kelor adalah sisa benteng Martello masih bisa kita lihat (di pulau Cipir dan Onrust, yang tersisa dari benteng ini hanyalah sisa pondasinya saja). Benteng ini berbentuk bulat dan dilengkapi lubang-lubang yang ikut melingkar pula. Hal ini dimaksudkan agar meriam dapat menembak dengan sudut 360 derajat. Kini lubang-lubang tersebut menjadi salah satu titik terbaik untuk foto-foto narsis. Keberadaan benteng ini juga menjadi daya tarik untuk melangsungkan pemotretan pra-nikah disini.
Benteng Martello, spot populer untuk prewed
Benteng Martello, titik populer untuk prewedding
Pulau Cipir
Pulau Cipir atau pulau Khayangan atau pulau Sakit merupakan pulau tujuan kami selanjutnya. Dari jauh, pulau ini tidak semenarik pulau Kelor dengan benteng Martello-nya yang ikonik. Namun pulau ini juga memiliki peranan penting pada masa lalu. Pulau ini merupakan bekas asrama haji pada masa lampau. Reruntuhan rumah sakit masih banyak berdiri di pulau ini. Konon, pulau ini pernah dijadikan tempat syuting program acara misteri di salah satu tv swasta. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan. Pulau bekas rumah sakit lengkap dengan kuburannya? Siip banget lah untuk acara-acara misteri/mistis >.<
Reruntuhan rumah sakit di pulau Cipir
Reruntuhan rumah sakit di pulau Cipir

Pulau Onrust
Pulau terakhir ini merupakan pulau yang sangat sibuk pada zamannya. Pada dasarnya, pulau ini merupakan tempat perbaikan kapal-kapal yang singgah di Batavia. Mengingat kapal merupakan transportasi utama pada zaman VOC, bisa dibayangkan seberapa sibuk pulau ini melayani perbaikan-perbaikan kapal tersebut. Konon, pulau ini aktif 24 jam dan tidak pernah istirahat. Onrust sendiri artinya "tidak pernah istirahat" (Unrest - Eng.).

Sekarang pulau ini merupakan museum terbuka, disebut juga sebagai taman Arkeologi. Masuk ke pulau ini, kami disambut pemandu yang sigap mengantarkan kami berkeliling lengkap dengan toa-nya. Jadilah kami berkeliling pulau dengan ditemani pemandu ini. Mulai dari museum pulau Onrust, bekas sumur yang dulunya menjadi satu-satunya sumber air tawar di pulau, makam Belanda, makam pribumi (konon, salah satunya makam Kartosuwiryo, pemberontak PKI yang sering disebut dalam buku pelajaran sejarah jaman saya smp).

Saya sempat tertegun melihat perbedaan antara makam Belanda dengan makam pribumi. Makam orang-orang Belanda dibuat dengan begitu mewah. Banyak patung yang indah, disertai dengan ukiran tulisan pada nisan untuk mengenang mendiang. Sedangkan makam pribumi terlihat sangat biasa. Kotak sederhana dengan nisan kayu. Siapa yang dimakamkan disitu juga tidak jelas namanya. Terasa sekali perbedaan sikap bangsa Indonesia dan Belanda dalam menyikapi kematian dan mengenang orang yang disayangi.
Makam Belanda
Makam Belanda dengan segala kemewahan duniawinya..
Makam pribumi dengan segala kesederhanaannya
Makam pribumi yang begitu bersahaja
Perjalanan kali ini lebih memberikan renungan sejarah daripada alam bagi saya. Meskipun cukup terhibur karena mengunjungi alam yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, namun pelajaran sejarah terasa begitu kental terasa. Terbayang bagaimana pertahanan laut dan segala macam tetek bengek pelayaran (perbaikan kapal, benteng dengan meriam ke arah laut) begitu penting bagi para pendatang (baca: bangsa Eropa). Terbayang juga bagaimana Inggris dan Belanda berjuang sengit memperebutkan Batavia.

Kisah-kisah setelah pertikaian Inggris-Belanda (VOC) di ketiga pulau ini juga cukup menarik. Karantina haji dan rumah sakit yang berada di pulau ini seringkali membangkitkan gosip-gosip tentang titik-titik berhantu di pulau Cipir. Reruntuhan rumah sakit, kamar mandi, bekas sumur, meriam, dan sebagainya membuat tempat ini begitu menggoda imajinasi untuk membuat versi lain dari sejarah yang saya dengar dan baca mengenai tempat ini.

Sayangnya pulau ini sudah semakin ramai oleh pengunjung. Mungkin saya sedikit parno jika menganggap kunjungan turis dan perilaku narsis di spot-spot menarik dapat mempercepat kerusakan (bekas) bangunan bersejarah ini, disamping abrasi air laut. Juga perilaku membuang sampah pada tempatnya yang masih harus terus dikampanyekan di pulau ini. Pertanyaan terakhir ini selalu mengiang dalam benak saya setiap kali mengunjungi tempat-tempat wisata Nusantara: kapankah kita sadar untuk menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya?

Catper Lombok 6: Gili Dunia!

Tempat terakhir yang akan saya kunjungi ialah tiga gili dunia, yaitu Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Rasanya belum lengkap mengunjungi Lombok jika tidak mengunjungi ketiga gili itu, terutama Gili Trawangan dan pantai Senggigi. Kedua nama itulah, ditambah gunung Rinjani yang melambungkan nama Lombok dalam peta pariwisata dunia. Jadi kalo belum kesana, bisa dibilang belum ke Lombok.

Gili 10
Tiga gili dunia!

Popularitas Gili Trawangan mungkin seperti pantai Kuta di Bali. Gili merupakan sebutan lokal untuk pulau-pulau kecil disekitar Lombok. Cerita yang saya dengar tentang pulau kecil ini ialah banyak bule berjemur topless (tapi saya ragu), tidak adanya polusi kendaraan bermotor, keadaannya masih asri/alami, dan harga makanan yang mahal (jelaslah, kan harus nyebrang pulau dulu). Dari keempat "mitos" tadi, yang saya buktikan kebenarannya hanyalah tidak adanya kendaraan bermotor dan harga makanan yang mahal.

Flashback sedikit, saya berangkat dari Praya menuju pelabuhan Bangsal, tempat dimana kita bisa menyebrang dengan kapal motor ke tiga gili tersebut. Sebenarnya ada alternatif lain seperti fastboat dan teman-temannya, namun saya memilih kapal motor saja dengan pertimbangan biaya dan lebih menikmati perjalanan.

Rute perjalanan melintasi Mataram, Senggigi dan bukit Malimbu, lalu pelabuhan Bangsal. Lumayan menyenangkan perjalanan ini. Beberapa kali kami berhenti di bukit Malimbu untuk memotret. Tidak terlalu sering sih, karena kami pikir pulangnya akan kembali melewati jalur ini. Apalagi prediksi kami waktu pulang nanti bertepatan dengan matahari terbenam, sehingga waktunya akan cocok. Jadilah kami bablas menuju Bangsal.
Tiba di pelabuhan Bangsal, suasana lumayan rame. Beberapa bule dan wisatawan lokal berbaur dengan warga sekitar menunggu kedatangan kapal. Cuaca ketika itu cerah (alhamdulillah) dan hampir tidak ada awan. Saya bersyukur karena jika tiba pada saat cuaca buruk, belum tentu ada kapal yang diberangkatkan menuju gili-gili tersebut. Sudah ada papan peringatan di pelabuhan tentang hal itu.

Gili 11
Untung cuaca cerah ;)

Gili 08
Menunggu kedatangan kapal

Rute-rute kapal dibedakan menurut tujuannya (jadi tidak sekaligus). Jadi ada tiga rute kapal dari bangsal menuju masing-masing gili. Kapal antar gili pun ada, namun tiketnya berbeda. Harganya (ketika itu) relatif murah.. antara Rp. 10.000-13.000,- tarif kapal ke Gili Trawangan yang paling mahal karena berada paling jauh dari kedua saudaranya, Meno & Air.

Gili 12
Tiga tujuan, tiga kapal.

Penumpang kapal ini campuran antara penduduk asli, pedangang dan wisatawan. Semuanya menumpang kapal yang sama. Koper dan kardus berbaur. Tidak lupa logistik penginapan dan toko-toko di gili-gili tersebut ikut terangkut bersama kami. Senang sekali rasanya berbaur dengan penduduk lokal :)

Gili 09
Tempat duduknya sudah penuh!

Gili 07
Angkut semua! Bukti kalo kapal ini moda transportasi termurah menuju Gili Trawangan.

Setelah menunggu cukup lama (bahkan ada penumpang cilik yang sempat muntah karena mabuk laut), akhirnya kapal berangkat. Setengah tidak percaya, akhirnya saya akan mencapai gili Trawangan yang selama ini saya hanya membayangkan cerita-ceritanya saja.. Untunglah ditengah ketakjuban seperti ini, mata dan tangan saya tetap sibuk mengoperasikan kamera. Kadang seperti gerakan otomatis-bawah sadar. Pelabuhan Bangsal sempat saya abadikan dari sisi laut.

Gili 05
Pelabuhan Bangsal, dilihat dari laut.

Perjalanan itu sendiri memakan waktu 40-60 menit tergantung ombak. Waktu itu ombaknya cukup tinggi dan di kapal tidak terlihat jaket pelampung. Anehnya saya tidak merasa khawatir meski saya sudah lupa caranya berenang. Meskipun goyangan cukup dahsyat, namun saya menikmati perjalanan ini dan alhamdulillah bisa sampai ke gili Trawangan dengan selamat.

Gili 06
Akhirnya mendarat di Gili Trawangan.

Sampai disana, saya langsung disambut papan penginapan beserta peta lengkapnya. Weleh, jika datang dengan rombongan, boleh juga nih nginep 2-3 malam pikir saya. Tapi karena waktu itu saya sendiri, jadi lupakanlah pikiran itu. Mari nikmati Gili Trawangan ini saja! Yuk, kita coba snorkeling! Saat itu saya belum pernah mencoba yang namanya snorkeling dan saya ingin mencobanya disini. Akibatnya saya tidak banyak berkeliling memotret.

Gili 03
Papan nama penginapan dan peta menuju kesana.

Akhirnya saya "berhasil" snorkeling meski hanya disekitar pulau. Sebab jika harus menyewa kapal, biayanya terlalu mahal untuk ditanggung sendirian. Mencari teman tidak mudah karena harus menunggu yang entah sampai kapan terkumpul. Jadi ya sudahlah, snorkeling dekat pulau saja. Ternyata tidak terlalu buruk kok, meski saya yakin jika lebih ke tengah, terumbu karangnya lebih keren.

Selesai bermain air, saya masih sempat berkeliling sambil menunggu kapal kembali ke Bangsal. Benar, tempat ini lebih banyak bule-nya daripada tempat-tempat lain di Lombok. Botol-botol bir pun banyak berseliweran meski tidak sebebas Bali. Saya juga sempat takjub ketika mendengar adzan di pantai. Mungkin karena sudah terbiasa dengan suasana kebebasan di Bali, sehingga "hal sederhana" ini terasa begitu ajaib.

Gili 02
Tempat di Lombok yang paling banyak bulenya.

Ternyata dibalik pesona pantai dan segala macam aura keduniawian tempat ini, ibadah masih menjadi elemen penting keseharian masyarakat Gili Trawangan. Satu hal lagi yang saya takjub ialah kebenaran gosip tentang tidak adanya kendaraan bermotor. Warga disini mengandalkan cidomo, cikar-dokar-bemo. Cikar pada gerobak, dokar pada kuda, bemo pada ban. Jadilah disebut cidomo. Transportasi ramah lingkungan meski harus telaten membereskan kotoran kudanya.

Gili 04
Cidomo menjadi andalan warga untuk mengangkut logistik gili.

Di surga, kita semua ingin menghentikan waktu agar bisa tetap berada disitu selamanya. Namun waktu berlaku sebaliknya, cepat berlalu tanpa terasa. Demikianlah, jadwal kapal terakhir menuju Bangsal akan segera tiba. Waktunya kembali ke Bangsal. Tidak rela, sekali lagi beranjak dari tempat ini. Dipaksa sang waktu kami meloncat ke kapal menuju Bangsal. Selamat tinggal gili Trawangan. Semoga umurku cukup panjang untuk kembali menyapamu lagi.
Gili 13
Peta gili Trawangan. Aku akan merindukan tempat ini.

Catper Lombok 5 : Sekilas cerita dari Desa Sade

Desa Sade merupakan desa tradisional suku Sasak yang menghuni pulau Lombok. Desa ini dikenal karena warganya masih mempertahankan kehidupan tradisional meski mereka juga membuka diri terhadap modernisasi. Meskipun desa Sade sudah menjadi desa wisata, namun kehidupan warganya berlangsung normal. Desa ini tidak hanya sekedar etalase pariwisata (yang dibangun dan dipertahankan hanya untuk ditonton). Desa ini juga berfungsi sebagai desa sebenarnya, tempat masyarakatnya berkumpul, beraktivitas, berproduksi, dan melanjutkan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai tradisi mereka.

Narsis Sade satu
Narsis di depan papan nama desa sebelum menjelajahi isinya

Namun, sebagaimana layaknya desa wisata, selalu ada warga lokal yang menawarkan jasa pemandu untuk menemani wisatawan menjelajahi desa yang tidak terlalu luas ini. Sebenarnya bisa saja saya menolak dan menjelajahi desa ini sendiri, namun saya rasa tidak terlalu memberatkan untuk mengeluarkan sedikit uang kepada warga lokal. Hitung-hitung membantu penghidupan mereka dan ikut melestarikan budaya Sasak. Saya hanya berdoa semoga biaya yang disebutkan “seikhlasnya” tidak berubah menjadi “minimalnya sekian” seperti yang pernah saya alami ketika mengunjungi Pura Besakih.

Pemandu ini didominasi oleh kaum lelaki (saya tidak melihat perempuan yang menawarkan jasa guide). Mereka biasanya langsung mendekati setiap kendaraan yang berhenti di pelataran depan desa. Busana mereka serupa tapi tak sama: kaos dan sarung serta bersandal jepit. Selain itu, mereka sangat fasih dalam menceritakan kebiasaan-kebiasaan suku Sasak seperti tradisi menculik anak gadis. Menurut tuturan si pemandu, warga Sasak Sade kebanyakan menikah dengan sesama warga desa juga meskipun tidak dilarang untuk menikah dengan suku lain diluar warga desa atau diluar suku Sasak.

Memasuki desa Sade lebih dalam, saya banyak menemui rumah-rumah yang memajang hasil kerajinan warga. Salah satu hasil kerajinan yang banyak ditemui ialah kain tenun. Beragam warna dan motif kain dari berbagai ukuran banyak saya jumpai disini. Dari pengamatan sekilas, tampaknya warga Sade senang membuat tenunan dengan warna-warna yang mencolok. Selain itu motifnya meskipun menarik, cenderung monoton dan pasaran. Rasanya seperti melihat barang buatan pabrik jika tidak melihat sendiri prosesnya.

Sade 05
Sang Penenun

Sade 02
Warna-warna yang mencolok mendominasi kain ini

Sade 06
Kain-kain yang ramai terhias cantik di depan rumah. Siap ditawarkan kepada pengunjung.

Selain kain tenun, berbagai aksesoris lain juga ditawarkan warga kepada para wisatawan. Mulai dari gelang, kalung, hiasan-hiasan rumah, topi jerami, dan lain-lain. Gadis-gadis berkain dengan lincah menawarkan berbagai macam barang kepada saya dan wisatawan-wisatawan lain yang mengunjungi desa. Hal ini semakin menegaskan bahwa ini desa wisata dan masyarakatnya sudah “sadar wisata” dengan menawarkan berbagai barang kepada wisatawan.

Sade 03
Lincah menawarkan dagangan kepada wisatawan. Harga pembukanya memang gila tapi masih bisa ditawark kok ;)

Tawar-menawar harga pun kerap terjadi antara warga dan wisatawan, namun hal ini hanya terjadi pada warga yang masih berusia muda sebab para sesepuh desa tidak dapat berbicara bahasa Indonesia. Tawar-menawar merupakan hal yang jamak terjadi dalam berdagang. Saya memaklumi jika warga Sade membuka harga tinggi untuk dagangannya, hanya saya berharap kesadaran warga Sade tidak hanya terbatas pada bagaimana mengeruk keuntungan dari wisatawan tapi juga menjaga kenyamanan berwisata dengan tidak terlalu memaksa dan memanipulasi wisatawan yang datang untuk mengeluarkan biaya yang berlebihan seperti yang pernah saya alami di Pura Besakih.

Untungnya, hal ini tidak terjadi pada si pemandu yang menemani saya mengelilingi Desa ini. Tampaknya dia sudah cukup lama menjalani profesi sampingan ini. Selain tuturannya sudah seperti hafalan text-book, ia juga paham titik/spot yang menarik untuk memotret wisatawan. Misalnya, ketika sampai di depan rumah adat yang letaknya agak tinggi, si pemandu menawarkan saya untuk difoto pada titik/spot tersebut. Hasilnya lumayan bagus. Belakangan saya baru tahu itu adalah titik/spot sejuta umat dan rumah tersebut merupakan salah satu icon dari Desa Sade.

Narsis Sade
Mejeng di depan rumah adat Sasak yang merupakan salah satu spot sejuta umat di desa ini.

Setelah berfoto narsis diluar rumah adat Sasak, maka bagian selanjutnya dan juga bagian terakhir tur kali ini adalah mengeksplore bagian dalam rumah tersebut. Rumah adat Sasak sangat sederhana dan tidak besar. Pintu masuknya dibuat rendah (saya harus sedikit menundukkan kepala ketika masuk) dan konon sengaja dibuat demikian agar tamu yang masuk sedikit membungkuk pertanda menghormati tuan rumah. Rumah ini terbagi dalam dua bagian, bale luar dan bale dalam. Bale luar ialah tempat untuk menjamu tamu dan area tidur bagi laki-laki. Sedangkan bale dalam terdapat dapur dan area tidur untuk perempuan. Bale dalam juga merupakan daerah privasi bagi penghuni rumah, namun tamu wisatawan masih diperkenankan untuk melihat bagian tersebut.

Lantai rumah Sasak konon dilumuri kotoran kerbau sehingga terasa lebih liat. Untungnya saya tidak mencium bau kotoran sama sekali ketika berkunjung. Menurut si pemandu, bau kotoran kerbau akan hilang tidak lama setelah lantai tersebut dilapisi oleh kotoran tersebut. Sayang sekali saya tidak sempat melihat sendiri tradisi yang unik ini. Hal unik lain dari rumah Sasak ialah tiga tangga yang menghubungkan bale luar dan bale dalam. Tiga tangga ini memiliki filosofi Wetu Telu, yaitu tiga tahapan kehidupan: lahir, berkembang, mati.
Secara umum, perabot rumah Sasak sangat sederhana. Paling-paling hanya lemari kayu, alat-alat dapur tradisional dan kepala kerbau saja yang menjadi isi rumah ini. Untuk penerangan pada malam hari, suku Sasak menggunakan lampu minyak yang terbuat dari bambu dan kerang laut. Saya cukup tertarik dengan keunikan lampu ini, namun sayangnya saya agak telmi untuk mencoba menawar lampu tersebut dan menjadikannya oleh-oleh dari desa ini. Mungkin jika nanti mendapat kesempatan berkunjung kembali, saya akan mencoba membeli lampu tersebut.

Secara umum, tidak banyak pemahaman baru yang saya dapatkan dari kunjungan kali ini. Mungkin disebabkan ketergesaan saya dalam memburu tujuan-tujuan lain di Lombok sehingga waktu yang saya habiskan disini sangat sebentar. Tidak sempat “bersatu dengan alam” istilahnya. Ketergesaan yang membuat saya tidak sempat menyelami, memahami dan menghayati suatu tempat baru. Namun seperti hal-hal tradisional lainnya, saya harap nilai dan tradisi yang masih dijunjung warga Sade tidak lantas berubah menjadi pertunjukan semata. Pariwisata kadang menyisakan dilemma. Disatu sisi, penghasilan masyarakat sekitar mungkin meningkat, namun disisi lain kemurnian tradisi rentan berubah menjadi “pertunjukan tradisi”, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan hanya untuk ditonton wisatawan dan perlahan-lahan melupakan kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang terkandung didalamnya.

Manusia memiliki kecenderungan dinamis, berkembang. Budaya memang senantiasa berubah. Interaksi antar budaya (yang secara sadar ataupun tidak sering dibawa oleh wisatawan) tentu memiliki pengaruh terhadap budaya tradisional yang menjadi objek wisata. Perubahan tradisi mungkin tidak terelakkan. Kemurnian tradisi yang berubah menjadi “sebuah pertunjukan” karena tuntutan pasar (pariwisata) juga sangat mungkin terjadi. Namun semoga kebijaksanaan lokal tidak berubah, sebab jika hal ini berubah, maka identitas suatu suku juga akan berubah, malah mungkin akan hilang. Celakalah jika hal ini terjadi sebab ini berarti hilang pula salah satu keberagaman dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Catper Lombok 4: Kuta, Tanjung Aan dan Selong

Petualangan hari pertama berlanjut ke wilayah selatan. Kali ini pantai-pantai di selatan lombok menjadi tujuan saya, yaitu Kuta, Tanjung Aan, dan Selong Belanak. Sebenarnya daftar ini masih bisa ditambakan Mawun, namun sayangnya pantai satu ini kelewatan padahal Mawun memiliki panorama yang tak kalah indah dengan Kuta, Selong dan Aan :(

Diantara semuanya, Kuta paling sering saya dengar. Mungkin karena ada kemiripan nama dengan Kuta di Bali, namun karakter kedua pantai Kuta ini sangat berbeda. Pantai Kuta di Bali lebih landai dan luas dengan hamparan pasir halus dan ombak yang relatif kecil, sedangkan pantai Kuta Lombok dikelilingi bukit sehingga lebih eksotis secara alami. Tanjung Aan berada tidak jauh dari situ, arahnya ke timur melewati pantai Mandalika yang tidak sempat saya singgahi karena lebih mengejar Selong Belanak (yang dipromosikan lebih bagus oleh guide saya). Sedangkan Selong Belanak terletak agak jauh ke arah Barat.

Jalan disekitar pantai Kuta dan Tanjung Aan sudah beraspal meski masih sedikit rusak, sedangkan jalan menuju Selong Belanak beraspal mulus, sehingga meskipun mendaki bukit-lewati lembah seperti Ninja Hattori, perjalanan terasa menyenangkan dan ramah di pantat. Beberapa kali saya berpapasan dengan gembala kerbau yang ikut menyebrang jalan..

Aan-Kuta-Selong 06
Berbagi jalan dengan kawanan kerbau..

Pantai-pantai di selatan Lombok ini sudah lumayan ramai jika dibandingkan dengan pantai di lombok Timur seperti Tangsi apalagi Kaliantan. Banyak penginapan berdiri dipinggir jalan namun konon tidak mudah mendirikan penginapan di daerah Kuta Lombok. Saya melihat banyak reruntuhan bangunan disekitar pantai. Menurut guide saya, bangunan-bangunan tersebut dirobohkan karena terlalu dekat pantai. Penginapan hanya diizinkan berdiri diseberang jalan, tidak boleh berdiri dekat bibir pantai.

Aan-Kuta-Selong 08
Sisa-sisa reruntuhan bangunan yang dihancurkan karena terlalu dekat pantai.

Aan-Kuta-Selong 01
Bangunan baru diizinkan berdiri disisi lain jalan.

Secara umum, pantai-pantai di selatan Lombok memiliki kesamaan, yaitu dikelilingi perbukitan sehingga panoramanya sangat cantik, tidak kalah dengan Pattaya di Thailand. Tanjung Aan merupakan tujuan pertama saya di selatan Lombok. Daerah ini sudah agak ramai meskipun fasilitasnya masih minim. Untuk parkir misalnya, tidak ada lahan khusus parkir (meskipun pungli-nya ada) sehingga banyak kendaraan parkir dipantai. Sayangnya pasir pantai ini agak gembur sehingga agak sulit untuk dimasuki motor ataupun mobil (rawan slip). Meskipun begitu, saya tidak kapok untuk kembali berkunjung lain waktu karena pemandangannya sangat indah

Aan-Kuta-Selong 04
Pemandangan dari atas bukit. Lombok memang luar biasa!

Beberapa perahu nelayan tertambat di pantai, menawarkan jasa transport ke Batu Payung dekat situ. Salah satu spot wisata populer yang pernah dijadikan setting iklan rokok. Pasir merica masih saya temui di Tanjung Aan namun tidak sebesar atau sekasar pasir serupa di pantai Kaliantan. Ditambah bukit kecil yang menjadikan pantai ini agak berbeda dari pantai-pantai lain sekitar situ. Bukit ini mudah dipanjat. Sudah ada anak tangga semi-alami yang dibentuk dari bebatuan sekitar situ. Naik ke bukit, kita bisa melihat garis pantai dengan lebih jelas. Spot ini lebih ramah bagi kamera saya karena dibawah bukit, angin berhembus kencang dan membuat badai pasir kecil. Dari atas bukit, saya dapat lebih leluasa memotret. Sungguh mudah rasanya bersyukur dan memuja Yang Maha Kuasa dari tempat ini.

Aan-Kuta-Selong 07
Kapal-kapal nelayan yang siap sewa.

Aan-Kuta-Selong 09
Pasir Merica.

Daerah ini juga sudah ramai diserbu pedagang-pedagang kain. Meskipun harga yang mereka tawarkan lebih murah daripada di Desa Sade, namun cara menawarkan yang setengah memaksa membuat saya jengah dan ingin segera jauh-jauh dari mereka. 

Berdagang sih oke saja, namun memaksa beli sama sekali tidak oke. Selain pedagang kain tadi, beberapa anak kecil juga mengais rejeki dari pengunjung daerah ini. Bahkan ada anak yang menjual pasir dalam botol plastik! Sayang sekali, motif ekonomi tidak dibarengi dengan edukasi pariwisata kepada mereka. Seandainya para pedagang kain tidak menawarkan dengan memaksa.. Seandainya anak-anak itu tidak harus berjualan barang yang berpotensi menimbulkan kerusakan alam.. Mungkin kesan saya lebih positif dari kunjungan kali ini. Ah, namun saya tidak mau menyalahkan mereka, saya hanya berharap ada pemberdayaan bagi masyarakat sekitar sehingga potensi pariwisata daerah ini dapat bermanfaat optimal bagi penduduk sekitar

Kuta Lombok tidak banyak saya eksplore, hanya sekedar lewat karena mengejar waktu menuju Selong. Secara fisik, pantai ini kurang lebih sama seperti Tanjung Aan minus bukit yang bisa dinaiki. Praktis saya tidak merasa terlalu rugi karena banyaknya kemiripan dengan pantai Tanjung Aan. Lebih baik saya mengejar waktu ke tempat lain mumpung belum terlalu sore, dan jadilah saya segera berangkat menuju Selong Belanak.

Aan-Kuta-Selong 03
Sekilas jeptretan di pantai Kuta Lombok

Selong Belanak agak berbeda dengan Tanjung Aan dan Kuta Lombok. Garis pantainya memang tidak panjang, namun lokasinya yang berada diantara perbukitan membuat pantai ini menjadi sangat indah. Beberapa kafe pinggir pantai menggelar kursi santai lengkap dengan payung dan bir. Papan surfing juga banyak terlihat, siap untuk disewakan. Tempat yang sempurna untuk menyaksikan matahari terbenam. Sungguh penutup hari yang luar biasa!

Aan-Kuta-Selong 05
Sunset di Selong. Penutup hari yang sempurna.

Catper Lombok 3 : Surga salah paham..

Tujuan kedua pada hari pertama di Lombok adalah pantai Surga. Pantai ini direkomendasikan saudara saya karena selain keindahannya yang mendapat julukan pantai Surga, tapi juga karena letaknya sejalur dengan pantai Pink atau Tangsi. Dari artikel-artikel mengenai pantai Surga, saya mendapat informasi bahwa jalan menuju kesana relatif sulit. Minim petunjuk dan jalannya rusak.

Namun itu wajar karena untuk mencapai surga, kita harus menempuh ujian yang berat (duh analogi ini berlebihan nggak sih?)  Beberapa orang menulis, untuk mencapai pantai Surga, kita harus menempuh bukit neraka. Hihi, sepertinya orang Sasak memiliki analogi menarik mengenai keindahan alamnya. Selain pantai Surga-bukit neraka ini, mereka juga punya istilah bukit Penyesalan dan bukit Penderitaan pada jalur pendakian menuju puncak Rinjani..

Kembali ke perjalanan menuju pantai Surga.. Benar, jalan menuju kesana termasuk sulit. Tapi memang rata-rata jalan di kawasan Lombok Timur masih rusak parah. Apalagi jalan-jalan di pedalaman (benar, jalan menuju kesana melintasi pedalaman lombok) yang masih berbatu, banyak lubang & genangan. Selayaknya jalan-jalan perintis di dalam hutan. Menurut saya, motocross lebih cocok digunakan di medan ini daripada motor matic yang kami gunakan.

