Rote seringkali disebut sebagai pulau paling selatan NKRI namun
kenyataannya tidak demikian. Pulau terselatan ialah pulau Ndana. Pulau ini
sempat disebut tidak berpenghuni. Kini pulau Ndana dijaga oleh marinir dan
angkatan laut sebagai penjaga garis batas Nusantara. Dengan begitu pulau ini
memiliki penghuninya meski hanya sementara. Ya, karena keberadaan penjaga
perbatasan ini disesuaikan dengan masa tugasnya. Tim ini akan digantikan tim
lain setelah penugasan mereka selesai.
Selain marinir dan AL, tidak ada penduduk sipil yang
mendiami pulau Ndana. Setidaknya pada masa kini. Lalu apakah dulu pulau ini
berpenghuni? Tentang hal ini, masyarakat Rote memiliki folklore-nya sendiri. Sayangnya folklore
ini tidak bisa beta ceritakan disini karena suatu alasan. Namun jika ingin
tau lebih jauh, silahkan baca buku Paul Hanning tentang legenda Sangguana atau
silahkan browsing di internet dengan kata kunci Pulau Ndana, Sangguana dan
Danau Merah Ndana.
Selain cerita pulau Ndana, ternyata masih banyak
cerita-cerita lain dalam tradisi lisan Rote. Selama perjalanan beberapa hari
ini, tidak terhitung berapa banyak cerita rakyat yang beta dengar dari penduduk
Rote. Namun sayangnya cerita-cerita ini baru dituturkan secara lisan dan belum
banyak ditulis. Apalagi yang ditulis oleh anak bangsa. Kebanyakan tulisan
tentang Rote/Roti dan daerah-daerah
terpencil lainnya di Indonesia ditulis oleh peneliti asing. Mulai dari yang
serius seperti Antropolog, Naturalis, Sejarawan, sampai pelancong dan musafir. Karena
itu, yuk kita tulis dan kumpulkan pengetahuan yang tersebar di Nusantara.
Karena inilah wawasan Nusantara yang sebenarnya.
Kembali ke pulau Ndana. Kami mengunjungi pulau itu dari
pantai Nemberalla menggunakan kapal milik resort. Perjalanan ke pulau Ndana
memakan waktu kira-kira satu jam. Perjalanan laut seperti ini selalu tentative
waktunya. Tergantung ombak dan kapal yang digunakan. Jadi perkiraan waktunya
jangan disamakan dengan perjalanan darat yang lebih mudah diprediksi.
Sebenarnya pantai terdekat dari pulau Ndana ialah Oeseli.
Namun kami memutuskan berangkat dari Nemberalla karena hendak menggunakan
fasilitas kapal dari resort. Di Oeseli sendiri belum ada penginapan. Otomatis,
kapal-kapal di Oeseli hanya ada milik nelayan yang tidak dilengkapi dengan
standar keamanan seperti jaket pelampung. Oleh karena itu, lebih aman
menyebrang dari Nemberalla meski jaraknya lebih jauh.
Berangkat dengan penuh keceriaan dari Nemberalla meski langit berawan |
Perjalanan laut ini cukup tenang meskipun kami melewati
jalur selancar Bo’a. Sayangnya kami tidak bertemu dengan peselancar pagi itu.
Cukup aneh sebetulnya ketika menonton peselancar beraksi. Turis menonton turis.
Hahahaha!
Tentang selancar, beta mendapat cerita yang cukup unik. Konon, orang yang pertama berselancar di Rote ialah seorang bule (yang namanya tidak beta dapatkan dari cerita ini). Bule tersebut meletakkan papan selancarnya di atas kuda (karena waktu itu kendaraan bermotor langka) lantas menuju Nemberalla dari Ba’a. Orang-orang yang melihat kuda si bule mengira dia membawa perahu di atas kuda. Walhasil kabar mengenai orang yang berperahu di darat pun menjadi kabar angin yang makin kencang bertiup. Semakin banyak orang yang menonton si bule dengan kuda dan selancarnya. Ketika berselancar, gosip pun berkembang menjadi: si bule berselancar dari Kupang hingga Nemberalla. Hahaha! Namanya juga kabar angin. Namun begitulah sifat tradisi lisan: mudah berubah sehingga dapat tercipta banyak versi.
Tentang selancar, beta mendapat cerita yang cukup unik. Konon, orang yang pertama berselancar di Rote ialah seorang bule (yang namanya tidak beta dapatkan dari cerita ini). Bule tersebut meletakkan papan selancarnya di atas kuda (karena waktu itu kendaraan bermotor langka) lantas menuju Nemberalla dari Ba’a. Orang-orang yang melihat kuda si bule mengira dia membawa perahu di atas kuda. Walhasil kabar mengenai orang yang berperahu di darat pun menjadi kabar angin yang makin kencang bertiup. Semakin banyak orang yang menonton si bule dengan kuda dan selancarnya. Ketika berselancar, gosip pun berkembang menjadi: si bule berselancar dari Kupang hingga Nemberalla. Hahaha! Namanya juga kabar angin. Namun begitulah sifat tradisi lisan: mudah berubah sehingga dapat tercipta banyak versi.
Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi penulis, terutama
yang mencari keaslian dari cerita yang beredar. Apalagi jika bisa dibuktikan
melalui hasil peninggalan berupa reruntuhan bangunan atau hal lain. Seru sekali
kedengerannya ya? Mungkin suatu saat beta akan melakukan itu. Tapi sekarang,
cukuplah beta bercerita tentang pengalaman melancong ke pulau Ndana saja.
Mendarat di pulau Ndana, kami langsung disambut beberapa
anggota TNI yang sedang berenang disekitar pulau. Begitu merapat, mereka
langsung sigap membantu menautkan tali kapal dan membantu kami turun dari
kapal. Agak takjub sebetulnya menerima perlakuan seperti itu. Jujur, kami merasa
sangat diterima meskipun belum memberi kabar apapun kepada mereka. Warm welcome from them.
Kami lalu menuju markas mereka sambil mendengarkan banyak
penjelasan tentang Ndana. Tentang jejak rusa yang banyak terlihat di hutan,
namun jarang terlihat fisiknya (lah, serem amat). Tentang reruntuhan bangunan
di dalam hutan. Danau merah yang katanya tidak terlalu merah. Tentang tempat
snorkeling keren di bagian utara dan barat laut pulau (yang tidak sempat kami
datangi, hiks..). Terselip juga curhatan mereka tentang suka-duka menjaga pulau
tak berpenghuni. Namun sekali lagi, beta tidak bisa bercerita terlalu detail
karena suatu alasan. Ah, mungkin lebih baik foto beta saja yang bercerita kali
ini: silahkan disimak dan sampai jumpa pada artikel Dodaek!
![]() |
Sambutan selamat datang di pulau Ndana |
Foto bareng di markas Marinir pulau Ndana |
![]() |
Peta situasi pulau Rote dan sekitarnya |
![]() |
Patung Jendral Sudirman yang menjadi ikon pulau Ndana |
![]() |
Sisi lain dari patung sang Jendral |
Foto keluarga sekaligus kesempatan narsis terakhir di pulau ini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar