Senin, 03 Juli 2017

Solo Trip Swarnadwipa 20 - Bertemu bagian lain dari Sawah Lunto di Talawi

Dari Sawah Lunto yang dilematis, kami bergerak menuju Batu Sangkar. Berniat bermalam di rumah kakak perempuan Roni disana. Tempatnya hanya beberapa ratus meter dari Istana Pagaruyung, salah satu tujuanku pada perjalanan kali ini. Namun sebelum kesana, kami mampir dulu ke kampung Roni di Talawi, masih di kabupaten Sawah Lunto.

Talawi adalah kampung halaman Roni. Satu kampung dengan Muhammad Yamin, salah satu Pahlawan Pergerakan Nasional. Salah seorang penggagas Sumpah Pemuda. Beliau juga sempat menjadi menteri pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Salah seorang tokoh pahlawan nasional yang cukup sering disebut pada pelajaran sejarah dibangku sekolah dulu. Namun tidak terlalu sering disinggung dalam keseharian kini.

Makam yang amat terasa nuansa Minangnya. Megah tapi tidak berlebihan, layak sebagai makam pahlawan Nasional.

Pesan sang pahlawan.

Makam sang pahlawan berada di kampung halamannya. Beliau dikebumikan disamping makam ayahnya. Kompleks pemakamannya tidak terlalu megah tapi juga tidak sederhana. Cukup layak sebagai makam pahlawan nasional. Di area makam, terdapat pesan dari beliau. Pesan persatuan yang memegang peranan penting dalam pembentukan NKRI. Pesan yang tampaknya perlu digaungkan lagi saat ini, ditengah bisingnya media sosial yang teramat banyak ujaran kebencian.

Makamnya berdampingan dengan makam ayahnya

Berjarak 129 km dari Padang, 27 km dari Batu Sangkar

Dari makam sang pahlawan, kami mampir sebentar ke salah satu objek wisata “baru” disana: danau biru. Yang ternyata nggak biru-biru amat. Danau ini merupakan bekas galian tambang. DI waktu tertentu, jika kejernihan air dan sinar matahari-nya pas, air di danau akan terlihat biru seperti danau Kaolin di Belitung. Begitulah paling tidak imaji yang aku lihat dari ponsel Roni.

Tapi ketika kami datangi, warna danau ini sedang tidak biru. Aktivitas penambangan malah lebih menonjol. Lebih terasa. Bekas-bekas galian sebagian menumpuk di sisi danau. Sebuah perahu merapat dengan pelan ke pinggiran danau. Menurunkan muatannya yang tidak banyak. Memindahkannya ke dalam truk pengangkut material. Entah mau dibawa kemana hasil galian itu.

Danau biru yang (sedang) tidak biru

Aktivitas tambang di tepi danau

Tidak lama kami menghabiskan waktu disana. Hanya sekedar melihat-lihat dan sedikit memotret, lalu beranjak pergi. Menuju rumah saudara Roni untuk sekedar bersilaturahmi sekaligus melihat proses pengolahan gula kelapa dan Kare-Kare, salah satu kuliner khas Sawah Lunto. Kare-Kare ini beda jauh dengan nasi Kare. Kuliner ini lebih berupa makanan ringan, kudapan, alih-alih pengganti nasi. Bentuknya seperti mi kering dengan bahan dasar kelapa. Rasanya.. yah, seperti mi kelapa kering. Kriuk-kriuk rasa kelapa. Makanan yang cocok menemani saat santai seperti saat nonton bola atau teman minum kopi. Hebatnya, konon hasil produksi desa ini sudah menembus pasar Malaysia!

Menimang ponakan (in frame: Roni)
Melampiaskan rindu (in frame: Roni)

Harus terus diaduk agar rata

Menunggu dingin

Kumpul keluarga

Inilah Kare-Kare, camilan khas Sawah Lunto (Talawi)
Sudah terstandarisasi dan mendapatkan merk dagang

Ternyata Sawah Lunto tidak melulu tragedi. Ada sisi kemanusiaan yang lebih melegakan disini. Ada wisata lain selain tambang batu bara di masa lalu. Sawah Lunto punya wisata alam (meski berasal dari bekas galian tambang), punya pahlawan nasional, dan punya kuliner khas. Masih banyak hal yang dapat digali dan dijual sebagai objek wisata selain tambang batu bara. Seandainya aku punya lebih banyak waktu disini..

Sayangnya ketika itu matahari sudah cukup condong ke ufuk barat. Kami tidak ingin kemalaman sampai Batu Sangkar. Maka kami segera pamit, melanjutkan perjalanan menuju tempat kakak perempuan Roni. Melewati Istana Baso Pagaruyung. Istana sudah tutup. Sudah terlalu malam ketika kami tiba disana. Tidak apa, kami memang berencana mengunjunginya esok pagi, bukan malam ini. Tapi bolehlah mengabadikan Istana Minang ini di waktu malam. One more shot before sleep.

Istana Baso Pagaruyung di malam hari

Selamat malam, Pagaruyung. Sampai jumpa esok hari. Semoga kita bisa banyak berbincang tentang Minang!

Sabtu, 01 Juli 2017

Solo Trip Swarnadwipa 19 - Mengais rejeki dari tragedi

Perjalanan menuju Padang dari Kayu Aro terjadi di malam hari. Aku menumpang travel dalam bentuk mobil Avanza. Inilah transportasi antar kota yang lazim digunakan di Sumatra (kecuali ruas Medan-Aceh).

