Selasa, 19 Januari 2016

Catper Bali 2: Pura Besakih, antara kesakralan dan pemerasan.

Kunjungan pertama saya ke Pura terbesar di Bali ini menyisakan kegalauan keyakinan dalam diri saya. Maksud hati ingin memahami lebih mendalam tentang kepercayaan Hindu Bali, namun apa daya kegiatan ini "terganggu" komersialisasi wisata.

Peta kompleks Pura Besakih
Peta kompleks Pura Besakih

Pura Besakih, pura terbesar umat Hindu Bali merupakan salah satu objek wisata yang membuat saya penasaran semasa saya tinggal di Bali. Tidak lengkap rasanya meninggalkan Bali tanpa pernah berkunjung kemari. Jadilah saya menyempatkan diri bersama seorang teman saya untuk berkunjung.

Perjalananan kami terhitung spontan. Awalnya kami hanya ingin mengunjungi istana Tampaksiring. Namun karena kurang informasi, kami tidak tahu jika untuk memasuki istana tersebut butuh izin khusus. Walhasil kami hanya sampai pada gerbang istana Tampaksiring tanpa pernah menginjakkan kaki di Tampaksiring :(

Karena hari masih siang, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Pura Besakih via Kintamani. Perjalanan menuju kesana sebenarnya cukup menarik namun sayangnya saya tidak banyak memotret karena dua hal: mengejar waktu dan saya yang mengemudikan motor (kami mengandalkan motor sewaan untuk keliling Bali).

Sampai di Pura Besakih pada sore hari, sekitar pukul 16.00, kami langsung diserbu anak2 kecil dan abg yang menjajakan dagangan berupa kartu pos dan penyewaan sarung. Jurus marketing yang dilancarkan abg-abg penyewaan sarung ialah tidak boleh masuk jika tidak pakai sarung dan selendang (dan belakangan saya baru tahu jika ada fasilitas peminjaman sarung dan selendang gratis untuk pengunjung yang bercelana pendek). Saya dan teman saya digetok 50rb untuk sewa sarung dan selendang (sewa, bukan beli!) Tidak lupa juga guide yang menjelaskan panjang lebar tentang aturan dan syarat untuk mengunjungi Pura ini.

Menurut guide yang memperkenalkan diri dengan nama Kadek, untuk bisa memasuki Pura Besakih, turis harus didampingi pemandu. Saya tanya, berapa biayanya? Kadek bilang bebas, silahkan berikan sesuai dengan kepuasan mas, demikian katanya. Tidak lupa Kadek memberikan embel-embel marketing dengan mengatakan bahwa dana disini disalurkan untuk tiga lembaga, bla-bla-bla, namun saya tidak mendapatkan tiket atau kuitansi untuk jasa pemandu ini.

Baiklah, itu keanehan yang saya simpan dalam hati selama mengunjungi Pura ini. Selain itu, saya dan teman saya cukup direpotkan oleh anak-anak yang menjajakan dagangan berupa kartu pos yang dibandrol 10r untuk 3 lembar. Awalnya saya membeli satu lembar saja dengan uang 5rb. Saya pikir, untuk apa juga banyak-banyak kartu pos seperti itu? Toh nantinya hanya menjadi sampah sepulangnya dari sini. Waktu itu saya membeli karena simpati saja.

Dan itulah kesalahan saya. Begitu membeli satu, teman-temannya di bagian lain langsung menyerbu. Bahkan satu anak dengan gigih menawarkan dengan sangat memaksa dagangannya. Berbagai jurus dia keluarkan, mulai dari untuk beli buku sekolah, untuk makan, dan lain-lain khas argumen anak jalanan. Ah, bagi saya anak ini jauuuuuuuuuuuuuuh lebih keras kepala dan lihai daripada anak-anak jalanan. Penolakan 7-8 kali belum cukup untuk membuatnya mundur. Anak ini menghiasi kunjungan kami kira-kira setengah perjalanan. Luar biasa! Saya membatin, semoga anak ini diberikan fitrah untuk cita-cita besar dengan kengototan seperti itu.

Bocah penjaja kartu pos
Bocah penjaja kartu pos

Terus mengikuti target pembeli...
Terus mengikuti target pembeli...

Disamping keriuhan anak tadi, keinginan saya untuk lebih memahami Hindu Bali sedikit terpenuhi. Saya dipersilakan untuk ikut sembahyang oleh Kadek sehingga bisa sedikit memahami kebijaksanaan Hindu Bali dalam ritual tersebut. Termasuk berdoa yang, meskipun Kadek bilang tujukan kepada Dewa Penghuni Gunung ini, saya tetap memanjatkan doa kepada Tuhan YME, hahaha.. (mengenai sikap saya terhadap ritual dan keyakinan beragama, mungkin akan saya ceritakan di lain waktu).

Namun ada hal yang mengganjal saya. Ketika ritual hampir selesai dan saya diminta untuk meletakkan sedekah (berupa uang tunai) dalam sesajen, saya tidak keberatan. Toh dengan tujuan mengungkapkan rasa syukur kepada Illahi, tidak ada salahnya mengeluarkan sedikit dana, juga untuk menggantikan biaya sesajen ini pikir saya. Yang membuat saya keberatan ialah Kadek mengatakan jumlah uang yang saya keluarkan kurang dan menuntut jumlah tertentu untuk diletakkan dalam sesajen tersebut!

Astaga.

Akhirnya saya bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apakah memang seperti ini aturan agamanya? Atau ini hanya kejahatan oknum bernama Kadek saja?

Mood saya langsung jelek setalah kejadian ini. Rasanya ingin cepat mengakhiri kunjungan ini. Dan tebak! Diakhir kunjungan, lagi-lagi Kadek mengatakan uang yang kami berikan kurang dan meminta lebih, lengkap dengan jurus-jurus marketingnya! Padahal di perjanjian awal dia tidak mau menyebut harga. Kesan buruk yang sempurna untuk di akhir kunjungan ini.

Sebagai penutup, saya tidak ingin berprasangka jelek terhadap umat Hindu Bali yang berusaha ramah terhadap pendatang dan wisatawan. Namun kejadian pada kunjungan pertama saya ke Pura Besakih sungguh bukan pengalaman yang menyenangkan. Terlebih lagi ini terjadi di Pura yang merupakan simbol umat Hindu Bali. Pencitraan merupakan hal yang sangat penting bagi pariwisata. Mungkin turis datang dengan membawa banyak uang (meskipun banyak pula yang kere seperti saya), namun itu bukan berarti mereka dapat "diploroti" sedemikian rupa. Saya kira pendidikan pariwisata masyarakat sekitar harus ditingkatkan, terutama tentang bagaimana bersikap ramah dan jujur terhadap turis. Pariwisata suatu tempat akan hancur jika tempat tersebut mendapat imaji buruk dan pengunjungnya kapok untuk datang lagi. Pura Besakih, semoga tetap menjadi Pura dan objek wisata, bukan sarang penyamun.

Pura Besakih
Bukan sarang penyamun.

Catper Bali 3: Antara pantai Pribumi dan pantai Bule

Berkelana ke Bali, hal pertama yang ada dalam pikiran saya adalah pantai! (dan bikini). Bali terkenal dengan pantai Kuta-nya dimana banyak bule-bule berjemur topless. Paling tidak, itulah gambaran Kuta dalam benak saya ketika kecil dulu. Namun ketika saya berkesempatan mengunjunginya bertahun-tahun kemudian, gambaran masa kecil saya tentang Kuta terlalu berlebihan. Memang banyak berseliweran gadis-gadis berbikini, terutama yang berkulit merah terbakar matahari, namun yang berjemur topless dapat dihitung jari.

Bikini & berjemur. Pemandangan khas Kuta.
Meskipun begitu, balutan bikini pada gadis-gadis muda itu membuat mata ini betah memandang sekeliling Kuta. Maklum, cowok jomblo (saat itu). Saya juga merasakan, betapa kebebasan sangat terasa disini. Aroma seks bebas tercium begitu kental, begitu pula dengan alkohol. Dari pantai ke klub malam, dari matahari sore ke lampu-lampu disko, dari ombak-ombak surfing ke hentakan musik dugem. Bali, terutama daerah Kuta dan sekitarnya memang tempat yang paling cocok untuk berpesta. Inilah pusat dunia gemerlap Indonesia.


Tanah Lot

Namun gemerlapnya pantai Kuta berbeda jauh ketika saya mengunjungi Tanah Lot. Pantai karang dengan beberapa pura disekitarnya terasa begitu eksotis keindahan alamnya. Kesan budaya dan eksotisme alam lebih terasa disini. Aturan-aturan dalam memasuki pura, antara lain tidak boleh bercelana pendek karena bagian pinggang sampai mata kaki harus tertutup kain, lalu harus memakai kain selendang yang dipercaya mencegah roh-roh jahat masuk ke dalam pura pun diberlakukan disini. Meskipun kadang masih terlihat wisatawan yang melanggar aturan tersebut (mungkin karena tidak tahu), namun aturan-aturan seperti itu sedikit banyak menjadikan tempat ini terasa sakral.

Keunikan utama Tanah Lot sebetulnya keberadaan pura di atas karang yang letaknya agak jauh dari pantai, bahkan dapat dibilang berada ditengah laut. Tanah Lot sendiri artinya “tanah diatas laut”. Turis yang berkunjung ke tempat ini kebanyakan berwajah Asia mungkin turis Thailand atau Philipina. Adapun turis bule, kebanyakan yang sudah berusia lanjut.

Pura di atas laut
Selain letaknya yang seakan di atas laut, ada keunikan lain dibawah pura Tanah Lot. Disini terdapat sumber air tawar. Banyak turis mengantri untuk berdoa dan meminta berkah. Penasaran dengan rasanya, saya pun ikut mengantri. Orang-orang yang mengantri di depan saya biasanya membasuh muka dan meminum air dari situ, lalu diberi bunga dan wija di dahi. Mathirta & mawija. Ritual ibadah Hindu Bali.

Jujur saya bingung apa yang harus saya lakukan ketika tiba giliran saya. Jadilah saya mengekor perilaku turis-turis di depan saya: mencuci muka,  lalu iseng-iseng meminum airnya. Mungkin terlihat sebagai mathirta, namun bagi saya rasanya seperti berwudhu. Sebenarnya saya tidak berniat mathirta ataupun wudhu. Saya hanya ingin mencicipi airnya. Bener nggak sih tawar? Agak sulit dipercaya karena kolam ini dikelilingi laut dan harusnya berair asin. Dan akhirnya hal ini terbukti dengan lidah saya sebagai saksinya: air tawar! Ritual ibadah (mau disebut mathirta ataupun wudhu) hanya sekedar alibi. Bandel nggak sih kalo begini? Hehehe…

Tanah Lot mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai wisata pantai saja karena keberadaan pura di tempat ini. Malah mungkin keberadaan pura menjadi lebih dominan dibandingkan dengan wisata pantainya. Di tanah lot, kita juga bisa menyaksikan tari kecak dan beberapa seni pertunjukan khas Bali lainnya.

Meskipun wisata budaya lebih dominan, namun keindahan alam tempat ini juga tidak bisa dilupakan begitu saja. Menunggu matahari terbenam di Tanah Lot menjadi salah satu daya tarik tempat ini. Lokasi pantai yang menghadap barat memungkinkan kita untuk menyaksikan matahari tenggelam di cakrawala (bukan di balik gunung atau bukit atau gedung). Panorama matahari tenggelam makin sempurna dengan latar depan karang-karang raksasa disekitar pantai. Tanah Lot merupakan salah satu sunset spot terbaik di pulau dewata.

Salah satu sunset spot terbaik pulau Dewata


Padang padang

Setelah Tanah Lot, tempat yang saya kunjungi berikutnya ialah pantai Padang Padang. Sejujurnya, saya baru mendengar nama ini dari teman serombongan saya. Pertama kali saya mengunjungi pantai ini karena rombongan saya gagal mengunjungi Dreamland. Kami kira, pantai Dreamland bebas dimasuki wisatawan, ternyata lokasinya melewati hotel dan harus membayar sejumlah tertentu (saya lupa jumlahnya) untuk mencapai pantai tersebut.

Karena terbiasa dengan yang gratisan, kami enggan untuk mengeluarkan dana tak terbudget seperti ini dan memilih untuk melanjutkan perjalanan sambil berembuk mencari tujuan alternatifnya. Jadilah kami banyak bertanya kepada penduduk yang kami temui sepanjang jalan. Pantai apa yang dekat sini? Padang padang merupakan pantai yang banyak disebut setelah Dreamland. Jalannya terus saja ke arah Uluwatu, nanti ada disebelah kanan jalan. Okelah, cuss!

Padang padang sendiri sebetulnya baru saja menjadi tuan rumah lomba surfing internasional. Banyak surfer menjajal ombak disini. Namun tempat ini bukan tempat untuk surfer pemula, saya kira. Tidak seperti di Kuta, untuk mencapai ombak, surfer harus berenang dulu agak jauh dari bibir pantai.

Garis pantai Padang padang relatif pendek. Hai ini otomatis membuat pantai ini tidak terlalu luas. Meskipun begitu, pantai ini cukup ramai dikunjungi bule. Konon, orang Bali mengkategorikan pantai sebagai dua jenis: pantai pribumi dan pantai bule. Pengkategorian ini dibuat berdasarkan pengunjung yang dominan datang ke pantai tersebut. Pantai Padang padang, sudah pasti masuk kategori pantai bule.

Padang padang: tidak terlalu luas, namun ramai

Mungkin yang menyebabkan pantai ini menjadi pantai bule karena pantai ini kurang cocok untuk berenang dan lebih cocok untuk berjemur dan surfing. Dua kegiatan favorit para bule yang berkunjung ke pantai-pantai Bali. Sedangkan orang-orang pribumi lebih senang bermain bola atau berenang di pantai.


Pantai Canggu

Pantai “pribumi” yang sempat aku kunjungi ialah pantai Canggu dan Ketewel. Keduanya sama-sama sepi dari turis dan lebih banyak didatangi penduduk sekitar. Keberadaan dua pantai ini memang relatif sepi dari publikasi tempat-tempat wisata di Bali. Akibatnya tidak banyak wisatawan yang tahu kedua tempat ini. Tapi bukan berarti tidak menarik untuk dikunjungi. Kedua pantai ini membuat saya takjub, ternyata masih ada tempat “tersembunyi” di dekat pusat wisata Bali: Kuta & Sanur.

Pantai Canggu terletak dekat dengan Kuta & Legian. Boleh dibilang, pantai ini merupakan lanjutan pantai Legian ke arah Barat. Meskipun dekat Legian, akses jalan mobil menuju tempat ini cukup tersembunyi. Saya sendiri mencapai pantai ini setelah nyasar. Maksud hati ingin mengitari daerah sekitar Kuta menuju Denpasar, tapi malah menemukan pantai ini. Kebetulan yang dituntun oleh takdir.

Pantai Canggu: tidak jauh dari keramaian Kuta, namun cukup sepi

Hampir tidak percaya bahwa ada pantai sesepi ini di dekat Kuta. Saya datang pukul 3 sore waktu setempat dan hampir tidak ada kendaraan sama sekali di tempat parkirnya. Ketika memasuki pantai pun hanya terlihat satu-dua orang pemancing dikejauhan. Saya pun menyisiri garis pantai menjauh dari Kuta, ke arah barat.

Tidak jauh dari tempat parkir ternyata ada muara sungai. Beberapa tanaman bakau juga terlihat tumbuh di sisi sungai tersebut. Menghadirkan aura misteri. Ingin rasanya menelusuri sungai ke arah hilir, namun hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa perahu. Akhirnya saya memutuskan untuk menikmati kesunyian pantai Canggu saja.

Tidak lama kemudian, pantai mulai kedatangan lebih banyak tamu. Seperti yang telah saya ceritakan tadi, kebanyakan tamunya ialah warga lokal. Tidak ketinggalan tukang bakso dan pedagang-pedagang asongan lainnya. Beberapa warga usia lanjut juga memanfaatkan pasir pantai untuk terapi. Mereka menguburkan setengah badan mereka ke dalam pasir dan berjemur dengan kondisi seperti itu.

Santai ala penduduk lokal di pantai Canggu


Pantai Ketewel

Suasana di pantai ini terasa lebih tradisional dan agak jauh dari hingar bingar pariwisata. Benar-benar kontras dengan Kuta. Demikian pula halnya dengan pantai Ketewel. Berbeda dengan Canggu, pantai Ketewel memiliki pasir hitam legam. Meskipun hitam, namun pasir pantai ini tidak kalah seksi dengan pantai-pantai berpasir putih yang lebih populer seperti Kuta, Padang padang, Dreamland, Sanur, dan lain-lain.

Pantai Ketewel bahkan terasa lebih pribumi daripada Canggu. Letaknya di pesisir timur, sehingga cocok untuk menyaksikan matahari terbit. Berada sedikit keluar outer ring road Denpasar, pantai ini relatif jauh dari pusat keramaian. Kebanyakan aktivitas pengunjung pantai ini ialah main bola, mandi, dan duduk-duduk santai (baca:pacaran). Mungkin hanya penduduk sekitar dan turis nyasar seperti saya yang mampir ke pantai ini. Dan saya bersyukur pernah nyasar kemari.

Ketewel: pantai pasir hitam yang cantik

Seperti pantai Canggu pula, banyak pedangang asongan disekitar pantai. Terutama jagung & kacang rebus. Mirip pedagang yang banyak ditemui sepanjang pantai Sanur. Sayangnya tidak banyak tempat sampah di pantai ini. Sampah bekas makanan banyak berserakan disepanjang jalur lari yang ada dibibir pantai. Untungnya pasir pantai ini masih bebas dari gangguan sampah. Entahlah jika nanti air laut pasang :(

Ramai oleh penduduk lokal dan pedagang asongan. Sayang kebersihannya kurang terjaga.


Pantai Sanur

Berbeda halnya dengan pantai Sanur yang sudah sangat sadar wisata. Meskipun banyak pedagang kaki lima, namun kebersihan area sekitar pantai sangat terjaga. Pantai Sanur termasuk vital karena merupakan tempat bersandar kapal-kapal yang menuju dan datang dari Nusa Penida dan Nusa Lembongan. Bisa dibilang pantai ini memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat transit dan tempat wisata.

Loket tiket kapal menuju Nusa Penida

Sebagai tempat transit menuju Nusa Penida dan Lembongan, sudah pasti pantai ini penuh dengan calon penumpang. Penumpangnya pun bervariasi, warga lokal maupun turis asing semuanya berbaur di kapal yang sama. Kapal dari Sanur termasuk sebagai kapal cepat. Hanya bisa mengangkut manusia dan beberapa barang yang tidak terlalu besar, tidak bisa mengangkut kendaraan. 


Menunggu kedatangan kapal


Bersiap untuk sembahyang

Keberangkatan dari Sanur menuju Penida/Lembongan tampak ramai pagi itu. Begitu kapal tertambat, calon penumpang langsung bergegas menaiki kapal. Tampaknya keberangkatan menuju Penida begitu serempak. Jeda keberangkatan satu kapal dengan kapal lainnya tidak terlalu lama. Tidak heran calon-calon penumpang bergegas naik tanpa menunggu lama. Sebentar kemudian, pantai Sanur kembali sepi dari calon penumpang antar pulau. Berganti dengan warga sekitar yang datang untuk sekedar melepas penat di pantai ini.

Bergegas naik ke kapal. Kapalku tak bersandar lama

Bagi penggemar fotografi, pantai ini termasuk spot sunrise yang asik. Karena menghadap ke Timur, kita bisa menyaksikan matahari terbit langsung dari cakrawala. Ditambah latar belakang gunung Agung, lanskap sunrise dari tempat ini akan terlihat berbeda. Saya sendiri senang dengan pemandangan laut dan gunung sekaligus dalam satu frame. Ditambah dengan terbitnya sang surya, foto lanskap dari pantai Sanur tampak begitu sempurna.

Salah satu spot sunrise terbaik di Bali

Kapal cepat menuju Nusa Penida dan Lembongan

Pantai terakhir yang ingin saya bahas dalam kesempatan kali ini ialah Nusa Dua. Terletak dikawasan elit Nusa Dua, pantai ini sempat disebut sebagai salah satu pantai terbaik di dunia. Sebelum mencapai pantai, kita harus melewati semacam kompleks perhotelan elit. Untungnya saya menemukan “jalan tikus” menuju pantai karena sepertinya akses menuju pantai sudah dimonopoli oleh resort-resort mewah yang bertebaran disini.

Pantai Nusa Dua sendiri merupakan pantai berpasir putih dengan garis pantai yang cukup panjang. Karena keelitannya, sudah pasti pantai ini termasuk pantai “bule” yang tajir. Kebanyakan pengunjung pantai ini berjemur dan berenang di tepian pantai. Meskipun begitu, masih bisa saya temui satu dua orang nelayan yang sedang memancing. Entah darimana mereka datang.

Sekilas hampir tidak ada yang istimewa dengan pantai ini. Mungkin karena saya sudah terlalu banyak melihat pantai. Tapi jika dicermati lagi, ternyata ada. Keistimewaan pantai ini lebih karena privasi, kebersihan, garis pantainya yang panjang, pasir putih, dan airnya yang jernih. Bisa dibilang, inilah pantai paling bening yang saya kunjungi di Bali. Kebersihan terjaga karena pantai ini merupakan aset utama dari resort-resort mewah di kompleks Nusa Dua ini. Seberapapun bagusnya tempat wisata, jika dipenuhi dengan sampah maka tamu tidak akan datang.

Biru, bersih, jernih, dan terjaga privasinya

Kunjungan terakhir ke Nusa Dua inilah yang menyadarkan saya betapa persoalan sampah merupakan masalah utama pariwisata. Ketika kita ingin mengelola tempat alami menjadi sebuah objek wisata, pertama-tama kita harus bisa mengelola sampah yang akan timbul oleh para tamu. Menumbuhkan kesadaran tamu juga tidak mudah. Sedihnya, tamu yang seringkali membuang sampah sembarangan berasal dari negeri kita sendiri. Dan pelakunya tidak terbatas pada anak alay saja tapi dari berbagai usia.

Dari pantauan saya, mereka yang datang dengan rombongan keluarga biasanya lebih sering meninggalkan sampah disembarang tempat. Ini menjadi contoh yang buruk, terutama bila dilakukan oleh para orang tua. Keberadaan petugas kebersihan mungkin membantu membersihkan sampah-sampah yang datang, tapi saya kira ini bukan hanya tugas mereka. Malu sekali rasanya ketika menyaksikan turis-turis asing sampai mau repot-repot membuat asbak dari batok kelapa, sementara turis lokal dengan mudahnya meninggalkan bungkus plastik makanan dan minuman  mereka seenaknya. Boro-boro mau nyari asbak.

Seorang teman pernah berkata, bangsa kita mungkin bisa membangun tapi lemah dalam merawat. Membuang sampah pada tempatnya adalah hal termudah yang bisa kita lakukan untuk sama-sama merawat alam kita. Membawa sampah jika disekitar kita belum ada tempat sampah, mungkin sedikit merepotkan, namun jika alam kita rusak karena sampah, kita akan lebih repot lagi memperbaikinya.
Indonesia dianugerahi Tuhan alam yang indah. Keindahan alam Indonesia merupakan aset utama Negara ini. Bahkan aset ini lebih bernilai daripada material-material tambang. Keindahan alam bersifat tanpa batas. Tidak akan habis dipandangi. Yang bisa merubahnya hanya bencana alam dan bencana manusia. Kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah gunung meletus atau gempa bumi, namun kita dapat mencegah penimbunan sampah, kerusakan karang, ataupun pembakaran hutan. Merawat alam ialah mencintai kehidupan.





Minggu, 03 Januari 2016

Catper Bali 1: Kuta, pada kesan pertama.

Pantai, dalam bayangan saya selalu terkait dengan berenang. Atau ketika menyebut pantai di Bali, maka bayangan saya bertambah dengan sunbathing dan surfing dan bule. Namun ternyata saya salah. Masing-masing pantai memiliki keunikannya sendiri-sendiri.

Antara berenang, berjemur, dan berselancar, saya merasakan suasana yang berbeda dari 3 pantai di Bali: pantai Kuta/Legian, pantai Nusa Dua, dan pantai Padang Padang. Untuk kali ini, saya ingin membagi pengalaman saya mengunjungi pantai Kuta/Legian.

Pantai Kuta bagi saya merupakan pantai paling populer di Bali. Terkenal karena banyaknya wisatawan asing, khususnya ras Kaukasoid (baca: bule) yang suka berjemur, bayangan saya sedikit meleset pada kunjungan pertama. Jumlah wisatawan lokal dengan bule hampir sama. Bahkan cenderung lebih banyak wisatawan lokal.

Saya baru banyak menjumpai bule di pantai Legian setelah saya menyusuri pantai ke arah utara. Menjelang sore, pantai makin ramai khususnya oleh wisatawan lokal. Belakangan, saya baru sadar bahwa wisatawan lokal baru banyak turun ke pantai setelah matahari tidak terlalu menyengat lagi. Kira-kira mulai setengah 5 WITA. Sebelumnya, bule lebih banyak mendominasi pantai untuk berjemur ataupun berselancar.

Berjemur, meskipun dengan payung
Berjemur, meskipun dengan payung

Suatu kali saya berkunjung ke pantai Legian sekitar jam 13 waktu setempat. Panasnya bukan main! Namun pada jam-jam segini, banyak bule berjemur dengan santainya. Sesekali juga saya melihat beberapa bule belajar surfing dari anak-anak pantai.

Ombak pantai Kuta/Legian memang cocok untuk peselancar pemula. Ombaknya cenderung kecil namun sudah bisa dinaiki. Pantai ini juga memiliki kelandaian yang panjang sehingga area untuk berendam sepinggang atau sedada cukup luas. Meskipun cenderung aman untuk berendam di pantai, namun kita harus berhati-hati terhadap arus balik, apalagi jika kita tidak bisa berenang. Pada jam-jam tertentu, biasanya menjelang sunset, aruh baliknya sangat kuat sehingga agak sulit mencapai pantai meskipun kedalaman laut yang dimasuki hanya sedada/sepinggang.

Ombak Kuta cocok untuk belajar surfing
Ombak Kuta cocok untuk belajar surfing

Kelandaian pantai dan kedekatan lokasi dengan bandara mungkin yang menjadikan pantai ini menjadi sangat populer di kalangan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara. Tidak heran jika pantai ini merupakan tempat pertama yang dikunjungi wisatawan, terutama yang baru pertama kali berkunjung ke Bali.

Landai dan luas, mungkin itu sebabnya pantai ini banyak disukai
Landai dan luas, mungkin itu sebabnya pantai ini banyak disukai

Meskipun demikian, saya merasa wisatawan asing lebih dimanja disini. Saya pernah mendapat pengalaman tidak menyenangkan ketika hendak menyewa sepeda motor. Ketika itu pengelola mengatakan tidak pernah menyewakan untuk orang lokal. Hanya kepada bule. Saya tanya, apa bedanya bule dengan lokal bu? Kan sama-sama bayar? Dia bilang suka ada aja, kalo lokal, yang ngejual, yang ngegadaikan, dan lain-lain. Dalam hati saya membatin, tidak pernah menyewakan kepada orang lokal tapi bisa berkata demikian. 

Sebuah prasangka. Datang dari anak bangsa terhadap anak bangsa. Prasangka yang menyiaratkan perasaan inferior, bahwa bule itu lebih baik daripada bangsa sendiri membuat saya geram dan sedih. Dan perasaan ini membuat saya bertanya kepada diri sendiri: apa yang dapat saya lakukan agar bangsa ini bangga terhadap dirinya sendiri dan membuang perasaan inferior terhadap bangsa asing, khususnya bule?

Tulisan ini dimuat di media online detik Travel dengan judul "Di Kuta, bule adalah Raja"
link : http://travel.detik.com/read/2014/01/04/113500/2414422/1025/di-kuta-bule-adalah-raja