Surga Kaliantan 04
Menuruni bukit berbatu..

Surga Kaliantan 03
Saat mendaki saya harus turun dulu dari motor..

Keadaan ini diperparah dengan minimnya petunjuk jalan menuju kesana. Walhasil kami harus berkali-kali bertanya kepada penduduk setempat. Oh iya, jika hendak menanyakan jalan usahakan untuk turun dan mematikan mesin motor terlebih dahulu, atau kita akan dinilai sombong oleh warga setempat.

Jalan menuju pantai Surga itu sendiri tidak tepat berada di jalur jalan utama. Agak naik ke bukit berkerikil dan semakin lama jalannya semakin parah. Akhirnya setelah beberapa kali ragu, mengambil keputusan saat persimpangan jalan dengan sok tau (karena tidak ada petunjuk jalan dan orang yang bisa ditanyai serta Google Maps di ponsel yang lemot) kami berhasil mencapai pantai Surga dengan selamat meski pantat, pergelangan kaki, dan punggung lumayan pegal.

Surga Kaliantan 00
Keluar dari jalur utama, menyusuri jalur kerikil

Surga Kaliantan 02
Mendakit bukit, lewati lembah sepanjang jalur kerikil..

Pantai Surga, sesuai dengan namanya memang luar biasa indah. Dan terpencil. Sejauh ini, inilah tempat paling indah yang pernah saya datangi. Sungguh perjuangan mencapai pantai ini terbayar (dengan baik, it's a good deal ! ). Mungkin benar petuah yang mengatakan bahwa tempat-tempat indah di Indonesia itu tempat yang sulit didatangi. Butuh perjuangan ekstra untuk mencapainya, dan pantai ini tentu saja termasuk didalamnya.

Pantai ini dikelilingi perbukitan landai dengan rumah penduduk yang jarang-jarang. Daerah sekitar pantai memang sudah banyak terdapat "jalan setapak" selebar bekas jalur ban kendaraan roda empat. Meskipun demikian, tetap saja gelombang batu dan tanah yang gembur (sehingga kendaraan mudah terjebak dalam genangan) mendominasi kondisi jalan disekitar daerah ini. Untung saja saya datang ketika hari cerah. Tidak terbayang jika cuaca buruk, pasti butuh ekstra usaha lagi untuk mencapai tempat ini.

Surga Kaliantan 05 a
Banyak jebakan betmen beruba kubangan-kubangan kecil sepanjang jalan

Salah satu keunikan pantai ini adalah pasirnya yang berbentuk seperti merica. Butirannya cukup besar sehingga terasa kasar. Pasirnya juga gembur, mudah ambles setelah terinjak kaki. Pemandangan dari ujung Timur Laut pulau Lombok ini benar-benar indah. Langit cerah, laut biru, pasir cokelat keputihan, dataran hijau. Anugrah luar biasa yang membuat saya tidak henti mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa dalam tiap langkah saya di tempat itu.

Selain itu, ketidaaan orang lain saat kami berkunjung kesana membuat saya berhalusinasi dan menjelma Robinson Crusoe atau Jack Sparrow selama beberapa saat. Karena tidak ada orang lain, saya jadi berasa jadi orang pertama yang menemukan pantai ini! Berada di pantai perawan pada pulau terasing! Sensasi yang aneh tapi luar biasa menyenangkan!

Surga Kaliantan 07
Sepi !!! Jadi serasa pantai pribadi ;)

Surga Kaliantan 11
Salah satu spot sejuta umat di pantai ini, namun tetap terasa seperti pantai perawan..

Surga Kaliantan 10
Pasir yang seperti merica, tapi biarkanlah pasir unik ini berada ditempatnya.. take nothing but pictures.

Update: Belakangan saya baru tahu jika ketika itu saya nyasar. Tempat ini ternyata bukan pantai Surga tapi pantai Kaliantan (gubrak!). Tapi sebodo amat. Toh keindahan pantai ini juga pantas disebut sebagai pantai Surga (nggak mau malu), sebab inilah salah satu spot terbaik yang pernah saya kunjungi sampai saat ini.