Tidak ada yang bisa dilihat selain jalan karena penerangan amat minim. Jalannya konon berliku parah sehingga truk-truk logistik memilih jalur Tapan untuk menuju Sungai Penuh. Tapi untungnya aku tipe orang yang mudah tertidur. Jalan gelap yang berliku dan mendaki rasanya seperti jalan datar jika dibawa tidur. Apalagi aku sendirian menempati kursi paling belakang dalam mobil Avanza sehingga cukup leluasa untuk merebahkan tubuh meski tidak benar-benar bisa meluruskan badan. Tapi berbaring dengan kaki tertekuk merupakan posisi yang jauh lumayan untuk beristirahat dibandingkan posisi duduk.

Lalu tiba-tiba Padang. Dua penumpang sudah turun ketika aku bangun. Tinggal dua penumpang lagi yang akan segera turun di Rumah Sakit Umum Padang. Tampaknya aku menjadi penumpang terakhir yang turun. Waktu istirahatku amat maksimal sepanjang perjalanan ini. Alhamdu? Lillah.
Aku minta diantar ke pasar Ulak Karang. Disanalah nantinya aku akan dijemput Roni Pasla, tuan rumahku selama di Padang. Aku mengenalnya hanya dari Instagram dan belum pernah bertemu langsung. Waktu itu aku sedang mencari informasi tentang Mentawai. Tiba-tiba saja ditawarkan menginap di tempatnya ketika di Padang. Tawaran yang tidak perlu aku pikir dua kali karena bantuan tempat menginap merupakan bantuan yang amat berarti dalam perjalananku kali ini.

Subuh belum datang ketika aku tiba di Ulak Karang. Aku beranjak mencari warung kopi yang masih buka sambil menunggu subuh. Rencananya, setelah subuh barulah aku kembali mengontak Roni. Tidak enak rasanya membangunkan kenalan baru di pagi buta. Aku pikir, setelah subuh pas lah waktunya dengan asumsi dia juga akan bangun untuk sholat.

Tapi ternyata kontak dari dia datang duluan daripada adzan subuh. Aku memberi tahu bahwa sudah sampai di Ulak Karang. Roni pun bergegas menjemputku. Wah, baik banget pikirku. Baru kenal beberapa bulan sebelum perjalanan ini, dan baru kali ini bertemu tapi sudah mau direpotkan sedemikan rupa. Aku kembali merasa bersyukur dipertemukan orang baik selanjutnya. Sejak dari Palembang, Bengkulu, Enggano, Kerinci, aku kembali ditolong orang dan diberi tempat bermalam.
Jadilah aku subuh dan mandi di tempatnya. Roni ternyata bujangan yang tinggal di kost. Jadi cukup leluasa aku merebahkan badan. Meskipun rasa kantuk tidak terlalu berat, tapi rasa lelah tetap ada.

Kepalaku masih dipenuhi rencana beristirahat ketika Roni menanyakan rencanaku selama di Sumatra Barat. Aku bilang Padang, Batusangkar, Lembah Harau, dan Bukittinggi. Tidak ada rencana ke Sawah Lunto? Tanya Roni. Aku bilang, pingin-pingin aja sih kesana, tapi rutenya tidak sejalan.
Tidak dinyana ternyata ia menawarkan aku untuk berkunjung kesana bersamanya. Tampaknya dia punya kawan di Sawah Lunto. Dari sana rencananya dia mengajak berkunjung ke Batusangkar dan bermalam di rumah kakaknya disana. Wah cocok sekali! Istana Pagaruyung di Batusangkar merupakan salah satu tujuanku.

Maka setelah tidur sebentar, mandi, dan sarapan, kami segera berangkat menuju Sawah Lunto. Nama yang hanya aku dengar dari pantun semasa sekolah dulu.

Lurus jalan ke Sawah Lunto
Keliling jalan Batu Sangkar
Tegaklah tikus berpidato
Melihat kucing bertengkar


Nah jadi ketebak umur deh..


Dulu aku bahkan tidak tahu Sawah Lunto itu apa. Tambang atau sawah? Selain pantun, aku hanya tahu jika tempat itu merupakan penghasil batubara terbesar meskipun aku tidak tahu bentuk batu bara itu seperti apa. Terlalu banyak ketidaktahuan tentang Sawah Lunto. Hasil browsing pun hanya sebatas lubang Mbah Soero dan jarak dari kota Padang saja.  Aku tidak terlalu banyak mencari tahu tentang tempat ini. Tujuan yang sempat aku coret ketika menyusun jadwal perjalanan Swarnadwipa tetapi tiba-tiba muncul kembali dengan satu ajakan dari Roni.

Sudah agak siang ketika kami memulai perjalanan, namun untungnya cuaca tidak terlalu terik. Aku amat menikmati jalur pegunungan yang naik turun. Sesekali datar dengan pepohonan rimbun selalu menemani sepanjang perjalanan. Lalu tiba-tiba sampailah kami ke tempat tujuan.

Secuplik panorama menuju Sawah Lunto

Sawah Lunto menempati ceruk datar yang relatif sempit. Tempat ini telah berubah dari kota tambang menjadi kota wisata. Kesan pertamaku seperti memasuki Malioboro di Jogja minus delman, becak, dan keriuhan manusia. Yah, seperti Malioboro versi lebih sepi. Tapi tata kotanya rapi. Penginapan dan kafe berjejer bersama fasilitas penunjang pariwisata lainnya seperti ATM dan bank. Informasi mengenai keadaan kota pun cukup lengkap dan mudah diakses. Sawah Lunto sepertinya sudah sadar wisata.

Informasi mengenai Sawah Lunto cukup baik

Kami langsung menuju tempat pertama, yaitu Mak Itam. Alias museum kereta api jaman tambang. Mak Itam merupakan sebutan untuk lokomotif uap. Warnanya hitam legam dan terkesan sangat kokoh. Museum ini menempati bekas stasiun Sawah Lunto yang sederhana. Bangunannya tidak terlalu besar. Hanya ada 2 ruangan utama sebagai tempat memamerkan barang koleksi. Mak Itam-nya sendiri sedang diparkir. Mungkin sedang perawatan, mungkin sedang diperbaiki aku tidak sempat bertanya karena petugas tiket telah menghilang. Tidak ada siapa-siapa lagi disini untuk bertanya. Maka kami segera beranjak.

Ruang pamer museum Mak Itam. Sederhana tapi cukup informatif.

Tujuan selanjutnya ialah museum Gudang Ransoem. Tempat yang dulu dijadikan sebagai dapur umum pada masa tambang batubara. Area museum ini lebih luas daripada museum Kereta Api. Disini juga tersedia beberapa literatur tentang Sawah Lunto. Literatur yang amat sayang untuk aku lewatkan. Maka aku memborong beberapa literatur yang isinya menarik. Bagi pencari informasi seperti aku, keberadaan literatur lokal di dalam museum ialah buah tangan sempurna. Sekali lagi, aku senang dengan kesiapan Sawah Lunto menyambut tamu.

Maping area museum Gudang Ransoem. Yang paling lengkap dibanding museum lainnya.

Secara pribadi, bagian sejarah ini tidak terlalu membuatku penasaran. Koleksi yang dipajang dalam museum terlalu datar. Rasanya seperti dapur biasa dengan volume yang lebih besar. Meskipun tempat ini menyimpan ceritanya sendiri, tapi aku lebih suka memperhatikan arsitekturnya yang jadul. Disini, aku lebih banyak memotret daripada membaca.

Salah satu tempat memasak dalam museum Gudang Ransoem. It's huge!

Cerobong asap yang tinggi mencerminkan aktivitas pembakaran (makanan) dalam volume yang amat besar.

Cerita lebih menarik bagiku ialah Lubang Mbah Soero. Lubang inilah inti dari sejarah Sawah Lunto. Tempat yang menjadi lorong-lorong penggalian batubara pada jaman dulu. Saat ini areanya sudah berubah menjadi museum. Tidak banyak barang yang dipamerkan, mayoritas hanya hasil tambang, tapi itulah intinya tempat ini: mineral hasil tambang. Dapur umum, kereta api pengangkut batubara hanyalah pendukung pertambangan. Kenyataan memilukan dari pertambangan batubara Sawah Lunto terangkum di tempat ini.

Museum Lubang Mbah Soero. Inti dari peristiwa Sawah Lunto.

William de Grave, penemu batubara di Sawah Lunto.

Inilah batubara, pelaku utama dari cerita Sawah Lunto.

Menurut informasi yang tertera pada dinding museum, Mbah Soero ialah salah satu pekerja yang diangkat menjadi mandor karena ilmu kebatinannya. Nama aslinya Soerono, berasal dari Jawa. Konon ia mendapat respek dari kompeni maupun dari pekerja tambang. Sosok ini kemudian dianggap pahlawan, namun tidak dijelaskan bagaimana ia mendapatkan predikat tersebut. Keterangan yang tertera hanyalah ia sosok yang berprilaku baik, rajin bekerja dan taat beribadah.

Inilah lubang Mbah Soero

Lubang Mbah Soero berada dibawah area museum. Tapi karena luasnya, lubang ini tidak terbatas hanya dibagian bawah museum saja, melainkan juga melebar ke area sekitar, dimana dipermukaaannya ada beberapa bangunan lain. Area museum Mbah Soero terbilang kecil. Lubangnya lah yang luas dibawah tanah sana.

Selfie sebelum turun. Selagi masih terkena sinar matahari.

Aku ditemani pemandu dari museum turun beberapa meter di dalam perut bumi. Tidak boleh turun sendirian katanya. Ada standar keselamatan sebelum memasuki tambang. Pakaian khusus berupa helm pelindung dan sepatu boot wajib dikenakan bagi pengunjung yang ingin turun ke dalam lubang Mbah Soero. Aturan lainnya dijelaskan oleh sang pemandu sambil jalan.

Tangga menuju perut bumi
Akhirnya kami turun. Meniti puluhan anak tangga ke dalam perut bumi. Merasakan sesak dan sempitnya lubang galian batubara. Udaranya lembab. Auranya mencekam. Banyak korban jatuh disini. Sebagian besar pekerja tambang. Entah karena kelelahan, kehabisan oksigen, kecelakaan atau sebab lain.

Menurut cerita pemandu, disini memang banyak kejadian mistis, suara-suara aneh, baik suara manusia minta tolong, merintih, ataupun suara aktivitas pertambangan yang sudah lama berhenti. Suaranya berasal dari lubang yang lebih dalam di tambang. Area yang ditutup untuk wisatawan karena rawan banjir dan berbahaya. Belum aman untuk dimasuki dan sebaiknya memang ditutup untuk selamanya.

Area tambang yang lebih dalam. Ditutup untuk umum karena berbahaya.

Area yang dibuka untuk dikunjungi hanya terowongan paling atas. Mungkin bisa dibilang basement 1. Masih banyak basement-basement lain dibawah sana, namun untuk dikunjungi, sebab jika hanya untuk merasakan aura tambang, basement 1 sudah cukup. Udaranya amat terbatas dibawah sini. Pihak museum menambahkan terowongan udara tambahan agar lubang ini masih “layak dikunjungi” oleh wisatawan.

Menelusuri basement 1 dari lubang Mbah Soero. Sudah cukup mencekam.

Terowongan angin yang memompa udara dari luar sehingga lubang tambang masih layak dikunjungi.

Dari dalam lubang Mbah Soero, banyak pikiran menggelayut dalam benakku. Sebenarnya yang dibanggakan masyarakat Sawah Lunto ini adalah tragedi. Bukan cerita heroik perampasan benteng atau perang melawan penjajah tapi perbudakan. Perbudakan dalam tambang. Membayangkan penduduk pribumi dari penjuru Nusantara dibawa kemari untuk kerja paksa membuatku sedikit merasakan ironi wisata ditempat ini. Membuatku meluangkan waktu untuk sejenak berdoa sebelum keluar tambang, untuk para arwah nenek moyang bangsa yang gugur sia-sia di tambang ini. Perasaan sedih dan tertekan sedikit terasa diakhir perjalanan dalam lubang ini.

Batubara yang masih belum digali. Demi barang tambang inilah ribuan orang mati disini.

Rasa lega menyelimuti batinku ketika kami kembali ke permukaan. Seolah baru saja bermimpi buruk. Lubang ini memang cocok untuk sebuah setting nightmare. Bayangkan kita terjebak dalam labirin bawah tanah. Lubang sempit yang dapat runtuh sewaktu-waktu. Lubang pengap yang juga dapat banjir sekonyong-konyong. Belum lagi suara-suara minta tolong, suara menggali, suara troli, atau denting logam dari bawah sana. Suara yang berasal dari lubang yang lebih bawah lagi. Lubang yang telah dipagari teralis besi. Terasa misterius sekaligus mistis.

Kejadian yang baru saja terbayang dalam benakku, mungkin benar-benar terjadi di masa lalu. Mungkin lebih parah. Dibawah tekanan mandor kompeni, pekerja tambang menggali di tempat sempit minim udara. Bahaya runtuh, tertabrak troli, kehabisan nafas, dan lain-lain mereka rasakan ketika bekerja. Setelah selesai, tekanan dari sesama pekerja tambang (yang juga berstatus narapidana) juga datang. Yang lemah mungkin saja menjadi “anak Jawi” alias disodomi. Minimnya perempuan di tempat ini telah membuat praktek tersebut menjadi jalan pintas penyaluran hasrat seksual mereka. Nama mereka dilupakan. Diganti dengan nomor-nomor tahanan. Seperti Gerombolan Siberat dalam cerita Donal Bebek, mereka dipanggil dengan nomor, disebut sebagai “orang rantai”. Sebutan yang amat enggan aku gunakan karena amat menginjak-injak kemanusiaan mereka. Cukup satu kali aku menyebutnya. Selanjutnya aku lebih suka menyebut mereka tahanan atau pekerja tambang dibandingkan predikat terakhir yang mengenaskan itu.

Itulah sekejap tragedi Sawah Lunto yang aku rasakan. Aku sendiri bingung harus senang karena masyarakat disini mendapat berkah dari pariwisata atau sedih karena pariwisata itu malah menjual tragedi masa lalu mereka. Mungkin saja pekerja tambang itu nenek moyang mereka bukan? Bagaimana ya rasanya menceritakan hal semacam “dulu kakek saya dipaksa kerja di dalam sini” atau “dulu buyut saya mati kelelahan dalam tambang ini” kepada wisatawan? Kalau saya sih tidak sanggup. Mungkin malah mengutuki lubang itu daripada menjadikannya objek wisata.

Simbol peristiwa Sawah Lunto. Dilema rasa dalam batin.
Ah tapi sayangnya aku tidak sempat berbincang lama dengan masyarakat sekitar. Aku tidak tahu bagaimana sudut pandang mereka. Pariwisata telah memajukan Sawah Lunto dewasa ini. Menjadi sumber pemasukan kota. Tanpa pariwisata, kota ini mungkin tidak berkembang. Berada diceruk bukit. Jauh dari pusat kota. Tanpa pariwisata, Sawah Lunto mungkin akan dilupakan dan tertinggal. Mungkin itu lebih penting daripada terus menerus berduka dalam tragedi masa lalu. Mungkin. Aku hanya bisa menebak karena tidak sempat berbincang. Yang jelas, Sawah Lunto telah membuatku merasakan dilema rasa. Antara senang dan sedih. Antara bangga dan pilu. Emosi positif dan negatif bercampur dalam benak. Sensasi baru dalam perjalanan ini.

PT. Bukit Asam. Sisa kejayaan Sawah Lunto yang masih berdiri gagah.

Begitulah sudut pandangku berubah sekejap dalam satu kunjungan singkat. Sawah Lunto, kini bukan lagi sekedar nama dalam pantun. Sawah Lunto adalah dilema batin dalam benak. Sampai jumpa Sawah Lunto. Jika ada umur panjang, boleh kita bertemu lagi.

Rabu, 14 Juni 2017

Solo Trip Swarnadwipa 18 - Secuplik cerita dari daerah penghasil teh terbaik dunia

Setelah hari yang menakjubkan dan melelahkan di danau Kaco, aku masih menghabiskan satu hari lagi di Siulak Gedang. Sekedar istirahat memulihkan diri sambil bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Bersiap memulihkan kondisi fisik dan barang bawaan. Barang bawaan ini maksudnya pakaian. Yah, waktu satu hari penuh sudah cukup untuk mencuci pakaian yang amat kotor hasil kunjungan ke danau Kaco. Mengurangi beban pakaian kotor dan lumpur.

Selfie candid bersama Dedi dan kedua mertuanya sebelum pamit. Terima kasih banyak Ded!

Aku amat berterima kasih kepada Dedi yang memberiku kesempatan menginap satu hari lagi. Yah, bukan hanya itu sih tapi juga tempat berlindung selama di Kerinci. Tidur, mandi, mencuci, bahkan beberapa kali sarapan dan makan malam bersama. Mendapatkan tempat berlindung bagi backpacker kere macam aku amat besar artinya. Aku mendapatkan waktu istirahat tambahan tanpa harus menambah anggaran terlalu banyak. Paling hanya biaya hidup (makan, sabun cuci) saja yang bertambah. Amat signifikan jika harus menyewa kamar losmen.

