Hal paling kuingat pada pagi pertamaku di Kerinci ialah rasa
nyeri di kaki yang semakin menjadi-jadi. Luka kecil yang aku dapatkan di
Enggano ternyata cukup mengganggu karena sakitnya meluas. Aku jadi sulit jalan
dan luka itu harus terus dibalut tensoplast. Dibuka sebentar, nyerinya
memuncak, terutama saat aku harus menggerakkan kaki. Terpaksa dibalut lagi.
Perhatianku tersita kemari alih-alih mengagendakan jadwal selama di Kerinci.
Setelah malam pertama di losmen budget, aku menghubungi
kontakku selama disini. Setelah semalam agak sungkan karena sudah larut, pagi
ini sungkanku hilang sudah. Waktu kadang memegang peranan dalam kesopanan. Aku
memilih untuk menginap di losmen semalam demi kesopanan meski budgetku agak
terbatas. Lebih baik menjaga kesopanan dan merelakan sedikit dana daripada
sebaliknya. Toh sebagai tamu, kita butuh diterima oleh tuan rumah. Apalagi tuan
rumah yang baru pertama kali ditemui. Aku yakin, sebagai pejalan asing aku akan
butuh banyak bantuan dari tuan rumah yang memahami dan memaklumi gaya
perjalanan backpacker.
Dedy, demikian nama kontakku di Kerinci. Ketika aku kontak,
dia sedang berada di Siluak (baca:Sulak) Deras, kira-kira 20an kilometer dari
Sungai Penuh. O ow, aku kira dekat, ternyata jauh juga. Jadilah aku bertanya
kepada orang losmen, bagaimana cara mencapai Siulak Deras. Ada angkot katanya.
“Tapi agak jauh dari losmen, harus naik ojek dulu sedikit.
Dimana saya bisa mendapatkan ojek
pak?
Itu ada di halte. Melambai saja dari pinggir jalan, nanti dia juga
datang. Ongkosnya empat ribu untuk tujuan dalam kota.
Oke, terima kasih pak”
Maka aku
kemudian memanggil ojek untuk mencapai terminal. Tukang ojek menanyakan aku
hendak kemana. Aku menjawab Sulak Deras. Tapi aku hanya meminta diantarkan saja
sampai ketemu angkot ke arah sana. Karena sebelumnya sudah mendengar bahwa
jaraknya cukup jauh, maka ojek bukan pilihan yang tepat untuk kantongku.
Tapi tukang
ojek itu seperti tidak percaya. Sulak Gedang kali, katanya. Lalu menawarkan
mengantarkanku sampai Sulak Gedang dengan tarif sepuluh ribu rupiah. Aku
menjawab bukan Sulak Gedang tapi Sulak Deras. Wah Sulak Deras jauh, tiga puluh
ribu ya! Glek, mahal juga ya.. Karena
aku rasakan agak berat, maka aku menolak dan kembali ke tujuan awal yaitu
tempat angkot menuju kesana lewat. Dan ternyata tidak jauh. Tidak sampai 500
meter! Waduh, kecele nih.. tapi yasudah, jangan sampai dua kali lah.
Dan akhirnya
naiklah aku ke angkot jurusan Sulak Deras tersebut. Nah, angkot-angkot disini
kadang tidak bisa dibedakan tujuannya hanya dari melihat. Harus bertanya kepada
supirnya untuk memastikan bahwa dia narik
sampai Sulak Deras, tidak berhenti sampai di Sulak Gedang saja. Jaraknya cukup
jauh antara dua tempat itu, jadi jangan sampai salah.
Setelah
bertanya dan memastikan tujuan angkot, aku baru bisa duduk santai. Eh tidak
santai juga sih sebenarnya. Angkot itu terisi penuh dan amat melebihi
kapastias. Isinya anak sekolah. Ramai sekali naik-turun angkot ini. Kursi depan
yang biasanya diisi maksimal dua orang, dipaksakan pak supir sampai tiga. Sama
supirnya jadi empat orang di depan. Luar biasa!
Menuju Siluak Deras. Letaknya lebih jauh dari Siluak Gedang |
Untungnya
keadaan ini tidak berlangsung lama. Keluar dari Sungai Deras, penumpang mulai
turun. Angkot menjadi lebih manusiawi. Memasuki pasar Sulak Gedang, angkot
lebih sepi lagi. Sebagian besar penumpang sudah turun. Ada penumpang baru tapi
jumlahnya lebih sedikit dari yang turun. Aku lihat pelajar membayar empat ribu.
Penumpang biasa lima ribu. Ada yang bawa barang, bayar sepuluh ribu. Aku
sendiri sebenarnya ingin memberi uang pas, tapi tidak tahu ongkos persisnya
karena tujuanku merupakan yang terjauh dibandingkan penumpang-penumpang
lainnya.
Pasar Siluak Deras yang berjarak lumayan jauh dari kota Sungai Penuh |
Akhirnya sampai juga di pasar Sulak Deras, tempat dimana aku akan dijemput oleh Dedi. Supir membantuku menurunkan carrier yang tadi diletakkan dibagasi belakang. Selesai menurunkan semua bawaan aku membayar dengan pecahan sepuluh ribu yang tidak dikembalikan. Memang segitu ongkosnya kata si supir. Entah benar begitu entah kena getok, aku tak tahu. Yah, inilah nasib pejalan yang gagal memperoleh informasi. Tapi tidak apa, jaraknya cukup jauh dan rasanya sepadan.
Tidak lama
menunggu di pasar Sulak Deras, aku dijemput oleh “anak buahnya” Dedi. Nah
ternyata Dedi ini juga mengelola tur keliling Kerinci. Tamunya lebih banyak
orang asing. Dan dia memiliki tim semi-permanen untuk ini. Salah satu anak
buahnya lah yang menjemputku ke tempatnya. Wah, mudah-mudahan aku tidak
disamakan dengan turis asing berkantong tebal, batinku. Karena tujuanku
mengontak Dedi salah satunya untuk mengirit biaya menginap selain mendapatkan
informasi seputar Kerinci.
Tempat Dedi letaknya cukup jauh dari pasar dan pusat keramaian. Aku kembali membatin, bagaimana mobilisasiku selama disini ya? Apa harus menyewa sepeda motor? Apakah ada penyewaan atau orang yang bersedia menyewakan sepeda motornya kepadaku? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar dalam kepala hingga tidak terasa kami telah sampai ke tempat Dedi.
Tempat Dedi letaknya cukup jauh dari pasar dan pusat keramaian. Aku kembali membatin, bagaimana mobilisasiku selama disini ya? Apa harus menyewa sepeda motor? Apakah ada penyewaan atau orang yang bersedia menyewakan sepeda motornya kepadaku? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar dalam kepala hingga tidak terasa kami telah sampai ke tempat Dedi.
Lumbung padi yang disulap menjadi kamar penginapan |
Lumbung padi tampak samping. Dari luar tradisonal, dalamnya cukup modern dengan kasur, tv layar datar, dan colokan listrik. |
Ternyata ia
sedang membangun calon penginapan bagi tamu-tamunya. Sebuah lumbung padi yang
disulap menjadi kamar. Lengkap dengan kasur, tv, dan colokan listrik tentunya.
Klasik sekaligus modern. Kamar yang sepertinya cocok dengan selera bule. Aku
sendiri merasa kamar itu agak terlalu “mewah” untukku. Tapi bukan itu yang
merisaukan hati. Aku lebih khawatir akan akses transportasinya. Tempat ini jauh
dari jalan raya. Minim penerangan pula. Bagaimana caraku menuju Danau Kaco dari
sini?
Setelah
perkenalan, basa-basi dan beberapa pertanyaan pembuka, Dedi menawarkan aku ikut
kondangan. Temannya, salah satu pendaki juga sedang menikah. Wah tentu saja aku
tertarik. Kapan lagi bisa datang ke kawinan ala Kerinci? Kesempatan yang
mungkin hanya datang sekali mengingat aku tidak tahu lagi kapan bisa kembali
kemari.
Maka
berangkatlah kami menuju kesana. Ke salah satu desa dilereng gunung. Diapit
perbukitan dikedua sisinya. Panorama sekitar kota-kota sungai ini sebenarnya
sangat cantik. Sayang tata kotanya agak berantakan, terutama yang berada di
area pasar. Sempit berhimpitan. Terkesan amat padat dan sumpek, padahal lahan
diluar sana amat luas. Lahan yang masih berupa sawah. Ah mungkin mereka memang
lebih mengutamakan pertanian daripada perdagangan.
Resepsi ala
Kerinci sekilas hampir tidak ada bedanya dengan resepsi Betawi. Perbedaan yang
pertama aku rasakan ialah bentuk kotak angpaonya yang bertanduk. Kental
pengaruh Minang. Warna-warna cerah seperti merah dan kuning juga mendominasi.
Rasanya seperti pengaruh Cina. Belakangan aku tahu bahwa di kota Sungai Penuh
memang didominasi oleh suku Minang. Suku Kerinci sendiri lebih banyak tersebar
antara Sulak Deras hingga Kayu Aro, dekat perbatasan Sumatra Barat.
Pelaminan
dan suguhan ala Kerinci juga unik. Pengantin hanya duduk saja dipelaminan. Para
tamu yang ingin memberikan selamat, duduk lesehan. Suguhan khas Kerinci juga
keluar untuk para tamu di ruangan itu. Satu yang menarik perhatianku ialah teh
dengan rasa kopi. Kalau tidak salah air kawo namanya. Air yang diseduh dengan
daun kopi yang dikeringkan. Iya benar, daun kopi bukan daun teh. Aroma kopi
tercium tapi rasanya ringan seperti teh. Aku baru tau jika bukan hanya buah
dari pohon kopi yang bisa dijadikan minuman tapi daunnya juga. Rasanya agak
pahit, tapi beda dengan pahit teh. Minuman yang unik menurutku. Tapi sayangnya
minuman ini tidak diperjualbelikan. Mungkin karena di tiap rumah ada dan bisa
dibuat dengan mudah sehingga tidak memiliki nilai jual disini. Tapi sebagai
pejalan yang singgah, aku menginginkan daun kopi ini sebagai buah tangan.
Sayang karena tidak ada yang jual, maka aku gagal mendapatkannya. Sayangnya
lagi, di tempat aku menumpang tidak ada kudapati mereka membuat minuman ini.
Jika aku meminta, maka itu bukan sekedar mengambil tapi juga permintaan untuk
membuatkan. Ah, karena aku rasa itu terlalu merepotkan dan kurang sopan, maka
aku mengurungkan niat mendapatkan buah tangan yang unik ini. Lagipula
perjalanan masih jauh sebelum aku kembali ke rumah.
Selesai
kondangan, matahari telah amat condong ke barat. Sebentar lagi gelap. Aku
ditawarkan apakah mau tinggal di “villa” Dedi yang mewah tapi terpencil atau
tinggal di kota Sulak Gedang, di rumah mertuanya, tempat Dedi tinggal
sehari-hari. Aku memilih yang terakhir. Meskipun terasa lebih sungkan dan tanpa
privasi tapi ini lebih baik karena aksesnya mudah. Disamping jalan raya dan
dilewati transportasi umum. Aku juga berencana untuk mencari puskesmas besok
karena nyeri di kaki makin menjadi-jadi. Untuk bisa terus berjalan, kondisi
harus fit. Menyembuhkan diri dan kembali bugar sepenuhnya menjadi prioritasku
saat ini.
Tidak banyak
aktivitas yang aku lakukan pada hari pertama di Kerinci. Selain bertemu Dedi
dan kondangan, praktis tidak ada lagi kegiatan lain. Di rumah mertuanya, aku
diajak makan malam dan disediakan tempat untuk berbaring. Setelah membersihkan
diri dan mengisi perut, kami berbincang sejenak mengenai rencana esok hari.
Satu-satunya yang terpikir ialah mencari pengobatan untuk kaki ini. Setelah
itu, baru memikirkan rencana awal ke Kerinci, yaitu melihat Danau Kaca di hutan
Lempur. Konon medannya cukup berat karena berada ditengah hutan. Untuk itu kaki
harus benar-benar sehat. Maka rencana besok ialah berobat. Itu saja. Sekarang
lebih baik beristirahat dulu disini. Selamat tidur, Kerinci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar