Sabtu, 30 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 13 (tamat): Tempat minum kambing yang masih perawan.

Titik paling ujung seringkali menggoda jiwa romantisme pelancong. Berada di ujung negeri, ketika tidak semua orang dapat mencapai tempat itu rasanya cukup membanggakan. Tidak berlebihan sih, hanya cukup saja rasa bangganya. Entah bangga karena apa, saya sendiri juga bingung. Tapi pokoknya, persinggahan di titik paling ujung bisa diceritakan dengan rasa bangga yang cukup untuk mengesankan orang lain.

Nah atas dasar inilah, penetapan titik paling ujung juga memiliki motif ekonomi. Apalagi kalo bukan kunjungan turis yang ingin merasakan romantisme seperti yang saya ceritakan di atas? Namun sejauh ini, baru Sabang lah yang serius menggarap potensi wisata yang didasarkan oleh romantisme di ujung negeri. Meskipun begitu, kesadaran warga akan potensi pariwisata titik terujung sudah ada. Paling tidak warga di selatan Nusantara.

Di Rote, penetapan titik paling selatan ternyata menjadi perebutan beberapa daerah. Tanjung Oebi’i, pulau Ndana dan pantai Nemberalla pernah bersaing untuk ditentukan sebagai titik paling selatan Nusantara. Pantai Nemberalla berada di ujung barat Rote. Termasuk ke dalam wilayah Rote Barat. Namun karena letak Rote melintang dari timur laut ke barat daya, maka dapat dikatakan Nemberalla juga berada di daerah selatan Rote.

Pulau Ndana lebih tepat dikatakan sebagai ujung selatan Nusantara karena letaknya secara geografis memang berada paling selatan. Namun pulau ini tidak memiliki penduduk asli dewasa ini. Pulau ini hanya dijaga oleh TNI sehingga kurang tepat jika tugu selatan dibangun ditempat ini untuk alasan pariwisata. Sebagaimana pulau Rondo yang terletak lebih barat daripada Sabang dan tugu 0 km. Pulau Ndana pun lebih diposisikan sebagai pertahanan negeri daripada pariwisata.

Sedangkan tanjung Oebi’i merupakan tempat paling selatan di Rote Selatan. Nah atas dasar administrasi wilayah, maka tempat ini juga mengklaim diri sebagai titik terselatan Nusantara. Tanjung ini berada di desa Dodaek. Sebenarnya tidak benar-benar berada di desa sih, karena letaknya masih lumayan jauh dari desa. Tapi karena desa Dodaek merupakan desa terakhir dan boleh dibilang merupakan pintu masuk menuju Tanjung Oebi’i, maka titik terselatan versi administrasi wilayah ini kerap disebut berada di Dodaek.

Oebi’i sendiri berarti tempat kambing mencari air. Oe = air. Bi’i = kambing. Topografinya memang berbukit-bukit terjal. Cocok untuk kambing yang memang pemanjat jempolan (saya baru tau tentang hal ini disana). Dan seperti tempat-tempat berstatus perawan, tempat ini cukup jauh dari kota. Meskipun begitu, sudah ada jalan dari tanah dan batu dan dapat dicapai dengan kendaraan bermotor.

Naik-turun.. jalan berbukit menuju Tanjung Oebi'i
Ujung jalan mulai terlihat di kejauhan

Jalan menuju Tanjung Oebi’i cukup indah. Tanjung ini terletak di balik bukit jika kita berjalan dari desa Dodaek sehingga kami berkesempatan untuk melihat garis pantai dari ketinggian. Dan pemandangan dari tempat yang tinggi tidak pernah mengecewakan saya. Selalu ada “uuuuuhhh”, “woooow”, “waaaahh”, “keerreeenn” yang disertai permintaan untuk berhenti sebentar demi mengambil foto. Foto pemandangan dan foto narsis. Lalu kembali melanjutkan perjalanan. Same old thing yang membuat waktu tempuh kami molor dari jadwal.

Dari atas bukit menuju tanjung Oebi'i. Pandangan dari ketinggian tidak pernah mengecewakan.

Tanjung Oebi’i sendiri merupakan ujung jalan (bukan ujung aspal karena aspal sudah berakhir sejak tadi) yang berasal dari desa Dodaek. Sesuai namanya, tanjung ini didominasi oleh tonjolan-tonjolan karang tajam dan gerombolan kambing. Tempat ini merupakan habitat asli mereka. Kambing-kambing ini berkeliaran bebas dan tidak tampak takut dengan manusia. Tapi sepertinya hewan-hewan berkaki empat di Rote sudah terbiasa dengan kehadiran manusia, tidak hanya kambing Oebi’i saja.

Habitat asli kambing, sang pemanjat ulung.

Tempat kambing mencari air ini masih benar-benar alami. Satu-satunya peninggalan manusia ditempat ini ialah dua penanda batas dari semen. Belum tampak tugu seperti 0 km di Sabang ataupun patung-patung penjaga perbatasan seperti di pulau Ndana, Miangas, Merauke, ataupun Sebatik. Kesan alami dan perawan sangat terasa.

Titik selatan versi tanjung Oebi'i

Penanda buatan. Sederhana.

Menikmati keaslian alam seperti ini, ada rasa tidak rela jika tempat ini berdiri bangunan atau tugu buatan manusia. Kadang saya merasa, tempat ini lebih baik dibiarkan seperti ini saja. Keberadaan bangunan akan mengurangi keindahan tempat ini. Biarlah, pulau Ndana saja yang ditetapkan sebagai titik paling selatan Nusantara. Atau jika harus dibangun tugu selatan, sebaiknya bangun saja di kawasan Nemberalla yang memang sudah terkondisikan sebagai kawasan pariwisata.

Perawan dan permata di selatan Rote.
Wefie terakhir

Tanjung Oebi’i, teruslah menjadi perawan dan permata di selatan Rote.

Selasa, 12 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 12: Dan pulau terselatan itu ternyata bukan Rote..

Rote seringkali disebut sebagai pulau paling selatan NKRI namun kenyataannya tidak demikian. Pulau terselatan ialah pulau Ndana. Pulau ini sempat disebut tidak berpenghuni. Kini pulau Ndana dijaga oleh marinir dan angkatan laut sebagai penjaga garis batas Nusantara. Dengan begitu pulau ini memiliki penghuninya meski hanya sementara. Ya, karena keberadaan penjaga perbatasan ini disesuaikan dengan masa tugasnya. Tim ini akan digantikan tim lain setelah penugasan mereka selesai.

Selain marinir dan AL, tidak ada penduduk sipil yang mendiami pulau Ndana. Setidaknya pada masa kini. Lalu apakah dulu pulau ini berpenghuni? Tentang hal ini, masyarakat Rote memiliki folklore-nya sendiri. Sayangnya folklore ini tidak bisa beta ceritakan disini karena suatu alasan. Namun jika ingin tau lebih jauh, silahkan baca buku Paul Hanning tentang legenda Sangguana atau silahkan browsing di internet dengan kata kunci Pulau Ndana, Sangguana dan Danau Merah Ndana.

Selain cerita pulau Ndana, ternyata masih banyak cerita-cerita lain dalam tradisi lisan Rote. Selama perjalanan beberapa hari ini, tidak terhitung berapa banyak cerita rakyat yang beta dengar dari penduduk Rote. Namun sayangnya cerita-cerita ini baru dituturkan secara lisan dan belum banyak ditulis. Apalagi yang ditulis oleh anak bangsa. Kebanyakan tulisan tentang Rote/Roti  dan daerah-daerah terpencil lainnya di Indonesia ditulis oleh peneliti asing. Mulai dari yang serius seperti Antropolog, Naturalis, Sejarawan, sampai pelancong dan musafir. Karena itu, yuk kita tulis dan kumpulkan pengetahuan yang tersebar di Nusantara. Karena inilah wawasan Nusantara yang sebenarnya.

Kembali ke pulau Ndana. Kami mengunjungi pulau itu dari pantai Nemberalla menggunakan kapal milik resort. Perjalanan ke pulau Ndana memakan waktu kira-kira satu jam. Perjalanan laut seperti ini selalu tentative waktunya. Tergantung ombak dan kapal yang digunakan. Jadi perkiraan waktunya jangan disamakan dengan perjalanan darat yang lebih mudah diprediksi.

Sebenarnya pantai terdekat dari pulau Ndana ialah Oeseli. Namun kami memutuskan berangkat dari Nemberalla karena hendak menggunakan fasilitas kapal dari resort. Di Oeseli sendiri belum ada penginapan. Otomatis, kapal-kapal di Oeseli hanya ada milik nelayan yang tidak dilengkapi dengan standar keamanan seperti jaket pelampung. Oleh karena itu, lebih aman menyebrang dari Nemberalla meski jaraknya lebih jauh.

Berangkat dengan penuh keceriaan dari Nemberalla meski langit berawan

Perjalanan laut ini cukup tenang meskipun kami melewati jalur selancar Bo’a. Sayangnya kami tidak bertemu dengan peselancar pagi itu. Cukup aneh sebetulnya ketika menonton peselancar beraksi. Turis menonton turis. Hahahaha!

Tentang selancar, beta mendapat cerita yang cukup unik. Konon, orang yang pertama berselancar di Rote ialah seorang bule (yang namanya tidak beta dapatkan dari cerita ini). Bule tersebut meletakkan papan selancarnya di atas kuda (karena waktu itu kendaraan bermotor langka) lantas menuju Nemberalla dari Ba’a. Orang-orang yang melihat kuda si bule mengira dia membawa perahu di atas kuda. Walhasil kabar mengenai orang yang berperahu di darat pun menjadi kabar angin yang makin kencang bertiup. Semakin banyak orang yang menonton si bule dengan kuda dan selancarnya. Ketika berselancar, gosip pun berkembang menjadi: si bule berselancar dari Kupang hingga Nemberalla. Hahaha! Namanya juga kabar angin. Namun begitulah sifat tradisi lisan: mudah berubah sehingga dapat tercipta banyak versi.

Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi penulis, terutama yang mencari keaslian dari cerita yang beredar. Apalagi jika bisa dibuktikan melalui hasil peninggalan berupa reruntuhan bangunan atau hal lain. Seru sekali kedengerannya ya? Mungkin suatu saat beta akan melakukan itu. Tapi sekarang, cukuplah beta bercerita tentang pengalaman melancong ke pulau Ndana saja.

Mendarat di pulau Ndana, kami langsung disambut beberapa anggota TNI yang sedang berenang disekitar pulau. Begitu merapat, mereka langsung sigap membantu menautkan tali kapal dan membantu kami turun dari kapal. Agak takjub sebetulnya menerima perlakuan seperti itu. Jujur, kami merasa sangat diterima meskipun belum memberi kabar apapun kepada mereka. Warm welcome from them.


Kami lalu menuju markas mereka sambil mendengarkan banyak penjelasan tentang Ndana. Tentang jejak rusa yang banyak terlihat di hutan, namun jarang terlihat fisiknya (lah, serem amat). Tentang reruntuhan bangunan di dalam hutan. Danau merah yang katanya tidak terlalu merah. Tentang tempat snorkeling keren di bagian utara dan barat laut pulau (yang tidak sempat kami datangi, hiks..). Terselip juga curhatan mereka tentang suka-duka menjaga pulau tak berpenghuni. Namun sekali lagi, beta tidak bisa bercerita terlalu detail karena suatu alasan. Ah, mungkin lebih baik foto beta saja yang bercerita kali ini: silahkan disimak dan sampai jumpa pada artikel Dodaek!

Sambutan selamat datang di pulau Ndana
Foto bareng di markas Marinir pulau Ndana
Peta situasi pulau Rote dan sekitarnya
Patung Jendral Sudirman yang menjadi ikon pulau Ndana
Sisi lain dari patung sang Jendral
Foto keluarga sekaligus kesempatan narsis terakhir di pulau ini

Minggu, 10 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 11: Menikmati anugerah Illahi di Nemberalla.

Akhirnya Nemberalla. Pantai yang menjadi icon pariwisata Rote menjadi penutup kunjungan kami di hari ini. Malam ini kami akan menginap di Anugrah Resort. Satu dari sedikit resort di Nemberalla yang dimiliki oleh warga negara Indonesia. Benar, kebanyakan resort di kawasan ini dimiliki oleh orang asing. Nemberalla bisa dikatakan sebagai Kuta-nya Rote. Primadona pariwisata Rote yang sebenarnya sudah go internasional di kalangan peselancar.

Selancar lah alasan Nemberalla banyak disinggahi orang asing. Konon, paling banyak dari Australia. Tidak heran sebab Rote memang berbatasan dengan Down Under. Dari cerita penduduk sekitar, bule-bule dari Jerman, Belgia, Italia, juga “memiliki” resort disini. Entah yang mana karena kami tidak terlalu lama menjelajahi pantai. Matahari yang sudah sangat condong di barat penyebabnya. Kami memilih untuk mengejar  momen matahari terbenam daripada menggali informasi tentang resort-resort Nemberalla. Meskipun begitu, beta sempat mengabadikan "resort"-nya petani rumput laut di belakang resort beneran.

Gubuk petani rumput laut di belakang resort.

Bicara tentang momen tenggelamnya sang surya di ufuk barat, Rote merupakan salah satu jawara Indonesia. Perjalanan kami kali ini membuktikan bahwa langit Rote begitu indah dimanapun kami berada. Rote Timur, Rote Tengah, Rote Barat Daya, Rote Selatan, semuanya indah. Mungkin ini agak aneh karena pergerakan awan dan warna langit seperti ini dapat terjadi “dimana saja” tapi di Rote, paling tidak selama kunjungan singkat kami, langitnya selalu indah.


Pergantian siang dan malam di Nemberalla

Keindahan ini mencapai puncaknya ketika cahaya matahari mulai miring di ufuk barat. Golden hour, begitu kaum fotografi menamakannya. Momen ketika cahaya matahari datang dengan lembut. Menimbulkan refleksi, silhouette, dan pendaran cahaya pada awan-awan di langit. Waktu sempurna untuk berburu foto lanskap. Momen romantis yang penuh rasa syukur.

Langit yang "selalu indah" di Rote. What a wonderful life.

Rasa syukur. Itulah yang selalu beta rasakan setiap menyaksikan matahari terbenam. Terima kasih Tuhan,beta telah diberikan kesempatan menyaksikan keindahan ini. Melewatkan satu hari lagi yang penuh dengan nikmat. Masih diberikan waktu, kesehatan, dan kesempurnaan indra. And I think to myself, what a wonderful life.

Selama perjalanan ke Rote, beta kira inilah sunset paling nyaman karena kami menikmatinya dengan kondisi tubuh yang sudah bersih. Karena lokasi pantainya memang di belakang resort, maka kami menyempatkan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum menikmati sunset. Jadi rasanya lebih segar dan mood motret pun jadi lebih bagus.

Sayangnya beta terlambat keluar kamar sehingga gagal mencapai ujung Nemberalla yang konon ada lokasi untuk snorkeling. Lokasi yang dulu juga beta gagal singgahi karena sudah terlalu sore ketika mencapai Nemberalla. Dan kini, beta gagal membayar hutang penasaran ini. Pertanda beta harus kembali lagi suatu hari nanti? In shaa Allah. Ijinkan hamba kembali, yaa Illahi.


Meskipun tidak berhasil membayar utang penasaran, sunset ini tetaplah istimewa. Jajaran kapal nelayan menjadi latar depan sementara fokus utamanya pada sinar matahari di balik awan. Ray of light behind the clouds. Sumber sinarnya tidak terlihat tapi pancaran sinarnya membiaskan keindahan yang setiap orang pasti ingin melihatnya. Golden hour, magic moment. Terdengar klise, namun begitulah keindahan yang tersaji di depan mata. Menyaksikan matahari terbenam ialah waktu yang paling tepat untuk mensyukuri nikmat kehidupan. Terima kasih bunda, telah melahirkan beta. Terima kasih Tuhan, telah memberikan beta kehidupan. Dan terima kasih pembaca, telah membaca tulisan ini. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya!

Selasa, 05 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 10: Jejak manusia di Bo'a.

Bo’a. Jangan sampai kepeleset lidah menyebutnya jadi boa karena artinya sudah lain. Boa, dalam bahasa Rote ialah alat kelamin pria. Sedangkan Bo’a adalah nama pantai surfing dekat Nemberalla. Penamaan pantai mengikuti nama desa tempat pantai ini berada. Suatu hal yang jamak terjadi di setiap daerah.

Bo’a sendiri terkenal sebagai pantai selancar. Konon, ombak pantai ini lebih besar dan lebih baik daripada Nemberalla. Sayangnya kami datang bukan pada musim selancar sehingga pantai ini relatif sepi. Pak Sanu lalu mengajak kami menuju batu pintu. Menurut beliau, tempat ini merupakan objek wisata baru di kawasan pantai Bo’a. Bentuknya berupa batu karang yang berlubang sehingga bisa dilalui orang.

Imajinasi beta langsung berkelana. Membayangkan gua besar di sela-sela karang. Besar dan megah seperti batu-batu granit di Belitong. Terletak di tepi pantai. Seakan terhampar dunia misterius yang terhubung dengan laut. Laut di dalam gua besar. Begitulah fantasi beta membayangkan objek wisata yang katanya baru ditemukan ini.

Tidak sebesar batu-batu granit di Belitong, tapi juga tidak kalah cantik

Dan hasilnya: zonk! Batu karangnya memang besar. Lubangnya juga besar. Tapi tidak dalam. Beberapa langkah saja kita sudah keluar dari “gua” menuju pantai. Pasir pantainya agak kasar, tapi lanskap yang tersaji tidak mengecewakan.

Persiapan makan siang sambil menikmati ciptaan Illahi

Kaktus tumbuh di sela-sela karang

Seperti biasa, langit, laut, pasir dan karang kembali menyajikan visual yang memanjakan mata dan menyejukkan hati. Kembali, kami ingin berlama-lama disini. Untungnya kunjungan kami tepat jam makan siang. Tempat ini memang pas untuk menyantap makan siang yang telah disiapkan oleh ibu Sanu. Berlindung dalam bayangan yang diciptakan karang-karang besar, kami mulai menyantap makan siang kami dengan penuh rasa syukur.

Tapi sayangnya banyak kesedihan mengiringi kunjungan kami kemari. Terlalu banyak jejak manusia disini. Inilah rupa objek wisata yang populer sebelum terkelola. Plastik, sang musuh alam bertebaran dengan jahanam disini. Plastik, yang menandakan kehadiran manusia. Jejak manusia yang paling biadab bertebaran disana-sini. Belum lagi vandalism di dinding karang. Berapa lama lagi tempat ini berubah menjadi tempat pembuangan akhir?

Jejak vandalisme di mulut goa

Jejak manusia lainnya

Pariwisata, memang harus menyiapkan diri jauh sebelum gelombang turis datang. Sebelum sebuah tempat menjadi populer, banyak dibicarakan lalu ramai-ramai didatangi. Persiapannya tidak hanya sekedar menyediakan tempat sampah atau himbauan untuk tidak mencorat-coret apapun yang bisa dicoret. Persiapannya meliputi perilaku manusia yang mengelola (penduduk setempat), perilaku turis (mengajak pelancong agar menjaga tempat wisata), ketersediaan fasilitas penunjang (seperti tempat sampah dan wc), infrastruktur (jalan, tempat parkir, penerangan, dll).

Semua itu harus disiapkan sebelum sebuah tempat siap menjadi tujuan para turis. Menurut beta, rasa memiliki dan keinginan untuk menjaga dari masyarakat sekitar lah yang paling penting dan pertama harus ditumbuhkan. Percuma jika fasilitas dan infrastruktur lengkap namun perilaku penjaganya masih payah. Sense of belonging, adalah modal awal untuk membentuk perilaku menjaga dan merawat. Semoga keindahan ini dapat dinikmati hingga anak cucu beta nanti. Aamiin.

Senin, 04 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 09: Di kiri laut, di kanan laut. Ditengah-tengahnya padang rumput. Oeseli!

Di hari ketiga, jadwal kami tidak terlalu padat. Hanya tiga destinasi yang kesemuanya adalah pantai. Pantai-pantai di pulau Rote memang juara banget! Kali ini yang menjadi incaran kami ialah pantai Oeseli, Bo’a dan Nemberalla. Pantai terakhir ialah pantai paling populer sekaligus menjadi icon pariwisata Rote. Rencananya kami akan menyaksikan matahari terbenam disini dan menginap di salah satu resortnya.

Tapi itu baru terjadi sore nanti. Pagi ini kami bersiap menuju Oeseli di Rote Barat Daya. Pantai ini juga sempat beta kunjungi ketika pertama kali berkunjung ke Rote. Menurut beta, inilah pantai terindah Rote. Sekaligus spot terbaik kedua setelah tangga 300. Dan sekarang beta akan kembali kesana, yeah!

Perjalanan ke Oeseli tidak sejauh perjalanan ke Papela atau Oesosole di Rote Timur. Karena terletak di Rote Barat Daya, kami sudah sampai di tempat ini sebelum siang. Namun matahari sudah bersinar terik. Membuat kami mencari keteduhan sebagaimana sapi-sapi yang berada disana.

Laut dan padang rumput di menghampar dibawah langit biru!

Oeseli. Tempat dimana padang rumput berada diantara dua pantai dan laut. Birunya langit, hijaunya bumi dan beningnya laut hijau tosca bercampur pasir cokelat muda terhampar sempurna. Membuat betah untuk berlama-lama di tempat ini. Berteduh dalam bayangan pohon bersama kawanan sapi.

The perfect colors of Oeseli

Merumput di tengah terik matahari

Kami menghabiskan setengah siang disini. Waktu untuk memotret sebenarnya cukup banyak, tapi karena terlalu banyak titik yang keren untuk difoto, maka setengah siang tampaknya jauh dari cukup. Kedua pantai ini letaknya cukup memakan waktu jika dieksplore dengan berjalan kaki. Maka kami memilih untuk membawa mobil sambil foto-foto. Sebenarnya kurang memuaskan tapi lagi-lagi kami harus berkompromi dengan jadwal.

So little time, so many beautiful spot.
Belum puas memotret tapi sudah harus pergi..
Pantai kedua sebenarnya kalah indah dengan pantai pertama. Di tempat ini akan dibangun pelabuhan, namun tampaknya tidak banyak perubahan pada bangunan calon pelabuhan Oeseli sejak tujuh bulan lalu. Masih setengah jadi meskipun betonnya sudah menghampar. Oeseli merupakan tempat kampung yang paling dekat dengan pulau Ndana. Pulau terluar NKRI yang hanya dijaga oleh tentara nasional Indonesia. Boleh dibilang, pantai ini sangat strategis dalam mendukung ketahanan republik.


Sayangnya tidak banyak foto yang kami ambil disini. Kami juga tidak sempat berramah tamah dengan penduduk sekitar untuk menggali lebih dalam cerita di tempat ini. Tapi mungkin kami tidak boleh serakah. Mencari cerita membutuhkan waktu. Mengejar destinasi juga demikian. Tidak mungkin kami peroleh keduanya dengan waktu yang terbatas. Maka cukuplah kami sajikan foto-foto Oeseli tanpa lebih banyak narasi. Biarkan foto kami yang bercerita kali ini. Karena kami harus menuju pantai Bo’a dan makan siang disana. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya tentang Bo’a!

Minggu, 03 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 08: Paplea & mulut seribu!

Mulut seribu di Rote Timur ialah tujuan terakhir kami di hari kedua ini. Untuk mencapai mulut seribu, kami menuju pelabuhan Papela. Pelabuhan ini termasuk ke dalam pelabuhan rakyat. Mayoritas penduduknya berasal dari Bugis dan menganut agama Islam. Desa yang cukup langka di Nusa Tenggara Timur, namun suku Bugis dan Makassar terkenal sebagai pelaut ulung dari jaman nenek moyang. Tidak heran jika daerah pesisir di kepulauan Nusantara terdapat kampung-kampung Bugis. Kampung sejenis ini pernah beta temukan di pesisir Ende, kampung Komodo, dan pulau Kelapa Dua di kepulauan Seribu.

Kembali ke Papela. Hujan sedang menyambut kami ketika sampai disini. Sambutan lain berasal dari kotoran kambing yang berserak dipintu masuk pelabuhan yang sebenarnya tanpa pintu. Beta ingat, disinilah beta nyasar tujuh bulan lalu ketika hendak mencapai pantai Oesosole. Lagi-lagi nostalgia. Mungkin kunjungan ini bentuk jawaban atas doa dan harapan. Tujuh bulan lalu, ketika beta meninggalkan Rote, beta berdoa semoga dapat kembali kemari lagi dengan tim, tidak sendiri. Alhamdulillah, doa tersebut dijawab dengan cara yang luar biasa!

Awan kelabu menyambut kami di Papela

Berbeda dengan tujuh bulan lalu, kali ini cuacanya lebih teduh. Teduh di darat, teduh di langit. Hujan sedang belum juga berhenti sehingga kami memilih untuk menunggu sambil makan siang. Namun ketika hujan pun, kegiatan di pelabuhan tidak berhenti. Bocah-bocah desa bermain hujan dengan gembira. Di ujung dermaga, angkatan laut Republik Indonesia rupanya sedang mensurvey dermaga Papela. Konon untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat menjadi pelabuhan yang lebih baik lagi. Tidak sekedar pelabuhan nelayan saja. Semoga usaha ini dapat berujung pada kemudahan transportasi di kepulauan tenggara. Aamiin.

Bocah-bocah bermain dengan gembira di bawah rintik hujan. Papela, Rote Timur.

Setelah menunggu kira-kira satu jam, hujan pun reda. Berganti titik-titik gerimis. Langit masih kelabu, namun sudah berkurang kesedihannya dibandingkan dengan saat pertama kali kami datang. Kami lantas bersiap menaiki kapal milik pak Dahlan, ketua RT 02 di kampung Papela ini. Melalui beliau, kami mendengarkan banyak cerita tentang tempat ini. Terlambat sekitar satu jam setengah dari jadwal semula, kami pun berangkat menuju mulut seribu. And I have no idea, what is the mulut seribu?

Pantai? Pulau? Atau yang lain? Jawaban yang beta peroleh dari pak Sanu, mulut seribu ialah pantai. Pantai? Nama yang unik untuk sebauh pantai. Tapi nanti beta sadari bahwa daripada pantai, mulut seribu lebih cocok dinamakan labirin. Tapi itu baru beta sadari dalam ketika mengeksplor mulut seribu sebentar lagi. Sekarang, mari kita berangkat!

Ada dua jalur untuk mencapai mulut seribu dari Papela. Jalur pertama lebih dekat, ke arah barat laut. Melalui jalur ini kita dapat langsung mencapai mulut seribu, namun ketika itu kedalaman airnya kurang. Kapal yang kami tumpangi tidak bisa melewati jalur itu. Akibatnya kami harus mengambil arah timur laut. Memutari pulau Usu. Dan itu menjadi berkah tersendiri bagi kami.

Kepo di atas kapal. Foto oleh Salman.

Memang waktu tempuh menjadi lebih lama, tapi kami disajikan pemandangan luar biasa di pulau Usu. Tebing karang yang menjulang tinggi. Sudah mulai berwarna hijau dan ditumbuhi pepohonan dan rumput. Indah berkali-kali. Rasanya seperti berada di jaman dinosaurus. Ah, mungkin beta karena beta terkesan dengan film-film Steven Spilberg sejak jaman sekolah, terutama film Jurassic Park dan sekuel-sekuelnya. Sisi luar pulau Usu mirip sekali dengan pulau Dinosaurus Spilberg!

Rote Jurassic Island

Selain daya tarik lanskap pulau Usu, ternyata panorama bawah laut selat Pukuafu yang kami lalui juga luar biasa indah. Terumbu karang terlihat jelas dari atas kapal. Visibilitynya bagus sekali siang itu. Sayang kami tidak membawa perlengkapan snorkeling. Jika tidak, mungkin kami sudah meminta berhenti untuk snorkeling di tempat ini.

Namun sesungguhnya, keindahan ini juga memiliki bahayanya sendiri. Selat Pukuafu berada di pertemuan tiga laut, yaitu laut Sawu, laut Timor dan Samudra Hindia. Selat ini juga dikenal sebagai selat pencabut nyawa dan menjadi momok tersendiri di Nusa Tenggara Timur. Kecelakaan kapal sering terjadi disini. Dari penelusuran beta, setidaknya ada tiga berita mengenai tenggelamnya kapal feri di selat Pukuafu. Januari 2006, JM Fery tenggelam dan hampir seratus orang hilang. April 2012, kapal barang yang memuat BBM dari Kupang menuju Rote tenggelam. Untungnya ABK berhasil diselamatkan oleh tim SAR Kupang. Yang terakhir Agustus 2013. Kapal tenggelam antara pulau Semau dan pulau Kambing dalam perjalanan dari Kupang menuju Rote. Cukup mengerikan? Kini beta bersyukur karena kami tidak membawa peralatan snorkeling sehingga tidak meminta berhenti di selat maut ini.

Nama Pukuafu sendiri (konon) berasal dari bahasa Portugis, yaitu “puke” yang berarti muntah dan “afu” yang artinya berulang. Jadi Pukuafu artinya terus-menerus muntah. Konon, anak buah Magelhans yang menamakannya demikian ketika mereka dalam perjalanan pulang ke Eropa dari Filipina. Ketika itu kapal mereka dihantam ombak besar sehingga disini dan terus-menerus muntah. Tidak heran jika penumpang kapal terus-terusan muntah jika dihantam ombak besar terus-menerus. Jika ombaknya sering menenggelamkan kapal, maka muntah yang tak kunjung berhenti merupakan derita yang amat kecil.

Nah, untungnya kami tidak merasakan kedua hal itu kali ini. Alhamdulillah, segala puji bagi Illahi yang Maha Kuasa. Selat ini begitu tenang sehingga membuat kami dapat menikmati alam bawah laut tanpa harus menyelam dengan takjub. Bahkan beta berhasil berselfie ria di atas kapal yang sedang berjalan dengan latar belakang terumbu karang di bawah air. Visibilitynya sangat baik sehingga mampu tertangkap kamera dari atas kapal yang sedang berjalan. Luar biasa!

Narsis dengan latar belakang terumbu karang. Tapi kali ini bukan underwater

Dan akhirnya setelah melewati tempat menakjubkan ini, sampailah kami di mulut seribu. Sebuah labirin laut. Dipagari oleh karang-karang besar disekitarnya. Menciptakan banyak celah dan jalan masuk ke daratan Rote. Inilah asal mula penamaan mulut seribu, karena tempat ini punya banyak mulut (celah) yang membingungkan. Arah mana yang harus diambil? Dan seperti labirin, jika salah mengambil arah maka konsekuensinya ialah tersesat. Tidak heran karena celah yang terdapat disini cukup membingungkan.

Bahkan ada opini yang mengatakan bahwa tempat ini ada penunggunya. Jika kita tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada penunggu tempat ini, niscaya kapal kita akan tersesat dalam labirin ini. Mistis? Bisa jadi. Oleh karena itu kami memiliki alasan kuat untuk menyewa kapal milik penduduk setempat yang sudah hapal seluk-beluk labirin ini.

Mengunjungi mulut seribu, kami hanya berputar-putar dan mengekspolrasi labirinnya. Seperti tur perahu yang membawa penumpangnya mengitari suatu daerah, beginilah cara menikmati mulut seribu. Bagi beta, daya tarik tempat ini lebih kepada momen senja, dimana langit dan laut tersaji dengan sangat cantik. Salah satu sunset terbaik yang pernah beta alami.

Nah karena sangat banyak molornya, matahari sudah tenggelam ketika kami kembali ke dermaga Papela. Tubuh sudah lelah. Kamera sudah menyerah. Yang tersisa di hari ini ialah kerinduan kepada kasur di hotel. Jaraknya kira-kira satu setengah jam dari Papela. Sebuah hari yang penuh rasa syukur pun berakhir sudah. Sampai jumpa di hari ketiga!


Sabtu, 02 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 07: Danau mati Landuleko

Pernah dengar tentang laut mati di Timur tengah? Kumpulan air di tengah benua tanpa akses ke laut lepas. Luasnya cukup untuk disebut laut. Tingkat keasinannya luar biasa sehingga konon kita dapat mengambang disana tanpa menggunakan pelampung. Katanya sih begitu. Beta belum pernah kesana, hanya mengetahui dari tulisan dan lisan yang terdengar mengenai tempat ini. Masih katanya lagi, “danau” ini disebut laut karena airnya asin dan mati karena tidak ada aliran ke laut lepas. Terisolasi daratan. Jadi laut mati ialah perairan asin yang terisolasi daratan.

Setidaknya mungkin seperti itu pemikiran orang yang menamakan danau di Landuleko sebagai laut mati. Airnya memang asin. Beta pastikan sendiri dengan indra pengecap beta. Dan seperti laut mati di Timur Tengah, di danau ini tidak ada sambungan langsung ke laut. Yah, setidaknya tidak terhubung di atas tanah. Jika dibawah tanah terdapat gua yang terhubung dengan laut, siapa yang tau? Tampaknya tempat ini belum banyak dieksplorasi para ahli.

Ketika kami sampai disana, danau laut mati tampak sepi. Dua onggok perahu kayu menyambut kami di depan danau. Menggoda untuk difoto sebagai latar depan. Danau laut mati tampak seperti danau biasa. Atau laut biasa, jika tidak mencicip airnnya. Dan itulah yang beta lakukan setelah beberapa kali memotret danau ini.

Danau laut mati Landuleko

Menurut cerita pak Sanu, keasinan air danau ini memiliki perbedaan. Ada lokasi yang berair tawar, ada yang berair asin. Lokasi dekat parkir mobil kami konon berair tawar. Masih ada beberapa ikan air tawar disana. Ketika beta cicipi rasanya, ternyata tidak benar-benar tawar. Mungkin lebih payau. Sedikit asin tapi tidak seasin air laut.

Lalu bagaimana dengan lokasi yang airnya (menurut pak Sanu) asin? Apakah lebih asin daripada di tempat pertama beta menyicip air danau ini? Mari kita rasakan sendiri. Dibimbing oleh Kevin, pemandu kami hari ini, kami menelusuri pinggiran danau menuju tempat yang (katanya) airnya lebih asin.

Menelusuri pinggiran danau

Menelusuri pinggiran danau, kami menemukan banyak cangkang kerang. Terserak begitu saja dimana-mana. Sayangnya beta tidak menemukan cangkang berpenghuni. Mungkin karena beta mencarinya hanya sambil lalu saja. Jika dicari lebih teliti, beta yakin akan menemukan cangkang berserta isinya.

Cangkang seperti ini banyak tersebar di pinggir danau.

Kontur pinggiran danau memang lebih banyak karang dan pasir kasar. Cangkang-cangkang tadi bertebaran di bagian berpasir. Sekilas membuat pantai tampak kotor. Tapi masih lebih baik daripada sampah plastik yang bertebaran, hehehe..

Tempat kedua. Disini airnya lebih asin daripada lokasi pertama.

Tidak lama kami menelusuri danau, tibalah kami di tempat yang (katanya) air danaunya asin. Lagi, beta harus mencobanya dengan indra pengecap beta sendiri. Dan memang rasanya lebih asin daripada air di lokasi pertama dekat mobil kami parkir. Namun perbedaannya tidak terlalu jauh.

Satu hal yang menarik, air ditempat kedua ini lebih bergelombang. Seakan mengalir atau menerima aliran dari tempat lain. Atau mungkin sekedar gelombang dari angin di tengah danau? Entahlah. Yang pasti, (lagi-lagi) kami tidak bisa berlama-lama disini. Dikejar oleh jadwal kunjungan yang terasa padat.

Danau mati Landuleko. Beta meninggalkan dikau tanpa banyak pertanyaan. Seperti baru menyapa kulitnya saja. Kadang terasa seperti kunjungan anak alay. Datang, foto-foto, pergi. Mengejar tempat baru untuk berfoto lagi. Tidak terhayati, hanya terkunjungi. Terlihat dan terpotret. Itu saja.


Jumat, 01 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 06: Bertamu ke rumah Raja.

Pulau Rote boleh dibilang tidak terlalu besar untuk dikuasai oleh sebuah kerajaan. Luas pulau ini hanya seperlima Bali atau lebih dari sepertujuh puluh pulau Jawa. Wilayah yang tidak terlalu besar untuk sebuah kerajaan bukan? Namun tidak, di Rote tidak hanya satu tapi ada sembilan belas raja!

Salah satu raja yang “tidak sengaja” kami kunjungi ialah raja Landu. Ah maaf, bukan rajanya yang kami kunjungi karena beliau telah mangkat. Yang berhasil kami kunjungi ialah rumah raja Landu dan keturunan raja yang menghuni rumah tersebut. Tapi dia bukan raja karena sistem raja-raja “telah selesai” di Landuleko.

Raja, dalam bahasa Rote disebut Nusak. Raja sendiri merupakan “gelar” pemberian Belanda kepada Nusak-nusak di Rote. Sejarah panjang dan rumit antara Nusak-nusak Rote dan Belanda hampir tidak mungkin beta ceritakan dalam tulisan singkat ini. Konon, sejarahnya sudah dimulai dari abad ke-16 (bahkan mungkin lebih lama dari itu) dan melewati masa pendudukan Belanda dengan penuh muslihat. Konon lagi, sistem Nusak masih dapat bertahan sejak kedatangan Belanda sampai VOC bubar.

Ah tapi beta bukan hendak bercerita tentang sejarah raja dan nusak disini. Beta hanya ingin menceritakan tentang penemuan tidak sengaja kami dalam perjalanan menuju danau laut mati Landuleko. Berawal dari cerita Kevin, anak pak Sanu yang menggantikan beliau di hari kedua tentang keberadaan rumah raja Landu. Menurut Kevin, ada rumah raja dekat danau laut mati. Letaknya pun searah dengan jalan menuju danau. Walhasil kami keracunan ceritanya dan memutuskan untuk mampir sejenak.

Rumah raja Landu yang agak nyentrik dengan tembok Orange. Kuburan dan parabola terhias di depan rumah.

Awalnya kami hanya ingin memotret rumah raja ini dari luar. Tidak disangka, di warung kecil di depan rumah raja ternyata ada keturunan raja yang mempersilahkan kami masuk. Keramahan khas Indonesia kembali kami temui disini. Mama (atau nona?) yang mempersilahkan kami masuk pun kami hujani dengan pertanyaan-pertanyaan spontan. Namun dengan sopan ia memperkenalkan kami kepada pamannya yang konon lebih paham mengenai silsilah keluarga raja Landu ini.

Kuburan kerabat raja Landu di depan rumah

Setelah dipersilahkan masuk, keluarlah seorang bapak tua dari dalam rumah. Beliau memperkenalkan diri sebagai bapak Erasmus Yohannes. Lebih berbau Belanda daripada Portugis ya? Mengingatkan beta pada pahlawan Belanda bernama Erasmus. Dari bapak Erasmus inilah kami mendengar sedikit cerita tentang raja Landu.

Menurut bapak Erasmus, dulu daerah ini ialah satu kerajaan. Dipimpin oleh raja Landu. Lalu terjadilah penyatuan daerah. Landu bukan lagi menjadi kerajaan tapi hanya bagian dari pemerintahan kabupaten Kupang waktu itu. Rote Ndao sendiri merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Kupang di pulau Timor.

Perubahan pemerintahan pusat berpengaruh pada dinamika pemerintahan daerah. Hal ini wajar dalam politik. Akibatnya bagi Landu, sistem raja sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah camat atau bupati. Bapak Erasmus sendiri merupakan cucu dari raja Landu terakhir (sedih euy nulisnya).

Demikianlah, bapak Erasmus bercerita dan meladeni pertanyaan-pertanyaan kami dengan sabar. Meskipun untuk mendengarkan cerita beliau dibutuhkan konsentrasi ekstra, namun kami banyak mendapat pengetahuan baru mengenai masa lalu Landu dan Rote. Kurang lebih setengah jam kami mendengarkan cerita bapak Erasmus. Semakin banyak beta bertanya, semakin banyak pertanyaan baru muncul di kepala beta. Ini tidak akan ada habisnya jika menuruti keingintahuan beta!

Mustahil memang mendengarkan sejarah berabad-abad hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Pasti banyak hal yang menjadi pertanyaan dan jawabannya memicu pertanyaan baru. Dengan rasa keingintahuan yang masih menyiksa, beta terpaksa meninggalkan tempat ini. Pamit kepada bapak Erasmus dan berterima kasih atas ceritanya yang semakin membuat penasaran. Kami masih “harus” mengejar dua tujuan lagi hari ini.

Tidak lupa, sesi foto wajib menjadi penutup kunjungan tidak sengaja ini di rumah raja Landu (alm.). Kami memutuskan untuk berfoto diluar rumah. Mencari lokasi yang menggambarkan keunikan rumah ini. Sekilas rumah ini hampir tidak berbeda dengan rumah-rumah lain kecuali warna catnya yang sangat mencolok. Orange terang dibagian luar dan hijau cerah dibagian dalam. Siapa sangka, rumah sederhana ini ternyata rumah raja? Tampilan sederhana (tapi sedikit nyentrik) rumah ini kontras dengan sejarah panjangnya yang tidak bisa dibilang senderhana.

Foto keluarga Indonesia Diversity dengan keturunan raja Landu.

Kejutan yang membawa rasa penasaran berkelanjutan inilah yang membuat beta berselancar di dunia maya. Mencari informasi tambahan mengenai sejarah Rote. Dan hasilnya sangat minim. James Fox, tercatat sebagai referensi utama tentang Rote. Beta juga menemukan nama Paul Hanning yang juga menulis tentang legenda kerajaan Ndana yang tragis. Begitu banyak cerita, begitu sedikit tulisan.

Cerita-cerita tentang Rote banyak sekali beta dapat dari penduduk Rote. Dari keturunan raja. Dari pemain Sasandu. Dari pemilik penginapan. Dan tentu saja dari pemandu kami, bapak Jusuf Sanu. Cerita-cerita itu mengalir bak dongeng sepanjang waktu beta di Rote. Tapi dari sini pula beta merasakan bahwa masyarakat Rote belum terbiasa menulis meski sudah banyak yang terdidik. Ah beta jadi berangan-angan menulis lebih lanjut dan mendalam tentang kerajaan-kerajaan Rote dan dengan demikian menuliskan tentang sejarah Rote yang selama ini hanya diceritakan melalui lisan. Mohon dukungannya dan sampai jumpa di artikel selanjutnya tentang danau mati Landuleko!