Sabtu, 01 Juli 2017

Solo Trip Swarnadwipa 19 - Mengais rejeki dari tragedi

Perjalanan menuju Padang dari Kayu Aro terjadi di malam hari. Aku menumpang travel dalam bentuk mobil Avanza. Inilah transportasi antar kota yang lazim digunakan di Sumatra (kecuali ruas Medan-Aceh).

Tidak ada yang bisa dilihat selain jalan karena penerangan amat minim. Jalannya konon berliku parah sehingga truk-truk logistik memilih jalur Tapan untuk menuju Sungai Penuh. Tapi untungnya aku tipe orang yang mudah tertidur. Jalan gelap yang berliku dan mendaki rasanya seperti jalan datar jika dibawa tidur. Apalagi aku sendirian menempati kursi paling belakang dalam mobil Avanza sehingga cukup leluasa untuk merebahkan tubuh meski tidak benar-benar bisa meluruskan badan. Tapi berbaring dengan kaki tertekuk merupakan posisi yang jauh lumayan untuk beristirahat dibandingkan posisi duduk.

Lalu tiba-tiba Padang. Dua penumpang sudah turun ketika aku bangun. Tinggal dua penumpang lagi yang akan segera turun di Rumah Sakit Umum Padang. Tampaknya aku menjadi penumpang terakhir yang turun. Waktu istirahatku amat maksimal sepanjang perjalanan ini. Alhamdu? Lillah.
Aku minta diantar ke pasar Ulak Karang. Disanalah nantinya aku akan dijemput Roni Pasla, tuan rumahku selama di Padang. Aku mengenalnya hanya dari Instagram dan belum pernah bertemu langsung. Waktu itu aku sedang mencari informasi tentang Mentawai. Tiba-tiba saja ditawarkan menginap di tempatnya ketika di Padang. Tawaran yang tidak perlu aku pikir dua kali karena bantuan tempat menginap merupakan bantuan yang amat berarti dalam perjalananku kali ini.

Subuh belum datang ketika aku tiba di Ulak Karang. Aku beranjak mencari warung kopi yang masih buka sambil menunggu subuh. Rencananya, setelah subuh barulah aku kembali mengontak Roni. Tidak enak rasanya membangunkan kenalan baru di pagi buta. Aku pikir, setelah subuh pas lah waktunya dengan asumsi dia juga akan bangun untuk sholat.

Tapi ternyata kontak dari dia datang duluan daripada adzan subuh. Aku memberi tahu bahwa sudah sampai di Ulak Karang. Roni pun bergegas menjemputku. Wah, baik banget pikirku. Baru kenal beberapa bulan sebelum perjalanan ini, dan baru kali ini bertemu tapi sudah mau direpotkan sedemikan rupa. Aku kembali merasa bersyukur dipertemukan orang baik selanjutnya. Sejak dari Palembang, Bengkulu, Enggano, Kerinci, aku kembali ditolong orang dan diberi tempat bermalam.
Jadilah aku subuh dan mandi di tempatnya. Roni ternyata bujangan yang tinggal di kost. Jadi cukup leluasa aku merebahkan badan. Meskipun rasa kantuk tidak terlalu berat, tapi rasa lelah tetap ada.

Kepalaku masih dipenuhi rencana beristirahat ketika Roni menanyakan rencanaku selama di Sumatra Barat. Aku bilang Padang, Batusangkar, Lembah Harau, dan Bukittinggi. Tidak ada rencana ke Sawah Lunto? Tanya Roni. Aku bilang, pingin-pingin aja sih kesana, tapi rutenya tidak sejalan.
Tidak dinyana ternyata ia menawarkan aku untuk berkunjung kesana bersamanya. Tampaknya dia punya kawan di Sawah Lunto. Dari sana rencananya dia mengajak berkunjung ke Batusangkar dan bermalam di rumah kakaknya disana. Wah cocok sekali! Istana Pagaruyung di Batusangkar merupakan salah satu tujuanku.

Maka setelah tidur sebentar, mandi, dan sarapan, kami segera berangkat menuju Sawah Lunto. Nama yang hanya aku dengar dari pantun semasa sekolah dulu.

