Rabu, 14 Juni 2017

Solo Trip Swarnadwipa 18 - Secuplik cerita dari daerah penghasil teh terbaik dunia

Setelah hari yang menakjubkan dan melelahkan di danau Kaco, aku masih menghabiskan satu hari lagi di Siulak Gedang. Sekedar istirahat memulihkan diri sambil bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Bersiap memulihkan kondisi fisik dan barang bawaan. Barang bawaan ini maksudnya pakaian. Yah, waktu satu hari penuh sudah cukup untuk mencuci pakaian yang amat kotor hasil kunjungan ke danau Kaco. Mengurangi beban pakaian kotor dan lumpur.

Selfie candid bersama Dedi dan kedua mertuanya sebelum pamit. Terima kasih banyak Ded!

Aku amat berterima kasih kepada Dedi yang memberiku kesempatan menginap satu hari lagi. Yah, bukan hanya itu sih tapi juga tempat berlindung selama di Kerinci. Tidur, mandi, mencuci, bahkan beberapa kali sarapan dan makan malam bersama. Mendapatkan tempat berlindung bagi backpacker kere macam aku amat besar artinya. Aku mendapatkan waktu istirahat tambahan tanpa harus menambah anggaran terlalu banyak. Paling hanya biaya hidup (makan, sabun cuci) saja yang bertambah. Amat signifikan jika harus menyewa kamar losmen.

---

Keesokan harinya aku bersiap untuk pamit. Namun karena travel ke Padang baru ada pada malam hari, maka aku memutuskan untuk mengunjungi basecamp teman-teman Dedi di Kayu Aro. Lagipula jalur travel ke Padang juga akan melewati basecamp mereka, jadi cocoklah sudah.

Sebelumnya kami sempat berkenalan di calon penginapan baru Dedi di Siluak Deras. Sama-sama pemandu di Kerinci namun menekuni pasar yang agak berbeda. Basecamp mereka berada di Pelompek, cukup jauh dari tempat Dedi. Perjalanan kesana akan melewati perkebunan teh Kayu Aro. Konon, teh Kayu Aro merupakan teh nomer 1 dunia. Kualitas grade 1 nya tidak dipasarkan di dalam negeri tapi diekspor ke Eropa untuk konsumsi keluarga kerajaan-kerajaan di Eropa sana. Konon, termasuk kerajaan Inggris. Wow, luar biasa! Sayangnya aku tidak bisa mampir karena membutuhkan ijin khusus perusahaan untuk berkunjung kesana.

Pintu gerbang kantor perkebunan Kayu Aro

Rumah di area perkebunan yang tampaknya dibangun pada masa kolonial

Maka aku harus puas dengan memotret perjalanan dari dalam angkot Siluak Deras-Pelompek. Sebenarnya ruas jalan ini amat menyenangkan. Sayang aku tidak melaluinya dengan sepeda motor yang bisa berhenti kapan saja aku suka, tapi harus mengikuti ritme angkot mengangkut penumpang. Untungnya aku bisa duduk di depan, jadi pandangan cukup leluasa untuk memotret.

Perjalanan yang menyenangkan di hari cerah. Seandainya aku naik motor ketika itu...

Kebun teh di latar depan dan Gunung Kerinci di latar belakang menjadi pemandangan dominan sepanjang jalan. Monoton tapi tidak membosankan karena sudut pandangnya terus berubah. Kadang terbersit keinginan untuk turun dan menunggu angkot selanjutnya, tapi karena khawatir tidak ada lagi angkot yang lewat (menunggu angkot ini juga cukup lama) maka aku mengurungkan niat tersebut.

Dipotret dari dalam angkot yang bergerak, ini satu-satunya jepretanku dengan objek patung macan, landmark gerbang pendakian Kerinci

Aku juga melewatkan niat berhenti sejenak patung macan, gerbang pendakian ke Gunung Kerinci dan kunjungan ke Aroma Pecco, tempat peristirahatan di sekitar kebun teh Kayu Aro. Cukup puas dengan memotretnya dari dalam angkot yang berjalan. Fotonya tidak maksimal, tentu saja. Tapi cukup lah untuk sekedar menjadi pengingat rasa perjalanan di masa depan. Kadang perasaan seperti ini dapat menjadi motivasi untuk kembali berkunjung. Menyempatkan diri lebih lama untuk berfoto dan merasakan perjalanan. Membuang perasaan menyesal di kemudian hari. Merasakan lebih banyak nikmat dan lebih banyak syukur sepanjang kehidupan.

Perjalanan panjang yang terasa singkat. Perempatan Pelompek sudah tercapai. Keluar dari angkot, aku lantas mencari tempat makan dan menghubungi teman-teman Dedi: Cen, Nanda, dkk. Tidak terhubung. Mungkin mereka sedang di tengah gunung. Baiklah, aku menunggu sambil makan siang. Kebetulan dekat situ ada warung nasi. Aku masih penasaran dengan dendeng batokok, maka aku memesan menu yang sama untuk makan siang. Tapi ternyata zonk. Hanya dendeng biasa. Alot dan rasanya kalah jauh dengan dendeng batokok di tempat Dedi. Tidak apa, yang penting perut terisi dan kondisi tubuh terjaga.

Tidak lama, pesan terbalas. Basecamp Indralaya hanya berjarak dua rumah dari perempatan. Cen sedang di Padang, Nanda sedang mengantar tamu. Baiklah, aku menunggu saja di base. Namun sayangnya tidak ada siapapun disana. Pintu terkunci, terpaksa menunggu di luar. Untung tidak hujan, tapi terasa amat membosankan kala itu.

Tidak lama, salah satu anak buah Cen datang. Pintu dibuka dan aku merebahkan diri sejenak di dalam. Terlalu lama duduk, tulang ekor butuh beristirahat. Lagipula anak tadi langsung menghilang setelah membukakan pintu. Meninggalkan aku sendiri dengan sajian teh dan kopi. Sayang bukan teh Kayu Aro, hanya teh celup biasa yang banyak aku temui di ibukota. Salah satu ironi lagi aku temui disini. Tampaknya rasa penasaranku dengan rasa teh Kayu Aro harus tertunda lebih lama lagi.

Basecamp ala pendaki. Akhirnya tempat merebahkan punggung!

Sedikit teh tanpa kopi, dan aku memilih untuk tiduran. Mengistirahatkan punggung dan pantat. Tidur terlentang dan tengkurap bergantian. Menunggu penghuni basecamp datang dan meramaikan tempat ini. Sekedar mendengar cerita keseharian manusia Kerinci sambil menunggu malam dan travel menuju Padang.

Dua jam tertidur lalu datanglah mereka. Habis dari Goa Kasah rupanya. Nanda sedang mengantar mahasiswi dari Jambi. Si mahasiswi yang aku lupa namanya ini tampak sudah akrab dengan penghuni basecamp. Kenal ketika pkl katanya. Kali ini datang kembali untuk berlibur sebab di kota Jambi terasa begitu kering wisata alam. Ke Kerinci dia pergi berlibur.

Narsis di depan basecamp Indralaya

Keramaian datang bersama cerita. Berceritalah aku, berceritalah mereka. Kami saling bertukar cerita. Ceritaku sudah kutulis pada artikel sebelumnya. Cerita mereka akan aku tulis disini. Keseharian mereka adalah petani atau peladang. Hasil kebun kentang dan sayur menjadi andalan mereka untuk membiayai hidup. Namun dengan begitu mereka hanya mendapatkan penghasilan tiap kali panen. Penghasilan tambahan baru didapatkan jika ada pendaki yang mereka antar ke puncak. Entah puncak Kerinci, entah danau Gunung Tujuh. Tampaknya kedua tujuan tersebut menjadi andalan mereka dan favorit para tamu.

Kerinci tampaknya memang butuh investor untuk berkembang. Banyak potensi yang belum tergali. Nanda bercerita bahwa ada beberapa air terjun yang dapat menjadi potensi wisata, namun belum ada jalan kesana. Jalan setapak maksudnya. Sedangkan Cen pernah membuka sendiri jalan menuju satu air terjun. Aku lupa mencatat namanya, lebih tertarik pada cerita mereka membuka jalan setapak. Itu berarti tempatnya masih perawan.

Aku juga tertarik melihat beberapa foto tumbuhan kantong semar yang mereka tunjukkan di laptop. Aku memang bukan biologist yang paham dengan berbagai jenis flora-fauna, tapi melihat spesies berbentuk unik yang jarang aku lihat menimbulkan ketertarikan baru. Bikin penasaran untuk menjelajah hutan Kerinci (tapi tidak sekarang). Cerita tentang jejak harimau juga bikin kepo, ngeri-ngeri sedep istilahnya. Tertarik tapi juga agak takut. Oia, tentang nama tempat, Pelompek ini konon artinya tempat pelompatan harimau. Paling tidak begitulah menurut cerita yang mereka dengar dari para tetua mereka.

Selain itu aku juga mendapat cerita tentang Gua Kasah. Konon gua purbakala dimana masih banyak tersimpan artefak arkeologi yang belum digali. Oiya, si mahasiswi tadi mengambil jurusan arkeologi. Makanya dia tertarik dengan goa Kasah tersebut. Aku juga pernah membaca sekilas tentang goa Kasah ini ketika mencari info Kerinci di internet, tapi informasinya amat minim. Menurut mereka, goa tersebut bahkan belum menjadi tempat wisata (belum ada retribusi resmi ataupun pos jaga), hanya untuk menuju kesana kita butuh pemadu dari desa tersebut. Retribusi paling hanya untuk membayar pemandu desa.

Nah mengenai hal unik lainnya, ketika di Siulak Gedang aku mendengar rumus 3p untuk perempuan Kerinci, yaitu putih, pesek, pendek. Maaf bukan bermaksud Sara, tapi aku jadi melihat rumus itu benar adanya saat memperhatikan lebih seksama perempuan Kerinci. Lagipula 3p bukan hal yang buruk menurutku, hanya sebuah keunikan yang membedakan ciri fisik dengan perempuan dari tempat lain. Yah wajar topik perempuan juga jadi bahasan obrolan lelaki sebagaimana lelaki jadi topik obrolan kaum hawa.

Makan malam sambil menunggu travel menuju Padang

Cerita berlanjut curhat. Aku mendengarkan dan terasa cukup prihatin karena ketika sedang tidak panen atau menanam, mereka hanya mengandalkan pemasukan dari memandu tamu naik. Waktu lebih banyak terbuang. Apalagi harga kebutuhan pokok cenderung lebih mahal disini karena agak terpencil. Mencapai tempat ini berarti melewati jalan menanjak berliku yang rawan longsor. Meskipun kaya akan hasil kebun, tapi kebutuhan pokok lainnya masih harus didatangkan dari Padang. Listrik pun lebih sering padam daripada menyala. Aku merasakan kesempatan berkembang amat terbatas. Ingin rasanya membantu tapi aku belum tau harus bagaimana membuka kesempatan bagi mereka. Penduduk dibalik gunung kadang sama terisolasinya dengan penduduk dari pulau terpencil. Ingin rasanya membantu mereka berkembang. Mungkin tulisan ini jadi awal niatan tersebut, karena Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia bukan hanya Jawa. Kerinci juga Indonesia. Kerinci juga butuh berkembang.


Kebersamaan dan obrolan singkat terasa lekat ketika itu. Ingin rasanya tinggal dan mengenal mereka lebih lama. Berbaur dan merasakan menjadi orang Kerinci / Kayu Aro. Tapi budget membatasi waktuku disana. Aku sudah harus melanjutkan perjalanan ke Padang karena tujuanku kali ini keliling Swarnadwipa, bukan hanya Kerinci saja. Terima kasih Dedi, Nanda, dan teman-teman dari basecamp Indralaya di Pelompek. Semoga kita dapat berjumpa dan berdiskusi lebih lama lain waktu. Semoga ada umur untuk berjumpa lagi. Semoga lain waktu dapat membantu lebih jauh tidak sekedar berkunjung. Selamat tinggal Kerinci, aku pamit menuju Padang.