Setelah hari yang menakjubkan dan melelahkan di danau Kaco,
aku masih menghabiskan satu hari lagi di Siulak Gedang. Sekedar istirahat
memulihkan diri sambil bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Bersiap memulihkan
kondisi fisik dan barang bawaan. Barang bawaan ini maksudnya pakaian. Yah,
waktu satu hari penuh sudah cukup untuk mencuci pakaian yang amat kotor hasil
kunjungan ke danau Kaco. Mengurangi beban pakaian kotor dan lumpur.
Aku amat berterima kasih kepada Dedi yang memberiku
kesempatan menginap satu hari lagi. Yah, bukan hanya itu sih tapi juga tempat
berlindung selama di Kerinci. Tidur, mandi, mencuci, bahkan beberapa kali
sarapan dan makan malam bersama. Mendapatkan tempat berlindung bagi backpacker kere macam aku amat besar
artinya. Aku mendapatkan waktu istirahat tambahan tanpa harus menambah anggaran
terlalu banyak. Paling hanya biaya hidup (makan, sabun cuci) saja yang
bertambah. Amat signifikan jika harus menyewa kamar losmen.
---
Keesokan harinya aku bersiap untuk pamit. Namun karena
travel ke Padang baru ada pada malam hari, maka aku memutuskan untuk
mengunjungi basecamp teman-teman Dedi
di Kayu Aro. Lagipula jalur travel ke Padang juga akan melewati basecamp mereka, jadi cocoklah sudah.
Sebelumnya kami sempat berkenalan di calon penginapan baru
Dedi di Siluak Deras. Sama-sama pemandu di Kerinci namun menekuni pasar yang
agak berbeda. Basecamp mereka berada di Pelompek, cukup jauh dari tempat Dedi. Perjalanan
kesana akan melewati perkebunan teh Kayu Aro. Konon, teh Kayu Aro merupakan teh
nomer 1 dunia. Kualitas grade 1 nya
tidak dipasarkan di dalam negeri tapi diekspor ke Eropa untuk konsumsi keluarga
kerajaan-kerajaan di Eropa sana. Konon, termasuk kerajaan Inggris. Wow, luar
biasa! Sayangnya aku tidak bisa mampir karena membutuhkan ijin khusus
perusahaan untuk berkunjung kesana.
Pintu gerbang kantor perkebunan Kayu Aro |
Rumah di area perkebunan yang tampaknya dibangun pada masa kolonial |
Maka aku harus puas dengan memotret perjalanan dari dalam
angkot Siluak Deras-Pelompek. Sebenarnya ruas jalan ini amat menyenangkan.
Sayang aku tidak melaluinya dengan sepeda motor yang bisa berhenti kapan saja
aku suka, tapi harus mengikuti ritme angkot mengangkut penumpang. Untungnya aku
bisa duduk di depan, jadi pandangan cukup leluasa untuk memotret.
Kebun teh di latar depan dan Gunung Kerinci di latar
belakang menjadi pemandangan dominan sepanjang jalan. Monoton tapi tidak
membosankan karena sudut pandangnya terus berubah. Kadang terbersit keinginan
untuk turun dan menunggu angkot selanjutnya, tapi karena khawatir tidak ada
lagi angkot yang lewat (menunggu angkot ini juga cukup lama) maka aku
mengurungkan niat tersebut.
Dipotret dari dalam angkot yang bergerak, ini satu-satunya jepretanku dengan objek patung macan, landmark gerbang pendakian Kerinci |
Aku juga melewatkan niat berhenti sejenak patung macan, gerbang pendakian ke Gunung Kerinci dan kunjungan ke Aroma Pecco, tempat peristirahatan di sekitar kebun teh Kayu Aro. Cukup puas dengan memotretnya dari dalam angkot yang berjalan. Fotonya tidak maksimal, tentu saja. Tapi cukup lah untuk sekedar menjadi pengingat rasa perjalanan di masa depan. Kadang perasaan seperti ini dapat menjadi motivasi untuk kembali berkunjung. Menyempatkan diri lebih lama untuk berfoto dan merasakan perjalanan. Membuang perasaan menyesal di kemudian hari. Merasakan lebih banyak nikmat dan lebih banyak syukur sepanjang kehidupan.
Perjalanan panjang yang terasa singkat. Perempatan Pelompek
sudah tercapai. Keluar dari angkot, aku lantas mencari tempat makan dan menghubungi
teman-teman Dedi: Cen, Nanda, dkk. Tidak terhubung. Mungkin mereka sedang di
tengah gunung. Baiklah, aku menunggu sambil makan siang. Kebetulan dekat situ
ada warung nasi. Aku masih penasaran dengan dendeng batokok, maka aku memesan
menu yang sama untuk makan siang. Tapi ternyata zonk. Hanya dendeng biasa. Alot
dan rasanya kalah jauh dengan dendeng batokok di tempat Dedi. Tidak apa, yang
penting perut terisi dan kondisi tubuh terjaga.
Tidak lama, pesan terbalas. Basecamp Indralaya hanya
berjarak dua rumah dari perempatan. Cen sedang di Padang, Nanda sedang
mengantar tamu. Baiklah, aku menunggu saja di base. Namun sayangnya tidak ada
siapapun disana. Pintu terkunci, terpaksa menunggu di luar. Untung tidak hujan,
tapi terasa amat membosankan kala itu.
Tidak lama, salah satu anak buah Cen datang. Pintu dibuka
dan aku merebahkan diri sejenak di dalam. Terlalu lama duduk, tulang ekor butuh
beristirahat. Lagipula anak tadi langsung menghilang setelah membukakan pintu.
Meninggalkan aku sendiri dengan sajian teh dan kopi. Sayang bukan teh Kayu Aro,
hanya teh celup biasa yang banyak aku temui di ibukota. Salah satu ironi lagi
aku temui disini. Tampaknya rasa penasaranku dengan rasa teh Kayu Aro harus
tertunda lebih lama lagi.
Basecamp ala pendaki. Akhirnya tempat merebahkan punggung! |
Sedikit teh tanpa kopi, dan aku memilih untuk tiduran. Mengistirahatkan punggung dan pantat. Tidur terlentang dan tengkurap bergantian. Menunggu penghuni basecamp datang dan meramaikan tempat ini. Sekedar mendengar cerita keseharian manusia Kerinci sambil menunggu malam dan travel menuju Padang.
Dua jam tertidur lalu datanglah mereka. Habis dari Goa Kasah
rupanya. Nanda sedang mengantar mahasiswi dari Jambi. Si mahasiswi yang aku
lupa namanya ini tampak sudah akrab dengan penghuni basecamp. Kenal ketika pkl katanya. Kali ini datang kembali untuk
berlibur sebab di kota Jambi terasa begitu kering wisata alam. Ke Kerinci dia
pergi berlibur.
Narsis di depan basecamp Indralaya |
Keramaian datang bersama cerita. Berceritalah aku,
berceritalah mereka. Kami saling bertukar cerita. Ceritaku sudah kutulis pada
artikel sebelumnya. Cerita mereka akan aku tulis disini. Keseharian mereka adalah
petani atau peladang. Hasil kebun kentang dan sayur menjadi andalan mereka
untuk membiayai hidup. Namun dengan begitu mereka hanya mendapatkan penghasilan
tiap kali panen. Penghasilan tambahan baru didapatkan jika ada pendaki yang
mereka antar ke puncak. Entah puncak Kerinci, entah danau Gunung Tujuh.
Tampaknya kedua tujuan tersebut menjadi andalan mereka dan favorit para tamu.
Kerinci tampaknya memang butuh investor untuk berkembang.
Banyak potensi yang belum tergali. Nanda bercerita bahwa ada beberapa air
terjun yang dapat menjadi potensi wisata, namun belum ada jalan kesana. Jalan
setapak maksudnya. Sedangkan Cen pernah membuka sendiri jalan menuju satu air
terjun. Aku lupa mencatat namanya, lebih tertarik pada cerita mereka membuka
jalan setapak. Itu berarti tempatnya masih perawan.
Aku juga tertarik melihat beberapa foto tumbuhan kantong
semar yang mereka tunjukkan di laptop. Aku memang bukan biologist yang paham dengan berbagai jenis flora-fauna, tapi melihat
spesies berbentuk unik yang jarang aku lihat menimbulkan ketertarikan baru.
Bikin penasaran untuk menjelajah hutan Kerinci (tapi tidak sekarang). Cerita
tentang jejak harimau juga bikin kepo,
ngeri-ngeri sedep istilahnya. Tertarik tapi juga agak takut. Oia, tentang
nama tempat, Pelompek ini konon artinya tempat pelompatan harimau. Paling tidak
begitulah menurut cerita yang mereka dengar dari para tetua mereka.
Selain itu aku juga mendapat cerita tentang Gua Kasah. Konon
gua purbakala dimana masih banyak tersimpan artefak arkeologi yang belum
digali. Oiya, si mahasiswi tadi mengambil jurusan arkeologi. Makanya dia
tertarik dengan goa Kasah tersebut. Aku juga pernah membaca sekilas tentang goa
Kasah ini ketika mencari info Kerinci di internet, tapi informasinya amat
minim. Menurut mereka, goa tersebut bahkan belum menjadi tempat wisata (belum
ada retribusi resmi ataupun pos jaga), hanya untuk menuju kesana kita butuh
pemadu dari desa tersebut. Retribusi paling hanya untuk membayar pemandu desa.
Nah mengenai hal unik lainnya, ketika di Siulak Gedang aku
mendengar rumus 3p untuk perempuan Kerinci, yaitu putih, pesek, pendek. Maaf
bukan bermaksud Sara, tapi aku jadi melihat rumus itu benar adanya saat
memperhatikan lebih seksama perempuan Kerinci. Lagipula 3p bukan hal yang buruk
menurutku, hanya sebuah keunikan yang membedakan ciri fisik dengan perempuan
dari tempat lain. Yah wajar topik perempuan juga jadi bahasan obrolan lelaki
sebagaimana lelaki jadi topik obrolan kaum hawa.
Makan malam sambil menunggu travel menuju Padang |
Cerita berlanjut curhat. Aku mendengarkan dan terasa cukup
prihatin karena ketika sedang tidak panen atau menanam, mereka hanya
mengandalkan pemasukan dari memandu tamu naik. Waktu lebih banyak terbuang.
Apalagi harga kebutuhan pokok cenderung lebih mahal disini karena agak
terpencil. Mencapai tempat ini berarti melewati jalan menanjak berliku yang
rawan longsor. Meskipun kaya akan hasil kebun, tapi kebutuhan pokok lainnya
masih harus didatangkan dari Padang. Listrik pun lebih sering padam daripada
menyala. Aku merasakan kesempatan berkembang amat terbatas. Ingin rasanya
membantu tapi aku belum tau harus bagaimana membuka kesempatan bagi mereka.
Penduduk dibalik gunung kadang sama terisolasinya dengan penduduk dari pulau
terpencil. Ingin rasanya membantu mereka berkembang. Mungkin tulisan ini jadi
awal niatan tersebut, karena Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia bukan
hanya Jawa. Kerinci juga Indonesia. Kerinci juga butuh berkembang.
Kebersamaan dan obrolan singkat terasa lekat ketika itu.
Ingin rasanya tinggal dan mengenal mereka lebih lama. Berbaur dan merasakan
menjadi orang Kerinci / Kayu Aro. Tapi budget
membatasi waktuku disana. Aku sudah harus melanjutkan perjalanan ke Padang
karena tujuanku kali ini keliling Swarnadwipa, bukan hanya Kerinci saja. Terima
kasih Dedi, Nanda, dan teman-teman dari basecamp
Indralaya di Pelompek. Semoga kita dapat berjumpa dan berdiskusi lebih lama
lain waktu. Semoga ada umur untuk berjumpa lagi. Semoga lain waktu dapat
membantu lebih jauh tidak sekedar berkunjung. Selamat tinggal Kerinci, aku
pamit menuju Padang.