Berkelana ke Bali, hal pertama
yang ada dalam pikiran saya adalah pantai! (dan bikini). Bali terkenal dengan
pantai Kuta-nya dimana banyak bule-bule berjemur topless. Paling tidak, itulah gambaran Kuta dalam benak saya ketika
kecil dulu. Namun ketika saya berkesempatan mengunjunginya bertahun-tahun
kemudian, gambaran masa kecil saya tentang Kuta terlalu berlebihan. Memang
banyak berseliweran gadis-gadis berbikini, terutama yang berkulit merah
terbakar matahari, namun yang berjemur topless
dapat dihitung jari.
 |
Bikini & berjemur. Pemandangan khas Kuta. |
Meskipun begitu, balutan bikini
pada gadis-gadis muda itu membuat mata ini betah memandang sekeliling Kuta. Maklum,
cowok jomblo (saat itu). Saya juga merasakan, betapa kebebasan
sangat terasa disini. Aroma seks bebas tercium begitu kental, begitu pula
dengan alkohol. Dari pantai ke klub malam, dari matahari sore ke lampu-lampu
disko, dari ombak-ombak surfing ke
hentakan musik dugem. Bali, terutama daerah Kuta dan sekitarnya memang tempat
yang paling cocok untuk berpesta. Inilah pusat dunia gemerlap Indonesia.
Tanah Lot
Namun gemerlapnya pantai Kuta
berbeda jauh ketika saya mengunjungi Tanah Lot. Pantai karang dengan beberapa
pura disekitarnya terasa begitu eksotis keindahan alamnya. Kesan budaya dan
eksotisme alam lebih terasa disini. Aturan-aturan dalam memasuki pura, antara
lain tidak boleh bercelana pendek karena bagian pinggang sampai mata kaki harus
tertutup kain, lalu harus memakai kain selendang yang dipercaya mencegah
roh-roh jahat masuk ke dalam pura pun diberlakukan disini. Meskipun kadang
masih terlihat wisatawan yang melanggar aturan tersebut (mungkin karena tidak
tahu), namun aturan-aturan seperti itu sedikit banyak menjadikan tempat ini
terasa sakral.
Keunikan utama Tanah Lot
sebetulnya keberadaan pura di atas karang yang letaknya agak jauh dari pantai,
bahkan dapat dibilang berada ditengah laut. Tanah Lot sendiri artinya “tanah
diatas laut”. Turis yang berkunjung ke tempat ini kebanyakan berwajah Asia mungkin
turis Thailand atau Philipina. Adapun turis bule, kebanyakan yang sudah berusia
lanjut.
 |
Pura di atas laut |
Selain letaknya yang seakan di
atas laut, ada keunikan lain dibawah pura Tanah Lot. Disini terdapat sumber air
tawar. Banyak turis mengantri untuk berdoa dan meminta berkah. Penasaran dengan
rasanya, saya pun ikut mengantri. Orang-orang yang mengantri di depan saya
biasanya membasuh muka dan meminum air dari situ, lalu diberi bunga dan wija di
dahi. Mathirta & mawija. Ritual ibadah Hindu Bali.
Jujur saya bingung apa yang harus
saya lakukan ketika tiba giliran saya. Jadilah saya mengekor perilaku
turis-turis di depan saya: mencuci muka,
lalu iseng-iseng meminum airnya. Mungkin terlihat sebagai mathirta,
namun bagi saya rasanya seperti berwudhu. Sebenarnya saya tidak berniat
mathirta ataupun wudhu. Saya hanya ingin mencicipi airnya. Bener nggak sih tawar? Agak sulit dipercaya karena kolam ini
dikelilingi laut dan harusnya berair asin. Dan akhirnya hal ini terbukti dengan
lidah saya sebagai saksinya: air tawar! Ritual ibadah (mau disebut mathirta
ataupun wudhu) hanya sekedar alibi. Bandel
nggak sih kalo begini? Hehehe…
Tanah Lot mungkin tidak bisa
dikategorikan sebagai wisata pantai saja karena keberadaan pura di tempat ini.
Malah mungkin keberadaan pura menjadi lebih dominan dibandingkan dengan wisata
pantainya. Di tanah lot, kita juga bisa menyaksikan tari kecak dan beberapa
seni pertunjukan khas Bali lainnya.
Meskipun wisata budaya lebih
dominan, namun keindahan alam tempat ini juga tidak bisa dilupakan begitu saja.
Menunggu matahari terbenam di Tanah Lot menjadi salah satu daya tarik tempat
ini. Lokasi pantai yang menghadap barat memungkinkan kita untuk menyaksikan
matahari tenggelam di cakrawala (bukan di balik gunung atau bukit atau gedung).
Panorama matahari tenggelam makin sempurna dengan latar depan karang-karang
raksasa disekitar pantai. Tanah Lot merupakan salah satu sunset spot terbaik di pulau dewata.
 |
Salah satu sunset spot terbaik pulau Dewata |
Padang padang
Setelah Tanah Lot, tempat yang
saya kunjungi berikutnya ialah pantai Padang Padang. Sejujurnya, saya baru
mendengar nama ini dari teman serombongan saya. Pertama kali saya mengunjungi
pantai ini karena rombongan saya gagal mengunjungi Dreamland. Kami kira, pantai
Dreamland bebas dimasuki wisatawan, ternyata lokasinya melewati hotel dan harus
membayar sejumlah tertentu (saya lupa jumlahnya) untuk mencapai pantai
tersebut.
Karena terbiasa dengan yang gratisan, kami enggan untuk mengeluarkan
dana tak terbudget seperti ini dan memilih untuk melanjutkan perjalanan sambil
berembuk mencari tujuan alternatifnya. Jadilah kami banyak bertanya kepada
penduduk yang kami temui sepanjang jalan. Pantai apa yang dekat sini? Padang
padang merupakan pantai yang banyak disebut setelah Dreamland. Jalannya terus
saja ke arah Uluwatu, nanti ada disebelah kanan jalan. Okelah, cuss!
Padang padang sendiri sebetulnya
baru saja menjadi tuan rumah lomba surfing internasional. Banyak surfer
menjajal ombak disini. Namun tempat ini bukan tempat untuk surfer pemula, saya
kira. Tidak seperti di Kuta, untuk mencapai ombak, surfer harus berenang dulu
agak jauh dari bibir pantai.
Garis pantai Padang padang
relatif pendek. Hai ini otomatis membuat pantai ini tidak terlalu luas. Meskipun begitu, pantai ini cukup ramai dikunjungi bule. Konon, orang Bali
mengkategorikan pantai sebagai dua jenis: pantai pribumi dan pantai bule.
Pengkategorian ini dibuat berdasarkan pengunjung yang dominan datang ke pantai
tersebut. Pantai Padang padang, sudah pasti masuk kategori pantai bule.
 |
Padang padang: tidak terlalu luas, namun ramai |
Mungkin yang menyebabkan pantai
ini menjadi pantai bule karena pantai ini kurang cocok untuk berenang dan lebih
cocok untuk berjemur dan surfing. Dua kegiatan favorit para bule yang
berkunjung ke pantai-pantai Bali. Sedangkan orang-orang pribumi lebih senang
bermain bola atau berenang di pantai.
Pantai Canggu
Pantai “pribumi” yang sempat aku
kunjungi ialah pantai Canggu dan Ketewel. Keduanya sama-sama sepi dari turis
dan lebih banyak didatangi penduduk sekitar. Keberadaan dua pantai ini memang
relatif sepi dari publikasi tempat-tempat wisata di Bali. Akibatnya tidak
banyak wisatawan yang tahu kedua tempat ini. Tapi bukan berarti tidak menarik
untuk dikunjungi. Kedua pantai ini membuat saya takjub, ternyata masih ada
tempat “tersembunyi” di dekat pusat wisata Bali: Kuta & Sanur.
Pantai Canggu terletak dekat
dengan Kuta & Legian. Boleh dibilang, pantai ini merupakan lanjutan pantai
Legian ke arah Barat. Meskipun dekat Legian, akses jalan mobil menuju tempat
ini cukup tersembunyi. Saya sendiri mencapai pantai ini setelah nyasar. Maksud hati ingin mengitari
daerah sekitar Kuta menuju Denpasar, tapi malah menemukan pantai ini. Kebetulan
yang dituntun oleh takdir.
 |
Pantai Canggu: tidak jauh dari keramaian Kuta, namun cukup sepi |
Hampir tidak percaya bahwa ada
pantai sesepi ini di dekat Kuta. Saya datang pukul 3 sore waktu setempat dan
hampir tidak ada kendaraan sama sekali di tempat parkirnya. Ketika memasuki
pantai pun hanya terlihat satu-dua orang pemancing dikejauhan. Saya pun
menyisiri garis pantai menjauh dari Kuta, ke arah barat.
