Bo’a. Jangan sampai kepeleset lidah menyebutnya jadi boa
karena artinya sudah lain. Boa, dalam bahasa Rote ialah alat kelamin pria.
Sedangkan Bo’a adalah nama pantai surfing dekat Nemberalla. Penamaan pantai
mengikuti nama desa tempat pantai ini berada. Suatu hal yang jamak terjadi di
setiap daerah.
Bo’a sendiri terkenal sebagai pantai selancar. Konon, ombak
pantai ini lebih besar dan lebih baik daripada Nemberalla. Sayangnya kami
datang bukan pada musim selancar sehingga pantai ini relatif sepi. Pak Sanu
lalu mengajak kami menuju batu pintu. Menurut beliau, tempat ini merupakan
objek wisata baru di kawasan pantai Bo’a. Bentuknya berupa batu karang yang
berlubang sehingga bisa dilalui orang.
Imajinasi beta langsung berkelana. Membayangkan gua besar di
sela-sela karang. Besar dan megah seperti batu-batu granit di Belitong. Terletak di tepi pantai. Seakan terhampar
dunia misterius yang terhubung dengan laut. Laut di dalam gua besar. Begitulah
fantasi beta membayangkan objek wisata yang katanya baru ditemukan ini.
![]() |
Tidak sebesar batu-batu granit di Belitong, tapi juga tidak kalah cantik |
Dan hasilnya: zonk!
Batu karangnya memang besar. Lubangnya juga besar. Tapi tidak dalam. Beberapa
langkah saja kita sudah keluar dari “gua” menuju pantai. Pasir pantainya agak
kasar, tapi lanskap yang tersaji tidak mengecewakan.
![]() |
Persiapan makan siang sambil menikmati ciptaan Illahi |
![]() |
Kaktus tumbuh di sela-sela karang |
Seperti biasa, langit, laut, pasir dan karang kembali menyajikan
visual yang memanjakan mata dan menyejukkan hati. Kembali, kami ingin
berlama-lama disini. Untungnya kunjungan kami tepat jam makan siang. Tempat ini
memang pas untuk menyantap makan siang yang telah disiapkan oleh ibu Sanu.
Berlindung dalam bayangan yang diciptakan karang-karang besar, kami mulai
menyantap makan siang kami dengan penuh rasa syukur.
Tapi sayangnya banyak kesedihan mengiringi kunjungan kami
kemari. Terlalu banyak jejak manusia disini. Inilah rupa objek wisata yang
populer sebelum terkelola. Plastik, sang musuh alam bertebaran dengan jahanam
disini. Plastik, yang menandakan kehadiran manusia. Jejak manusia yang paling
biadab bertebaran disana-sini. Belum lagi vandalism di dinding karang. Berapa
lama lagi tempat ini berubah menjadi tempat pembuangan akhir?
![]() |
Jejak vandalisme di mulut goa |
![]() |
Jejak manusia lainnya |
Pariwisata, memang harus menyiapkan diri jauh sebelum
gelombang turis datang. Sebelum sebuah tempat menjadi populer, banyak
dibicarakan lalu ramai-ramai didatangi. Persiapannya tidak hanya sekedar
menyediakan tempat sampah atau himbauan untuk tidak mencorat-coret apapun yang
bisa dicoret. Persiapannya meliputi perilaku manusia yang mengelola (penduduk
setempat), perilaku turis (mengajak pelancong agar menjaga tempat wisata),
ketersediaan fasilitas penunjang (seperti tempat sampah dan wc), infrastruktur
(jalan, tempat parkir, penerangan, dll).
Semua itu harus disiapkan sebelum sebuah tempat siap menjadi
tujuan para turis. Menurut beta, rasa memiliki dan keinginan untuk menjaga dari
masyarakat sekitar lah yang paling penting dan pertama harus ditumbuhkan.
Percuma jika fasilitas dan infrastruktur lengkap namun perilaku penjaganya
masih payah. Sense of belonging,
adalah modal awal untuk membentuk perilaku menjaga dan merawat. Semoga
keindahan ini dapat dinikmati hingga anak cucu beta nanti. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar