Jumat, 16 September 2016

Campa Tour goes to Banten: Sehari menjadi petani kerang dan menyelami sejarah Banten

Banten dalam kesan masa kecilku merupakan tempat gersang tempat truk-truk besar lalu-lalang dan pabrik-pabrik raksasa berdiri. Banten ialah jalan rusak menuju Anyer-Carita tempat dimana laut terdekat berada. Banten adalah kemacetan sepanjang jalur Anyer-Carita. Liburan ke Banten artinya liburan ke Anyer. Malah Anyer lebih familiar daripada Banten. Anyer adalah "laut terdekat dari Jakarta." Jika ingin ke laut, maka pergilah ke Anyer. Begitulah kira-kira masa kecilku membentuk kesan tentang Banten dan Anyer.

Namun seiring berkembangnya pariwisata daerah yang ditopang oleh arus informasi dan transportasi yang semakin mudah, maka Banten kini tidak hanya Anyer. Masih ada pantai Sawarna, pulau Tunda dan pulau Sangiang untuk wisata bahari. Taman nasional Ujung Kulon (TNUK) untuk wisata alam sekaligus bahari. Baduy untuk wisata budaya dan tentu saja kawasan Banten Lama yang sarat sejarah.

Khusus yang terakhir ini sebenarnya masih jauh tertinggal pengelolaannya sebagai tempat wisata dibandingkan dengan objek-objek lainnya. Masjid agung Banten malah lebih populer sebagai tempat ziarah alih-alih wisata. Makam sultan pertama dan kedua Banten berada dalam kompleks masjid agung. Keduanya ramai didatangi peziarah setiap hari. Setidaknya begitulah cerita pak Sudirman, pemandu kami yang asli Banten dari Campa Travel.

Oh iya, untuk perjalanan kali ini aku tidak mengatur semuanya sendiri tapi sudah diatur oleh Campa Tour & Travel sebagai trip organizer. Trip organizer lokal yang unik karena memfokuskan diri dalam trip sejarah-budaya yang menurutku masih belum banyak peminatnya di dalam negeri. Tapi disinilah keunggulannya, mereka kuat dalam narasi. Sepanjang perjalanan, pemandu lokalnya tidak henti bercerita tentang sejarah Banten. Silsilah kerajaan, raja-raja pertama, kontak dengan bangsa asing (yang nantinya menjajah Nusantara) diceritakan terus mengalir dan seolah tanpa henti. Kadang aku merasa kewalahan untuk menangkap informasinya karena saking banyaknya cerita.

Tur sejarah memang belum menjadi wisata favorit di kalangan pejalan dalam negeri. Pamornya kalah jauh jika dibandingkan dengan wisata alam maupun kuliner. Kalah ramai jika dibandingkan dengan snorkeling atau mendaki. Mungkin wisata sejarah terasa sulit. Kesan ini mungkin terbawa dari pelajaran sejarah di bangku sekolah. Jujur, aku pun tidak menyukai sejarah ketika masih sekolah. Karena dulu, sejarah ialah hafalan. Dan aku tidak pandai menghafal, jadi dulu aku tidak suka pelajaran sejarah.

Sejarah jadi menyebalkan ketika kita harus menghafalkan tahun. Sejarah juga belum tampak menyenangkan ketika kita harus mengingat nama. Namun sejarah jadi menarik ketika didongengkan. Area antara fakta dan imajinasi (kemampuan manusia dalam membayangkan sesuatu) dalam balutan cerita itulah yang menjadikan sejarah begitu mengesankan. Seperti membaca dongeng yang dulu pernah nyata. Mempelajari sejarah Nusantara juga berarti membangkitkan nasionalisme. Tidak heran dulu Bung Karno meneriakkan slogan JAS MERAH. JAngan Sekali-sekali MElupakan sejaRAH.

Nah tapi sebelum menelusuri sejarah Banten, kami lebih dulu menuju tempat petani kerang. Melihat dari dekat budidaya kerang hijau mulai dari memanen, menyortir, mengupas hingga siap jual. Tidak ketinggalan hidangan ala kerang hijau sebagai bagian dari menu santap siang. Wisata edukasi dan kuliner sekaligus, siip!

Melihat dari dekat pengolahan kerang hijau

Sehari menjadi petani kerang memang salah satu tajuk trip yang dijual Campa Tour sebagai bagian dari kerjasama dengan komunitas lokal. Terasa seperti wisata edukasi. Jenis wisata yang sangat jarang peminatnya di Indonesia kecuali untuk tur anak-anak sekolah. Namun tidak seperti wisata anak sekolah yang ramai dan penuh dengan penjelasan yang bersifat formalitas. Trip ini penuh dengan pertanyaan kepo dari para pesertanya. Trip yang membuka wawasan dan memenuhi keinginan untuk sekedar ingin tahu. Iya, "sekedar ingin tahu" karena pesertanya tidak punya kewajiban untuk menggali pengetahuan tentang ini. Tidak ada lembar kerja ala anak sekolah. Tidak ada laporan yang harus ditulis layaknya surveyor perusahaan. Murni ingin tahu dengan curiousity ala anak kecil.

Proses pengupasan kerang hijau

Perjalanan menelusuri budidaya kerang bermulai dari kunjungan ke rumah pengepul setempat. Setelah sedikit basa-basi dan cerita pengantar mengenai seluk-beluk budidaya kerang, kami berangkat dengan menumpang Sinar Banten. Kapal kayu milik pak Watna sang juragan kerang. Berangkat kemana? Sudah tentu melihat dari dekat tempat kerang-kerang tumbuh sebelum dipanen. Rencananya kami juga sekalian melihat proses panen kerang tersebut.

Campa tour membawa kami menelusuri tambak-tambak kerang untuk melihat proses panen dari dekat.

Oh iya, kerang yang kami maksud ialah kerang hijau (Perna viridis). Kerang ini banyak tersaji di warung-warung nasi ibukota. Disebut kerang hijau karena warna cangkangnya hijau sedangkan dagingnya berwarna orange kecokelatan. Kerang-kerang ini dipanen di bagan-bagan yang tersebar di pesisir. Setiap bagan ada penanggungjawabnya masing-masing. Berbagi jatah antar petani kerang.

Memanen kerang

Kerang ini tumbuh dengan menempel pada tambang-tambang yang dibentangkan dalam bagan-bagan bambu. Tambang yang telah ditempeli kerang-kerang tersebut kemudian diangkat ke atas kapal untuk dipanen. Proses memanen kerang ialah proses memisahkan kerang dengan tambang. Sesederhana itu. Namun untuk melakukan ini para petani kerang harus menggunakan sarung tangan yang cukup tebal karena bibir kerang cukup tajam untuk menggores kulit.

Hasil tangkapan

Setelah terkumpul cukup banyak, kami kembali ke rumah untuk membersihkan kerang dan mengupasnya. Kerang dibersihkan dengan cara menyemprotkan air lalu melepas benalu-benalu yang menempel pada cangkangnya. Setelah bersih, kerang itu direbus karena menurut para pengupas kerang, mustahil membuka cangkangnya jika belum direbus. Proses pembersihan dan pengupasan menyerap beberapa tenaga kerja yang berbeda dengan pemanen. Usaha ini tampaknya menyerap cukup banyak tenaga kerja dan bersifat padat karya karena semuanya serba manual.

Memisahkan kerang yang menempel di tambang
Disalurkan ke warung-warung nasi. Proses memanen hingga sampai pemasaran melibatkan banyak tenaga kerja.

Setelah itu tibalah waktu yang paling ditunggu: makan! Setumpukan besar kerang yang telah dikupas tersaji sebagai lauk santap siang kami. Ada juga tumpukan besar kerang yang lengkap dengan cangkang yang telah terbuka. Rasanya seperti makan kacang berkolesterol tinggi. Ditambah lauk khas pesisir seperti cumi dan ikan asin, makan siang kami terasa sangat nikmat! Masakan sederhana yang diolah dengan tangan terampil membuat cita rasanya akan terus diingat lidah-lidah kami.

Siap santap!
Menu lengkapnya. Sederhana nanun amat menggugah selera!


Sejarah Nusantara di Banten

Nah setelah perut kenyang, kini waktunya menelusuri Banten lama. Wisata sejarah menjadi segmen kedua dari perjalanan kali ini. Kebetulan letak situs-situs bersejarah di Banten berdekatan. Ada 4 situs yang akan kami kunjungi: istana Kaibon, keraton Surosowan, Masjid Agung Banten, dan benteng Speelwijk. Namun kecuali Masjid Agung Banten, ketiga situs lain sebenarnya sudah hancur lebur. Yang tersisa tinggal pondasinya saja dan beberapa tembok serta bekas gerbang istana.

Hal ini sangat disayangkan karena Banten memiliki posisi penting dalam masa lalu Nusantara. Posisinya di ujung barat pulau Jawa menjadikan pelabuhan Banten sangat ideal sebagai persinggahan menuju Maluku, pulau rempah-rempah maupun Asia Timur, menuju Cina negeri kain sutra. Dua komoditas yang paling dicari dunia barat pada abad pertengahan.

Menurut Giles Milton dalam bukunya Nathaniel Nutmeg (yang entah kenapa diterjemahkan jadi "Pulau Run"), Banten sempat menjadi bandar dan gudang penyimpanan rempah-rempah Inggris (EIC) sebelum diberangkatkan ke Eropa. Pada masa itu, Banten menjadi rebutan kekuasaan asing. Inggris, Portugis dan Belanda saling memperebutkan ijin sultan Banten untuk mendirikan gudang sementara untuk menyimpan rempah-rempah.

Perebutan ini menjadikan pelabuhan Banten (Karangantu) berkembang pesat. Inilah pelabuhan utama rempah-rempah di Jawa pada masanya. Usianya lebih tua daripada Batavia. Dulu, kapal-kapal besar bersandar disini untuk mengisi ulang perbekalan dan memperbaiki kerusakan setelah beberapa bulan mengarungi samudra. Dari Eropa ke Tanjung Harapan. Dari Afrika menuju Nusantara. Setelah Sumatra dan selat Malaka, Banten ialah tempat yang sangat strategis bagi kaum kolonial yang oportunis.

Meskipun awalnya koloniaal Inggris yang berhasil membuat kesepakatan dengan sultan, namun pada akhirnya kolonial Belanda melalui serikat dagangnya lah yang berkuasa lama atas Banten sekaligus Nusantara. Tapi mungkin (ini dugaan pribadi secara awam) Belanda sudah tidak terlalu tertarik dengan Banten setelah berhasil mendirikan Batavia. Mungkin ini sebabnya situs sejarah di Banten hanya tinggal pondasinya saja.

Tempat pertama yang kami kunjungi ialah istana Kaibon. Letaknya berada persis di jalan utama. Namun pintu masuk sebenarnya berada di depan sungai. Jadi istana ini sejatinya membelakangi jalan. Belakang disebut depan. Depan disangka belakang. Begitulah kesan istana ini pada awalnya.Pintu masuk "sebenarnya" berjumlah lima buah (jika tidak salah dengar, melambangkan lima rukun Islam) dan berada di depan tepian sungai. Sungai ini juga melewati keraton Surosowan, masjid Agung dan bermuara di samping benteng Spellwijk.

Mendengarkan penjelasan pak Dirman sambil berkeliling istana Kaibon

Tempat kedua yang kami kunjungi ialah masjid Agung Banten. Waktunya terasa pas karena selain sudah masuk waktu, tempat ini cocok untuk berteduh dari udara Banten yang siang itu terasa panas dan lembab. Tidak seperti situs bersejarah lainnya, masjid ini masih utuh. Menara masjid ini bahkan menjadi ikon Banten Lama. Sayangnya disini banyak terdapat scam. Tiap kotak sumbangan ada "penjaganya" yang sigap melantunkan ucapan terima kasih dengan lantang kepada setiap pengunjung yang datang. Padahal kami belum memasukkan sumbangan apa-apa ke dalam kotak-kotak tersebut. Dan kotak sumbangan itu tidak hanya satu, namun ada beberapa. Lengkap dengan penjaganya masing-masing. Tempat ini memang belum siap untuk menjadi tempat wisata.

Terlepas dari ketidaknyamanan itu, masjid ini sesungguhnya layak untuk dikunjungi. Interiornya terasa kuno namun sejuk. Mungkin disebabkan oleh ornamen kayu yang banyak digunakan sebagai interior ruang shalat utama. Pintu masuknya juga dibuat kecil, tujuannya agar umat masuk ke masjid dengan kepala menunduk, tanda merendahkan diri di hadapan Illahi. Bukan karena ukuran tubuh orang-orang Banten dulu yang kecil. Disini juga terdapat dua makam sultan Banten. Sultan pertama dan kedua. Dan makam-makam lainnya disekitar masjid.

Keberadaan makam inilah yang biasanya menjadi tujuan utama orang mengunjungi Banten. Makamnya banyak dan tidak pernah sepi. Banyak orang yang mengais rejeki dari kedatangan peziarah-peziarah ini. Mulai dari pedagang air, kembang, kantong plastik, sampai para "penunggu" kotak amal. Sisanya pedagang "biasa" yang menjual berbagai oleh-oleh khas Banten (meskipun menurutku barang-barang itu tidak khas).

Mejeng di depan menara masjid. Menara ini menjadi icon Banten Lama

Nah lepas dari masjid Agung, harusnya kami menelusuri keraton Surosowan. Namun karena udara Banten belum lagi bersahabat, maka kami memutuskan untuk mengunjungi museum situs kepurbakalaan saja dengan harapan bisa ngadem dalam ruangan berpendingin udara.

Museum situs kepurbakalaan Banten terletak diantara keraton dan masjid. Dari luar, bangunan ini tidak tampak menarik. Seperti gedung biasa bercat hijau. Setelah membeli karcis dan masuk, harapan kami berteduh diruangan berpendingin langsung menguap bersama panasnya udara Banten. AC memang ada dan menyala tapi sepertinya freonnya habis. Untungnya ada beberapa kipas angin yang menyala, tapi sebenarnya itu belum cukup untuk menurunkan suhu ruangan. Apalagi di dalam ruangannya dipajang juga koleksi dari tembikar yang mungkin akan rusak karena suhu yang tidak bersahabat. Kesan asal taruh, asal pajang sempat terasa ketika aku memasuki ruangan demi ruangan di museum ini. Yah, sepertinya museum-museum di Indonesia harus belajar banyak soal merawat koleksi, supaya tidak hanya bisa membangun tanpa bisa merawat.

Salah satu koleksi museum. Hanya sekedar ada.

Diluar suhu yang panas, museum ini cukup baik untuk memperkenalkan masa lalu Banten. Ceritanya sudah terbangun dari poster-wallpaper yang dipajang. Sayangnya ada beberapa poster yang resolusinya kecil sehingga tampak pecah ketika dicetak dalam ukuran besar. Selain itu, interaksi dengan pengunjung juga kurang, alat peraga tidak ada. Museum ini seolah hendak bercerita tanpa menghiraukan pendengar. Terasa sekali keberadaan museum hanya sekedar "kewajiban" tanpa ada gairah untuk mengembangkannya. Hadir tanpa semangat. Hanya sekedar ada. Masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali namun sangat jauh dari semangat untuk mengenal sejarah.

Mendengarkan keterangan pak Dirman tentang masa lalu Banten

Museumnya sudah bisa bercerita. Wallpapernya bagus. Namun sayang resolusinya terlalu kecil

Seusai keluar dari kepengapan museum, perjalanan kami lanjutkan menuju benten Speelwijk. Harusnya sih begitu tapi ditengah cuaca yang panas & lembab, kami memutuskan untuk mengunjungi vihara avalokitasvera saja yang berada disebelahnya. Persis diseberang sungai yang hampir mati. Padahal sungai ini dulunya menjadi pintu masuk kesultanan Banten. Jalur lain setelah pelabuhan Karangantu.

Jika ditelusuri lebih lanjut, situs-situs di Banten ini selalu terhubung dengan sungai. Yah, dasar kota pelabuhan, sungai tampaknya menjadi jalur transportasi utama alih-alih jalan. Kesan kota pelabuhan yang baru terasa ketika kami menelusuri sejarahnya namun sama sekali tidak terasa jika hanya melihat fisik dan tata kota sekarang ini.

Pembangunan kota ini (dan kota-kota lain di Indonesia) lebih menitikberatkan pada transportasi darat. Banten dan Jakarta sudah bukan lagi kota pelabuhan. Orang-orangnya sudah berubah menjadi "orang darat" alih-alih "orang laut". Status sebagai negara kepulauan tidak akan terasa ketika kita menjejakkan kaki di kota-kota besar Nusantara. Kesan kepulauan baru terasa ketika kita melihat peta atau menelusuri propinsi kepulauan seperti Maluku atau Kepri.

Bangsa ini memang harus lebih banyak belajar dan menyadari pentingnya sejarah. Untuk mengetahui darimana kita berasal. Untuk memahami bagaimana kita terbentuk. Untuk menyadari identitas kita yang sebenarnya. Sehingga lebih percaya diri untuk menjalani masa kini. Tidak terombang-ambing pengaruh dari budaya luar. Dengan memahami diri sendiri, kita akan lebih mampu menyaring apa yang sesuai dan apa yang tidak. Kita akan menjadi lebih matang. Menjadi pemimpin, bukan sekedar pengikut apalagi pengagum bangsa lain. Karena kita jauh lebih keren daripada mereka. Salam!

--

Tulisan ini dibuat sebagai dukungan untuk Campa Tour & Travel. Travel organizer asli Indonesia yang memfokuskan diri pada wisata sejarah-budaya Nusantara. Meskipun pasarnya masih sangat terbatas, namun mereka masih bertahan dan berkembang untuk terus memperkenalkan jenis wisata ini kepada masyarakat. Semoga kedepannya dapat terus berkembang dan semakin banyak wisatawan-wisatawan domestik yang tertarik menjalani tur sejarah. Selamat menginspirasi, Campa Tour!

Senin, 12 September 2016

Solo Trip Swarnadwipa 01: Dari Jakarta, singgah sejenak di Bandar Lampung

Yey! Akhirnya berangkat juga! Perjalanan ini merupakan perjalanan nekat dengan mempertaruhkan sisa tabungan yang ada. Ini adalah saat dimana aku masih memiliki kesehatan, waktu dan sedikit dana untuk menikmati hidup. Dan bagiku, cara terbaik menikmati hidup ialah dengan melakukan perjalanan meskipun dengan dana yang teramat sangat terbatas. Yah, kadang memang harus seperti ini tampaknya untuk bisa terlaksana. The art of kepepet can motivate human (me) to the next level. Ketika terdesak dan keadaan memaksaku mencapai batas kemampuan, lalu melebihinya, itu akan terasa menyakitkan, lalu membanggakan, dan akhirnya membahagiakan. 

To Infinity and Beyond! Sumber gambar

Begitulah kata Buzz Lightyear dalam film animasi Toy Story. Entah kenapa slogan ini melekat di benakku ketika memulai perjalanan ini. Rasanya aku akan menembus batas kemampuanku dan melebihinya. Perasaan yang nanti akan timbul dengan sangat kuat ketika aku selesai mengunjungi danau Kaca di Kerinci.

Tapi itu nanti. Sekarang, aku akan memulai cerita ini dari sebuah toko kelontong alias convenience store yang ada di mulut pintu masuk tol Kebon Jeruk - Merak. Disinilah aku akan memulai perjalanan panjang menelusuri Swarnadwipa alias pulau Emas. Sebutan untuk pulau Sumatra di jaman dulu karena diduga menyimpan cadangan emas yang sangat banyak. Anggapan yang belakangan terbukti keliru karena sebutan pulau emas lebih cocok disematkan kepada Papua yang cadangan emasnya sedang disedot perusahaan Amerika.

Kembali ke toko kelontong hijau-orange-putih yang juga berasal dari Amerika namun kini dimiliki perusahaan Jepang. Toko tempat aku menunggu kedatangan kawan dan keluarganya yang hendak kembali ke Palembang setelah berlebaran di Jakarta. Nebeng! Etape pertama perjalanan dari Jakarta ke Palembang aku jalani dengan cara nebeng. Tebengan yang nantinya bukan hanya di perjalanan tapi juga tempat berteduh dan bermalam. Dengan cara inilah aku menyiasati minimnya dana selama perjalanan ini. Nebeng juga mengharuskan aku menyesuaikan diri dengan cepat bersama ritme hidup orang lain. Salah satu pelajaran yang banyak aku pelajari selama melakukan perjalanan.

Tidak lama menunggu, aku pun bertemu kawan kuliahku bersama keluarga kecilnya. Sedikit urusan toilet dan melajulah kami menelusuri jalan tol Jakarta-Merak yang pagi itu relatif sepi. Menelusuri jalan beraspal mulus (meski kerap diganggu proyek pengaspalan) menuju ujung barat pulau Jawa. Langsung menuju pelabuhan Merak. Disambut kompeks industri disekitar Cilegon-Merak.

Inilah pertama kali aku mencapai pelabuhan Merak tanpa lewat pusat kota Cilegon. Biasanya aku pasti melewati kota karena begitulah rute bus-bus Jakarta-Merak. Baru kali ini aku mencapai Merak dengan kendaraan pribadi. Waktu tempuhnya berbeda lumayan lama, sekitar 1 jam. Dari kejauhan pulau Merak yang namanya juga dijadikan nama pelabuhan terlihat makin jelas.

Antrian masuk ke kapal

Ada dua pulau Merak disini: pulau Merak Besar dan pulau Merak Kecil. Dari atas kapal ferry, pulau Merak besar tampak begitu hijau dan rindang sedangkan pulau Merak Kecil tidak terlihat. Dengan latar depan laut biru cerah tanpa ombak, panorama ke arah pulau Merak Besar membuatku betah berlama-lama memandang ke arah laut. Meskipun sudah beberapa kali menyebrangi selat Sunda, namun baru kali ini aku melakukannya saat matahari masih nampak. Rasanya memang berbeda. Apalagi cuaca cukup cerah siang itu.

Pulau Merak Besar, dilihat dari dermaga

Memandangi Merak Besar, kehidupan serba cepat di Jakarta seolah melambat. Seperti menekan tombol slow forward di remote tv. Ritme kehidupan dalam kepalaku sedikit melambat. Lebih santai. Lebih tenang. Efek perjalanan ini sudah mulai terasa disini. Maka wajar jika aku betah berlama-lama memandangi kehidupan yang tenang di depan mata. Bagian dari "meditasi" selama melakukan perjalanan. Duduk diam memandang dan menikmati ciptaan Illahi. Menikmati waktu dan mensyukuri kehidupan.

Sepertinya rombongan piknik yang merapat ke pulau ini

Tidak berapa lama aku melihat ada beberapa perahu nelayan yang tampak merapat ke pulau tersebut. Meskipun kurang jelas karena jaraknya cukup jauh tapi sepertinya isi perahu tersebut lebih mirip wisatawan daripada pencari ikan. Gerak-gerik mereka pun seperti tidak mencari ikan tapi lebih kepada bermain air dan menggelar tikar di pantai. Jelas wisatawan. Waktu itu aku cukup penasaran dari mana mereka menyebrang menuju pulau yang tampaknya tidak berpenghuni tersebut. Namun pada saat aku menulis artikel ini, pertanyaan tersebut sudah terjawab! Dan aku berencana untuk mengunjungi kedua Merak tersebut. Siip, nambah tujuan baru dalam daftar perjalanan singkat (short trip) di tahun ini :)

Setelah waktu singkat yang begitu nikmat, ferry ini pun berangkatlah. KMP Langgurdi, salah satu dari sekian banyak KMP yang hilir mudik sepanjang selat Sunda ini cukup nyaman. Interiornya luas. Ruang berpendingin udara tidak hanya ada di ruang VIP tapi nyaris diseluruh lantai utama. Kapal ini salah satu KMP terbaik di jalur pelayaran selat Sunda. Tidak seperti bis atau kereta api yang interiornya relatif sama apapun namanya, untuk ferry (KMP) jenis-jenisnya berbeda. Jika dibandingkan dengan mobil, rasanya ada yang serasa inova ada yang serasa terrano. Terasa bedanya!

Lepas dari Merak, Langgurdi bergerak menuju Bakaheuni di ujung selatan Sumatra. Perjalanan terasa monoton dan membosankan. Aku lebih banyak tidur daripada ngobrol. Penumpang kapal ini tidak terlalu banyak sehingga terasa cukup lega dan leluasa untuk merebahkan badan. Meluruskan punggung sejenak sebelum ditekuk lagi dalam perjalanan darat menuju Bandar Lampung.

Meskipun tujuan akhirnya Palembang, namun kami memutuskan untuk menginap semalam di Bandar Lampung. Mengistirahatkan tubuh dan mental. Juga kendaraan. Dalam perjalanan jauh, penting untuk menarik napas dan mengatur ritme agar bisa selamat sampai tujuan. Pepatah Jawa alon-alon asal kelakon tepat kiranya diterapkan dalam perjalanan ini. Biar lambat asal selamat. Keselamatan lebih penting daripada apapun dalam perjalanan.

Selain keselamatan, kenikmatan perjalanan juga penting. Paling tidak untukku karena salah satu tujuan aku melakukan perjalanan ini ialah untuk bermeditasi. Namun bukan jenis meditasi duduk sila dan berdiam diri, tapi lebih kepada merasakan sendiri hal-hal yang serba baru. Aku menyebutnya meditasi ala pejalan. Traveller meditation. Membiarkan kelima indra merasakan hal baru sambil bergerak, lalu membiarkan otak mencerna dan memberi makna. Jika kelima indra adalah lidah dan mulut, maka otak adalah lambung dan usus. Makanannya ialah pengalaman baru. Dikunyah oleh indra, diproses oleh otak. Automatic processing. Terjadi begitu saja secara otomatis.

Yah tapi sebenarnya tidak serta merta juga seperti itu sih. Otakku baru bisa mencernanya ketika aku tidak terlalu lelah atau cemas. Ketika aku merasa sehat dan aman. Ketika ritme perjalanan terjaga. Tidak tergesa-gesa dan masih punya waktu untuk menikmati suasana. Waktu untuk bengong-bengong sejenak.

Tidur dan tiba-tiba sampai ke Bakahuni

Dan begitulah perjalanan ini berlangsung. Perjalanan dari Bakahuni ke Bandar Lampung berlangsung cepat. Aku lebih banyak tidur sepanjang perjalanan. Efek kurang tidur di malam sebelumnya langsung terasa setelah makan siang. Biasanya jika aku begadang semalaman, ngantuknya baru terasa tengah hari. Setelah makan, tidur. Begitulah kebiasaan orang-orang berperut buncit. Apalagi jalur Bakahuni-Bandar Lampung sudah pernah aku lalui sebelumnya sehingga rasa penasarannya sudah tidak ada. Kalah oleh rasa kantuk. Dan aku membiarkan diriku tertidur.

Tidur adalah jalan pintas menjalankan waktu ketika ia mulai membosankan. Shortcut time. Memotong siang menjadi sore dalam sekejap. Bahkan sore pun sudah hampir habis ketika kami memasuki kota Bandar Lampung. Menjelang gelap, kami bergegas menuju tempat bermalam kami di kota ini. Nah karena kali ini judulnya nebeng maka aku tidak bisa memilih penginapan. Temanku lah yang sudah memesan hotel untuk keluarganya. Aku tinggal menyesuaikan situasi dan kondisinya. Untungnya matras gulung selalu ada dalam daftar barang bawaanku. Benda ini termasuk salah satu benda penting bagiku. Penunjang istirahat. Sangat membantuku mengadaptasi lingkungan sehingga aku bisa lebih fleskibel dalam menentukan tempat meletakkan tubuh dan meluruskan punggung. Akhirnya hari pertama perjalanan ini akan segera berlalu. Malam pertama di Bandar Lampung. Mungkin akan jadi malam terakhir juga dalam perjalanan ini karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Palembang besok.

Welcome and Goodnight, Bandar Lampung

Jadi setelah membersihkan diri dan mengisi perut, aku bersiap untuk meletakkan badan dan meluruskan punggung. Di luar, bulan separuh mengintip malas dari sela-sela mega. Bangunan-bagunan berhiaskan mahkota siger satu persatu mematikan lampu dan menutup pintu. Sudah waktunya kota ini beristirahat. Selamat tidur, Bandar Lampung.

Jumat, 02 September 2016

Solo Trip Swarnadwipa 00: Awal mula perjalanan ke barat Nusantara.

Sumatra. Bagian dari Indonesia ini hampir tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Hanya sebatas Pahawang dan Kiluan di Lampung saja yang sebelumnya pernah aku kunjungi di daratan Sumatra. Itu juga bukan perjalanan mengeksplorasi melainkan hanya bagian dari open trip. Perjalanan singkat yang sangat "hore" dalam rangka mengisi libur akhir pekan.

Padahal Sumatra merupakan daerah yang cukup ramai dan merupakan pulau yang paling maju setelah Jawa-Bali. Kunjungan ke wilayah Sumatra terkesan "biasa" dan tidak terasa seistimewa kunjungan ke Papua atau Maluku misalnya. Perjalanan dinas ke kota-kota di Sumatra seperti Medan, Palembang, Pekanbaru, hingga Batam pun rasanya lebih ramai daripada ke Palu, Gorontalo, Ambon, Sorong, atau Nabire.

Namun mungkin karena itulah Sumatra lebih jarang dijadikan tujuan wisata dewasa ini bila dibandingkan dengan kawasan timur Nusantara. Paling-paling hanya Sumatra Barat, Sabang dan Danau Toba saja yang menjadi target kunjungan wisata di Sumatra. Bandingkan dengan banyaknya tujuan wisata (terutama wisata alam) di daerah timur seperti Alor, Rote, Komodo, Lombok, Flores, Wakatobi, Togean, Kei, Bunaken, sampai Raja Ampat.

Memang jika bicara alam, apalagi alam bawah laut, daerah barat Nusantara tampak kalah indah jika dibandingkan wilayah timur. Paling-paling hanya Sabang, Belitung, dan Anambas saja yang "dapat bersaing" dengan tempat-tempat di timur Nusantara. Hal ini tidak mengherankan karena segitiga koral dunia berada mulai dari Sulawesi, Lombok, hingga Papua.

Namun kawasan barat Nusantara juga memiliki daya tariknya sendiri bagiku. Yang pertama ialah budaya. Budaya Melayu, Minang, Batak, Aceh memiliki kepribadiannya sendiri yang terasa cukup kental. Hal ini juga didukung oleh budaya literasi yang lebih maju dibandingkan dengan kawasan timur. Setelah Jawa, buku-buku Nusantara yang banyak ditulis ialah tentang Minang, Melayu, Batak, dan Aceh. Setidaknya itu kesimpulanku ketika melakukan penelusuran literatur dalam rangka mengumpulkan informasi tentang Sumatra.

Daya tarik lainnya ialah kuliner! Sudah bukan rahasia lagi jika masakan-masakan Sumatra kaya dengan rempah. Mulai dari Palembang, Padang, Aceh hingga Medan, semuanya memiliki masakan khasnya masing-masing. Nanti aku ceritakan bagaimana perjalanan kali ini membuat anggaran makanku jebol lumayan parah. Meskipun demikian, aku tidak merasa rugi apalagi menyesal karena kelezatan masakan-masakan itu aku rindukan saat aku menulis artikel ini, hmm..

Oke, kita sudahi lamunan laparnya.. Kembali ke cerita perjalanan seorang diri keliling Sumatra. Yah nggak sendirian juga sih sebenarnya karena di tempat-tempat tujuan aku selalu mencari "tuan rumah" alias orang yang bisa ditebengin nginep sekaligus bisa dijadikan informan mengenai tempat tersebut. Aku mencarinya dari berbagai media sosial seperti facebook, instagram hingga coachsurfing. Berawal dari tanya-tanya, beberapa menawari aku untuk menginap ditempatnya (yang tentu saja disambut dengan senang hati), hingga berakhir dengan bertemu dan bertamu sekaligus menginap di tempat mereka. Nanti aku ceritakan lebih lengkap mengenai tuan-tuan rumah yang baik hati ini. Namun sebelumnya aku ingin bercerita mengenai pemilihan tujuan yang ingin aku datangi di Sumatra.

I love island so much. Sejak aku menderita sakit punggung bawah dan dilarang dokter untuk beraktivitas vertikal terlalu berat (seperti loncat, lari, membawa beban berat, dan sejenisnya) maka pilihan untuk mendaki gunung otomatis aku coret. Dan island hoping jadi kegiatan yang sangat menarik bagiku. Apalagi jika ditambah snorkeling atau free diving,wuiih lengkap rasanya hari!

Tapi aku tidak berharap terlalu banyak pada terumbu karang di Sumatra. Target snorkeling hanya di Sabang saja. Tapi mengunjungi pulau? Nah yang ini tidak ingin aku lewatkan! Jadilah aku targetkan untuk mengunjungi pulau-pulau terluar sekaligus batas negara dalam daftar kunjunganku. Enggano, Mentawai, Nias dan Weh segera masuk daftar kunjungan. Empat pulau di empat provinsi yang berbeda. Lalu aku berpikir, bagaimana jika sekalian saja aku kunjungi semua provinsi di Sumatra, terutama yang belum pernah aku kunjungi. Menarik juga rasanya!

Maka provinsi Lampung dan Bangka Belitung tidak masuk daftarku karena sebelumnya aku sudah pernah kesana. Untuk Sumatra Selatan, aku hanya memasukkan Palembang karena alasan biaya. Di Palembang aku memiliki kawan kuliah yang tinggal disana. Urusan menginap aman. Urusan transportasi, dia menawarkan aku untuk menggunakan sepeda motornya untuk menjelajahi kota. Dua urusan penting aman lah. Rasanya tidak memerlukan biaya banyak karena dua dari tiga pos pengeluaran terbesar telah tertutupi. Tidak perlu lagi sewa kendaraan dan bayar penginapan. Selain itu aku juga dapat tumpangan gratis dari Jakarta ke Palembang karena waktunya bertepatan dengan mudik lebaran. Lengkap sudah!

Untuk Bengkulu, tujuan sudah terwakili dengan target utama pulau Enggano. Selain itu aku masih bisa menambahkan beberapa tujuan wisata dalam kota seperti benteng Marlborough dan rumah pengasingan Soekarno. Untuk Jambi sepertinya aku tidak mendapatkan target kunjungan pulau. Dari hasil browsing dapatlah satu tujuan luar biasa "dekat" Kerinci, yaitu danau Kaco (atau danau Kaca dalam bahasa Indonesia). Nanti aku ceritakan secara khusus mengenai danau luar biasa ini.

Lalu Sumatra Barat! Provinsi "paling mudah" untuk berwisata. Disini aku memasukkan cukup banyak daftar kunjungan. Yang utama ialah Mentawai dan lembah Harau. Namun disamping itu aku juga memasukkan istana Pagaruyung karena searah dan Bukittinggi sebagai icon wisata utama di Sumbar. Bukittinggi aku pilih sebagai tujuan terakhir di Sumbar karena selain Padang, akses dari sini menuju tempat lain terbilang paling mudah daripada Payakumbuh atau Batusangkar. Termasuk akses menuju Sibolga, kota transit sebelum menyebrang ke Nias, salah satu tujuan utamaku. Untuk provinsi Sumatra Utara, Nias lebih menarik bagiku ketimbang danau Toba. Nanti aku ceritakan alasannya.

Lalu provinsi paling ujung Sumatra: Aceh! Sudah jelas pulau Weh menjadi primadonanya. Bahkan salah satu target utama perjalanan kali ini ialah merayakan ulang tahun republik di titik 0 kilometer Indonesia. Setelah 2014 aku merayakannya di bawah laut pulau Tunda, dan 2015 di kampung balik gunung Wae Rebo, maka pada tahun 2016 aku ingin merayakannya di ujung barat republik. Hal ini pula yang menjadi alasan kenapa aku merencanakan perjalanan ini di bulan Juli-Agustus. Intinya, 17 Agustus 2016, aku harus berada di pulau Weh.

Selesai? Belum! Meskipun salah satu target puncaknya merayakan hari kemerdekaan di ujung barat republik, namun masih ada dua tempat lagi yang menjadi target utamaku, yaitu selat Malaka dan Kepulauan Riau. Selat Malaka? Ada apa disana? Memangnya itu objek wisata? Yah bukan sih, selat Malaka ya selat, laut, bukan objek wisata. Tapi selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk negeri ini sejak pra kolonial. Selat ini menjadi objek rebutan antar bangsa sejak jaman rempah-rempah. Selat yang sarat sejarah karena posisinya yang sangat strategis sebagai pintu masuk menuju kepulauan Nusantara. Sejarah inilah yang membuat aku penasaran dan ingin melihat kondisi selat Malaka saat ini.

Sedangkan kepulauan Riau merupakan provinsi terakhir di Sumatra yang belum aku kunjungi. Kepri aku letakkan sebagai tujuan terakhir karena aksesnya terbilang mudah untuk kembali ke Jakarta. Yah tidak disemua titik sih, hanya di Batam dan Bintan saja akses ke Jakarta terbilang mudah. Selain itu daya tarik pulau Penyengat sebagai tempat sarat sejarah, tempat dimana raja Ali Haji berasal terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Raja Ali Haji ialah sang pencipta Gurindam Dua Belas yang menjadi pegangan orang Melayu. Maka Bintan di Kepulauan Riau aku masukkan sebagai tujuan terakhirku dalam perjalanan kali ini.

Merencanakan serius sejak Januari, berangkatnya bulan Juli.

Selesai menentukan tujuan, langkah selanjutnya ialah mencari informasi mengenai transportasi menuju tempat-tempat tersebut. Kelasnya cukup kelas ekonomi atau yang paling murah saja. Tidak perlu lah itu kamar-kamar VIP dalam kapal ferry. Untuk transportasi darat, awalnya aku mengincar bis yang rasanya lebih murah daripada travel. Namun tidak seperti di Jawa, angkutan umum antar provinsi di Sumatra ini umumnya menggunakan travel. Memang sih lebih enak karena langsung diantar ke alamat tujuan, tapi kan  lebih mahal! Jika ini di Jawa, aku pasti akan langsung menolak jika naik travel tapi karena di Sumatra aku tidak punya pilihan lain, jadi yausudah, relakanlah rupiah-rupiah itu masuk ke kas travel.

Oh iya, informasi mengenai transportasi ini tidak selalu aku dapatkan dari internet. Malah aku sempat kesulitan mendapatkan jadwal keberangkatan dan jalur transportasi publik antar kota di Sumatra. Untuk jalur laut mungkin aku masih maklum karena kondisi laut sulit ditebak. Tapi untuk transportasi darat? Kadang aku merasa sebagian daerah di republik ini belum memasuki jaman internet. Informasinya masih sangat terbatas dan tidak up to date.

Mempersiapkan diri sebelum melakukan perjalanan itu sangat penting. Mengumpulkan informasi termasuk salah satu hal penting dalam mempersiapkan perjalanan. Ketika aku merasa kesulitan mendapatkan informasi transportasi, langkah selanjutnya ialah mencari kenalan yang pernah mengunjungi daerah tersebut atau lebih bagus lagi kenalan yang berdomisili di tempat itu. Sukur-sukur sekalian ditawari bermalam ditempatnya. Jadi selain menghemat biaya penginapan, aku juga bisa mengenal kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Hotel kadang bisa menjadi penjara. Pemisah antara masyarakat lokal dan turis. Menghambat kita untuk berbaur, meskipun menawarkan privasi.

Yah pada akhirnya, melakukan solo trip alias perjalanan seorang diri memang masih jarang dilakukan orang Indonesia. Apalagi solo trip dengan menumpang tinggal di rumah warga dan dalam waktu yang lumayan lama (lebih dari seminggu). Kebanyakan teman-teman saya melakukan perjalanan berkelompok dengan durasi yang tidak terlalu lama. Umumnya antara tiga sampai lima hari. Hal ini disebabkan karena faktor cuti yang tidak bisa terlalu lama dan biaya. Tetapi faktor biaya sebenarnya lebih bisa disiasati dengan cara (antara lain) menumpang. Baik penginapan maupun transportasi. Waktu lah yang lebih sulit disiasati dan berharga lebih mahal daripada uang. Uang yang hilang bisa dicari kembali. Waktu yang berlalu takkan kembali kepada kita. Waktu tidak mengenal balikan. Ia akan selalu move on.

Selain dua hal tadi, soal keberanian/tekad/kenekatan juga perlu disiapkan. Aku menyebutnya persiapan mental. Rasa takut tentu saja ada. Selalu ada ketakutan ketika kita pergi ke tempat baru, apalagi seorang diri. Tapi dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, ketakutan itu pelan-pelan berkurang. Kadang malah berganti dengan exciting. Antusiasme baru yang makin lama makin menjadi obsesi.

Pengalaman juga penting. Pengalaman dapat menurunkan kecemasan. Solo trip ini merupakan solo trip kedua. Yang pertama dulu aku menjalaninya lebih banyak dengan kelompok. Dari 26 hari bepergian, sekitar 7 hari aku bepergian bersama kelompok keliling kepulauan Komodo, Wae Rebo, Bajawa, hingga Kelimutu. Ketika mengunjungi Ijen, Baluran, Alas Purwo dan Gili Kondo pun aku menjalaninya dengan kelompok meskipun berbeda-beda. Sebelum itu aku juga banyak melakukan open trip singkat. Dari perjalanan-perjalanan kecil inilah aku mengumpulkan pemahaman dan ketenangan sebagai bekal untuk mempersiapkan perjalanan jauh dan panjang.

Jadi, mari kita berangkat! (bersambung..)