Kamis, 31 Maret 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 05: Rote Road Trip.

Selepas pagi, kami kembali menyusuri jalanan Rote menuju timur. Jalan di Rote banyak yang sudah dilapisi aspal meski di sebagian kecil desa jalanannya masih berbatu. Boleh dibilang, pulau ini tidak terlalu terisolasi seperti yang pertama beta bayangkan. Beberapa jalanan memang tampak bergelombang dan sedikit berlubang. Mungkin bekas terlintasi truk-truk pengangkut logistik dari Kupang. Kebutuhan masyarakat Rote memang sangat tergantung pada Kupang, terutama menyangkut komoditi yang tidak bisa diproduksi alam Rote.

Bicara mengenai perjalanan, beta sebenarnya senang berkeliling suatu tempat dengan sepeda motor. Biasanya jika sedang berjalan sendiri, beta selalu mencari penyewaan motor untuk dibawa keliling. Semarang, Yogyakarta, Banyuwangi, Bali, Lombok, Kupang merupakan daerah yang sudah pernah beta kelilingi dengan sepeda motor sewaan. Moda transportasi ini beta pilih karena lebih praktis, cepat, dan lebih murah daripada harus menyewa mobil dengan pengemudinya.

Meskipun harus banyak bertanya, baik kepada global positioning system (GPS) atau gunakan penduduk sekitar (GPS), namun road trip merupakan aktivitas yang sangat beta sukai ketika travelling. Kadang nyasar dapat menjadi anugerah tersendiri. Apalagi jika beta menemukan tempat yang bagus ketika sedang nyasar. Rasanya puas dan ingin sekali rasanya berbagi, meski sering dituduh pamer, hehehe...

Namun karena kali ini beta pergi bersama tim, maka beta tidak bisa melakukan road trip dengan motor, tapi mobil. Perbedaannya tentu saja beta tidak bisa merasakan langsung udara Rote, pandangan yang agak terhalang kaca, dan toleransi terhadap keinginan peserta lain.

Satu yang tidak pernah berubah ialah hasrat memotret ketika melihat lanskap cantik di depan mata. Perjalanan kami di Rote memang banyak diwarnai oleh photo stop. Berhenti untuk memotret lanskap sekitar jalan yang kami lalui. Hampir setiap setengah jam, minimal ada satu kali berhenti untuk memotret. Untuk aktivitas yang satu ini, kami sepakat sehingga berhenti untuk memotret bukan hal yang tabu meski banyak menyita waktu dan menyebabkan kami sering molor mencapai lokasi..

Tapi siapa yang bisa menolak keindahan alam Rote? Mulai dari langit, laut, padang rumput, bahkan rumah-rumah penduduk terasa begitu seksi dalam pandangan mata. Kami berhenti ketika menjumpai (bekas dan calon) danau yang sedang kering. Memotret keliling, foto narsis sambil lompat-lompatan lalu tergesa kembali menuju mobil karena diingatkan waktu yang sudah berlalu.

Calon (atau bekas?) danau yang kami temui di perjalanan menuju Landuleko.

Ketika membelok di pantai Tunganamo, kami juga meminta Kevin, anak pak Sanu untuk berhenti sebentar untuk memotret. Pantai Tunganamo juga sempat beta singgahi beberapa bulan lalu pada kunjungan perdana beta ke Rote. Makan siang yang penuh keterbatasan (pagi itu semua warung tutup karena masyarakat pergi ibadah ke gereja) dengan mi instan mentah dan air mineral beta lakukan dibawah pohon duduk Tunganamo. Lokasinya dipinggir jalan raya dan depan laut membuat tempat ini terbilang ideal untuk beristirahat. Tunganamo, nice to meet you again.

Pantai Tunganamo. Laut disisi jalan persis.

Selesai laut, lalu padang rumput luas luar biasa dengan latar langit biru cantik merayu hati untuk tinggal dan diam. Menunggu untuk dinikmati. Menegur ketergesaan kami mengejar target tujuan. Seakan mengatakan why hurry? Please enjoy every second in this heavenly place. Karena setiap kita menikmati waktu, maka waktu itu tidak terbuang sia-sia. Bengong menikmati kecantikan alam, itu bukan buang-buang waktu bro!

Bengong menyaksikan hamparan sawah dipinggir jalan

Keindahan yang sayang untuk dilewatkan.

Dan yah, rumah! Rumah penduduk Rote yang begitu unik. Lantai dan temboknya banyak yang bermaterialkan tanah. Atapnya dari daun-daun kering. Tapi disamping rumah, teronggok parabola. Produk modern yang kontras sekali dengan rumah tradisional Rote yang menggunakan bahan-bahan seadanya. Tidak pakai bata, tidak pake semen, juga tidak pakai genteng.

Parabola disisi rumah sederhana yang materialnya serba alami

Belum lagi tiga salib besar yang banyak ditemukan disekitar rumah. Bagi beta, keberadaan salib-salib ini sangat fotogenik. Menurut cerita pak Sanu, salib itu dibuat dalam rangka menyambut hari raya Paskah. Jika sudah menjumpai banyak salib seperti ini, barulah terasa bahwa mayoritas penduduk Rote memeluk agama Kristen. Keanekaragaman lain yang beta rasakan karena selama ini beta dibesarkan dilingkungan yang mayoritas beragama Islam.

Keragaman Indonesia di pulau Rote.

Begitulah road trip. Kejutan demi kejutan terjadi tanpa diundang tapi digariskan oleh takdir. Dibimbing rencana besar Illahi terhadap perjalanan kami. Untungnya, semua kejutan ini menyenangkan sifatnya. Hal-hal baru. Pemandangan luar biasa. Hampir tidak ada kejadian tidak menyenangkan meskipun beta sempat jatuh di sawah dan telapak tangan beta sempat memar. Tapi secara keseluruhan perjalanan ini benar-benar perjalanan yang penuh kesyukuran. Terima kasih Tuhan, telah memberikan nikmat sebesar ini melalui program Indonesia Diversity goes to Rote!

Rabu, 30 Maret 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 04: Sebuah pagi di Batu Termanu

Malam berlalu dengan cepat. Tubuh yang lelah menjadikannya cepat berlalu. Pagi datang sebelum beta terbangun. Terlewat sudah momen menyapa matahari dari atas batu Termanu. Sedari malam, beta memang sudah tidak yakin dapat mengejar matahari terbit karena kondisi tubuh yang sudah terlalu lelah. Ditambah waktu tidur yang kurang sejak berangkat kemarin malam dari Jakarta, sukseslah beta kesiangan bangun di pagi pertama ini (*Hehehe, alasan).

Nah daripada menyesali waktu yang tak akan kembali, lebih baik beta mensyukuri nikmat yang masih ada. Hotel tempat beta menginap konsepnya semi-resort. Tidak ada rumah penduduk disekitar hotel. Yang ada malah padang gembala sapi dan kubangan kerbau. Kedua hewan ternak ini sudah mulai keluar untuk merumput dan berkubang. Pagi hari memang waktu yang menyenangkan untuk berkeliling area hotel. Matahari belum terlalu terik dan keindahan sinar matahari pagi juga belum berlalu. Meski tidak sekeren sinar matahari terbit, namun cahaya matahari pagi ini cukup bersahabat dengan lensa dan sensor kamera. Alhamduilllah.


Pagi yang indah dan cerah di batu Termanu

Dan begitulah, kegiatan memotret di Rote ini seakan tidak pernah selesai. Kegiatan hunting foto di sini seharusnya bisa berlangsung selama 24 jam. Beta yakin, fotografer lanskap akan mencintai Rote. Pehobi foto juga akan membutuhkan ruang data yang sangat besar karena keindahan Rote terlalu sayang dilewatkan begitu saja. Foto-foto-foto. Foto terus! Foto sampai baterai dan ruang data habis.

Sayangnya beta tidak bisa melakukan itu meskipun ingin. Ruang data harus dihemat karena ini baru memasuki hari kedua. Begitu pula dengan baterai. Harus hemat karena hari masih pagi dan mustahil mengisi ulang baterai selama perjalanan karena tidak ada sumber listrik di tempat-tempat tujuan terpencil di Rote ini.

Jadilah beta harus menghitung dan berhemat. Disini, beta belajar untuk mencermati komposisi dan sudut pengambilan gambar dengan lebih cermat. Satu-dua foto yang mewakili sudah cukup karena masih banyak lanskap lain yang menunggu untuk diabadikan.

Berkeliling hotel dengan mengambil foto secukupnya merupakan anugrah juga karena beta bisa menikmati suasana pagi dengan lebih santai. Kadang penting untuk meletakkan kamera dan menikmati ciptaan Tuhan hanya dengan kelima indra saja. Foto memang penting, tapi kali ini beta belajar untuk lebih bijak menyeimbangkan antara memotret dan duduk diam.

Sapi-sapi yang merumput disekitar hotel.

Kubangan kerbau, juga disekitar hotel.

Fresh shit. Sang ranjau darat Rote.

Padang rumput yang tidak terlalu luas, batu Termanu yang menjadi landmark lokasi ini merupakan daya tarik utama bagi beta di pagi ini. Dan kita, secara alamiah akan memotret sesuatu yang kita anggap menarik. Jadilah mereka menjadi subjek utama foto beta pagi ini.

Memotret dan duduk diam menikmati ciptaan Tuhan seperti ini membuat waktu terasa cepat berlalu. Pagi ini berlangsung dengan cepat karena penuh hal-hal menarik dan baru. Hal kecil dan sederhana sih,tapi tetap saja rasanya menyenangkan. Sampai tiba waktu beta untuk bersiap membersihkan diri lalu melanjutkan petualangan di hari kedua. Petualangan yang akan beta tuliskan pada artikel selanjutnya..

Senin, 28 Maret 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 03: Sunset di hari pertama.

Matahari sudah condong ke Barat ketika kami berhenti di pantai Lely, tidak jauh dari batu Termanu. Warna langit sudah mulai berubah. Birunya sudah mulai beranjak ungu. Bias sinar matahari terpantul awan memunculkan warna merah kekuningan. Golden hour segera tiba. Waktu favorit para fotografer ketika matahari menciptakan cahaya terbaiknya bagi mata dan kamera.

Jejak kaki hewan ternak banyak ditemukan disini. Batu Termanu terlihat dari kejauhan.

Jenis cahaya yang berbeda-beda datang pada waktu ini. Cahaya keras (hard light), cahaya lembut (soft light), cahaya pantul (reflection) dari air laut dan awan pun tersedia. Datang dengan lambat namun pergi dengan cepat. Waktu tidak mengizinkan matahari berlama-lama ada di garis cakrawala. Turun dengan tergesa. Meninggalkan cahaya yang membirukan langit, menjadikannya ungu lalu hitam. Memerahkan awan, membuatnya merah kekuningan sebelum menjadikannya kembali kelabu dalam balutan malam.

Pantai Lely menjadi lokasi sunset pertama kami di Rote

Malam pun akhirnya datang. Sinar matahari kini menyapa lewat pantulan bulan. Cahaya bintang masa lalu pun menyapa bumi. Disambut oleh dinginnya angin malam. Suara ombak seakan membisikkan kami “jangan terlalu lama disini, sudah gelap”. Tidak ada penerangan yang cukup disekitar pantai Lely. Bahkan bisa dikatakan belum ada penerangan yang cukup memadai di pantai-pantai pulau Rote.

Kepada langit, karang, ombak, awan dan pasir di pantai Lely, kami harus pamit. Seperti sang surya sudah beranjak dari cakrawala, kami pun harus pergi dari tempat ini. Meninggalkan kalian dalam kenangan. Kenangan yang akan terpicu kemunculannya oleh imaji yang kami abadikan melalui hasil teknologi bernama kamera. Terima kasih Tuhan, untuk hari yang indah ini.

Bagi saya, sebuah hari biasanya berakhir ketika matahari tenggelam, bukan pada tengah malam. Namun sepertinya hari ini belum berakhir. Kami masih akan menyantap makan malam sebelum kembali ke hotel untuk beristirahat. Agenda terakhir di hari yang penuh anugerah. Dan perut kami mengarahkan langkah menuju kota Ba’a.

Mencari makan di ibukota kabupaten Rote Ndao ini tidak sulit. Warung makanan laut (seafood) bertebaran meski masih bisa dihitung jari. Dan hanya warung makan jenis inilah yang kami hitung. Pokoknya, harus seafood malam ini! Bayangan cumi bakar sudah mengganggu imajinasi saya sejak beranjak dari pantai Lely. Rupanya teman-teman lain juga punya selera serupa terhadap makanan laut. Mantap lah ini!

Nona-nona yang akan memasakkan makan malam kami.

Tidak perlu lama, kami segera memilih dan duduk di salah satu warung seafood. Menu cumi bakar menjadi wajib bagi saya. Inilah jenis seafood yang paling saya gemari sebab makannya relatif mudah, tidak ada tulang, tidak ada cangkang. Tinggal hap!

Selamat makaaan!


Menu tersaji cepat. Dan dimakan dengan lebih cepat lagi. Beberapa ekor ikan dan cumi langsung tandas di piring kami. Menimbulkan rasa kenyang di perut dan rasa nikmat di lidah. Nikmat lain lagi di hari yang sama. Banyak sekali kenikmatan yang diberikan Illahi melalui Indonesia-Diversity hari ini. Dan ini baru hari pertama dari rencana empat hari kami di Rote. Terima kasih Tuhan, terima kasih Indonesia-Diversity. Hari pertama kami sungguh indah dan penuh ketakjuban. Cerita hari kedua beta sambung di tulisan selanjutnya yaa! Selamat malam, Rote.

Indonesia Diversity goes to Rote 02: Oesosole di Timur Rote.

Oesosole. Pantai pasir putih menghampar luas dengan kumpulan batu karang menjadikan pantai ini sebagai salah satu yang tercantik di pulau Rote. Sebuah karang berdiri tegak agak terpisah dari karang lainnya. Kaum romantis menamakan karang ini sebagai karang hati. Menurut saya, bentuknya lebih menyerupai jamur daripada hati (heart). Ah tapi biarkanlah kita sebut karang hati. Mudah-mudahan lebih menjual, hehehe..

Mengenai pantai ini, bentuknya tidak banyak berubah sejak terakhir kali beta mengunjungi tempat ini. Masih sepi. Masih luas. Dan masih belum terpelihara dengan baik. Beberapa sampah plastik terhampar disepanjang pantai. Bercampur dengan sampah alami seperti daun dan batang kayu. Tidak ada tempat sampah. Apalagi petugas kebersihan. Tampaknya pantai ini sering dikunjungi penduduk setempat pada akhir pekan. Sebab sampah yang terhampar masih terlihat baru, berasal dari daratan, bukan terbawa arus laut.

Rasanya agak aneh. Mengunjungi sebuah pantai “perawan” yang sudah tersebar beberapa sampah plastik. Seakan keperawanannya sudah ternoda tapi hanya satu kali saja. Sudah bukan lagi perawan tapi juga bukan milik siapa-siapa. Bayangan pengunjung pantai yang meninggalkan sampah plastik begitu saja di tempat ini sedikit merusak kebahagiaan saya siang ini. Sebenarnya sampah yang tersebar tidak begitu banyak, namun karena areanya sangat luas maka memungutinya akan memakan waktu yang cukup lama. Beta hanya membawa sampah seadanya saja dari pantai ini. Semoga pengelolaan sampah yang baik bisa dilakukan disini sebelum tempat ini ramai oleh pengunjung. Karena setiap pengunjung, pasti datang membawa sampah. Sayangnya, sedikit pengunjung yang membawa sampahnya pulang.

Terlepas dari masalah sampah, Oesosole memang indah. Airnya begitu menggoda. Deburan ombaknya seakan memanggil beta untuk berenang. Bagi beta, rayuannya lebih dahsyat daripada Ratu Pantai Selatan di pulau Jawa. Dulu beta tidak berani berenang karena takut terbawa arus dan tidak ada yang mengawasi. Kini, alasan itu gugur sudah. Waktunya membayar utang kepada pantai Oesosole: berenang!

And this is hard payment, dude! Pasir pantainya ternyata sangat gembur. Sekali langkah, kaki terperosok hingga setengah betis. Ombak di pinggirannya pun cukup kencang meski area landainya cukup luas. Rasanya setengah mati untuk berjalan dan setengah hidup untuk berenang. Alas kaki yang menemani beta berjalan dalam satu tahun ini sepertinya harus tutup usia disini. Kalah oleh tarikan pasir dan ombak Oesosole, sol sandal gunung beta terlepas menjadi tiga lapisan, hiks..


Menikmati laut Oesosole. Foto oleh Salman.

Tapi utang tetap utang. Meski tidak kuat berlama-lama, beta tetap berenang. Mencoba menikmati ciptaan Illahi di pulau paling selatan Nusantara. Untungnya matahari sudah tidak terlalu tegak diatas  kepala. Jadi beta hanya bergulat dengan pasir dan ombak. Itu pun sudah sangat melelahkan. Tidak sampai lima belas menit, beta sudah merasa cukup. Waktunya duduk santai sambil kembali menikmati Oesosole dengan cara yang berbeda.

Menikmati pasir pantai Oesosole, kita perlu sedikit berhati-hati dengan ranjau lunak: kotoran hewan. Kotoran sapi tersebar cukup banyak disini. Tidak perlu heran sebab hewan ternak dibiarkan bebas berkeliaran di Rote. Sapi, kuda, kambing, domba, babi banyak terlihat di sepanjang jalan. Kebetulan, beta menemukan kawanan sapi nyasar disini. Takut meninggalkan ranjau baru disekitar kami, beta berinisiatif mengarahkan kawanan sapi ke tempat lain. Mendadak jadi gembala, hahaha!


Mendadak gembala sapi. Foto oleh Salman

Oesosole selalu membuat beta betah berlama-lama. Menikmati hamparan pasir luas. Langit jernih. Laut biru. Debur ombak begitu meninabobokan. Daun-daun kering dipantai seakan menjadi alas alami. Tidak seempuk kasur, namun terasa lebih menyatu dengan alam. Sekedar memejamkan mata dan merebahkan tubuh saja terasa begitu nikmat. Damn, I want to live like this forever!


Narsis santai di pantai.

Tapi ada awal, tentu ada akhir karena kita hidup di dunia yang fana. Kami harus beranjak dari tempat ini karena hendak menikmati matahari terbenam di tempat lain. Beta meninggalkan tempat ini dengan berat hati. Tapi kita tidak boleh serakah. Sebuah kenangan lain sudah tercipta di tempat ini. Oesosole akan beta kenang dengan ingatan yang bahagia bercampur sedikit kecemasan soal sampahnya. Lalu kami bergerak ke Barat, menuju kawasan batu Termanu. Tempat dimana kami akan menginap malam ini.

Indonesia Diversity was here!


Perjalanan kembali terasa begitu cepat. Tidak terasa matahari sudah hampir kembali ke peraduan ketika kami memasuki kawasan batu Termanu. Kami mencari tempat terbuka untuk mengabadikan momen matahari tenggelam dan akhirnya menepi di pantai Lely. Disini kami berlomba untuk mengabadikan sunset pertama kami di Rote. Nah, cerita tentang sunset dan makan malam yang serba seafood akan beta tuturkan pada tulisan selanjutnya, oke? 

Indonesia Diversity goes to Rote 01: Oemau, lalu menuju Oesosole.

Setelah tiba di Ba’a, kami dijemput oleh Pak Jusuf Sanu. Putra Rote asli yang akan menjadi pemandu kami selama lima hari kedepan. Dari pak Sanu ini nantinya kami mendengar banyak cerita tentang Rote. Siapa sangka pulau sekecil ini memiliki 18 kerajaan dan sangat kaya dengan legenda lisan?

Siap bertualang bersama bapak Jusuf Sanu. Putra Rote asli yang menjadi pemandu kami kali ini.

Setiap tempat punya cerita. Setiap kerajaan memiliki sejarahnya masing-masing. Seringkali bersinggungan dengan perang dan perkawinan. Namun satu hal yang menjadi kesamaan mereka ialah kehidupan yang banyak berpusat pada pohon lontar.

Cerita-cerita itu terus mengalir selama perjalanan. Di mobil, di kapal, saat makan, saat santai, pak San terus bercerita tentang kebiasaan dan legenda Rote. Namun disini beta akan bercerita sedikit demi sedikit cerita pak Sanu yang banyak itu.

Tempat tujuan dan cerita tentang tempat itu sudah menjadi satu kesatuan. Tempat pertama yang kami kunjungi ialah mata air Oemau. Inilah sumber air kota Ba’a. Tempatnya berada dihutan yang teduh, dikelilingi oleh bambu di sekitar kolam mata air. Airnya jernih. Mengingatkan saya pada air terjun Mata Jitu di pulau Moyo. Kejernihan yang membuat saya tidak kuasa menahan godaan untuk ikut berendam dalam kolam ini. Bergabung bersama anak-anak sekolahan yang lebih dulu berenang. Segar sekali rasanya! Mungkin inilah air tersegar yang pernah saya rasakan sampai saat ini. Kesegaran yang tidak terlupakan. Mantaaapp!

Menikmati kejernihan Oemau. Foto oleh Salman.


Satu-satunya foto dalam air di perjalanan kali ini.


Sayang sekali kami diburu jadwal yang padat hari ini. Kesenangan berendam disini harus terhenti karena kami harus segera makan siang dan berangkat menuju Oesosole untuk menikmati pantai perawan di timur Rote. Selesai berenang, kami makan siang di Ba’a. Mencari makan di Rote harus hati-hati untuk yang muslim. Karena mayoritas masyarakat sini beragama Katolik, maka babi sudah jamak menjadi hidangan. Untuk itu kami harus lebih selektif dalam memilih tempat makan.

Setelah menemukan rumah makan yang bertanda halal, kami segera masuk dan memesan makanan. Menu seafood dan nasi campur banyak ditawarkan. Kami segera memesan menu yang penyajiannya tidak memakan banyak waktu karena sudah terlambat ke Oesosole. Begitu datang, Salman dan Dita melanjutkan ritual makan-makan orang Jakarta: memotret makanan sebelum memakannya.


Potret dulu sebelum disantap.

Kami makan dengan cepat karena harus bergegas. Menu dipesan. Makanan disajikan. Dipotret lalu dimakan. Dan selesailah sudah. Meskipun sempat diserang efek kenyang bego setelah makan (ditambah jam tidur kami yang masih kurang karena perjalanan tengah malam), tapi kami harus segera tersadar dan bergegas menuju tujuan yang kedua di Rote J

Perjalanan menuju Oesosole begitu indah dan menggoda kami untuk meminta bapak Sanu berhenti sebentar. Kenapa? Karena kami ingin memotret keindahan yang terhampar sepanjang jalan kenangan. Menelusuri jalan yang sama seperti saat pertama kali beta mengunjungi Rote, rasanya seperti memutar ulang kenangan. Keindahan Rote masih berlangsung. Namun karena berbeda musim, wajah cantiknya juga berubah. Jika dulu Rote tampak gersang dan seksi, kali ini kehijauan menghampar luas membuat Rote terasa subur dan teduh.


Berhenti untuk mengambil foto. Puluhan kali kejadian ini terulang disepanjang perjalanan.

Satu hal yang tidak berubah dari Rote ialah sengatan matahari yang sangat terik. Di musim hujan ataupun musim kemarau, matahari Rote tetap menyengat. Namun kali ini teriknya matahari ditutupi dengan teduhnya pepohonan dan rerumputan. Cukup sering kami mematikan pendingin udara dan memilih untuk membuka jendela lebar-lebar. Menikmati udara bersih pulau Rote. Jalanan beraspal mulus dan kosong serta udara bersih yang segar membuat nikmatnya perjalanan jadi maksimal. Hal yang mustahil kami dapatkan di Jakarta.

Oesosole akan segera datang. Padang luas disambung pasir dan laut menyambut kami sebelum mencapai kawanan karang yang menjadi landmark Oesosole. Tidak terasa kami segera mencapai tujuan kedua kami di hari ini. Perjalanan panjang dari Ba’a yang dipenuhi dengan photo stop segera berakhir tanpa terasa. Jauh menjadi dekat jika hati bahagia selama perjalanan.

Jalan menuju Oesosole..

Semakin dekat tujuan, semakin berdebar hati beta. Tujuh bulan lalu, ketika beta mengunjungi Oesosole seorang diri, beta amat kagum dengan keindahan yang sepi di tempat ini. Keluarga karang yang disebut pak Sanu sebagai batu cinta membuat beta amat merindukan pantai ini. Masihkah Oesosole tetap indah? Seperti apa bentuk kawanan batu/karang cinta Oesosole? Tunggu di tulisan selanjutnya yaa, hehehe..

Indonesia Diversity goes to Rote 00: Dari Soetta sampai Ba'a

Akhirnya tiba juga hari keberangkatan! Setelah diumumkan sebagai pemenang trip ke Rote yang diselenggarakan oleh Indonesia Diversity, saya sungguh tidak sabar menunggu datangnya hari ini. Meskipun bukan perjalanan pertama saya ke pulau terselatan Nusantara, namun kenangan keindahan Rote selalu membekas di hati. Pantai, padang rumput, lontar, langit yang cerah. Masihkah keindahan itu tetap sama setelah tujuh bulan beta pergi? We’ll see, we’ll see.


Mejeng bareng tim Indonesia Diversity yang melepas kami di bandara Soetta. Semoga lain kali bisa trip bareng :)

Keberangkatan dimulai dari pertemuan di bandara Soekarno-Hatta Tangerang. Disini, peserta trip berkumpul bersama perwakilan dari tim Indonesia Diversity yaitu mas Tiar, mas Ludi & mbak Sorta. Sayang sekali mas Dwi & mbak Senja berhalangan hadir. Tapi itu tidak mengurangi keceriaan dan antusiasme kami untuk berdiskusi tentang pariwisata Indonesia sambil menunggu check-in penerbangan menuju Kupang. Kami menumpang pesawat Batik Air pukul 02.30 WIB. Jadwal kedatangan di Kupang ialah 06.30 WITA.

Sampai di El Tari, kami kemudian menumpang taksi bandara menuju pelabuhan Tenau. Tarifnya sudah flat, Rp. 130.000,- (Maret 2016) dari bandara ke Tenau. Tarif resmi tentunya, meskipun taksi disini ialah mobil Avanza tapi boleh dibilang bandara ini relatif bersih dari taksi tembak. Harga taksi dari bandara menuju kota Kupang juga flat dengan harga yang lebih murah daripada ke Tenau. Taksi-taksi disini tidak menggunakan argo tapi tiket, seperti bis damri.

Perjalanan dari El Tari ke Tenau memakan waktu 30 menit. Lalu lintas kota Kupang relatif sepi pagi ini. Angkutan umum terlihat ramai begitu memasuki kampung Solor. Angkutan umum yang khas Kupang: penuh warna dan full musik! Konon, jika tidak begitu, tidak ada yang mau naik angkotnya, hahaha..

Keramaian kota Kupang yang relatif sepi.


Pelabuhan Tenau terletak di luar kota Kupang. Setelah melintasi Kupang yang sepi di pagi hari, kami memasuki jalan raya pelabuhan yang sangat indah. Laut disebelah kanan dan bukit disebelah kiri. Hijaunya rerumputan menghampar luas sebelum lautan biru. Sayang kami sedang tergesa mengejar kapal cepat dari Tenau. Jika tidak tergesa, mungkin kami akan menghabiskan waktu cukup lama disini untuk berburu foto. Ah, mungkin lain kali ada kesempatan..

Sesampainya di Tenau, kami langsung ke loket kapal cepat. Tiket untuk kursi regular Rp. 140,000,- dan VIP Rp. 160,000,-. Setelah membeli tiket, kami bergegas menuju kapal karena mengira sudah terlambat. Namun ketika hendak menelusuri dermaga menuju kapal, kami dilarang untuk naik oleh penjaga pelabuhan. Belum boleh naik, katanya. Jadilah kami menunggu dan ternyata calon penumpang lain juga sedang menunggu di ruang tunggu depan dermaga. Oalaaah, ternyata memang masih harus menunggu!

Tiket kapal cepat Express Bahari.

Waktu “boarding” kapal kami habiskan dengan memotret keliling dermaga. Siapa sangka jika dermaga tempat kapal-kapal besar bersandar lautnya bisa sebersih ini? Permukaan laut terlihat hijau dengan beberapa ikan lalu-lalang di dalamnya. Rumput laut dan beberapa bongkah terumbu karang juga terlihat hidup di bawah dermaga. Jauh sekali jika dibandingkan Angke atau Kaliadem di Jakarta.

Selain indah, udara pelabuhan juga terasa menyegarkan. Berlama-lama menunggu membuat kami mulai ngantuk. Apalagi kami kurang tidur karena keberangkatan tengah malam dan harus berganti moda transportasi. Tidur sejenak mungkin akan terasa enak sambil menunggu aba-aba keberangkatan. Inilah enaknya pergi dengan teman: lebih tenang ketika harus mencuri waktu istirahat atau meninggalkan tas untuk sejenak ke wc, hehehe..


Ruang tunggu calon penumpang beserta isinya

Akhirnya setelah menunggu sekitar satu jam, calon penumpang mulai beranjak menuju kapal. Seperti latah, kami mengikuti rombongan calon penumpang mengerubungi pintu masuk kapal. Sembari menunggu antrian, tidak lupa kami berfoto ria di depan kapal ini. Foto yang berarti ceria, narsis, dan eksis! Hahahaha!


Inilah kapal cepat Express Bahari
Ruang VIP kapal cepat Express Bahari yang kami tumpangi sangat nyaman. Kursi besar dan ruang kaki yang lega membuat kami dapat beristirahat dengan lebih baik dibandingkan dengan di pesawat ataupun taksi bandara. Tidak lama setelah meletakkan barang-barang dan mengambil posisi pewe. Kami segera terlelap, capek broooo..


Suasana di dalam ruang VIP kapal cepat.

Tidur yang singkat dan nyaman. Namun saya terbangun tidak lama sebelum kapal bersandar. Kebetulan kami terbangun ketika kapal melintasi batu Termanu. Jadilah kamera kami bekerja lagi. Memotret kedua batu Termanu dari arah laut. Meskipun goyangan kapal dan kaca jendela membuat hasil foto tidak maksimal, namun pemandangan ini terlalu sayang untuk dilewatkan..

Sekitar 10-15 menit setelah melewati batu Termanu, sampailah kami di pelabuhan Ba’a. Langit berawan dengan matahari yang cukup terik menyambut kami di pelabuhan ibukota kabupaten Rote. Seperti tidak percaya kami menginjakkan kaki di pulau paling selatan Indoensia. Apalagi disamping kapal kami ada kapal milik Angkatan Laut Republik Indonesia bersandar. Gagah dan membangkitkan nasionalisme. Seakan hendak menjaga batas selatan republik ini dari ancaman luar. Dan petualangan kami di Rote akan segera dimulai!

Seperti apa hari pertama tim Indonesia Diversity di Rote? Benarkah Rote masih perawan dan memiliki pantai yang indah? Apa yang sedang dilakukan kapal TNI AL di Rote? Tunggu kisah selanjutnya dari tim Indonesia Diversity, Trip ke Rote :)


Hello Rote, here we come!

Rabu, 02 Maret 2016

Caper Lampung 1 : Rush Trip Pahawang

Pada suatu hari...

Awalnya saya agak melongo ketika seorang teman mengajak ke Pahawang. Hah? Pahawang? Dimana tuh? Saya sama sekali tidak tahu soal tempat ini. Boro-boro tau, mendengar namanya saja baru sekali itu. Kawan saya hanya mengatakan lokasinya ada di Lampung. Tempatnya masih bagus, relatif lebih sepi daripada kepulauan Seribu di Jakarta.

Entah kenapa saya percaya dengan perkataan kawan saya itu. Soalnya saya punya teori, semakin jauh dari Jakarta, semakin baik kondisi terumbu karangnya (meskipun belum tentu demikian). Kesan Jakarta sebagai kota limbah tidak bisa dihapuskan begitu saja dari bayangan saya. Teluk Jakarta yang hitam, bau dan penuh sampah. Warna hitam bergeser kecokelatan di pulau-pulau terdekat. Empat pulau di taman arkeologi Onrust kini memiliki laut berwarna hijau kecokelatan. Tanda bahwa limbah Jakarta telah sampai ke sini.

Jadi, mari melarikan diri ke Lampung. Eh, tidak lari juga sih. Tapi rasanya cukup tergesa-gesa mengingat kami hanya punya waktu di akhir pekan saja. Berangkat hari Jumat malam. Dan harus kembali kemari pada Minggu malam. Bagi saya, ini termasuk sebagai rush trip. Trip rusuh. Serba cepat, kadang kurang terhayati. Tapi tetap berkesan. Perjalanan pertama selalu berkesan.

Perjalanan kami dimulai sejak kami berkumpul di pelabuhan Merak. Lalu menyebrang dengan ferry menuju Sumatra. Inilah pertama kali saya menjejakkan kaki di pulau Sumatra dan untungnya bukan hanya saya saja yang pertama kali menyebrang dari Merak ke Bakaheuni. Perilaku norak ala first timer visit sudah menjangkiti kami sejak melihat kapal-kapal ferry di Merak. Lalu ketika akan naik ke kapal di dermaga 3. Terakhir, ketika kami menginjakkan kaki di kapal. Alhamdulillah, kali ini saya punya teman norak berjamaah.

Norak bareng di ferry tengah malam

Short story of Ketapang

Setelah mencapai daratan Sumatra, perjalanan menuju pulau Pahawang dimulai dari pelabuhan Bakahuni menuju dermaga Ketapang. Jangan salah, ini bukan pelabuhan Ketapang yang ada di Banyuwangi lho, tapi di Lampung. Namanya memang sama dengan pelabuhan di ujung timur pulau Jawa, namun kondisinya mohon jangan dibandingkan. Dermaga Ketapang yang ini berada di sebuah desa. Desa Ketapang namanya. Letaknya di kabupaten Pesawaran, Lampung. Penamaan dermaga ini sendiri disesuaikan dengan lokasi desa tempat dermaga ini berada.

Dari cerita yang saya dengar dari penduduk desa, pada hari-hari biasa dermaga ini terbilang sepi. Kegiatannya paling-paling hanya penyebrangan rutin dari dan ke pulau-pulau sekitar. Penyebrangan ini kadang bersamaan dengan pengangkutan komoditas pulau seperti pisang dan cokelat. Oh iya, salah satu oleh-oleh yang terkenal khas dari Lampung ialah keripik pisang cokelat. Mmm...

Masih konon, kesibukan di dermaga dan desa ini meningkat tajam pada akhir pekan dan hari libur. Gelombang turis datang memadati desa ini. Kebanyakan berasal dari Jakarta. Jika sudah waktu wisata, sulit mencari parkir di desa ini. Lahan kosong di dermaga yang pertama-tama terisi penuh kendaraan. Lalu halaman-halaman rumah warga perlahan-lahan menjadi lahan parkir dadakan. Kepadatan kendaraan yang diparkir di dermaga dan halaman rumah warga sudah cukup untuk menggambarkan betapa padatnya pengunjung daerah ini pada waktu wisata.

Dermaga Ketapang pada waktu wisata. Penuh mobil parkir!

Pahawang, sang pulau utama

Pulau Pahawang merupakan salah satu gugusan pulau yang berada di teluk Rantai, kabupaten Pesawaran, Lampung. Jika merujuk pada trip pulau Pahawang, maka biasanya trip itu sudah termasuk kunjungan ke pulau-pulau sekitar seperti pulau Tegal, pulau Maitem, pulau Kelagian, pulau Pahawang Kecil, dan pulau Pahawang itu sendiri.

Perjalanan dari dermaga Ketapang menuju pulau Pahawang membutuhkan waktu sekitar satu jam dengan perahu nelayan bermesin 18pk. Pulau Pahawang merupakan pulau berpenghuni terpadat dibandingkan dengan pulau-pulau sekitarnya. Tidak heran jika kegiatan wisata dipusatkan di pulau ini. Hal ini dipertegas dengan kehadiran penginapan atau rumah tinggal untuk menampung wisatawan.

Sayangnya di pulau ini pasokan listrik masih bergantung pada genset. Belum ada aliran listrik dari PLN. Listrik hanya menyala sejak matahari terbenam hingga tengah malam. Oleh karena itu beberapa pengunjung memilih untuk menginap di sekitar dermaga Ketapang yang listriknya menyala selama 24 jam. Disana juga sudah tersedia beberapa penginapan yang cukup memadai.

Terumbu karang disekitar pulau Pahawang sebenarnya tidak terlalu sehat. Banyak karang mati bekas bom ikan. Untungnya penduduk disini sadar akan potensi wisata bahari (baca: snorkeling). Dibuatlah lokalisasi terumbu karang. Transplatasi karang difokuskan kepada anemon. Kenapa anemon? Karena anemon adalah rumah bagi ikan badut atau yang lebih populer disebut Nemo. Dan Nemo merupakan ikan primadona wisatawan. Anemon berbagai warna lengkap dengan Nemo dilestarikan disini. Wajar jika sopt ini lantas dinamakan sebagai taman Nemo.

Taman Nemo, icon Pahawang
Ragam warnanya lebih banyak dibandingkan lokasi snorkeling lain di Pahawang


Which one better?

Apakah setiap tempat wisata membutuhkan maskot? Lokasi khas yang menjadi andalan di foto-foto promosi wisata? Jika iya, mungkin taman anemon dibuat juga untuk tujuan itu. Sejujurnya, selain transplatasi karang tadi, tidak ada yang bagus di lokasi snorkeling ini. Karang-karang disekitarnya sudah banyak yang rusak. Entah karena jangkar kapal, bom ikan atau perilaku wisatawan yang kurang kesadaran lingkungannya. Yah, wisata selalu membawa dampak kerusakan, sekecil apa pun itu. Alam tidak lagi sama ketika sudah banyak dikunjungi manusia.

Hal ini kadang membuat saya enggan untuk menceritakan lokasi di tempat terpencil yang masih indah dan dapat dikatakan perawan. Perawan hampir selalu lebih menarik daripada janda. Sayangnya Pahawang sudah menjadi janda dengan banyak mantan. Mantan bom, mantan jangkar, dan terutama mantan pengunjung alias wisatawan.

Maka saya melanjutkan cerita saya dengan pengalaman snorkeling di lokasi lain sekitar Pahawang. Yang pertama adalah Tanjung Putus. Ini adalah lokasi terjauh dari dermaga Ketapang. Perjalanan dengan kapal menuju tempat ini memakan waktu sekitar 2-3 jam dari Ketapang dengan kapal 18 pk. Lokasi ini tergolong populer dan menjadi menu wajib bagi peserta trip Pahawang meskipun agak jauh. Kondisi terumbu karang di tempat ini relatif lebih baik daripada di taman Nemo. Sayangnya banyak sampah yang terbawa arus disini. Jadi meskipun karangnya sehat, namun kurang nyaman untuk snorkeling. Mungkin saya datang pada waktu yang salah..

Lokasi snorkeling kedua adalah disekitar pulau Kelagian kecil. Di tempat ini kondisi karang tidak sebagus di Tanjung Putus, namun karena tidak ada sampah yang terbawa arus, snorkeling jadi lebih menyenangkan disini. Sayangnya lokasinya terlalu dekat pantai dan dangkal sehingga banyak wisatawan yang berdiri dengan menginjak karang! Menyebalkan! Inilah sebabnya saya lebih suka snorkeling di tempat yang agak dalam.

Terakhir, kami snorkeling disekitar pulau Tegal. Dari ketiga lokasi snorkeling, menurut saya kondisi terumbu karang disini yang paling baik. Namun kombinasi antara tempatnya yang dangkal dan (lagi-lagi) sampah yang terbawa arus mengikis keindahan tempat ini. Keindahannya akan terus terkikis seiring dengan hantaman jangkar yang semakin sering dan injakan kaki wisatawan biadab. Kedatangan manusia selalu mendatangkan kerusakan bagi alam. Disitu kadang saya merasa sedih, persis seperti polisi wanita itu di televisi.

Snorkeling tanpa menyentuh biota laut, itu aturan emasnya bro!

Selain snorkeling, kegiatan lainnya ialah bermain-main di pulau. Foto-foto, berenang, atau sekedar duduk ngobrol sambil ngopi menjadi menu kegiatan lain dalam perjalanan kali ini. Pulau Pahawang kecil yang merupakan pulau terdekat dari pulau Pahawang menawarkan lokasi untuk selfie yang lumayan menyenangkan. Saat air laut surut, gosong pasirnya terhampar cukup panjang, nyaris menyentuh daratan Sumatra.

Gosong pasir di Pahawang Kecil

Kondisi hampir sama juga terdapat di pulau Maitem. Di pulau yang berada paling dekat dengan Ketapang ini, gosong pasirnya bahkan bisa mencapai daratan Sumatra. Tidak jarang pemancing datang dengan berjalan kaki dari Ketapang ke pulau ini. Gosong pasir di pulau Maitem lebih halus dan bersih jika dibandingkan dengan di pulau Pahawang kecil. Pemandangan sekitarnya juga lebih indah. Menurut saya, inilah lokasi terbaik untuk berburu foto.

Gosong pasir di Maitem. Lebih bersih daripada di Pahawang kecil.

Namun karena gosong pasirnya menghadap ke timur, tempat ini kurang cocok untuk menyaksikan matahari tenggelam. Lokasi terbaik untuk menikmati sunset ialah pulau Kelagian kecil. Disini saya menyaksikan matahari tenggelam dengan tenang. Ketika itu hanya ada dua kapal yang bersandar di pulau ini. Tenang, tidak terlalu ramai dan cerah. Kondisi terbaik untuk menikmati matahari tenggelam. Ini adalah salah satu sunset terbaik yang pernah saya saksikan.

Menunggu matahari terbenam di Kelagian kecil

Hanya kesan singkat, bukan kesimpulan

Rush Trip. Perjalanan singkat kurang dari tiga hari biasanya jarang membawa kesan mendalam bagi saya. Sebetulnya perjalanan kali ini pun kurang lebih sama. Akan lebih banyak terlupakan daripada teringat. Meskipun ada beberapa momen yang akan saya ingat dalam waktu yang lama, yaitu ketika matahari tenggelam di Kelagian kecil. Sisa ingatan lainnya mungkin akan tersimpan dalam foto.

Kesan tidak mendalam tapi termasuk penting ialah kesan pertama. Meskipun tidak selalu menggoda tapi kesan pertama seperti memberikan pemahaman awal. Penjelasan mengenai alam Lampung atau karakter orangnya tentu tidak mungkin saya simpulkan dalam perjalanan sesingkat ini. Tapi perjalanan kurang dari 48 jam di sekitar Pahawang telah memberikan pemahaman awal tentang Lampung. Nantinya pengalaman ini dapat saya bandingkan dengan perjalanan ke Krakatau dan Kiluan.

Kesan singkat tentang pulau-pulau disekitar teluk Lampung mungkin itu yang bisa saya dapatkan. Jika dilihat di peta, banyak sekali teluk-teluk kecil dalam teluk besar Lampung. Mungkin itu yang membuat arus di perairan Pahawang (dan Kiluan) relatif lebih tenang jika dibandingkan dengan pulau Harapan di kepulauan Seribu. Dari obrolan dengan orang-orang pulau, hampir tidak pernah kegiatan snorkeling batal karena arus. Berbeda dengan snorkeling di kepulauan Seribu yang lebih sering terganggu karena masalah arus.

Sampai tulisan ini dibuat, sudah lima kali saya mengunjungi Lampung. Tiga kali ke Pahawang, satu kali ke Kiluan dan satu kali ke Krakatau. Kesemuanya tergolong sebagai rush trip. Hal ini kadang membuat saya penasaran untuk tinggal lebih lama dan mencoba berbaur dengan mereka, bukan datang sebagai wisatawan tapi sebagai musafir. Pengelana yang bertahan hidup dengan berbaur dan beradaptasi. Musafir yang mempelajari kehidupan dari perjalanan.

Seperti apa kehidupan masyarakat Pahawang sebelum datang gelombang turis? Apa yang membedakan orang Lampung dengan orang Palembang? Dengan orang Jakarta? Dengan orang Jawa? Pertanyaan yang sama juga menyangkut soal alam dan para penghuni pulau selain manusia. Semua ini hanya bisa terjawab ketika saya bisa tinggal lebih lama bersama mereka. Ikut menjalani beberapa hari kehidupan mereka. Mendengarkan lebih banyak cerita dari bibir mereka. Sejarah saat ini. Menghayati. Memahami. Untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa saya dapatkan dari sebuah rush trip. Semoga besok ada kesempatan untuk berkelana mengenal Indonesia.