Lurus jalan ke Sawah Lunto
Keliling jalan Batu Sangkar
Tegaklah tikus berpidato
Melihat kucing bertengkar


Nah jadi ketebak umur deh..


Dulu aku bahkan tidak tahu Sawah Lunto itu apa. Tambang atau sawah? Selain pantun, aku hanya tahu jika tempat itu merupakan penghasil batubara terbesar meskipun aku tidak tahu bentuk batu bara itu seperti apa. Terlalu banyak ketidaktahuan tentang Sawah Lunto. Hasil browsing pun hanya sebatas lubang Mbah Soero dan jarak dari kota Padang saja.  Aku tidak terlalu banyak mencari tahu tentang tempat ini. Tujuan yang sempat aku coret ketika menyusun jadwal perjalanan Swarnadwipa tetapi tiba-tiba muncul kembali dengan satu ajakan dari Roni.

Sudah agak siang ketika kami memulai perjalanan, namun untungnya cuaca tidak terlalu terik. Aku amat menikmati jalur pegunungan yang naik turun. Sesekali datar dengan pepohonan rimbun selalu menemani sepanjang perjalanan. Lalu tiba-tiba sampailah kami ke tempat tujuan.

Secuplik panorama menuju Sawah Lunto

Sawah Lunto menempati ceruk datar yang relatif sempit. Tempat ini telah berubah dari kota tambang menjadi kota wisata. Kesan pertamaku seperti memasuki Malioboro di Jogja minus delman, becak, dan keriuhan manusia. Yah, seperti Malioboro versi lebih sepi. Tapi tata kotanya rapi. Penginapan dan kafe berjejer bersama fasilitas penunjang pariwisata lainnya seperti ATM dan bank. Informasi mengenai keadaan kota pun cukup lengkap dan mudah diakses. Sawah Lunto sepertinya sudah sadar wisata.

Informasi mengenai Sawah Lunto cukup baik

Kami langsung menuju tempat pertama, yaitu Mak Itam. Alias museum kereta api jaman tambang. Mak Itam merupakan sebutan untuk lokomotif uap. Warnanya hitam legam dan terkesan sangat kokoh. Museum ini menempati bekas stasiun Sawah Lunto yang sederhana. Bangunannya tidak terlalu besar. Hanya ada 2 ruangan utama sebagai tempat memamerkan barang koleksi. Mak Itam-nya sendiri sedang diparkir. Mungkin sedang perawatan, mungkin sedang diperbaiki aku tidak sempat bertanya karena petugas tiket telah menghilang. Tidak ada siapa-siapa lagi disini untuk bertanya. Maka kami segera beranjak.

Ruang pamer museum Mak Itam. Sederhana tapi cukup informatif.

Tujuan selanjutnya ialah museum Gudang Ransoem. Tempat yang dulu dijadikan sebagai dapur umum pada masa tambang batubara. Area museum ini lebih luas daripada museum Kereta Api. Disini juga tersedia beberapa literatur tentang Sawah Lunto. Literatur yang amat sayang untuk aku lewatkan. Maka aku memborong beberapa literatur yang isinya menarik. Bagi pencari informasi seperti aku, keberadaan literatur lokal di dalam museum ialah buah tangan sempurna. Sekali lagi, aku senang dengan kesiapan Sawah Lunto menyambut tamu.

Maping area museum Gudang Ransoem. Yang paling lengkap dibanding museum lainnya.

Secara pribadi, bagian sejarah ini tidak terlalu membuatku penasaran. Koleksi yang dipajang dalam museum terlalu datar. Rasanya seperti dapur biasa dengan volume yang lebih besar. Meskipun tempat ini menyimpan ceritanya sendiri, tapi aku lebih suka memperhatikan arsitekturnya yang jadul. Disini, aku lebih banyak memotret daripada membaca.

Salah satu tempat memasak dalam museum Gudang Ransoem. It's huge!

Cerobong asap yang tinggi mencerminkan aktivitas pembakaran (makanan) dalam volume yang amat besar.

Cerita lebih menarik bagiku ialah Lubang Mbah Soero. Lubang inilah inti dari sejarah Sawah Lunto. Tempat yang menjadi lorong-lorong penggalian batubara pada jaman dulu. Saat ini areanya sudah berubah menjadi museum. Tidak banyak barang yang dipamerkan, mayoritas hanya hasil tambang, tapi itulah intinya tempat ini: mineral hasil tambang. Dapur umum, kereta api pengangkut batubara hanyalah pendukung pertambangan. Kenyataan memilukan dari pertambangan batubara Sawah Lunto terangkum di tempat ini.

Museum Lubang Mbah Soero. Inti dari peristiwa Sawah Lunto.

William de Grave, penemu batubara di Sawah Lunto.

Inilah batubara, pelaku utama dari cerita Sawah Lunto.

Menurut informasi yang tertera pada dinding museum, Mbah Soero ialah salah satu pekerja yang diangkat menjadi mandor karena ilmu kebatinannya. Nama aslinya Soerono, berasal dari Jawa. Konon ia mendapat respek dari kompeni maupun dari pekerja tambang. Sosok ini kemudian dianggap pahlawan, namun tidak dijelaskan bagaimana ia mendapatkan predikat tersebut. Keterangan yang tertera hanyalah ia sosok yang berprilaku baik, rajin bekerja dan taat beribadah.

Inilah lubang Mbah Soero

Lubang Mbah Soero berada dibawah area museum. Tapi karena luasnya, lubang ini tidak terbatas hanya dibagian bawah museum saja, melainkan juga melebar ke area sekitar, dimana dipermukaaannya ada beberapa bangunan lain. Area museum Mbah Soero terbilang kecil. Lubangnya lah yang luas dibawah tanah sana.

Selfie sebelum turun. Selagi masih terkena sinar matahari.

Aku ditemani pemandu dari museum turun beberapa meter di dalam perut bumi. Tidak boleh turun sendirian katanya. Ada standar keselamatan sebelum memasuki tambang. Pakaian khusus berupa helm pelindung dan sepatu boot wajib dikenakan bagi pengunjung yang ingin turun ke dalam lubang Mbah Soero. Aturan lainnya dijelaskan oleh sang pemandu sambil jalan.

Tangga menuju perut bumi
Akhirnya kami turun. Meniti puluhan anak tangga ke dalam perut bumi. Merasakan sesak dan sempitnya lubang galian batubara. Udaranya lembab. Auranya mencekam. Banyak korban jatuh disini. Sebagian besar pekerja tambang. Entah karena kelelahan, kehabisan oksigen, kecelakaan atau sebab lain.

Menurut cerita pemandu, disini memang banyak kejadian mistis, suara-suara aneh, baik suara manusia minta tolong, merintih, ataupun suara aktivitas pertambangan yang sudah lama berhenti. Suaranya berasal dari lubang yang lebih dalam di tambang. Area yang ditutup untuk wisatawan karena rawan banjir dan berbahaya. Belum aman untuk dimasuki dan sebaiknya memang ditutup untuk selamanya.

Area tambang yang lebih dalam. Ditutup untuk umum karena berbahaya.

Area yang dibuka untuk dikunjungi hanya terowongan paling atas. Mungkin bisa dibilang basement 1. Masih banyak basement-basement lain dibawah sana, namun untuk dikunjungi, sebab jika hanya untuk merasakan aura tambang, basement 1 sudah cukup. Udaranya amat terbatas dibawah sini. Pihak museum menambahkan terowongan udara tambahan agar lubang ini masih “layak dikunjungi” oleh wisatawan.

Menelusuri basement 1 dari lubang Mbah Soero. Sudah cukup mencekam.

Terowongan angin yang memompa udara dari luar sehingga lubang tambang masih layak dikunjungi.

Dari dalam lubang Mbah Soero, banyak pikiran menggelayut dalam benakku. Sebenarnya yang dibanggakan masyarakat Sawah Lunto ini adalah tragedi. Bukan cerita heroik perampasan benteng atau perang melawan penjajah tapi perbudakan. Perbudakan dalam tambang. Membayangkan penduduk pribumi dari penjuru Nusantara dibawa kemari untuk kerja paksa membuatku sedikit merasakan ironi wisata ditempat ini. Membuatku meluangkan waktu untuk sejenak berdoa sebelum keluar tambang, untuk para arwah nenek moyang bangsa yang gugur sia-sia di tambang ini. Perasaan sedih dan tertekan sedikit terasa diakhir perjalanan dalam lubang ini.

Batubara yang masih belum digali. Demi barang tambang inilah ribuan orang mati disini.

Rasa lega menyelimuti batinku ketika kami kembali ke permukaan. Seolah baru saja bermimpi buruk. Lubang ini memang cocok untuk sebuah setting nightmare. Bayangkan kita terjebak dalam labirin bawah tanah. Lubang sempit yang dapat runtuh sewaktu-waktu. Lubang pengap yang juga dapat banjir sekonyong-konyong. Belum lagi suara-suara minta tolong, suara menggali, suara troli, atau denting logam dari bawah sana. Suara yang berasal dari lubang yang lebih bawah lagi. Lubang yang telah dipagari teralis besi. Terasa misterius sekaligus mistis.

Kejadian yang baru saja terbayang dalam benakku, mungkin benar-benar terjadi di masa lalu. Mungkin lebih parah. Dibawah tekanan mandor kompeni, pekerja tambang menggali di tempat sempit minim udara. Bahaya runtuh, tertabrak troli, kehabisan nafas, dan lain-lain mereka rasakan ketika bekerja. Setelah selesai, tekanan dari sesama pekerja tambang (yang juga berstatus narapidana) juga datang. Yang lemah mungkin saja menjadi “anak Jawi” alias disodomi. Minimnya perempuan di tempat ini telah membuat praktek tersebut menjadi jalan pintas penyaluran hasrat seksual mereka. Nama mereka dilupakan. Diganti dengan nomor-nomor tahanan. Seperti Gerombolan Siberat dalam cerita Donal Bebek, mereka dipanggil dengan nomor, disebut sebagai “orang rantai”. Sebutan yang amat enggan aku gunakan karena amat menginjak-injak kemanusiaan mereka. Cukup satu kali aku menyebutnya. Selanjutnya aku lebih suka menyebut mereka tahanan atau pekerja tambang dibandingkan predikat terakhir yang mengenaskan itu.

Itulah sekejap tragedi Sawah Lunto yang aku rasakan. Aku sendiri bingung harus senang karena masyarakat disini mendapat berkah dari pariwisata atau sedih karena pariwisata itu malah menjual tragedi masa lalu mereka. Mungkin saja pekerja tambang itu nenek moyang mereka bukan? Bagaimana ya rasanya menceritakan hal semacam “dulu kakek saya dipaksa kerja di dalam sini” atau “dulu buyut saya mati kelelahan dalam tambang ini” kepada wisatawan? Kalau saya sih tidak sanggup. Mungkin malah mengutuki lubang itu daripada menjadikannya objek wisata.

Simbol peristiwa Sawah Lunto. Dilema rasa dalam batin.
Ah tapi sayangnya aku tidak sempat berbincang lama dengan masyarakat sekitar. Aku tidak tahu bagaimana sudut pandang mereka. Pariwisata telah memajukan Sawah Lunto dewasa ini. Menjadi sumber pemasukan kota. Tanpa pariwisata, kota ini mungkin tidak berkembang. Berada diceruk bukit. Jauh dari pusat kota. Tanpa pariwisata, Sawah Lunto mungkin akan dilupakan dan tertinggal. Mungkin itu lebih penting daripada terus menerus berduka dalam tragedi masa lalu. Mungkin. Aku hanya bisa menebak karena tidak sempat berbincang. Yang jelas, Sawah Lunto telah membuatku merasakan dilema rasa. Antara senang dan sedih. Antara bangga dan pilu. Emosi positif dan negatif bercampur dalam benak. Sensasi baru dalam perjalanan ini.

PT. Bukit Asam. Sisa kejayaan Sawah Lunto yang masih berdiri gagah.

Begitulah sudut pandangku berubah sekejap dalam satu kunjungan singkat. Sawah Lunto, kini bukan lagi sekedar nama dalam pantun. Sawah Lunto adalah dilema batin dalam benak. Sampai jumpa Sawah Lunto. Jika ada umur panjang, boleh kita bertemu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar