Rabu, 30 November 2016

Solo Trip Swarnadwipa 06: Sepotong pagi dari sebuah benteng

Akhirnya tiba juga saatnya meninggalkan Palembang. Tujuanku selanjutnya ialah Bengkulu. Kota Bengkulu maksudnya. Kota yang terletak di propinsi bernama sama. Propinsi yang hampir terlupakan keberadaannya. Jarang disebut media. Jauh dari promosi pariwisata. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini juga jarang mendapat perhatian media. Semakin jauhlah Bengkulu dari perhatian nasional.

Akses menuju Bengkulu dari Palembang juga agak rumit. Tadinya aku ingin naik bus karena biasanya moda transportasi ini lebih murah daripada travel. Aku pikir, Palembang dan Bengkulu kan sama-sama ibukota provinsi. Masak sih nggak ada bis dengan rute Palembang-Bengkulu?

Pertanyaan itu terjawab setelah aku menghabiskan waktu setengah hari berkeliling terminal Alang-Alang Lebar. Terminal bis antar propinsi di tepi kota. Pada loket-loket bis, tujuan ditulis besar-besar kebanyakan kota-kota di Jawa. Bandung, Surabaya, Tasikmalaya, dan tentu saja Jakarta. Setelah itu kota-kota besar di sisi timur Sumatra: Jambi, Pekanbaru. Bengkulu tidak disebut sama sekali.

Aku kemudian bertanya pada petugas berseragam dishub. Asumsinya, petugas tidak akan menyesatkan dan bertindak seperti calo. Sebab jika salah bertanya kepada calo, biasanya mereka akan merayu dengan berbagai jurus supaya kita ikut dengan armada mereka meskipun kadang tidak benar-benar sampai tujuan alias harus nyambung transportasi lain. Atau kita akan membayar dengan harga lebih tinggi dari harga resmi. Dengan kata lain: ditipu.

Tapi mungkin karena sudah saling kenal karena bekerja di lokasi yang sama, aku malah dialihkan ke orang yang perilakunya menyerupai calo. Orang ini kemudian membawaku ke temannya lagi. Nah temannya ini kemudian membawaku ke loket yang tidak mirip seperti loket. Hanya ruangan persegi seadanya saja. Lebih mirip kios jajanan yang belum terisi daripada loket bis. Di sini aku ditawarkan tiket ke Bengkulu dengan harga yang aduhai. Aku tanya, bis atau travel? Dia jawab travel. Aku minta bis saja karena ongkosku tidak banyak. Dia bilang tidak ada bis ke Bengkulu. Aku jawab terima kasih, lalu keluar "loket" tersebut dan hendak meninggalkan terminal. Namun kawan yang membawaku kemari menahanku, lantas mengantarkanku ke "loket" lain. Harganya hanya lebih murah sepuluh ribu daripada "loket" pertama. Kejadian ini berulang hingga dua kali, sehingga tiga "loket" yang aku kunjungi. Harganya memang turun terus meski tidak banyak. Tapi aku berharap bisa mendapatkan harga yang lebih bersahabat daripada yang ditawarkan disini.

Sebenarnya ada opsi lain, yaitu dengan kereta listrik. Namun jalur kereta dari stasiun Kertapati di Palembang tidak sampai Bengkulu. Hanya sampai Lubuk Linggau. Dari sana harus naik angkot lagi ke Bengkulu. Namun gosipnya tidak semua angkot sampai sana. Jika sedang sial, angkot hanya sampai Curup, salah satu kota di provinsi Bengkulu. Dari Curup, disambung lagi ke Bengkulu. Ribet! Dan hitung-hitungannya ternyata lebih mahal daripada ongkos travel!

Maka aku kembali mencari tiket bis atau travel. Pencarian berlanjut dengan mendatangi loket bis yang berada di dekat terminal. Tapi hasilnya kurang lebih sama, tidak ada bis menuju Bengkulu. Hanya ada travel. Baiklah, sepertinya aku terpaksa naik travel. Tinggal membandingkan harga terbaik saja selain reputasi perusahaan yang aku cari tau dari internet. Akhirnya setelah banyak bertanya, aku menemukan loket travel dekat pasar 26 ilir. Jauh sekali dari terminal Alang-Alang Lebar memang, tapi loketnya lebih meyakinkan. Jadwal keberangkatan pun tetap. Akhirnya aku membeli tiket dari tempat ini seharga Rp. 210,000,- Harganya lebih murah dari yang ditawarkan calo terminal. Disana aku ditawarkan 290, 280, dan 240 ribu rupiah. Untuk seorang backpacker dengan budget minimalis, perbedaan uang itu bisa berarti 2-5 kali makan.

Akhirnya jadi juga ke Bengkulu. Ada apa di sana? Awalnya aku juga blank. Dari hasil penelusuran di internet, aku mendapatkan tiga rekomendasi tempat yang akan aku kunjungi di kota tersebut: benteng Marlborough, pantai Pasir Panjang, dan Rumah Pengasingan Soekarno. Mana duluan yang aku kunjungi? Karena aku tidak niat bermalam di Bengkulu dan hendak langsung menuju Enggano pada sore hari, maka jadwal kunjungan aku susun dari tempat terjauh ke tempat terdekat pelabuhan. Urut-urutannya: Marlborough-Pasir Panjang-Rumah Soekarno.

Benteng itulah yang aku sebut sebagai tujuanku di Bengkulu ketika supir travel bertanya. Subuh belum lagi datang ketika aku tiba di Bengkulu. Agak gila sih kalau langsung minta di antar ke Benteng. Jadi aku memutuskan untuk mencari masjid disekitar benteng. Menunggu subuh sambil berbaring sebentar. Tidur dengan posisi duduk selama perjalanan Palembang-Bengkulu tidak menghilangkan semua lelah. Punggung butuh diluruskan. Badan perlu direbahkan. Istirahat di lantai masjid yang dingin pagi itu menjadi kenikmatan yang mewah bagiku. Tempat istirahat gratis, tempat mengisi ulang semangat dan melepas sisa lelah. Bagaikan oase di gurun pasir,

Aku tidak segera beranjak setelah subuh. Masih butuh istirahat. Karena seharian ini aku berniat keliling Bengkulu dengan tas segede kulkas, maka kesempatan istirahat ini harus dimanfaatkan dengan baik. Begitu pula kesempatan membersihkan diri karena aku tidak tahu lagi kapan bisa ketemu wc yang cukup bersih seperti di masjid ini.


Fort Malborough. Konon salah satu benteng terkuat Britania.


Menjelang matahari terbit, barulah aku beranjak menuju benteng. Letaknya sekitar 200 meter dari masjid. Cukup dengan berjalan kaki, terlihatlah sudah benteng itu. Fort Malborough, benteng Britania di Nusantara. Konon pernah ingin dibakar para pejuang pada masa agresi militer Belanda medio 1945-50. Waktu itu pejuang kemerdekaan menggunakan taktik bumi hangus untuk menghambat pergerakan tentara Belanda di Bengkulu. Tapi para pejuang enggak sanggup membakarnya, tidak seperti bangunan vital lain yang sukses dibumihanguskan. Hal ini menjadi indikasi kuatnya benteng ini. Konon lagi, salah satu benteng terkuat Britania di Nusantara.

Narsis sebelum masuk. Loket belum ada penjaganya. Masuk gratis, keluarnya bayar.
Benteng ini sendiri merupakan simbol penjajahan oleh koloni Britania. Di dalam benteng terdapat makam tiga pejabat Britania yang tewas diujung senjata rakyat Bengkulu. Charles Murray, Thomas Parr dan Rob Hamilton. Alkisah rakyat Bengkulu marah kepada Inggris karena telah membunuh Pangeran kerajaan Selebar, Nata Di Raja dalam benteng York. Pangeran menjalin hubungan dengan Belanda sehingga Inggris merasa terancam monopolinya terhadap peradagangan lada dan merasa tidak senang dengan kehadiran Belanda di Bengkulu. Thomas Parr dan teman-temannya sebenarnya terbunuh di luar benteng, tapi karena kemarahan rakyat Bengkulu belum padam pada waktu itu, akhirnya Inggris memutuskan untuk memakamkan ia di dalam benteng.

Makam ketiga pejabat EIC di dalam benteng.

Monumen Thomas Parr yang berjarak sekitar 100 meter dari benteng.
Benteng ini lebih merupakan simbol kejayaan Britania di Nusantara alih-alih simbol perjuangan rakyat. Tapi diluar itu daya tarik utama benteng ini ialah letaknya yang cantik. Mungkin di dukung waktu kunjunganku yang tepat. Pagi itu cuaca cerah dan matahari bersinar dari balik perbukitan utara. Ambience yang segar meskipun angin laut cukup kuat. Khawatir masuk angin, aku kemudian membuka sarapan dan menyantapnya di atas benteng. Salah satu sarapan terindahku selama perjalanan ini. Meskipun menunya hanya nasi & nugget, tapi pemandangan sekitar benteng menjadikan mood sarapan sangat enak.

Salah satu sudut benteng yang menghadap ke samudra Hindia. Segarnya udara di pagi itu masih lekat dalam ingatanku akan tempat ini.
Begitulah awal perjumpaanku dengan Bengkulu. Kalau boleh jujur, solo trip ini rasanya dimulai dari sini. Dari perjalanan Palembang ke Bengkulu. Menuju kota asing tanpa satu kenalan pun. Berbekal hasil browsing di internet plus peta dari Google Maps, aku merasa cukup berhasil mengunjungi kota ini meski hanya sekilas. Meskipun akhirnya tidak jadi ke pantai Pasir Panjang karena laut sedang ganas pagi itu, aku berhasil mengunjungi rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu dan numpang mandi disana. Cerita mengenai ini aku simpan untuk tulisan selanjutnya yah :)

Jumat, 25 November 2016

Solo Trip Swarnadwipa 07: Rumah pengasingan Soekarno

Setelah mengunjungi situs bersejarah milik kolonial Inggris, aku hendak mengunjungi pantai Pasir Panjang yang menjadi primadona wisata di Bengkulu. Meskipun foto-foto yang dipajang di internet menurutku biasa saja, tapi aku tetap ingin mengunjunginya karena ini simbol wisata Bengkulu.

Menurut Google Maps, jarak pantai tersebut dengan benteng Marlborough tidak terlalu jauh. Aku memutuskan untuk berjalan kaki sambil menelusuri jalan raya yang sebelah selatan benteng. Menyusuri jalan raya tepi laut. Melewati perkampungan nelayan. Terselip juga spanduk yang menawarkan paket wisata ke pulau Tikus diantara rumah-rumah nelayan tersebut.

Jalan raya dan laut dipisahkan tembok beton yang cukup tinggi. Aku tidak bisa melihat langsung pantainya namun laut masih terlihat. Laut di pagi itu tampak ganas. Ombaknya mempermainkan kapal-kapal nelayan yang bersandar disekitar pantai. Membuat kapal naik turun dengan kasar. Dipermainkan ombak yang hendak menyasar daratan. Ombak yang hancur menghantam pembatas beton. Menghamburkan air laut ke jalan raya. Laut tampak sedang kurang bersahabat pagi itu. Pantai Panjang terasa enggan dikunjungi.

Berjalan beberapa ratus meter, aku memutuskan untuk mampir sejenak ke warung kopi yang baru buka. Warung kopi, konon merupakan tempat terbaik untuk mencari informasi tentang kota. Begitulah petuah yang pernah diujarkan pejalan terdahulu. Aku memang berniat menikmati segelas kopi untuk sekedar mengurangi lelah. Tentu kesempatan untuk mencari tahu tentang transportasi menuju tempat-tempat yang ingin aku datangi tidak mungkin aku lewatkan juga. Duduk, memesan kopi lalu bertanya. Tentang transportasi umum. Tentang keseharian lawan bicara. Tentang laut yang tidak juga tenang. Perbincangan santai di pagi yang cerah dan berangin kencang.

Dari obrolan santai warung kopi, tahulah aku bahwa pantai pasir panjang yang ingin aku kunjungi jaraknya masih lumayan jauh. Naik ojek kena sepuluh ribu. Itu harga lokal. Jika tau aku orang asing (dalam artian bukan orang Bengkulu), maka harga yang dikenakan mungkin akan lebih mahal. Cara untuk "menyamar" sebagai warga lokal ialah dengan langsung membayar dengan jumlah yang biasa dibayarkan warga lokal. Jangan tanya ongkos kepada tukang ojek atau supir angkot. Mereka akan menyebutkan harga di atas harga yang biasanya dibayarkan warga lokal. Tanya kepada penumpang atau warga lokal yang tidak terlibat bisnis transportasi. Mereka bebas kepentingan "menipu" ongkos.

Sebenarnya jumlah yang dinaikkan para supir atau tukang ojek tidak terlalu mahal. Jika anda sedang berlibur dan punya budget berlebih, bolehlah kasih harga yang mereka minta. Paling mahal naik 10-20 ribu. Untuk angkot paling naik 2-5 ribu. Enggak mahal kalo sekali naik. Enggak mahal kalo bisa nginep di hotel dengan rate 200 ribu ke atas. Tapi untuk backpacker yang tidak punya budget hotel dan bermalam dengan menumpang rumah warga, maka setiap rupiah berharga. Iya, mungkin terkesan pelit, tapi inilah cara untuk bertahan. Perjalanan masih jauh. Dana juga terbatas. Tidak bijak rasanya mengeluarkan dana berlebih jika kita bisa mendapatkan harga lokal, hehehe..

Selain pasir panjang, aku juga menanyakan cara menuju rumah pengasingan bung Karno. Cukup sekali naik angkot. Bayar 4 ribu. Bilang mau turun di rumah bung Karno. Naiknya dari jalan yang disitu, tunjuk bapak yang aku ajak bicara sambil menujuk jalan lain dibalik warung. Angkot tidak melewati jalan tepi laut. Dari rumah Soekarno ke pasir panjang, ojek juga sepuluh ribu. Dari pasir panjang ke pelabuhan pulau Baai, ojek dua puluh ribu. Oke deh pak, terima kasih atas informasinya.

Waktunya beranjak dari warung kopi. Kemanakah harus kulangkahkan kaki? Melihat kondisi laut dengan ombak yang masih menampar-nampar pembatas beton, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah pengasingan Soekarno dulu. Batin juga ragu, akankah aku melepaskan kesempatan berkunjung ke pantai pasir panjang?

Rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu. Halamannya luas!

Yah kita liat nanti saja setelah berkunjung ke rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kawasan benteng Marlborough. Ketika aku sampai disana, masih ada rombongan turis yang sepertinya dari Jakarta sedang berkunjung ke sana. Rumahnya relatif sepi tapi bukan tidak ada pengunjung sama sekali. Halamannya luas, jauh lebih luas daripada rumah pengasingan di Ende. Meskipun begitu, luas bangunannya hampir sama. Malah saya hampir merasa deja vu. Maklum, interior bangunannya mirip dengan rumah pengasingan di Ende. Hanya halamannya saja yang sangat luas. Kalau rumah pengasingan di Ende terletak disekitar rumah warga, jalan di depan rumahnya pun hanya cukup untuk dua mobil, maka rumah pengasingan yang di Bengkulu ini berada di depan jalan raya yang cukup luas. Toko oleh-oleh pun berjajar disekitar rumah tersebut. Sepertinya memang dikondisikan sebagai salah satu objek wisata utama Bengkulu.

Bagian depan rumah

Narsis dulu di dalam rumah, di tengah ruang utama.

Rumah ini menjadi vital karena disinilah konon bung Karno bertemu dengan Fatmawati yang kelak menjadi istrinya. Tidak heran jika di rumah ini tersimpan beberapa barang kenangan yang menjadi saksi kisah cinta sang Proklamator dengan ibu Fatmawati. Selain menjadi istrinya, ibu Fatmawati juga berperan besar dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah penjahit bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan di republik ini. Mesin jahit untuk menjahit bendera tersebut konon masih di pajang di rumah Fatmawati yang jaraknya tidak jauh dari rumah ini. Namun sayangnya aku tidak sempat mengunjungi rumah tersebut.

Surat cinta bung Karno kepada Fatmawati.

Bung Karno sendiri diasingkan kemari dari Ende. Beliau menempati rumah ini sejak tahun 1938 sampai tiga tahun sebelum proklamasi. Selain kisah percintaannya dengan Fatmawati, bung Karno juga mengasuh tonil Monte Carlo. Kostum pementasannya masih tersimpan disini. Sayangnya hanya sekedar tersimpan dalam lemari kaca. Menurutku akan lebih menarik jika ada display dangan manekin. Suhu ruangan juga perlu diperhatikan karena tidak ada pengatur suhu di ruangan ini. Agak khawatir jika kostum-kostum ini rusak karena suhu. Begitu pula buku-buku Soekarno yang dipajang di ruang utama. Koleksi penting terakhir ialah sepeda onthel yang digunakan bung Karno selama masa pengasingannya di Bengkulu.

Aku selesai mengeksporasi rumah ini setelah 30 menit. Meski tidak lama, tapi matahari sudah tinggi. Maklum, ketika memasuki rumah tersebut pun, matahari sudah cukup terik. Dengan kondisi badan belum mandi, aku merasa mendapatkan kesempatan mandi disini ketika memasuki wc nya. Bersih dan airnya melimpah. Segar pula. Untungnya waktu itu pengunjung yang masih ada tinggal aku sendiri. Nekat bin niat, aku mengeluarkan perlengkapan mandi dari carrier. Bersama tas kamera, handuk dan kolor aku memasuki kamar mandi di rumah Soekarno. Carrier aku tinggalkan di dalam. Tidak terjaga meski letaknya agak tersembunyi. Bodo dah, abis mau minta tolong siapa buat nungguin? Yah inilah enggak enaknya pergi sendirian. Tapi aku berani meninggalkan carrier itu karena isinya hanya baju. Yang bersih dan yang kotor. Jadi kalaupun aku kehilangan tas itu, aku "hanya" kehilangan pakaian saja. Ponsel, kamera dan dompet aku bawa ke dalam kamar mandi. That's why aku membawa mirrorless yang ukurannya jauh lebih ringkas daripada kamera SLR.

Kamar mandinya terletak di ruangan paling ujung..

Jadilah aku menyegarkan diri disini. Kegiatan sederhana yang berasa "sesuatu banget". Numpang mandi di rumah proklamator. Kegiatan senderhana yang nanti berulang di rumah bujang bung Hatta di Bukittinggi. Menemukan kamar mandi yang bener kadang menjadi sebuah kemewahan tersendiri dalam perjalanan seperti ini. Apalagi di tempat bersejarah.

Akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan kesempatan mengunjungi pantai Pasir Panjang. Aku memilih untuk berisitirahat sambil menunggu waktu sholat Jumat. Kebetulan di depan rumah ini ada masjid. Jadilah aku beristirahat disana. Lumayan, kesempatan meluruskan badan dan meletakkan bawaan yang mulai terasa berat. Untungnya sambutan pengurus masjid cukup baik. Aku merasa benar-benar menjadi musafir. Jadi begini ya, rasanya.. pantas saja Islam memberi kemuliaan kepada mereka yang menolong musafir dan memuliakan tamu. Aku tidak bisa membalas apa-apa pada saat itu kecuali doa. Berasa jadi fakir miskin sesaat karena banyak menerima bantuan yang benar-benar aku butuhkan. Tempat istirahat. Tempat mandi dan membersihkan diri. Informasi perjalanan. A simple important things.


Travelling is a brutality. It forces you to trust strangers and to lose sight of all the familiar comfort of home and friends. You are constantly off balance. Nothing is yours except the essentials: air, sleep, dreams, sea, the sky - all the things towards the eternal or what we can imagine of it.  ― Cesare Pavese

Sabtu, 12 November 2016

Solo Trip Swarnadwipa 05: Selamat tinggal Palembang!

Pada tulisan sebelumnya, aku sempat berencana untuk mengunjungi dua museum utama di Palembang: Balaputra Dewa dan Sultan Badarudin II. Namun hanya satu museum yang akhirnya sempat aku kunjungi. Hujan deras yang mengguyur Palembang ketika aku mengikuti panduan Google Maps menuju museum kedua memaksaku berteduh dulu. Tampaknya aku tidak akan keburu mengunjungi museum kedua karena museum tersebut hanya buka sampai jam 5 sore.

Menatap hujan dengan pasrah dan keinginan untuk menikmati setiap momen perjalanan, mataku menemukan sesuatu yang menarik dekat tempatku berteduh. Warung mi celor! Salah satu daftar kulinerku selain pempek dan martabak har. Kebetulan yang lezat. Menyantap mi celor dikala hujan jadi berkah tersendiri di hari itu. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan berkunjung ke Badarudin II. Mungkin takdir menyuruhku beristirahat sambil menikmati kuliner terbaik Palembang yang pernah aku cicipi sampai saat ini.

Kelezatan yang lekat dalam ingatan. Gurih yang bikin nagih.

Meskipun tempat ini bukan mi celor 26 ilir yang terkenal itu tapi rasanya maknyus! Belakangan aku baru tau kalau kedua tempat ini berdekatan. Besoknya ketika aku sengaja mendatangi mi celor 26. Ternyata tempat tersebut masih tutup. Pergi dengan kecewa, aku menelusuri pasar untuk melanjutkan perjalanan. Namun baru beberapa meter beranjak, aku melihat sesuatu yang familiar: warung mi celor kemarin! Rasa kuahnya yang gurih masih lekat dalam ingatan. Jadilah aku kembali mampir. Enggak apa-apa batal nyobain mi celor 26. Toh gantinya memuaskan. Kuliner terlezatku selama di Palembang, ya mi celor ini :)

Kadang aku berpikir, kuliner yang lezat itu sebuah kebahagiaan yang simpel. Tidak perlu banyak memutar otak. Tidak perlu berjalan jauh atau mendaki. Cukup membuka mulut dan menyiapkan perut. Dan menyiapkan uang untuk membayar, tentu saja. Ketika lidah kita senang, kita akan bahagia. Meskipun untuk menyenangkan lidah kadang terasa rumit. Tapi biarlah sang koki yang berurusan dengan kerumitan rasa. Untuk penikmat yang nggak bisa masak seperti saya, urusannya hanya soal mencicipi dan membayar, hehehehe...

---

Matahari sudah condong ke barat ketika aku selesai menikmati mi celor tersebut. Sudah lewat jam 5. Museum sudah tutup. Tapi hal ini tidak menyurutkan langkahku menuju jembatan Ampera. Nggak mungkin jembatan ini ikut-ikutan tutup seperti museum. Lagipula sepertinya banyak tempat nongkrong yang asyik disekitar ilir. Jadi aku mengarahkan langkah kesana dengan niat untuk beristirahat sejenak alias nongkrong. Itung-itung istirahat sambil merenungkan pengalaman tadi siang sambil menikmati panorama Ampera di malam hari.

Jembatan Ampera adalah icon kota Palembang. Pada masa lalu hingga masa kini. Penting karena ia berperan sebagai pemersatu daerah ilir dan ulu. Meskipun dari pantauan sekilas, pembangunan di ulu tidak sepesat ilir, namun tetap saja ulu adalah bagian dari kota Palembang. Keberadaan jembatan ini juga menegaskan sepenting apa sungai Musi bagi Palembang. Dulu, di awal pembangunannya, jembatan ini dapat diangkat untuk mengakomodasi kapal-kapal besar yang melintasi Musi.

Penampakan awal jembatan Soekarno, Palembang. Jembatan ini berganti nama menjadi jembatan Ampera pada 1966, ketika sentimen anti-Soekarno meningkat di awal pemerintahan Orba. Gambar bersumber dari sini 

Jembatan di kota air. Jembatan besar yang menjadi simbol kita. Menurutku, Palembang merupakan salah satu kota di Indonesia yang tata kotanya (harusnya) berbasiskan air atau sungai. Sayangnya kota Palembang sepertinya tidak dibangun berdasarkan aliran sungai tapi kontur daratan. Kondisinya mengingatkanku pada Banten. Peranan jalur air dan sebutan sebagai negara kepulauan tampaknya sudah dilupakan pengambil kebijakan yang membangun Indonesia. Semoga presiden Jokowi tidak demikian.

Nongkrong di daerah 26 Ilir memang bikin betah. Aku menghabiskan beberapa jam hanya duduk di dalam restoran cepat saji di daerah ini. Menatap Ampera yang berganti wajah. Menikmati malam dalam riuh rendah ala kota besar. Rencananya ini malam terakhir aku menginap di Palembang. Besok sore aku akan berkemas menuju Bengkulu. Kebetulan malam ini bulan purnama. Tampak cerah bersinar di atas Ampera. Seperti ucapan selamat tinggal yang melankolis. Selamat malam dan selamat tinggal Palembang.

Goodnight and goodbye, Palembang.



Senin, 07 November 2016

Solo Trip Swarnadwipa 04: Museum Sepuluh Ribu Rupiah!

Pagi kedua di Palembang tampaknya akan sangat padat. Meskipun mega mendung menggantung di langit, namun aku memutuskan untuk terus berjalan. Terlalu penasaran untuk diam saja. Setelah perjumpaan tidak terduga di Bukit Siguntang, aku tidak sabar untuk menantikan "kejutan" lain dari kota ini.

Nah karena aku masih penasaran dan tidak tahu banyak mengenai Palembang, Maka aku berencana untuk kembali menggali sejarahnya dengan mengunjungi museum. Museum yang akan dikunjungi ialah museum Balaputra Dewa dan Sultan Mahmud Badarudin II.

Museum yang disebut duluan ialah tujuan pertama. Motifnya tidak lain karena keberadaan rumah limas, rumah yang digambarkan di uang sepuluh ribu rupiah. Aku ingin berswafoto dengan latar museum ini, karena itu aku memutuskan untuk mengunjungi museum ini terlebih dahulu daripada Sultan Badarudin II. Motifnya murni narsis.

Yah tentu saja selain untuk belajar sejarah. Karena memang sejarah yang membuatku penasaran saat itu. Jadilah aku meluncur dari daerah rumah kawanku di Talang Kelapa menuju museum tersebut dengan sepeda motor pinjaman.

Museum yang namanya diambil dari salah satu tokoh Sriwijaya ini berada di dalam kota meskipun bukan di pusatnya. Jalan menuju kemari relatif sepi. Malah agak tersembunyi dari keramaian kota. Tidak seperti museum Sultan Badarudin II yang berada tepat di pusat keramaian Palembang.

Menurut Oka, museum ini lebih banyak menceritakan sejarah kerajaan Sriwijaya daripada kesultanan Palembang. Sedangkan museum yang banyak menyimpan sejarah Palembang ialah museum Sultan Badarudin II. Kesan itu memang terasa ketika memasuki taman prasasti, dimana beberapa prasasti yang berasal dari Bukit Siguntang dipajang di museum ini.

Area prasasti. Masih sangat butuh dikembangkan jadi lebih menarik lagi.

Jumlahnya tidak terlalu banyak dan terkesan seadanya saja. Tergeletak disana lebih karena keharusan alih-alih memuliakan masa lalu. Mungkin museum ini terkendala dana, entahlah. Yang pasti museum ini masih butuh gairah, butuh dikunjungi, butuh dipelihara dan diperhatikan lebih oleh masyarakat dan pemerintah. Prasasti-prasasti ini tampak kesepian dan terlupakan.

Keprihatinan ini agak berkurang ketika aku memasuki halaman belakang atau bagian terakhir dari museum ini. Pada area luar ruang ini terpajang beberapa rumah khas Sumatra Selatan dengan ukuran yang sebenarnya. Primadonanya apalagi kalau bukan rumah limas. Rumah uang sepuluh ribu rupiah. Tampaknya si pelukis uang langsung menggambarnya dari tempat ini. Sudut pengambilan gambarnya benar-benar pas antara yang asli dengan yang tergambar di lembaran uang sepuluh ribu.

Rumah Sepuluh Ribu Rupiah diambil dari sini.

Rumah ini dinamakan rumah limas karena atapnya berbentuk limas. Orang Palembang sendiri menyebut rumah ini sebagai rumah bari, artinya rumah lama. Beginilah bentuk rumah orang Palembang di masa lalu.

Rumah ini sendiri terdiri dari dua bagian besar yang terhubung. Bagian pertama rumah ini berisi pelaminan ala Palembang. Kamar-kamar pengantin, lemari besar, kotak untuk menyimpan perhiasan, dan benda-benda yang biasa dipakai dalam acara-acara besar. Satu kesamaan dari benda-benda ini ialah warnanya didominasi oleh warna kuning. Wajar karena kuning ialah warna kebesaran Melayu. Selain itu pengaruh Cina juga terasa dalam kamar pengantin Palembang yang meriah dengan berbagai warna.

Pelaminan pengantin Palembang. Akulturasi Melayu-Cina

Aksesoris perabotan. Didominasi warna emas.

Sedangkan bagian kedua rumah ini relatif sepi dari berbagai pajangan barang. Dari penjelasan yang aku dapatkan dari penjaga museum, bagian ini ialah tempat aktivitas keseharian orang Palembang. Sedangkan bagian pertama tadi merupakan aktivitas ketika ada acara-acara besar atau tempat menyambut tamu.

Bagian belakang. Sepi perabotan.

Bagian belakang rumah terdiri dari kamar tidur, dapur, ruang tenun. Tidak banyak barang yang dipajang disini. Ada beberapa miniatur rumah adat Sumatra Selatan seperti rumah adat OKU alias Ogan Komerin Ulu, dan rumah adat dari daerah lainnya.

Miniatur rumah adat. Tergeletak menyedihkan di pojok ruangan
Alat pintal. Berdebu dan butuh diperhatikan.

Pada akhirnya, kunjungan ke museum ini terasa singkat. Meskipun terisi pengetahuan baru, namun rasanya agak hambar. Mungkin karena terlalu banyak informasi yang aku dengar dari penjaga museum. Atau mungkin juga karena Palembang sudah "terlalu kota" sehingga kekhasan daerahnya terasa agak hilang. Memasuki museum Balaputra Dewa, aku merasa sedikit mirip saat memasuki museum gajah sebelum direnovasi. Agak old fashioned. Kurang bergairah meskipun keberadaan rumah sepuluh ribu rupiah cukup menarik untuk berswafoto.

Spot wajib narsis meskipun panas menyengat

Ah aku kira seharusnya rumah-rumah adat ini menjadi pusat museum. Menempati lahan yang luas adalah sebuah keuntungan, nilai tambah, Modal ini harusnya dilengkapi dengan cerita dari isi rumah. Barang-barang yang dipajang benar-benar "mati". Diam dalam sunyi. Enggan bercerita kepada pengunjung yang datang. Minim keterangan, tanpa foto, tanpa cerita. Harusnya keberadaan barang-barang ini dapat bercerita lebih banyak. Menceritakan tentang Palembang. Melantunkan kehidupan masyarakat Sumatra Selatan kepada mereka yang datang. Entah peminat sejarah-budaya atau pelajar lokal yang ingin mengenal kebudayaannya sendiri. Semoga museum ini dapat berbenah dan berkembang dalam menceritakan tentang Palembang dan Sumatra Selatan. Aamiin.