---

Keesokan harinya aku bersiap untuk pamit. Namun karena travel ke Padang baru ada pada malam hari, maka aku memutuskan untuk mengunjungi basecamp teman-teman Dedi di Kayu Aro. Lagipula jalur travel ke Padang juga akan melewati basecamp mereka, jadi cocoklah sudah.

Sebelumnya kami sempat berkenalan di calon penginapan baru Dedi di Siluak Deras. Sama-sama pemandu di Kerinci namun menekuni pasar yang agak berbeda. Basecamp mereka berada di Pelompek, cukup jauh dari tempat Dedi. Perjalanan kesana akan melewati perkebunan teh Kayu Aro. Konon, teh Kayu Aro merupakan teh nomer 1 dunia. Kualitas grade 1 nya tidak dipasarkan di dalam negeri tapi diekspor ke Eropa untuk konsumsi keluarga kerajaan-kerajaan di Eropa sana. Konon, termasuk kerajaan Inggris. Wow, luar biasa! Sayangnya aku tidak bisa mampir karena membutuhkan ijin khusus perusahaan untuk berkunjung kesana.

Pintu gerbang kantor perkebunan Kayu Aro

Rumah di area perkebunan yang tampaknya dibangun pada masa kolonial

Maka aku harus puas dengan memotret perjalanan dari dalam angkot Siluak Deras-Pelompek. Sebenarnya ruas jalan ini amat menyenangkan. Sayang aku tidak melaluinya dengan sepeda motor yang bisa berhenti kapan saja aku suka, tapi harus mengikuti ritme angkot mengangkut penumpang. Untungnya aku bisa duduk di depan, jadi pandangan cukup leluasa untuk memotret.

Perjalanan yang menyenangkan di hari cerah. Seandainya aku naik motor ketika itu...

Kebun teh di latar depan dan Gunung Kerinci di latar belakang menjadi pemandangan dominan sepanjang jalan. Monoton tapi tidak membosankan karena sudut pandangnya terus berubah. Kadang terbersit keinginan untuk turun dan menunggu angkot selanjutnya, tapi karena khawatir tidak ada lagi angkot yang lewat (menunggu angkot ini juga cukup lama) maka aku mengurungkan niat tersebut.

Dipotret dari dalam angkot yang bergerak, ini satu-satunya jepretanku dengan objek patung macan, landmark gerbang pendakian Kerinci

Aku juga melewatkan niat berhenti sejenak patung macan, gerbang pendakian ke Gunung Kerinci dan kunjungan ke Aroma Pecco, tempat peristirahatan di sekitar kebun teh Kayu Aro. Cukup puas dengan memotretnya dari dalam angkot yang berjalan. Fotonya tidak maksimal, tentu saja. Tapi cukup lah untuk sekedar menjadi pengingat rasa perjalanan di masa depan. Kadang perasaan seperti ini dapat menjadi motivasi untuk kembali berkunjung. Menyempatkan diri lebih lama untuk berfoto dan merasakan perjalanan. Membuang perasaan menyesal di kemudian hari. Merasakan lebih banyak nikmat dan lebih banyak syukur sepanjang kehidupan.

Perjalanan panjang yang terasa singkat. Perempatan Pelompek sudah tercapai. Keluar dari angkot, aku lantas mencari tempat makan dan menghubungi teman-teman Dedi: Cen, Nanda, dkk. Tidak terhubung. Mungkin mereka sedang di tengah gunung. Baiklah, aku menunggu sambil makan siang. Kebetulan dekat situ ada warung nasi. Aku masih penasaran dengan dendeng batokok, maka aku memesan menu yang sama untuk makan siang. Tapi ternyata zonk. Hanya dendeng biasa. Alot dan rasanya kalah jauh dengan dendeng batokok di tempat Dedi. Tidak apa, yang penting perut terisi dan kondisi tubuh terjaga.

Tidak lama, pesan terbalas. Basecamp Indralaya hanya berjarak dua rumah dari perempatan. Cen sedang di Padang, Nanda sedang mengantar tamu. Baiklah, aku menunggu saja di base. Namun sayangnya tidak ada siapapun disana. Pintu terkunci, terpaksa menunggu di luar. Untung tidak hujan, tapi terasa amat membosankan kala itu.

Tidak lama, salah satu anak buah Cen datang. Pintu dibuka dan aku merebahkan diri sejenak di dalam. Terlalu lama duduk, tulang ekor butuh beristirahat. Lagipula anak tadi langsung menghilang setelah membukakan pintu. Meninggalkan aku sendiri dengan sajian teh dan kopi. Sayang bukan teh Kayu Aro, hanya teh celup biasa yang banyak aku temui di ibukota. Salah satu ironi lagi aku temui disini. Tampaknya rasa penasaranku dengan rasa teh Kayu Aro harus tertunda lebih lama lagi.

Basecamp ala pendaki. Akhirnya tempat merebahkan punggung!

Sedikit teh tanpa kopi, dan aku memilih untuk tiduran. Mengistirahatkan punggung dan pantat. Tidur terlentang dan tengkurap bergantian. Menunggu penghuni basecamp datang dan meramaikan tempat ini. Sekedar mendengar cerita keseharian manusia Kerinci sambil menunggu malam dan travel menuju Padang.

Dua jam tertidur lalu datanglah mereka. Habis dari Goa Kasah rupanya. Nanda sedang mengantar mahasiswi dari Jambi. Si mahasiswi yang aku lupa namanya ini tampak sudah akrab dengan penghuni basecamp. Kenal ketika pkl katanya. Kali ini datang kembali untuk berlibur sebab di kota Jambi terasa begitu kering wisata alam. Ke Kerinci dia pergi berlibur.

Narsis di depan basecamp Indralaya

Keramaian datang bersama cerita. Berceritalah aku, berceritalah mereka. Kami saling bertukar cerita. Ceritaku sudah kutulis pada artikel sebelumnya. Cerita mereka akan aku tulis disini. Keseharian mereka adalah petani atau peladang. Hasil kebun kentang dan sayur menjadi andalan mereka untuk membiayai hidup. Namun dengan begitu mereka hanya mendapatkan penghasilan tiap kali panen. Penghasilan tambahan baru didapatkan jika ada pendaki yang mereka antar ke puncak. Entah puncak Kerinci, entah danau Gunung Tujuh. Tampaknya kedua tujuan tersebut menjadi andalan mereka dan favorit para tamu.

Kerinci tampaknya memang butuh investor untuk berkembang. Banyak potensi yang belum tergali. Nanda bercerita bahwa ada beberapa air terjun yang dapat menjadi potensi wisata, namun belum ada jalan kesana. Jalan setapak maksudnya. Sedangkan Cen pernah membuka sendiri jalan menuju satu air terjun. Aku lupa mencatat namanya, lebih tertarik pada cerita mereka membuka jalan setapak. Itu berarti tempatnya masih perawan.

Aku juga tertarik melihat beberapa foto tumbuhan kantong semar yang mereka tunjukkan di laptop. Aku memang bukan biologist yang paham dengan berbagai jenis flora-fauna, tapi melihat spesies berbentuk unik yang jarang aku lihat menimbulkan ketertarikan baru. Bikin penasaran untuk menjelajah hutan Kerinci (tapi tidak sekarang). Cerita tentang jejak harimau juga bikin kepo, ngeri-ngeri sedep istilahnya. Tertarik tapi juga agak takut. Oia, tentang nama tempat, Pelompek ini konon artinya tempat pelompatan harimau. Paling tidak begitulah menurut cerita yang mereka dengar dari para tetua mereka.

Selain itu aku juga mendapat cerita tentang Gua Kasah. Konon gua purbakala dimana masih banyak tersimpan artefak arkeologi yang belum digali. Oiya, si mahasiswi tadi mengambil jurusan arkeologi. Makanya dia tertarik dengan goa Kasah tersebut. Aku juga pernah membaca sekilas tentang goa Kasah ini ketika mencari info Kerinci di internet, tapi informasinya amat minim. Menurut mereka, goa tersebut bahkan belum menjadi tempat wisata (belum ada retribusi resmi ataupun pos jaga), hanya untuk menuju kesana kita butuh pemadu dari desa tersebut. Retribusi paling hanya untuk membayar pemandu desa.

Nah mengenai hal unik lainnya, ketika di Siulak Gedang aku mendengar rumus 3p untuk perempuan Kerinci, yaitu putih, pesek, pendek. Maaf bukan bermaksud Sara, tapi aku jadi melihat rumus itu benar adanya saat memperhatikan lebih seksama perempuan Kerinci. Lagipula 3p bukan hal yang buruk menurutku, hanya sebuah keunikan yang membedakan ciri fisik dengan perempuan dari tempat lain. Yah wajar topik perempuan juga jadi bahasan obrolan lelaki sebagaimana lelaki jadi topik obrolan kaum hawa.

Makan malam sambil menunggu travel menuju Padang

Cerita berlanjut curhat. Aku mendengarkan dan terasa cukup prihatin karena ketika sedang tidak panen atau menanam, mereka hanya mengandalkan pemasukan dari memandu tamu naik. Waktu lebih banyak terbuang. Apalagi harga kebutuhan pokok cenderung lebih mahal disini karena agak terpencil. Mencapai tempat ini berarti melewati jalan menanjak berliku yang rawan longsor. Meskipun kaya akan hasil kebun, tapi kebutuhan pokok lainnya masih harus didatangkan dari Padang. Listrik pun lebih sering padam daripada menyala. Aku merasakan kesempatan berkembang amat terbatas. Ingin rasanya membantu tapi aku belum tau harus bagaimana membuka kesempatan bagi mereka. Penduduk dibalik gunung kadang sama terisolasinya dengan penduduk dari pulau terpencil. Ingin rasanya membantu mereka berkembang. Mungkin tulisan ini jadi awal niatan tersebut, karena Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia bukan hanya Jawa. Kerinci juga Indonesia. Kerinci juga butuh berkembang.


Kebersamaan dan obrolan singkat terasa lekat ketika itu. Ingin rasanya tinggal dan mengenal mereka lebih lama. Berbaur dan merasakan menjadi orang Kerinci / Kayu Aro. Tapi budget membatasi waktuku disana. Aku sudah harus melanjutkan perjalanan ke Padang karena tujuanku kali ini keliling Swarnadwipa, bukan hanya Kerinci saja. Terima kasih Dedi, Nanda, dan teman-teman dari basecamp Indralaya di Pelompek. Semoga kita dapat berjumpa dan berdiskusi lebih lama lain waktu. Semoga ada umur untuk berjumpa lagi. Semoga lain waktu dapat membantu lebih jauh tidak sekedar berkunjung. Selamat tinggal Kerinci, aku pamit menuju Padang.

Jumat, 26 Mei 2017

Solo Trip Swarnadwipa 17 - Keindahan misterius di tengah hutan

Danau Kaco ialah tujuan utamaku di Kerinci. Memang aku tidak memasukkan rencana untuk mendaki Kerinci karena masalah backpain alias sakit punggung. Dokter sudah melarangku untuk mengangkat beban yang terlalu berat atau olahraga vertikal seperti mendaki. Katanya akan berakibat buruk pada tulang belakang. Risiko terburuknya ialah syaraf terjepit.

Yah okelah karena aku sudah bepergian dengan ransel yang otomatis membebani punggung, maka aku tidak akan memaksakan diri untuk mendaki gunung juga. Mungkin nanti jika sakit punggungku sudah sembuh, bolehlah diagendakan kembali.

Sedangkan danau Kaco, aku sudah memimpikannya sejak pertama kali tau dari teman. Informasi itu aku perdalam dengan membaca berbagai artikel tentang tempat tersebut. Mulai dari cara mencapainya hingga legenda yang menyertainya. Warna biru yang begitu pekat menjadi daya tarik utama danau ini. Konon di malam purnama, danau ini akan bersinar terang karena memantulkan cahaya bulan. Tapi aku tidak akan membuktikan hal tersebut karena tidak berniat mendirikan kemah dan menginap disekitar danau.

Kedalamannya juga jadi misteri tersendiri. Konon belum ada penyelam yang berhasil mengukur kedalaman danau tersebut meskipun ditunjang dengan peralatan selam modern seperti tabung oksigen. Legenda mengatakan bahwa ada harta karun berupa bongkahan berlian besar tersimpan di dasar telaga, namun setiap penyelam yang ingin mengambil berlian tersebut tidak pernah kembali. Berlian di dasar danau pula yang memantulkan cahaya bulan sehingga danau ini tampak bersinar di kala purnama.

Keindahan yang misterius di tengah hutan. Demi mengunjungi danau ini aku harus menunggu kakiku sembuh hingga hari ke-4. Padahal awalnya aku hanya berencana menghabiskan 3 hari saja di Kerinci. Tidak apa, mungkin ini bagian dari takdir. Dan aku ingin mengisi takdir hari ini dengan mengunjungi tempat tersebut.

Maka jadilah kami berangkat kembali dari Siluak Gedang menuju desa Lempur, tempat dimana danau Kaco berada. Jarak tempuhnya lebih jauh dari perjalanan kemarin. Untuk mencapai desa Lempur, kami harus kembali melewati danau Kerinci. Berangkat lebih pagi, pulang lebih malam karena perjalanan lebih panjang.

Cuaca agak mendung di langit selatan ketika kami memulai perjalanan di pagi hari. Alamat buruk, kami berdoa semoga hujan tidak menyertai perjalanan kami hari ini. Medan pendakian amat buruk jika hujan turun. Tidak mau membuang waktu, kami bergegas tancap gas menuju desa Lempur.

Kami hanya berhenti sebentar untuk membeli bekal makan siang dan buang air kecil. Tidak banyak panorama yang berhasil aku foto sepanjang jalan, tapi aku sempat mengabadikan danau Kerinci dari sisi yang lain. Jika kemarin kami hanya mengunjungi sisi dermaga, sekarang kami melewati seberang danau. Pemandangannya agak berbeda dan lebih terasa mistis.

Danau Kerinci, dari sisi seberang dermaga

Sayangnya kami tidak punya waktu lama untuk berburu foto di danau Kerinci. Awan sudah semakin gelap di selatan. Kami berlomba dengan hujan. Semoga tidak turun dulu sebelum kami sampai disana. Semoga medan pendakian tidak terlalu parah tertutup lumpur, karena dari informasi yang aku peroleh jalur hutan menuju danau Kaco sebenarnya tidak terlalu menanjak, hanya amat berlumpur. Apalagi jika dilewati saat hujan atau tidak lama setelah hujan turun.

Setelah sampai di desa Lempur, langit makin gelap. Tampaknya doa kami tidak terkabul. Jalan menuju kesana pun tampak basah. Sepertinya hujan belum lama turun dan akan segera turun lagi disini. Tapi tidak apa, hujan tidak akan menyurutkan langkah kami menuju tujuan impian. Semoga “hanya” lumpur dan hujan yang menjadi handicap kami. Semoga tidak ada handicap tak terduga lain. Aamiin.

Di depan "pintu masuk"
Tidak sulit mencari jalan masuk menuju danau Kaco dari desa Lempur. Danau itu merupakan andalan wisata disini. Semua orang tau tempatnya. Tapi mereka berkomentar sama: “wah, mau kesana hujan-hujan begini (saat itu sudah turun gerimis tipis) ? Kemarin baru turun hujan, jadi lumpurnya pasti tebal.” Tidak apa bu, tunjukkan saja jalannya.

Sebelum mencapai tempat itu, kami dihadang oleh pemuda setempat dalam pos sederhana. Ah, tampaknya ada semacam retribusi, karcis masuk danau Kaco. Entah legal entah illegal, tapi bayar saja daripada ribut. Sepuluh ribu rupiah per orang. Kami berdua, jadi aku harus merogoh kocek sebesar dua puluh ribu rupiah untuk bisa masuk.

Tidak pakai lama, kami segera menyusuri jalan setapak menuju danau Kaco. Sejak dari titik ini, mulai terasa kebutuhan akan seorang pemandu. Jalan setapak kerap bercabang. Penanda menuju danau tersebut agak samar. Butuh pemandu untuk penunjuk jalan. Mungkin aku akan terseset jika berjalan sendiri kemari. Nasihat sepanjang jalan dari orang-orang yang kutanyai tentang tempat ini kini terasa kebenarannya. Banyak bertanya, selamat sampai tujuan.

Petunjuk arah yang amat mudah terlewat jika tidak tahu medan

Kesulitan karena jalan setapak banyak tertutup lumpur langsung terasa dari awal perjalanan. Kami harus pandai-pandai mencari pijakan antara batang kayu dan batu. Kadang kami harus memutar untuk menghindari lumpur. Kenapa harus dihindari? Karena langkah akan terasa amat berat setelah terbenam dalam lumpur. Selain menghabiskan lebih banyak tenaga, juga ada risiko alas kaki jebol. Beberapa kali kami temukan alas kaki yang ditinggalkan dijalan. Kondisinya tentu sudah hancur. Jebol atau putus. Sudah terlalu malas dibawa pulang atau sudah menjadi beban dalam perjalanan. Meskipun aku sudah menyiapkan sandal gunung yang sudah di sol / dijahit keliling, namun tetap aja aku tidak ingin menantang lumpur. Lebih baik cari aman di tempat asing. Tidak apa lebih lambat sampai asalkan bisa selamat sampai tujuan. Pepatah jawa yang menjadi salah satu pedomanku dalam perjalanan kali ini.

Mencari pijakan antara batang kayu dan batu demi menghindari lumpur tebal

Banyak alas kaki jebol yang ditinggalkan begitu saja

Dan benar, perjalanan terasa amat lama. Terasa bukan terukur. Sebab menurut ukuran jam, waktu tempuh kami masih tergolong rata-rata. Ah mungkin aku sedang dibohongi perasaan. Semoga harapan tidak ikut membohongiku. Perasaan sudah dekat terasa berulang kali, sampai akhirnya kami benar-benar sampai ke danau ini!

Pos istirahat satu-satunya. Penanda sepertiga perjalanan.

Becek, sekelilingnya masih ada beberapa sampah dari pengunjung sebelum kami. Tapi birunya danau persis seperti bayangan awalku tentang tempat ini. Jernih meski kemarin baru hujan dan hari ini sedikit gerimis. Hujan yang lebih besar mungkin akan turun sebentar lagi jika melihat langit yang makin kelabu. Tapi itu tidak menyurutkan langkah kami untuk turun ke danau. Ada rasa bangga dalam diri sendiri ketika berhasil kemari. Aku pribadi menganggap pencapaian ini sebagai prestasi. Setelah berhasil mencapai pulau Enggano yang terpencil, inilah prestasi keduaku dalam perjalanan ini.

Akhirnya sampai juga ke Danau Kaco!

Yyyyeeeaaaaaahhhh !!!!!!

Perasaan berhasil, euforia, kebahagiaan yang agak meletup terasa dalam diri. Tapi karena tubuh agak lelah dan harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pulang, maka aku tidak terlalu mengungkapkannya dengan berlebihan. Apalagi euforia ini mulai bercampur cemas karena mendung masih menggantung. Langit semakin pekat. Tidak lama, rintik hujan mulai kencang. Dari gerimis menjadi hujan deras. Di sekitar danau tidak ada tempat berlindung. Untung aku membawa jaket ponco. Didukung batang kayu, kami membuat bivak sederhana. Sekedar melindungi nasi agar tidak basah dan menjadi tempat kami bersantap siang sambil menatap danau dalam hujan.

Langsung disambut hujan deras!

Wet lunch. Makan siang yang basah dalam bivak. Untung ponconya tidak berlubang. Untung hujannya tidak berangin. Kami masih sempat menyantap nasi dengan dendeng batokok, salah satu kuliner khas Kerinci. Dendeng yang dipukul dengan palu sehingga menjadi amat lembut ketika sampai ke mulut. Aku menyebutnya steak ala Kerinci. Sayangnya aku tidak sempat memotret makanan terenak selama solo trip Swarnadwipa ini. Sudah keburu habis sebelum difoto!

Untunglah hujan tidak turun lama. Setelah hujan, aku masih menyempatkan diri memotret sekeliling danau, termasuk menjumpai ikan penghuni danau: ikan semah. Mengenai ikan semah, aku sudah diperingati Dedi untuk tidak mengambilnya dari danau jika tidak ingin tertimpa nasib buruk. Tampaknya ikan ini juga memiliki cerita atau legendanya sendiri. Sayangnya aku lupa untuk bertanya. Namun yang pasti, aku menuruti pesan tersebut.

Para penghuni danau

Ya, selain pesan untuk menjaga kelestarian habitat di tempat ini, terselip juga nasihat untuk menghindari hal berbau mistik. Meskipun aku jarang percaya hal seperti ini, tapi pesan dari tuan rumahku selama di Kerinci tentu harus diindahkan. Mengikuti kata pepatah take nothing but pictures, kill nothing but time, leave nothing but footprint.

Bergaya sebelum pulang

Setelah puas memotret, kami memutuskan untuk segera kembali ke parkiran motor. Takut hujan turun lagi karena langit belum lagi cerah meski hujan sudah berhenti. Jalan pulang rasanya akan lebih berat daripada waktu datang tadi. Tapi kami tidak punya pilihan. Harus segera kembali karena kami tidak membawa peralatan berkemah ataupun senter selain dari ponsel. Kami harus keluar dari hutan sebelum gelap.

Kabut setelah hujan mengiringi kepulangan kami.

Namun seperti halnya rasa yang sering menipu, perjalanan pulang terasa lebih cepat daripada pergi. Meski lagi-lagi waktu tempuhnya tidak jauh berbeda dan jaraknya sama persis dengan jarak datang karena kami melewati jalan yang sama. Ada perasaan lega begitu kami berhasil keluar hutan menuju parkiran motor yang tidak mirip tempat parkir sebab hanya berupa lahan kosong disamping rumah warga dan tidak ada kendaraan lain yang diparkir disitu. Yang ada hanya tiket parkir. Tapi yasudahlah, mari kembali ke Siluak Gedang. Hari ini sangat melelahkan meski hanya satu tempat yang dituju. Selamat tidur, bumi sakti alam Kerinci.