Menatap hujan dengan pasrah dan keinginan untuk menikmati setiap momen perjalanan, mataku menemukan sesuatu yang menarik dekat tempatku berteduh. Warung mi celor! Salah satu daftar kulinerku selain pempek dan martabak har. Kebetulan yang lezat. Menyantap mi celor dikala hujan jadi berkah tersendiri di hari itu. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan berkunjung ke Badarudin II. Mungkin takdir menyuruhku beristirahat sambil menikmati kuliner terbaik Palembang yang pernah aku cicipi sampai saat ini.
![]() |
Kelezatan yang lekat dalam ingatan. Gurih yang bikin nagih. |
Kadang aku berpikir, kuliner yang lezat itu sebuah kebahagiaan yang simpel. Tidak perlu banyak memutar otak. Tidak perlu berjalan jauh atau mendaki. Cukup membuka mulut dan menyiapkan perut. Dan menyiapkan uang untuk membayar, tentu saja. Ketika lidah kita senang, kita akan bahagia. Meskipun untuk menyenangkan lidah kadang terasa rumit. Tapi biarlah sang koki yang berurusan dengan kerumitan rasa. Untuk penikmat yang nggak bisa masak seperti saya, urusannya hanya soal mencicipi dan membayar, hehehehe...
---
Matahari sudah condong ke barat ketika aku selesai menikmati mi celor tersebut. Sudah lewat jam 5. Museum sudah tutup. Tapi hal ini tidak menyurutkan langkahku menuju jembatan Ampera. Nggak mungkin jembatan ini ikut-ikutan tutup seperti museum. Lagipula sepertinya banyak tempat nongkrong yang asyik disekitar ilir. Jadi aku mengarahkan langkah kesana dengan niat untuk beristirahat sejenak alias nongkrong. Itung-itung istirahat sambil merenungkan pengalaman tadi siang sambil menikmati panorama Ampera di malam hari.
Jembatan Ampera adalah icon kota Palembang. Pada masa lalu hingga masa kini. Penting karena ia berperan sebagai pemersatu daerah ilir dan ulu. Meskipun dari pantauan sekilas, pembangunan di ulu tidak sepesat ilir, namun tetap saja ulu adalah bagian dari kota Palembang. Keberadaan jembatan ini juga menegaskan sepenting apa sungai Musi bagi Palembang. Dulu, di awal pembangunannya, jembatan ini dapat diangkat untuk mengakomodasi kapal-kapal besar yang melintasi Musi.
![]() |
Penampakan awal jembatan Soekarno, Palembang. Jembatan ini berganti nama menjadi jembatan Ampera pada 1966, ketika sentimen anti-Soekarno meningkat di awal pemerintahan Orba. Gambar bersumber dari sini |
Jembatan di kota air. Jembatan besar yang menjadi simbol kita. Menurutku, Palembang merupakan salah satu kota di Indonesia yang tata kotanya (harusnya) berbasiskan air atau sungai. Sayangnya kota Palembang sepertinya tidak dibangun berdasarkan aliran sungai tapi kontur daratan. Kondisinya mengingatkanku pada Banten. Peranan jalur air dan sebutan sebagai negara kepulauan tampaknya sudah dilupakan pengambil kebijakan yang membangun Indonesia. Semoga presiden Jokowi tidak demikian.
Nongkrong di daerah 26 Ilir memang bikin betah. Aku menghabiskan beberapa jam hanya duduk di dalam restoran cepat saji di daerah ini. Menatap Ampera yang berganti wajah. Menikmati malam dalam riuh rendah ala kota besar. Rencananya ini malam terakhir aku menginap di Palembang. Besok sore aku akan berkemas menuju Bengkulu. Kebetulan malam ini bulan purnama. Tampak cerah bersinar di atas Ampera. Seperti ucapan selamat tinggal yang melankolis. Selamat malam dan selamat tinggal Palembang.
Goodnight and goodbye, Palembang. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar