Jumat, 26 Mei 2017

Solo Trip Swarnadwipa 17 - Keindahan misterius di tengah hutan

Danau Kaco ialah tujuan utamaku di Kerinci. Memang aku tidak memasukkan rencana untuk mendaki Kerinci karena masalah backpain alias sakit punggung. Dokter sudah melarangku untuk mengangkat beban yang terlalu berat atau olahraga vertikal seperti mendaki. Katanya akan berakibat buruk pada tulang belakang. Risiko terburuknya ialah syaraf terjepit.

Yah okelah karena aku sudah bepergian dengan ransel yang otomatis membebani punggung, maka aku tidak akan memaksakan diri untuk mendaki gunung juga. Mungkin nanti jika sakit punggungku sudah sembuh, bolehlah diagendakan kembali.

Sedangkan danau Kaco, aku sudah memimpikannya sejak pertama kali tau dari teman. Informasi itu aku perdalam dengan membaca berbagai artikel tentang tempat tersebut. Mulai dari cara mencapainya hingga legenda yang menyertainya. Warna biru yang begitu pekat menjadi daya tarik utama danau ini. Konon di malam purnama, danau ini akan bersinar terang karena memantulkan cahaya bulan. Tapi aku tidak akan membuktikan hal tersebut karena tidak berniat mendirikan kemah dan menginap disekitar danau.

Kedalamannya juga jadi misteri tersendiri. Konon belum ada penyelam yang berhasil mengukur kedalaman danau tersebut meskipun ditunjang dengan peralatan selam modern seperti tabung oksigen. Legenda mengatakan bahwa ada harta karun berupa bongkahan berlian besar tersimpan di dasar telaga, namun setiap penyelam yang ingin mengambil berlian tersebut tidak pernah kembali. Berlian di dasar danau pula yang memantulkan cahaya bulan sehingga danau ini tampak bersinar di kala purnama.

Keindahan yang misterius di tengah hutan. Demi mengunjungi danau ini aku harus menunggu kakiku sembuh hingga hari ke-4. Padahal awalnya aku hanya berencana menghabiskan 3 hari saja di Kerinci. Tidak apa, mungkin ini bagian dari takdir. Dan aku ingin mengisi takdir hari ini dengan mengunjungi tempat tersebut.

Maka jadilah kami berangkat kembali dari Siluak Gedang menuju desa Lempur, tempat dimana danau Kaco berada. Jarak tempuhnya lebih jauh dari perjalanan kemarin. Untuk mencapai desa Lempur, kami harus kembali melewati danau Kerinci. Berangkat lebih pagi, pulang lebih malam karena perjalanan lebih panjang.

Cuaca agak mendung di langit selatan ketika kami memulai perjalanan di pagi hari. Alamat buruk, kami berdoa semoga hujan tidak menyertai perjalanan kami hari ini. Medan pendakian amat buruk jika hujan turun. Tidak mau membuang waktu, kami bergegas tancap gas menuju desa Lempur.

Kami hanya berhenti sebentar untuk membeli bekal makan siang dan buang air kecil. Tidak banyak panorama yang berhasil aku foto sepanjang jalan, tapi aku sempat mengabadikan danau Kerinci dari sisi yang lain. Jika kemarin kami hanya mengunjungi sisi dermaga, sekarang kami melewati seberang danau. Pemandangannya agak berbeda dan lebih terasa mistis.

Danau Kerinci, dari sisi seberang dermaga

Sayangnya kami tidak punya waktu lama untuk berburu foto di danau Kerinci. Awan sudah semakin gelap di selatan. Kami berlomba dengan hujan. Semoga tidak turun dulu sebelum kami sampai disana. Semoga medan pendakian tidak terlalu parah tertutup lumpur, karena dari informasi yang aku peroleh jalur hutan menuju danau Kaco sebenarnya tidak terlalu menanjak, hanya amat berlumpur. Apalagi jika dilewati saat hujan atau tidak lama setelah hujan turun.

Setelah sampai di desa Lempur, langit makin gelap. Tampaknya doa kami tidak terkabul. Jalan menuju kesana pun tampak basah. Sepertinya hujan belum lama turun dan akan segera turun lagi disini. Tapi tidak apa, hujan tidak akan menyurutkan langkah kami menuju tujuan impian. Semoga “hanya” lumpur dan hujan yang menjadi handicap kami. Semoga tidak ada handicap tak terduga lain. Aamiin.

Di depan "pintu masuk"
Tidak sulit mencari jalan masuk menuju danau Kaco dari desa Lempur. Danau itu merupakan andalan wisata disini. Semua orang tau tempatnya. Tapi mereka berkomentar sama: “wah, mau kesana hujan-hujan begini (saat itu sudah turun gerimis tipis) ? Kemarin baru turun hujan, jadi lumpurnya pasti tebal.” Tidak apa bu, tunjukkan saja jalannya.

Sebelum mencapai tempat itu, kami dihadang oleh pemuda setempat dalam pos sederhana. Ah, tampaknya ada semacam retribusi, karcis masuk danau Kaco. Entah legal entah illegal, tapi bayar saja daripada ribut. Sepuluh ribu rupiah per orang. Kami berdua, jadi aku harus merogoh kocek sebesar dua puluh ribu rupiah untuk bisa masuk.

Tidak pakai lama, kami segera menyusuri jalan setapak menuju danau Kaco. Sejak dari titik ini, mulai terasa kebutuhan akan seorang pemandu. Jalan setapak kerap bercabang. Penanda menuju danau tersebut agak samar. Butuh pemandu untuk penunjuk jalan. Mungkin aku akan terseset jika berjalan sendiri kemari. Nasihat sepanjang jalan dari orang-orang yang kutanyai tentang tempat ini kini terasa kebenarannya. Banyak bertanya, selamat sampai tujuan.

Petunjuk arah yang amat mudah terlewat jika tidak tahu medan

Kesulitan karena jalan setapak banyak tertutup lumpur langsung terasa dari awal perjalanan. Kami harus pandai-pandai mencari pijakan antara batang kayu dan batu. Kadang kami harus memutar untuk menghindari lumpur. Kenapa harus dihindari? Karena langkah akan terasa amat berat setelah terbenam dalam lumpur. Selain menghabiskan lebih banyak tenaga, juga ada risiko alas kaki jebol. Beberapa kali kami temukan alas kaki yang ditinggalkan dijalan. Kondisinya tentu sudah hancur. Jebol atau putus. Sudah terlalu malas dibawa pulang atau sudah menjadi beban dalam perjalanan. Meskipun aku sudah menyiapkan sandal gunung yang sudah di sol / dijahit keliling, namun tetap aja aku tidak ingin menantang lumpur. Lebih baik cari aman di tempat asing. Tidak apa lebih lambat sampai asalkan bisa selamat sampai tujuan. Pepatah jawa yang menjadi salah satu pedomanku dalam perjalanan kali ini.

Mencari pijakan antara batang kayu dan batu demi menghindari lumpur tebal

Banyak alas kaki jebol yang ditinggalkan begitu saja

Dan benar, perjalanan terasa amat lama. Terasa bukan terukur. Sebab menurut ukuran jam, waktu tempuh kami masih tergolong rata-rata. Ah mungkin aku sedang dibohongi perasaan. Semoga harapan tidak ikut membohongiku. Perasaan sudah dekat terasa berulang kali, sampai akhirnya kami benar-benar sampai ke danau ini!

Pos istirahat satu-satunya. Penanda sepertiga perjalanan.

Becek, sekelilingnya masih ada beberapa sampah dari pengunjung sebelum kami. Tapi birunya danau persis seperti bayangan awalku tentang tempat ini. Jernih meski kemarin baru hujan dan hari ini sedikit gerimis. Hujan yang lebih besar mungkin akan turun sebentar lagi jika melihat langit yang makin kelabu. Tapi itu tidak menyurutkan langkah kami untuk turun ke danau. Ada rasa bangga dalam diri sendiri ketika berhasil kemari. Aku pribadi menganggap pencapaian ini sebagai prestasi. Setelah berhasil mencapai pulau Enggano yang terpencil, inilah prestasi keduaku dalam perjalanan ini.

Akhirnya sampai juga ke Danau Kaco!

Yyyyeeeaaaaaahhhh !!!!!!

Perasaan berhasil, euforia, kebahagiaan yang agak meletup terasa dalam diri. Tapi karena tubuh agak lelah dan harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pulang, maka aku tidak terlalu mengungkapkannya dengan berlebihan. Apalagi euforia ini mulai bercampur cemas karena mendung masih menggantung. Langit semakin pekat. Tidak lama, rintik hujan mulai kencang. Dari gerimis menjadi hujan deras. Di sekitar danau tidak ada tempat berlindung. Untung aku membawa jaket ponco. Didukung batang kayu, kami membuat bivak sederhana. Sekedar melindungi nasi agar tidak basah dan menjadi tempat kami bersantap siang sambil menatap danau dalam hujan.

Langsung disambut hujan deras!

Wet lunch. Makan siang yang basah dalam bivak. Untung ponconya tidak berlubang. Untung hujannya tidak berangin. Kami masih sempat menyantap nasi dengan dendeng batokok, salah satu kuliner khas Kerinci. Dendeng yang dipukul dengan palu sehingga menjadi amat lembut ketika sampai ke mulut. Aku menyebutnya steak ala Kerinci. Sayangnya aku tidak sempat memotret makanan terenak selama solo trip Swarnadwipa ini. Sudah keburu habis sebelum difoto!

Untunglah hujan tidak turun lama. Setelah hujan, aku masih menyempatkan diri memotret sekeliling danau, termasuk menjumpai ikan penghuni danau: ikan semah. Mengenai ikan semah, aku sudah diperingati Dedi untuk tidak mengambilnya dari danau jika tidak ingin tertimpa nasib buruk. Tampaknya ikan ini juga memiliki cerita atau legendanya sendiri. Sayangnya aku lupa untuk bertanya. Namun yang pasti, aku menuruti pesan tersebut.

Para penghuni danau

Ya, selain pesan untuk menjaga kelestarian habitat di tempat ini, terselip juga nasihat untuk menghindari hal berbau mistik. Meskipun aku jarang percaya hal seperti ini, tapi pesan dari tuan rumahku selama di Kerinci tentu harus diindahkan. Mengikuti kata pepatah take nothing but pictures, kill nothing but time, leave nothing but footprint.

Bergaya sebelum pulang

Setelah puas memotret, kami memutuskan untuk segera kembali ke parkiran motor. Takut hujan turun lagi karena langit belum lagi cerah meski hujan sudah berhenti. Jalan pulang rasanya akan lebih berat daripada waktu datang tadi. Tapi kami tidak punya pilihan. Harus segera kembali karena kami tidak membawa peralatan berkemah ataupun senter selain dari ponsel. Kami harus keluar dari hutan sebelum gelap.

Kabut setelah hujan mengiringi kepulangan kami.

Namun seperti halnya rasa yang sering menipu, perjalanan pulang terasa lebih cepat daripada pergi. Meski lagi-lagi waktu tempuhnya tidak jauh berbeda dan jaraknya sama persis dengan jarak datang karena kami melewati jalan yang sama. Ada perasaan lega begitu kami berhasil keluar hutan menuju parkiran motor yang tidak mirip tempat parkir sebab hanya berupa lahan kosong disamping rumah warga dan tidak ada kendaraan lain yang diparkir disitu. Yang ada hanya tiket parkir. Tapi yasudahlah, mari kembali ke Siluak Gedang. Hari ini sangat melelahkan meski hanya satu tempat yang dituju. Selamat tidur, bumi sakti alam Kerinci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar