Hari terakhir di Enggano berjalan dengan cepat. Aku tahu ini
hari terakhirku disana ketika aku melihat iring-iringan truk bbm melintasi desa
Ka’ana. Truk datang berarti ada kapal di Kahyapu. Setelah beberapa hari tanpa
kejelasan akibat cuaca dan hal lain, akhirnya kapal datang. KMP Pulo Tello
namanya. Kapal yang sama yang kutumpangi ketika datang.
Mejeng bareng Pulo Tello |
Namun sayangnya jadwal keberangkatan dari Enggano tidak
jelas. Bisa kapan saja setelah truk bbm mengosongkan isinya dan kembali ke
kapal. Kapal hanya menunggu truk, bukan penumpang. Setelah truk kembali semuanya,
barulah kapal berangkat. Jam berapa pun itu. Bisa siang, bisa sore, bisa malam.
Keren ya?
Tapi masyarakat Enggano sudah terbiasa. Terbiasa membaca
gelagat kapal dan truk bbm. Aku pun sedikit terbawa setelah tahu cara kerjanya.
Bukan melihat jadwal tapi melihat langit dan truk bbm. Setelah mandi dan
sarapan, aku lalu berkemas. Jika kapal ini terlewat, entah kapan lagi aku bisa
meninggalkan Enggano. Jadwal perjalanan mungkin akan terlalu lama jika aku tertahan
beberapa hari lagi disini.
Menjelang siang, Zulfan mengantarkanku ke pelabuhan Kahyapu.
Kapal masih bersandar. Di jalan menuju pelabuhan kami juga melihat beberapa
truk bbm masih terparkir. Ada yang masih memuntahkan isinya, ada yang terparkir
begitu saja dipinggir jembatan. Rupanya supir dan keneknya sedang mandi di
sungai dengan gembira. Yah, air memang dapat membuat kita rileks dan senang.
Sebagian truk bbm yang telah tiba di pelabuhan. Kapal belum berangkat jika truk belum kembali semua. |
Menunggu telolet |
Perjalanan menuju pelabuhan saat matahari masih hadir amat
berbeda dengan di tengah malam. Siang ini, Enggano tampak amat biasa. Berbeda
dengan perjalanan tengah malam ketika pertama kali mendarat. Waktu itu
suasananya amat mencekam. Tapi kalau dipikir, itu wajar jika kita datang ke
tempat baru dalam keadaan gelap gulita. Ketidaktahuan memang kerap melahirkan
ketakutan.
Cuaca amat cerah dan kapal masih kosong ketika kami tiba. |
Hari masih siang menjelang sore ketika kami sampai di
Kahyapu. Tampaknya masih akan menunggu beberapa jam lagi sampai telolet kapal
terdengar. Telolet yang menandakan kapal akan berangkat. Om telolet om. Telolet
datang, penantian hilang. Telolet yang dirindukan sepertinya masih agak lama.
Enggano dilihat dari laut sekitar pelabuhan |
Maka aku menghabiskan waktu dengan menikmati pemandangan
laut dan pulau yang cerah di hari ini. Pemandangan yang mungkin akan aku
rindukan setelah perjalanan ini selesai sehingga aku memutuskan untuk berkeliling
sambil memotret. Sekalian juga mengisi perut karena makanan di kapal amat
terbatas (baca: hanya ada popmie). Makan siang sekaligus malam. Baru tengah
malam mungkin aku makan lagi di atas kapal. Makan banyak supaya tidak masuk
angin. Angin di laut kejam. Badan harus terus fit supaya perjalanan tidak
terganggu.
Sore menjelang dan telolet kapal pun terdengar. Truk-truk
sudah antri memasuki kapal. Penumpang pun sudah ramai disekeliling kapal. Ada
yang sudah diatas kapal, ada yang masih di lapak makan sekitar pelabuhan. Yang
pasti mereka sudah datang karena kapalku tak berhenti lama. Tak berhenti
menunggu penumpang awam. Hanya berhenti menunggu penumpang bbm (baca: truk).
Truk masuk, kapal berangkat. Bersama puluhan ton pisang, komoditas utama
Enggano untuk dibawa ke Bengkulu.
Pisang inilah komoditas andalan Enggano |
Perjalanan laut di malam hari hampir selalu membosankan.
Untungnya aku cepat terlelap. Aku tidak terlalu khawatir akan barang bawaanku
ketika tidur karena ini di atas laut. Lagipula barang berharga “hanya” kamera,
ponsel dan dompet. Kesemuanya itu hampir selalu melekat di tubuh. Dalam kantong
celana maupun dalam tas mungil kamera yang selalu kupasang dibadan. Saat tidur,
bisa dipeluk. Tas? Aku tidak terlalu khawatir karena isinya hanya pakaian.
Pakaian kotor tepatnya. Fungsinya lebih banyak sebagai penahan kepala alias
bantal selama tidur. Cukup empuk rasanya. Dan begitulah, aku terlelap hingga
datang waktu fajar di kota Bengkulu.
------
Kapal merapat di Bengkulu sebelum subuh. Beberapa penumpang,
terutama yang membawa kendaraan segera beranjak. Beberapa lagi masih
beristirahat di kapal. Menunggu pagi, katanya. Menunggu angkutan umum
beroperasi karena jarak pelabuhan ke kota lumayan jauh. Aku termasuk penumpang
jenis ini. Sambil mengumpulkan informasi mengenai angkutan dengan trayek ke
kota Sungai Penuh, tujuanku selanjutnya.
Tidak mudah menuju Sungai Penuh dari Bengkulu. Supir angkot
yang kutumpangi tidak tahu armada bis atau travel menuju kota itu. Tapi aku
yakin pasti ada trayek langsung menuju Sungai Penuh dari sini. Aku lupa pernah
mendengar dari penumpang kapal atau penumpang travel ketika aku datang dari
Palembang ke Bengkulu bahwa angkutan menuju Sungai Penuh hanya ada di daerah
tertentu. Sayangnya aku lupa mencatatnya sehingga harus kembali bertanya
sana-sini mengenai itu.
Supir angkot menyarankan aku untuk mencari informasi di
terminal saja. Masuk akal, aku langsung setuju. Sekalian mencari tempat
sarapan, pikirku. Terminal yang berada di pasar pasti banyak warung makan.
Banyak pilihan dan aku berharap rasanya bisa lebih manusiawi daripada warung
nasi sekitar pelabuhan. Pilihanku jatuh pada sate padang. Sate padang pertama
dalam perjalanan ini. Rasanya memuaskan dan harganya sangat bersahabat. Sebelas
ribu rupiah saja untuk sepiring sate padang dengan ketupat. Bonus tambahannya,
si penjual sate ini tau rute menuju Sungai Penuh.
Menurut si tukang sate, dari terminal cari angkot menuju
kampung Bali. Dari sana ada bis tiga per empat (maksudnya elf) menuju Sungai
Penuh. Atau bisa juga ke kawasan Sungai Itam. Tapi Sungai Itam lumayan jauh,
lebih baik ke kampung Bali saja. Ada angkot langsung kesana dari pasar, demikan
saran tukang sate. Baiklah aku menurut, lalu mencari angkot menuju kampung
Bali. Kebetulan angkot kosong. Aku duduk di depan agar mudah mencari informasi
dari pak supir angkot.
Lucunya, supir angkot ini justru tidak tahu kota Sungai
Penuh. Ada dimana tuh? Dia malah balik bertanya. Laah, yang tau soal trayek
malah tukang sate. Aku malah bingung. Sungai Penuh ada di kabupaten Kerinci
pak, masuk provinsi Jambi. Ooh, si supir manggut-manggut. Sepertinya bukan
trayek favorit. Dia malah curhat mengenai selingkuhannya, membahas temannya
yang playboy. Obrolan macam apa ini?
Pagi-pagi sudah mesum. Tampaknya semalam kurang jatah dari istrinya.
Untung kami segera sampai di daerah kampung Bali. Aku
bingung hendak turun dimana. Untungnya angkot sedang kosong dan si supir mau
berbaik hati berkeliling membantuku mencari pool angkutan menuju Sungai Penuh.
Akhirnya kami melihat sebuah elf yang hendak berangkat. Di kaca depannya
ditempel sticker bertuliskan Bengkulu – Muko muko – Sungai Penuh. Angkotku
langsung berhenti. Ternyata bapak supir sigap juga meski obrolannya mesum
melulu.
Setelah memastikan elf ini benar menuju Sungai Penuh, aku
langsung naik. Ternyata penumpangnya hanya dua orang termasuk aku. Wah enak
benar ini. Sepanjang pagi itu aku merasa bebas tiduran, angkat kaki, bersila,
dan berganti macam-macam gaya duduk dan tiduran selama perjalanan. Enak juga
kalau sampai Sungai Penuh terus seperti ini.
Tapi harapan itu kandas. Setelah sampai tengah hari, satu
per satu penumpang naik. Ada yang naik dari pool, ada yang dijemput ke
rumahnya. Yang terakhir ini tampaknya penumpang yang sudah menjadi langganan.
Supir travel ini juga sempat mengkonfirmasi kedatangannya lewat ponsel dan
terlihat akrab ketika bertemu.
Menikmati perjalanan darat dari Bengkulu ke Kerinci |
Lepas dari Muko-muko, kursi hampir terisi semua. Hampir,
tapi tidak semua. Masih ada jeda antar penumpang. Masih bisa bergerak meski
tidak seleluasa siang tadi. Travel ini berhenti beberapa kali untuk istirahat
makan. Aku hanya makan satu kali, yaitu pada waktu makan siang. Untung porsinya
lumayan banyak. Cukuplah mengisi usus hingga malam nanti.
Berhenti untuk makan sore. Tapan, Sumatra Barat. |
Eat stop kami yang
kedua di kota Tapan. Sudah masuk Sumatra Barat yang berbatasan dengan Bengkulu.
Suasana tanah Minang sedikit banyak terasa. Meski mungkin belum sampai sekental
Solok dengan kawasan 1000 koto Gadang-nya, namun aku merasakan perbedaannya
dengan daerah sebelumnya.
Fenomena setelah hujan rintik-rintik di sore itu. |
Dari Tapan, kami berbelok menembus barisan bukit yang
memisahkan daerah Kerinci dengan pesisir. Jalur alas roban yang katanya rawan
longsor. Jalur utama logistik menuju Sungai Penuh. Malah boleh dibilang
satu-satunya jalur logistik melalui darat. Kebutuhan pokok Kerinci banyak
dipasok dari Sumatra Barat. Jalur menuju kesana konon hanya dua. Dari dua jalur
tersebut, hanya jalur inilah yang sanggup dilewati kendaraan berat. Jalur
lainnya hanya untuk mobil kecil karena kecuramannya amat tinggi. Dari sesama
penumpang, aku mendengar bahwa jika terjadi longsor di jalur ini, maka
harga-harga di kota Sungai Penuh akan naik. Kelangkaan terjadi hingga longsor
teratasi dan jalan dibuka kembali. Wah, meskipun statusnya ibukota kabupaten,
tapi rasanya kota Sungai Penuh semi-terisolasi. Bandara sudah ada, tapi tidak
dapat mengangkut logistik. Hanya pesawat baling-baling yang bisa mendarat.
Bukan opsi angkutan barang kebutuhan pokok.
Ketika dua truk besar berpapasan di jalur Tapan-Sungai Penuh |
Hari sudah gelap ketika kami mencapai kota Sungai Penuh.
Meskipun sudah memberi kabar kepada teman yang kukenal dari Coachsurfing dan akan menginap
ditempatnya, namun aku agak sungkan untuk langsung mampir ke tempatnya karena
sudah malam. Kebetulan aku masih ada anggaran untuk penginapan, jadi aku
mencari penginapan murah di kota. Apalagi kelingking kakiku masih terluka sejak
dari Enggano. Masih terasa sakit dibawa jalan. Maka aku minta diantarkan ke
hotel saja dari travel. Ingin cepat-cepat mandi, makan malam, lalu tidur.
Berharap besok sakit di kelingking ini hilang dengan sendirinya. Sebuah harapan
yang sia-sia pada akhirnya. Mengenai ini, akan aku ceritakan pada artikel
selanjutnya. Juga tentang Kerinci dan kota Sungai Penuh. Sekarang, aku mau
istirahat dulu. Istirahat yang sebenarnya dalam 48 jam terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar