Perjalanan menuju Padang dari Kayu Aro terjadi di malam
hari. Aku menumpang travel dalam bentuk mobil Avanza. Inilah transportasi antar
kota yang lazim digunakan di Sumatra (kecuali ruas Medan-Aceh).
Tidak ada yang bisa dilihat selain jalan karena penerangan
amat minim. Jalannya konon berliku parah sehingga truk-truk logistik memilih
jalur Tapan untuk menuju Sungai Penuh. Tapi untungnya aku tipe orang yang mudah
tertidur. Jalan gelap yang berliku dan mendaki rasanya seperti jalan datar jika
dibawa tidur. Apalagi aku sendirian menempati kursi paling belakang dalam mobil
Avanza sehingga cukup leluasa untuk merebahkan tubuh meski tidak benar-benar
bisa meluruskan badan. Tapi berbaring dengan kaki tertekuk merupakan posisi
yang jauh lumayan untuk beristirahat dibandingkan posisi duduk.
Lalu tiba-tiba Padang. Dua penumpang sudah turun ketika aku
bangun. Tinggal dua penumpang lagi yang akan segera turun di Rumah Sakit Umum
Padang. Tampaknya aku menjadi penumpang terakhir yang turun. Waktu istirahatku
amat maksimal sepanjang perjalanan ini. Alhamdu? Lillah.
Aku minta diantar ke pasar Ulak Karang. Disanalah nantinya
aku akan dijemput Roni Pasla, tuan rumahku selama di Padang. Aku mengenalnya
hanya dari Instagram dan belum pernah bertemu langsung. Waktu itu aku sedang
mencari informasi tentang Mentawai. Tiba-tiba saja ditawarkan menginap di
tempatnya ketika di Padang. Tawaran yang tidak perlu aku pikir dua kali karena
bantuan tempat menginap merupakan bantuan yang amat berarti dalam perjalananku
kali ini.
Subuh belum datang ketika aku tiba di Ulak Karang. Aku
beranjak mencari warung kopi yang masih buka sambil menunggu subuh. Rencananya,
setelah subuh barulah aku kembali mengontak Roni. Tidak enak rasanya
membangunkan kenalan baru di pagi buta. Aku pikir, setelah subuh pas lah
waktunya dengan asumsi dia juga akan bangun untuk sholat.
Tapi ternyata kontak dari dia datang duluan daripada adzan
subuh. Aku memberi tahu bahwa sudah sampai di Ulak Karang. Roni pun bergegas
menjemputku. Wah, baik banget pikirku. Baru kenal beberapa bulan sebelum
perjalanan ini, dan baru kali ini bertemu tapi sudah mau direpotkan sedemikan
rupa. Aku kembali merasa bersyukur dipertemukan orang baik selanjutnya. Sejak
dari Palembang, Bengkulu, Enggano, Kerinci, aku kembali ditolong orang dan
diberi tempat bermalam.
Jadilah aku subuh dan mandi di tempatnya. Roni ternyata
bujangan yang tinggal di kost. Jadi cukup leluasa aku merebahkan badan.
Meskipun rasa kantuk tidak terlalu berat, tapi rasa lelah tetap ada.
Kepalaku
masih dipenuhi rencana beristirahat ketika Roni menanyakan rencanaku selama di
Sumatra Barat. Aku bilang Padang, Batusangkar, Lembah Harau, dan Bukittinggi.
Tidak ada rencana ke Sawah Lunto? Tanya Roni. Aku bilang, pingin-pingin aja sih
kesana, tapi rutenya tidak sejalan.
Tidak dinyana ternyata ia menawarkan aku untuk berkunjung
kesana bersamanya. Tampaknya dia punya kawan di Sawah Lunto. Dari sana
rencananya dia mengajak berkunjung ke Batusangkar dan bermalam di rumah
kakaknya disana. Wah cocok sekali! Istana Pagaruyung di Batusangkar merupakan
salah satu tujuanku.
Maka setelah tidur sebentar, mandi, dan sarapan, kami segera
berangkat menuju Sawah Lunto. Nama yang hanya aku dengar dari pantun semasa
sekolah dulu.
Lurus jalan ke Sawah Lunto
Keliling jalan Batu Sangkar
Tegaklah tikus berpidato
Melihat kucing bertengkar
Nah jadi ketebak umur deh..
Dulu aku bahkan tidak tahu Sawah Lunto itu apa. Tambang atau
sawah? Selain pantun, aku hanya tahu jika tempat itu merupakan penghasil
batubara terbesar meskipun aku tidak tahu bentuk batu bara itu seperti apa.
Terlalu banyak ketidaktahuan tentang Sawah Lunto. Hasil browsing pun hanya sebatas lubang Mbah Soero dan jarak dari kota
Padang saja. Aku tidak terlalu banyak
mencari tahu tentang tempat ini. Tujuan yang sempat aku coret ketika menyusun
jadwal perjalanan Swarnadwipa tetapi tiba-tiba muncul kembali dengan satu
ajakan dari Roni.
Sudah agak siang ketika kami memulai perjalanan, namun
untungnya cuaca tidak terlalu terik. Aku amat menikmati jalur pegunungan yang
naik turun. Sesekali datar dengan pepohonan rimbun selalu menemani sepanjang
perjalanan. Lalu tiba-tiba sampailah kami ke tempat tujuan.
 |
Secuplik panorama menuju Sawah Lunto |
Sawah Lunto menempati ceruk datar yang relatif sempit.
Tempat ini telah berubah dari kota tambang menjadi kota wisata. Kesan pertamaku
seperti memasuki Malioboro di Jogja minus delman, becak, dan keriuhan manusia.
Yah, seperti Malioboro versi lebih sepi. Tapi tata kotanya rapi. Penginapan dan
kafe berjejer bersama fasilitas penunjang pariwisata lainnya seperti ATM dan
bank. Informasi mengenai keadaan kota pun cukup lengkap dan mudah diakses.
Sawah Lunto sepertinya sudah sadar wisata.
 |
Informasi mengenai Sawah Lunto cukup baik |
Kami langsung menuju tempat pertama, yaitu Mak Itam. Alias
museum kereta api jaman tambang. Mak Itam merupakan sebutan untuk lokomotif
uap. Warnanya hitam legam dan terkesan sangat kokoh. Museum ini menempati bekas
stasiun Sawah Lunto yang sederhana. Bangunannya tidak terlalu besar. Hanya ada
2 ruangan utama sebagai tempat memamerkan barang koleksi. Mak Itam-nya sendiri
sedang diparkir. Mungkin sedang perawatan, mungkin sedang diperbaiki aku tidak
sempat bertanya karena petugas tiket telah menghilang. Tidak ada siapa-siapa
lagi disini untuk bertanya. Maka kami segera beranjak.
 |
Ruang pamer museum Mak Itam. Sederhana tapi cukup informatif. |
Tujuan selanjutnya ialah museum Gudang Ransoem. Tempat yang
dulu dijadikan sebagai dapur umum pada masa tambang batubara. Area museum ini
lebih luas daripada museum Kereta Api. Disini juga tersedia beberapa literatur
tentang Sawah Lunto. Literatur yang amat sayang untuk aku lewatkan. Maka aku
memborong beberapa literatur yang isinya menarik. Bagi pencari informasi
seperti aku, keberadaan literatur lokal di dalam museum ialah buah tangan
sempurna. Sekali lagi, aku senang dengan kesiapan Sawah Lunto menyambut tamu.
 |
Maping area museum Gudang Ransoem. Yang paling lengkap dibanding museum lainnya. |
Secara pribadi, bagian sejarah ini tidak terlalu membuatku
penasaran. Koleksi yang dipajang dalam museum terlalu datar. Rasanya seperti
dapur biasa dengan volume yang lebih besar. Meskipun tempat ini menyimpan
ceritanya sendiri, tapi aku lebih suka memperhatikan arsitekturnya yang jadul.
Disini, aku lebih banyak memotret daripada membaca.
 |
Salah satu tempat memasak dalam museum Gudang Ransoem. It's huge! |
 |
Cerobong asap yang tinggi mencerminkan aktivitas pembakaran (makanan) dalam volume yang amat besar. |
Cerita lebih menarik bagiku ialah Lubang Mbah Soero. Lubang
inilah inti dari sejarah Sawah Lunto. Tempat yang menjadi lorong-lorong
penggalian batubara pada jaman dulu. Saat ini areanya sudah berubah menjadi
museum. Tidak banyak barang yang dipamerkan, mayoritas hanya hasil tambang,
tapi itulah intinya tempat ini: mineral hasil tambang. Dapur umum, kereta api
pengangkut batubara hanyalah pendukung pertambangan. Kenyataan memilukan dari
pertambangan batubara Sawah Lunto terangkum di tempat ini.
 |
Inilah lubang Mbah Soero |
Lubang Mbah Soero berada dibawah area museum. Tapi karena
luasnya, lubang ini tidak terbatas hanya dibagian bawah museum saja, melainkan
juga melebar ke area sekitar, dimana dipermukaaannya ada beberapa bangunan
lain. Area museum Mbah Soero terbilang kecil. Lubangnya lah yang luas dibawah
tanah sana.
 |
Selfie sebelum turun. Selagi masih terkena sinar matahari. |
Aku ditemani pemandu dari museum turun beberapa meter di
dalam perut bumi. Tidak boleh turun sendirian katanya. Ada standar keselamatan
sebelum memasuki tambang. Pakaian khusus berupa helm pelindung dan sepatu boot
wajib dikenakan bagi pengunjung yang ingin turun ke dalam lubang Mbah Soero.
Aturan lainnya dijelaskan oleh sang pemandu sambil jalan.
 |
Tangga menuju perut bumi |
Akhirnya kami turun. Meniti puluhan anak tangga ke dalam
perut bumi. Merasakan sesak dan sempitnya lubang galian batubara. Udaranya
lembab. Auranya mencekam. Banyak korban jatuh disini. Sebagian besar pekerja
tambang. Entah karena kelelahan, kehabisan oksigen, kecelakaan atau sebab lain.
Menurut cerita pemandu, disini memang banyak kejadian
mistis, suara-suara aneh, baik suara manusia minta tolong, merintih, ataupun
suara aktivitas pertambangan yang sudah lama berhenti. Suaranya berasal dari
lubang yang lebih dalam di tambang. Area yang ditutup untuk wisatawan karena
rawan banjir dan berbahaya. Belum aman untuk dimasuki dan sebaiknya memang
ditutup untuk selamanya.
 |
Area tambang yang lebih dalam. Ditutup untuk umum karena berbahaya. |
Area yang dibuka untuk dikunjungi hanya terowongan paling
atas. Mungkin bisa dibilang basement 1.
Masih banyak basement-basement lain
dibawah sana, namun untuk dikunjungi, sebab jika hanya untuk merasakan aura
tambang, basement 1 sudah cukup.
Udaranya amat terbatas dibawah sini. Pihak museum menambahkan terowongan udara
tambahan agar lubang ini masih “layak dikunjungi” oleh wisatawan.
 |
Menelusuri basement 1 dari lubang Mbah Soero. Sudah cukup mencekam. |
 |
Terowongan angin yang memompa udara dari luar sehingga lubang tambang masih layak dikunjungi. |
Dari dalam lubang Mbah Soero, banyak pikiran menggelayut
dalam benakku. Sebenarnya yang dibanggakan masyarakat Sawah Lunto ini adalah
tragedi. Bukan cerita heroik perampasan benteng atau perang melawan penjajah
tapi perbudakan. Perbudakan dalam tambang. Membayangkan penduduk pribumi dari
penjuru Nusantara dibawa kemari untuk kerja paksa membuatku sedikit merasakan
ironi wisata ditempat ini. Membuatku meluangkan waktu untuk sejenak berdoa
sebelum keluar tambang, untuk para arwah nenek moyang bangsa yang gugur sia-sia
di tambang ini. Perasaan sedih dan tertekan sedikit terasa diakhir perjalanan
dalam lubang ini.
 |
Batubara yang masih belum digali. Demi barang tambang inilah ribuan orang mati disini. |
Rasa lega menyelimuti batinku ketika kami kembali ke
permukaan. Seolah baru saja bermimpi buruk. Lubang ini memang cocok untuk
sebuah setting
nightmare. Bayangkan
kita terjebak dalam labirin bawah tanah. Lubang sempit yang dapat runtuh
sewaktu-waktu. Lubang pengap yang juga dapat banjir sekonyong-konyong. Belum
lagi suara-suara minta tolong, suara menggali, suara troli, atau denting logam
dari bawah sana. Suara yang berasal dari lubang yang lebih bawah lagi. Lubang
yang telah dipagari teralis besi. Terasa misterius sekaligus mistis.
Kejadian yang baru saja terbayang dalam benakku, mungkin
benar-benar terjadi di masa lalu. Mungkin lebih parah. Dibawah tekanan mandor
kompeni, pekerja tambang menggali di tempat sempit minim udara. Bahaya runtuh,
tertabrak troli, kehabisan nafas, dan lain-lain mereka rasakan ketika bekerja.
Setelah selesai, tekanan dari sesama pekerja tambang (yang juga berstatus
narapidana) juga datang. Yang lemah mungkin saja menjadi “anak Jawi” alias
disodomi. Minimnya perempuan di tempat ini telah membuat praktek tersebut
menjadi jalan pintas penyaluran hasrat seksual mereka. Nama mereka dilupakan.
Diganti dengan nomor-nomor tahanan. Seperti Gerombolan Siberat dalam cerita Donal
Bebek, mereka dipanggil dengan nomor, disebut sebagai “orang rantai”. Sebutan
yang amat enggan aku gunakan karena amat menginjak-injak kemanusiaan mereka.
Cukup satu kali aku menyebutnya. Selanjutnya aku lebih suka menyebut mereka
tahanan atau pekerja tambang dibandingkan predikat terakhir yang mengenaskan
itu.
Itulah sekejap tragedi Sawah Lunto yang aku rasakan. Aku
sendiri bingung harus senang karena masyarakat disini mendapat berkah dari
pariwisata atau sedih karena pariwisata itu malah menjual tragedi masa lalu
mereka. Mungkin saja pekerja tambang itu nenek moyang mereka bukan? Bagaimana
ya rasanya menceritakan hal semacam “dulu kakek saya dipaksa kerja di dalam
sini” atau “dulu buyut saya mati kelelahan dalam tambang ini” kepada wisatawan?
Kalau saya sih tidak sanggup. Mungkin malah mengutuki lubang itu daripada
menjadikannya objek wisata.
 |
Simbol peristiwa Sawah Lunto. Dilema rasa dalam batin. |
Ah tapi sayangnya aku tidak sempat berbincang lama dengan
masyarakat sekitar. Aku tidak tahu bagaimana sudut pandang mereka. Pariwisata
telah memajukan Sawah Lunto dewasa ini. Menjadi sumber pemasukan kota. Tanpa
pariwisata, kota ini mungkin tidak berkembang. Berada diceruk bukit. Jauh dari
pusat kota. Tanpa pariwisata, Sawah Lunto mungkin akan dilupakan dan
tertinggal. Mungkin itu lebih penting daripada terus menerus berduka dalam
tragedi masa lalu. Mungkin. Aku hanya bisa menebak karena tidak sempat berbincang.
Yang jelas, Sawah Lunto telah membuatku merasakan dilema rasa. Antara senang
dan sedih. Antara bangga dan pilu. Emosi positif dan negatif bercampur dalam
benak. Sensasi baru dalam perjalanan ini.
 |
PT. Bukit Asam. Sisa kejayaan Sawah Lunto yang masih berdiri gagah. |
Begitulah sudut pandangku berubah sekejap dalam satu
kunjungan singkat. Sawah Lunto, kini bukan lagi sekedar nama dalam pantun.
Sawah Lunto adalah dilema batin dalam benak. Sampai jumpa Sawah Lunto. Jika ada
umur panjang, boleh kita bertemu lagi.