Tidak jauh dari tempat parkir
ternyata ada muara sungai. Beberapa tanaman bakau juga terlihat tumbuh di sisi
sungai tersebut. Menghadirkan aura misteri. Ingin rasanya menelusuri sungai ke
arah hilir, namun hal ini tidak mungkin dilakukan tanpa perahu. Akhirnya saya memutuskan
untuk menikmati kesunyian pantai Canggu saja.
Tidak lama kemudian, pantai mulai
kedatangan lebih banyak tamu. Seperti yang telah saya ceritakan tadi,
kebanyakan tamunya ialah warga lokal. Tidak ketinggalan tukang bakso dan
pedagang-pedagang asongan lainnya. Beberapa warga usia lanjut juga memanfaatkan
pasir pantai untuk terapi. Mereka menguburkan setengah badan mereka ke dalam
pasir dan berjemur dengan kondisi seperti itu.
 |
Santai ala penduduk lokal di pantai Canggu |
Pantai Ketewel
Suasana di pantai ini terasa
lebih tradisional dan agak jauh dari hingar bingar pariwisata. Benar-benar
kontras dengan Kuta. Demikian pula halnya dengan pantai Ketewel. Berbeda dengan
Canggu, pantai Ketewel memiliki pasir hitam legam. Meskipun hitam, namun pasir
pantai ini tidak kalah seksi dengan pantai-pantai berpasir putih yang lebih populer
seperti Kuta, Padang padang, Dreamland, Sanur, dan lain-lain.
Pantai Ketewel bahkan terasa
lebih pribumi daripada Canggu. Letaknya di pesisir timur, sehingga cocok untuk
menyaksikan matahari terbit. Berada sedikit keluar outer ring road Denpasar, pantai ini relatif jauh dari pusat
keramaian. Kebanyakan aktivitas pengunjung pantai ini ialah main bola, mandi,
dan duduk-duduk santai (baca:pacaran). Mungkin hanya penduduk sekitar dan turis
nyasar seperti saya yang mampir ke pantai ini. Dan saya bersyukur pernah nyasar kemari.
 |
Ketewel: pantai pasir hitam yang cantik |
Seperti pantai Canggu pula,
banyak pedangang asongan disekitar pantai. Terutama jagung & kacang rebus.
Mirip pedagang yang banyak ditemui sepanjang pantai Sanur. Sayangnya tidak
banyak tempat sampah di pantai ini. Sampah bekas makanan banyak berserakan
disepanjang jalur lari yang ada dibibir pantai. Untungnya pasir pantai ini
masih bebas dari gangguan sampah. Entahlah jika nanti air laut pasang :(
 |
Ramai oleh penduduk lokal dan pedagang asongan. Sayang kebersihannya kurang terjaga. |
Pantai Sanur
Berbeda halnya dengan pantai
Sanur yang sudah sangat sadar wisata. Meskipun banyak pedagang kaki lima, namun
kebersihan area sekitar pantai sangat terjaga. Pantai Sanur termasuk vital
karena merupakan tempat bersandar kapal-kapal yang menuju dan datang dari Nusa
Penida dan Nusa Lembongan. Bisa dibilang pantai ini memiliki dua fungsi, yaitu
sebagai tempat transit dan tempat wisata.
 |
Loket tiket kapal menuju Nusa Penida |
Sebagai tempat transit menuju
Nusa Penida dan Lembongan, sudah pasti pantai ini penuh dengan calon penumpang.
Penumpangnya pun bervariasi, warga lokal maupun turis asing semuanya berbaur di
kapal yang sama. Kapal dari Sanur termasuk sebagai kapal cepat. Hanya bisa
mengangkut manusia dan beberapa barang yang tidak terlalu besar, tidak bisa
mengangkut kendaraan.
 |
Menunggu kedatangan kapal |
 |
Bersiap untuk sembahyang |
Keberangkatan
dari Sanur menuju Penida/Lembongan tampak ramai pagi itu. Begitu kapal
tertambat, calon penumpang langsung bergegas menaiki kapal. Tampaknya
keberangkatan menuju Penida begitu serempak. Jeda keberangkatan satu kapal
dengan kapal lainnya tidak terlalu lama. Tidak heran calon-calon penumpang
bergegas naik tanpa menunggu lama. Sebentar kemudian, pantai Sanur kembali sepi
dari calon penumpang antar pulau. Berganti dengan warga sekitar yang datang
untuk sekedar melepas penat di pantai ini.
 |
Bergegas naik ke kapal. Kapalku tak bersandar lama |
Bagi
penggemar fotografi, pantai ini termasuk spot
sunrise yang asik. Karena menghadap ke Timur, kita bisa menyaksikan
matahari terbit langsung dari cakrawala. Ditambah latar belakang gunung Agung,
lanskap sunrise dari tempat ini akan
terlihat berbeda. Saya sendiri senang dengan pemandangan laut dan gunung
sekaligus dalam satu frame. Ditambah dengan terbitnya sang surya, foto lanskap
dari pantai Sanur tampak begitu sempurna.
 |
Salah satu spot sunrise terbaik di Bali |
 |
Kapal cepat menuju Nusa Penida dan Lembongan |
Pantai terakhir yang ingin saya
bahas dalam kesempatan kali ini ialah Nusa Dua. Terletak dikawasan elit Nusa
Dua, pantai ini sempat disebut sebagai salah satu pantai terbaik di dunia.
Sebelum mencapai pantai, kita harus melewati semacam kompleks perhotelan elit.
Untungnya saya menemukan “jalan tikus” menuju pantai karena sepertinya akses
menuju pantai sudah dimonopoli oleh resort-resort mewah yang bertebaran disini.
Pantai Nusa Dua sendiri merupakan
pantai berpasir putih dengan garis pantai yang cukup panjang. Karena
keelitannya, sudah pasti pantai ini termasuk pantai “bule” yang tajir.
Kebanyakan pengunjung pantai ini berjemur dan berenang di tepian pantai.
Meskipun begitu, masih bisa saya temui satu dua orang nelayan yang sedang
memancing. Entah darimana mereka datang.
Sekilas hampir tidak ada yang
istimewa dengan pantai ini. Mungkin karena saya sudah terlalu banyak melihat
pantai. Tapi jika dicermati lagi, ternyata ada. Keistimewaan pantai ini lebih
karena privasi, kebersihan, garis pantainya yang panjang, pasir putih, dan
airnya yang jernih. Bisa dibilang, inilah pantai paling bening yang saya
kunjungi di Bali. Kebersihan terjaga karena pantai ini merupakan aset utama
dari resort-resort mewah di kompleks Nusa Dua ini. Seberapapun bagusnya tempat
wisata, jika dipenuhi dengan sampah maka tamu tidak akan datang.
 |
Biru, bersih, jernih, dan terjaga privasinya |
Kunjungan terakhir ke Nusa Dua
inilah yang menyadarkan saya betapa persoalan sampah merupakan masalah utama
pariwisata. Ketika kita ingin mengelola tempat alami menjadi sebuah objek
wisata, pertama-tama kita harus bisa mengelola sampah yang akan timbul oleh
para tamu. Menumbuhkan kesadaran tamu juga tidak mudah. Sedihnya, tamu yang
seringkali membuang sampah sembarangan berasal dari negeri kita sendiri. Dan
pelakunya tidak terbatas pada anak alay saja tapi dari berbagai usia.
Dari pantauan saya, mereka yang
datang dengan rombongan keluarga biasanya lebih sering meninggalkan sampah
disembarang tempat. Ini menjadi contoh yang buruk, terutama bila dilakukan oleh
para orang tua. Keberadaan petugas kebersihan mungkin membantu membersihkan
sampah-sampah yang datang, tapi saya kira ini bukan hanya tugas mereka. Malu
sekali rasanya ketika menyaksikan turis-turis asing sampai mau repot-repot
membuat asbak dari batok kelapa, sementara turis lokal dengan mudahnya
meninggalkan bungkus plastik makanan dan minuman mereka seenaknya. Boro-boro mau nyari asbak.
Seorang teman pernah berkata, bangsa
kita mungkin bisa membangun tapi lemah dalam merawat. Membuang sampah pada
tempatnya adalah hal termudah yang bisa kita lakukan untuk sama-sama merawat
alam kita. Membawa sampah jika disekitar kita belum ada tempat sampah, mungkin
sedikit merepotkan, namun jika alam kita rusak karena sampah, kita akan lebih
repot lagi memperbaikinya.
Indonesia dianugerahi Tuhan alam
yang indah. Keindahan alam Indonesia merupakan aset utama Negara ini. Bahkan
aset ini lebih bernilai daripada material-material tambang. Keindahan alam
bersifat tanpa batas. Tidak akan habis dipandangi. Yang bisa merubahnya hanya
bencana alam dan bencana manusia. Kita tidak dapat berbuat apa-apa untuk
mencegah gunung meletus atau gempa bumi, namun kita dapat mencegah penimbunan
sampah, kerusakan karang, ataupun pembakaran hutan. Merawat alam ialah
mencintai kehidupan.