Nah karena aku masih penasaran dan tidak tahu banyak mengenai Palembang, Maka aku berencana untuk kembali menggali sejarahnya dengan mengunjungi museum. Museum yang akan dikunjungi ialah museum Balaputra Dewa dan Sultan Mahmud Badarudin II.
Museum yang disebut duluan ialah tujuan pertama. Motifnya tidak lain karena keberadaan rumah limas, rumah yang digambarkan di uang sepuluh ribu rupiah. Aku ingin berswafoto dengan latar museum ini, karena itu aku memutuskan untuk mengunjungi museum ini terlebih dahulu daripada Sultan Badarudin II. Motifnya murni narsis.
Yah tentu saja selain untuk belajar sejarah. Karena memang sejarah yang membuatku penasaran saat itu. Jadilah aku meluncur dari daerah rumah kawanku di Talang Kelapa menuju museum tersebut dengan sepeda motor pinjaman.
Museum yang namanya diambil dari salah satu tokoh Sriwijaya ini berada di dalam kota meskipun bukan di pusatnya. Jalan menuju kemari relatif sepi. Malah agak tersembunyi dari keramaian kota. Tidak seperti museum Sultan Badarudin II yang berada tepat di pusat keramaian Palembang.
Menurut Oka, museum ini lebih banyak menceritakan sejarah kerajaan Sriwijaya daripada kesultanan Palembang. Sedangkan museum yang banyak menyimpan sejarah Palembang ialah museum Sultan Badarudin II. Kesan itu memang terasa ketika memasuki taman prasasti, dimana beberapa prasasti yang berasal dari Bukit Siguntang dipajang di museum ini.
Jumlahnya tidak terlalu banyak dan terkesan seadanya saja. Tergeletak disana lebih karena keharusan alih-alih memuliakan masa lalu. Mungkin museum ini terkendala dana, entahlah. Yang pasti museum ini masih butuh gairah, butuh dikunjungi, butuh dipelihara dan diperhatikan lebih oleh masyarakat dan pemerintah. Prasasti-prasasti ini tampak kesepian dan terlupakan.
Keprihatinan ini agak berkurang ketika aku memasuki halaman belakang atau bagian terakhir dari museum ini. Pada area luar ruang ini terpajang beberapa rumah khas Sumatra Selatan dengan ukuran yang sebenarnya. Primadonanya apalagi kalau bukan rumah limas. Rumah uang sepuluh ribu rupiah. Tampaknya si pelukis uang langsung menggambarnya dari tempat ini. Sudut pengambilan gambarnya benar-benar pas antara yang asli dengan yang tergambar di lembaran uang sepuluh ribu.
Rumah ini dinamakan rumah limas karena atapnya berbentuk limas. Orang Palembang sendiri menyebut rumah ini sebagai rumah bari, artinya rumah lama. Beginilah bentuk rumah orang Palembang di masa lalu.
Rumah ini sendiri terdiri dari dua bagian besar yang terhubung. Bagian pertama rumah ini berisi pelaminan ala Palembang. Kamar-kamar pengantin, lemari besar, kotak untuk menyimpan perhiasan, dan benda-benda yang biasa dipakai dalam acara-acara besar. Satu kesamaan dari benda-benda ini ialah warnanya didominasi oleh warna kuning. Wajar karena kuning ialah warna kebesaran Melayu. Selain itu pengaruh Cina juga terasa dalam kamar pengantin Palembang yang meriah dengan berbagai warna.
Sedangkan bagian kedua rumah ini relatif sepi dari berbagai pajangan barang. Dari penjelasan yang aku dapatkan dari penjaga museum, bagian ini ialah tempat aktivitas keseharian orang Palembang. Sedangkan bagian pertama tadi merupakan aktivitas ketika ada acara-acara besar atau tempat menyambut tamu.
Bagian belakang. Sepi perabotan. |
Miniatur rumah adat. Tergeletak menyedihkan di pojok ruangan |
Alat pintal. Berdebu dan butuh diperhatikan. |
Pada akhirnya, kunjungan ke museum ini terasa singkat. Meskipun terisi pengetahuan baru, namun rasanya agak hambar. Mungkin karena terlalu banyak informasi yang aku dengar dari penjaga museum. Atau mungkin juga karena Palembang sudah "terlalu kota" sehingga kekhasan daerahnya terasa agak hilang. Memasuki museum Balaputra Dewa, aku merasa sedikit mirip saat memasuki museum gajah sebelum direnovasi. Agak old fashioned. Kurang bergairah meskipun keberadaan rumah sepuluh ribu rupiah cukup menarik untuk berswafoto.
Spot wajib narsis meskipun panas menyengat |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar