Kamis, 09 Maret 2017

Solo Trip Swarnadwipa 15: kota-kota Sungai

Hal paling kuingat pada pagi pertamaku di Kerinci ialah rasa nyeri di kaki yang semakin menjadi-jadi. Luka kecil yang aku dapatkan di Enggano ternyata cukup mengganggu karena sakitnya meluas. Aku jadi sulit jalan dan luka itu harus terus dibalut tensoplast. Dibuka sebentar, nyerinya memuncak, terutama saat aku harus menggerakkan kaki. Terpaksa dibalut lagi. Perhatianku tersita kemari alih-alih mengagendakan jadwal selama di Kerinci.

Luka kecil namun amat mengganggu karena letaknya amat vital

Setelah malam pertama di losmen budget, aku menghubungi kontakku selama disini. Setelah semalam agak sungkan karena sudah larut, pagi ini sungkanku hilang sudah. Waktu kadang memegang peranan dalam kesopanan. Aku memilih untuk menginap di losmen semalam demi kesopanan meski budgetku agak terbatas. Lebih baik menjaga kesopanan dan merelakan sedikit dana daripada sebaliknya. Toh sebagai tamu, kita butuh diterima oleh tuan rumah. Apalagi tuan rumah yang baru pertama kali ditemui. Aku yakin, sebagai pejalan asing aku akan butuh banyak bantuan dari tuan rumah yang memahami dan memaklumi gaya perjalanan backpacker.

Dedy, demikian nama kontakku di Kerinci. Ketika aku kontak, dia sedang berada di Siluak (baca:Sulak) Deras, kira-kira 20an kilometer dari Sungai Penuh. O ow, aku kira dekat, ternyata jauh juga. Jadilah aku bertanya kepada orang losmen, bagaimana cara mencapai Siulak Deras. Ada angkot katanya.
“Tapi agak jauh dari losmen, harus naik ojek dulu sedikit.
Dimana saya bisa mendapatkan ojek pak?
Itu ada di halte. Melambai saja dari pinggir jalan, nanti dia juga datang. Ongkosnya empat ribu untuk tujuan dalam kota.
Oke, terima kasih pak”

Maka aku kemudian memanggil ojek untuk mencapai terminal. Tukang ojek menanyakan aku hendak kemana. Aku menjawab Sulak Deras. Tapi aku hanya meminta diantarkan saja sampai ketemu angkot ke arah sana. Karena sebelumnya sudah mendengar bahwa jaraknya cukup jauh, maka ojek bukan pilihan yang tepat untuk kantongku.

Tapi tukang ojek itu seperti tidak percaya. Sulak Gedang kali, katanya. Lalu menawarkan mengantarkanku sampai Sulak Gedang dengan tarif sepuluh ribu rupiah. Aku menjawab bukan Sulak Gedang tapi Sulak Deras. Wah Sulak Deras jauh, tiga puluh ribu ya! Glek, mahal juga ya.. Karena aku rasakan agak berat, maka aku menolak dan kembali ke tujuan awal yaitu tempat angkot menuju kesana lewat. Dan ternyata tidak jauh. Tidak sampai 500 meter! Waduh, kecele nih.. tapi yasudah, jangan sampai dua kali lah.

Dan akhirnya naiklah aku ke angkot jurusan Sulak Deras tersebut. Nah, angkot-angkot disini kadang tidak bisa dibedakan tujuannya hanya dari melihat. Harus bertanya kepada supirnya untuk memastikan bahwa dia narik sampai Sulak Deras, tidak berhenti sampai di Sulak Gedang saja. Jaraknya cukup jauh antara dua tempat itu, jadi jangan sampai salah.

Setelah bertanya dan memastikan tujuan angkot, aku baru bisa duduk santai. Eh tidak santai juga sih sebenarnya. Angkot itu terisi penuh dan amat melebihi kapastias. Isinya anak sekolah. Ramai sekali naik-turun angkot ini. Kursi depan yang biasanya diisi maksimal dua orang, dipaksakan pak supir sampai tiga. Sama supirnya jadi empat orang di depan. Luar biasa!

Menuju Siluak Deras. Letaknya lebih jauh dari Siluak Gedang

Untungnya keadaan ini tidak berlangsung lama. Keluar dari Sungai Deras, penumpang mulai turun. Angkot menjadi lebih manusiawi. Memasuki pasar Sulak Gedang, angkot lebih sepi lagi. Sebagian besar penumpang sudah turun. Ada penumpang baru tapi jumlahnya lebih sedikit dari yang turun. Aku lihat pelajar membayar empat ribu. Penumpang biasa lima ribu. Ada yang bawa barang, bayar sepuluh ribu. Aku sendiri sebenarnya ingin memberi uang pas, tapi tidak tahu ongkos persisnya karena tujuanku merupakan yang terjauh dibandingkan penumpang-penumpang lainnya.

Pasar Siluak Deras yang berjarak lumayan jauh dari kota Sungai Penuh

Akhirnya sampai juga di pasar Sulak Deras, tempat dimana aku akan dijemput oleh Dedi. Supir membantuku menurunkan carrier yang tadi diletakkan dibagasi belakang. Selesai menurunkan semua bawaan aku membayar dengan pecahan sepuluh ribu yang tidak dikembalikan. Memang segitu ongkosnya kata si supir. Entah benar begitu entah kena getok, aku tak tahu. Yah, inilah nasib pejalan yang gagal memperoleh informasi. Tapi tidak apa, jaraknya cukup jauh dan rasanya sepadan.

Tidak lama menunggu di pasar Sulak Deras, aku dijemput oleh “anak buahnya” Dedi. Nah ternyata Dedi ini juga mengelola tur keliling Kerinci. Tamunya lebih banyak orang asing. Dan dia memiliki tim semi-permanen untuk ini. Salah satu anak buahnya lah yang menjemputku ke tempatnya. Wah, mudah-mudahan aku tidak disamakan dengan turis asing berkantong tebal, batinku. Karena tujuanku mengontak Dedi salah satunya untuk mengirit biaya menginap selain mendapatkan informasi seputar Kerinci.

Tempat Dedi letaknya cukup jauh dari pasar dan pusat keramaian. Aku kembali membatin, bagaimana mobilisasiku selama disini ya? Apa harus menyewa sepeda motor? Apakah ada penyewaan atau orang yang bersedia menyewakan sepeda motornya kepadaku? Pertanyaan-pertanyaan ini terus berputar dalam kepala hingga tidak terasa kami telah sampai ke tempat Dedi.

Lumbung padi yang disulap menjadi kamar penginapan

Lumbung padi tampak samping. Dari luar tradisonal, dalamnya cukup modern dengan kasur, tv layar datar, dan colokan listrik.

Ternyata ia sedang membangun calon penginapan bagi tamu-tamunya. Sebuah lumbung padi yang disulap menjadi kamar. Lengkap dengan kasur, tv, dan colokan listrik tentunya. Klasik sekaligus modern. Kamar yang sepertinya cocok dengan selera bule. Aku sendiri merasa kamar itu agak terlalu “mewah” untukku. Tapi bukan itu yang merisaukan hati. Aku lebih khawatir akan akses transportasinya. Tempat ini jauh dari jalan raya. Minim penerangan pula. Bagaimana caraku menuju Danau Kaco dari sini?

Setelah perkenalan, basa-basi dan beberapa pertanyaan pembuka, Dedi menawarkan aku ikut kondangan. Temannya, salah satu pendaki juga sedang menikah. Wah tentu saja aku tertarik. Kapan lagi bisa datang ke kawinan ala Kerinci? Kesempatan yang mungkin hanya datang sekali mengingat aku tidak tahu lagi kapan bisa kembali kemari.

Diapit perbukitan daerah ini menyuguhkan pemandangan yang bikin betah 

Maka berangkatlah kami menuju kesana. Ke salah satu desa dilereng gunung. Diapit perbukitan dikedua sisinya. Panorama sekitar kota-kota sungai ini sebenarnya sangat cantik. Sayang tata kotanya agak berantakan, terutama yang berada di area pasar. Sempit berhimpitan. Terkesan amat padat dan sumpek, padahal lahan diluar sana amat luas. Lahan yang masih berupa sawah. Ah mungkin mereka memang lebih mengutamakan pertanian daripada perdagangan.

Resepsi ala Kerinci sekilas hampir tidak ada bedanya dengan resepsi Betawi. Perbedaan yang pertama aku rasakan ialah bentuk kotak angpaonya yang bertanduk. Kental pengaruh Minang. Warna-warna cerah seperti merah dan kuning juga mendominasi. Rasanya seperti pengaruh Cina. Belakangan aku tahu bahwa di kota Sungai Penuh memang didominasi oleh suku Minang. Suku Kerinci sendiri lebih banyak tersebar antara Sulak Deras hingga Kayu Aro, dekat perbatasan Sumatra Barat.

Pengantin Kerinci

Pengantin, suguhan dan para tamu undangan

Pelaminan dan suguhan ala Kerinci juga unik. Pengantin hanya duduk saja dipelaminan. Para tamu yang ingin memberikan selamat, duduk lesehan. Suguhan khas Kerinci juga keluar untuk para tamu di ruangan itu. Satu yang menarik perhatianku ialah teh dengan rasa kopi. Kalau tidak salah air kawo namanya. Air yang diseduh dengan daun kopi yang dikeringkan. Iya benar, daun kopi bukan daun teh. Aroma kopi tercium tapi rasanya ringan seperti teh. Aku baru tau jika bukan hanya buah dari pohon kopi yang bisa dijadikan minuman tapi daunnya juga. Rasanya agak pahit, tapi beda dengan pahit teh. Minuman yang unik menurutku. Tapi sayangnya minuman ini tidak diperjualbelikan. Mungkin karena di tiap rumah ada dan bisa dibuat dengan mudah sehingga tidak memiliki nilai jual disini. Tapi sebagai pejalan yang singgah, aku menginginkan daun kopi ini sebagai buah tangan. Sayang karena tidak ada yang jual, maka aku gagal mendapatkannya. Sayangnya lagi, di tempat aku menumpang tidak ada kudapati mereka membuat minuman ini. Jika aku meminta, maka itu bukan sekedar mengambil tapi juga permintaan untuk membuatkan. Ah, karena aku rasa itu terlalu merepotkan dan kurang sopan, maka aku mengurungkan niat mendapatkan buah tangan yang unik ini. Lagipula perjalanan masih jauh sebelum aku kembali ke rumah.

Air kawo ini warnanya agak bening kecokelatan. Lebih mirip teh daripada kopi.

Selesai kondangan, matahari telah amat condong ke barat. Sebentar lagi gelap. Aku ditawarkan apakah mau tinggal di “villa” Dedi yang mewah tapi terpencil atau tinggal di kota Sulak Gedang, di rumah mertuanya, tempat Dedi tinggal sehari-hari. Aku memilih yang terakhir. Meskipun terasa lebih sungkan dan tanpa privasi tapi ini lebih baik karena aksesnya mudah. Disamping jalan raya dan dilewati transportasi umum. Aku juga berencana untuk mencari puskesmas besok karena nyeri di kaki makin menjadi-jadi. Untuk bisa terus berjalan, kondisi harus fit. Menyembuhkan diri dan kembali bugar sepenuhnya menjadi prioritasku saat ini.

Tidak banyak aktivitas yang aku lakukan pada hari pertama di Kerinci. Selain bertemu Dedi dan kondangan, praktis tidak ada lagi kegiatan lain. Di rumah mertuanya, aku diajak makan malam dan disediakan tempat untuk berbaring. Setelah membersihkan diri dan mengisi perut, kami berbincang sejenak mengenai rencana esok hari. Satu-satunya yang terpikir ialah mencari pengobatan untuk kaki ini. Setelah itu, baru memikirkan rencana awal ke Kerinci, yaitu melihat Danau Kaca di hutan Lempur. Konon medannya cukup berat karena berada ditengah hutan. Untuk itu kaki harus benar-benar sehat. Maka rencana besok ialah berobat. Itu saja. Sekarang lebih baik beristirahat dulu disini. Selamat tidur, Kerinci.

Minggu, 05 Maret 2017

Solo Trip Swarnadwipa 14: Dari pulau terluar ke kota dibalik gunung

Hari terakhir di Enggano berjalan dengan cepat. Aku tahu ini hari terakhirku disana ketika aku melihat iring-iringan truk bbm melintasi desa Ka’ana. Truk datang berarti ada kapal di Kahyapu. Setelah beberapa hari tanpa kejelasan akibat cuaca dan hal lain, akhirnya kapal datang. KMP Pulo Tello namanya. Kapal yang sama yang kutumpangi ketika datang.

Mejeng bareng Pulo Tello

Namun sayangnya jadwal keberangkatan dari Enggano tidak jelas. Bisa kapan saja setelah truk bbm mengosongkan isinya dan kembali ke kapal. Kapal hanya menunggu truk, bukan penumpang. Setelah truk kembali semuanya, barulah kapal berangkat. Jam berapa pun itu. Bisa siang, bisa sore, bisa malam. Keren ya?

Tapi masyarakat Enggano sudah terbiasa. Terbiasa membaca gelagat kapal dan truk bbm. Aku pun sedikit terbawa setelah tahu cara kerjanya. Bukan melihat jadwal tapi melihat langit dan truk bbm. Setelah mandi dan sarapan, aku lalu berkemas. Jika kapal ini terlewat, entah kapan lagi aku bisa meninggalkan Enggano. Jadwal perjalanan mungkin akan terlalu lama jika aku tertahan beberapa hari lagi disini.

Menjelang siang, Zulfan mengantarkanku ke pelabuhan Kahyapu. Kapal masih bersandar. Di jalan menuju pelabuhan kami juga melihat beberapa truk bbm masih terparkir. Ada yang masih memuntahkan isinya, ada yang terparkir begitu saja dipinggir jembatan. Rupanya supir dan keneknya sedang mandi di sungai dengan gembira. Yah, air memang dapat membuat kita rileks dan senang.

Sebagian truk bbm yang telah tiba di pelabuhan. Kapal belum berangkat jika truk belum kembali semua.

Menunggu telolet

Perjalanan menuju pelabuhan saat matahari masih hadir amat berbeda dengan di tengah malam. Siang ini, Enggano tampak amat biasa. Berbeda dengan perjalanan tengah malam ketika pertama kali mendarat. Waktu itu suasananya amat mencekam. Tapi kalau dipikir, itu wajar jika kita datang ke tempat baru dalam keadaan gelap gulita. Ketidaktahuan memang kerap melahirkan ketakutan.

Cuaca amat cerah dan kapal masih kosong ketika kami tiba.

Hari masih siang menjelang sore ketika kami sampai di Kahyapu. Tampaknya masih akan menunggu beberapa jam lagi sampai telolet kapal terdengar. Telolet yang menandakan kapal akan berangkat. Om telolet om. Telolet datang, penantian hilang. Telolet yang dirindukan sepertinya masih agak lama.

Enggano dilihat dari laut sekitar pelabuhan

Maka aku menghabiskan waktu dengan menikmati pemandangan laut dan pulau yang cerah di hari ini. Pemandangan yang mungkin akan aku rindukan setelah perjalanan ini selesai sehingga aku memutuskan untuk berkeliling sambil memotret. Sekalian juga mengisi perut karena makanan di kapal amat terbatas (baca: hanya ada popmie). Makan siang sekaligus malam. Baru tengah malam mungkin aku makan lagi di atas kapal. Makan banyak supaya tidak masuk angin. Angin di laut kejam. Badan harus terus fit supaya perjalanan tidak terganggu.


Truk bbm mengantri masuk kapal

Sore menjelang dan telolet kapal pun terdengar. Truk-truk sudah antri memasuki kapal. Penumpang pun sudah ramai disekeliling kapal. Ada yang sudah diatas kapal, ada yang masih di lapak makan sekitar pelabuhan. Yang pasti mereka sudah datang karena kapalku tak berhenti lama. Tak berhenti menunggu penumpang awam. Hanya berhenti menunggu penumpang bbm (baca: truk). Truk masuk, kapal berangkat. Bersama puluhan ton pisang, komoditas utama Enggano untuk dibawa ke Bengkulu. 

Pisang inilah komoditas andalan Enggano

Perjalanan laut di malam hari hampir selalu membosankan. Untungnya aku cepat terlelap. Aku tidak terlalu khawatir akan barang bawaanku ketika tidur karena ini di atas laut. Lagipula barang berharga “hanya” kamera, ponsel dan dompet. Kesemuanya itu hampir selalu melekat di tubuh. Dalam kantong celana maupun dalam tas mungil kamera yang selalu kupasang dibadan. Saat tidur, bisa dipeluk. Tas? Aku tidak terlalu khawatir karena isinya hanya pakaian. Pakaian kotor tepatnya. Fungsinya lebih banyak sebagai penahan kepala alias bantal selama tidur. Cukup empuk rasanya. Dan begitulah, aku terlelap hingga datang waktu fajar di kota Bengkulu.

Tidak banyak aktivitas yang bisa dilakukan pada malam hari.


------


Kapal merapat di Bengkulu sebelum subuh. Beberapa penumpang, terutama yang membawa kendaraan segera beranjak. Beberapa lagi masih beristirahat di kapal. Menunggu pagi, katanya. Menunggu angkutan umum beroperasi karena jarak pelabuhan ke kota lumayan jauh. Aku termasuk penumpang jenis ini. Sambil mengumpulkan informasi mengenai angkutan dengan trayek ke kota Sungai Penuh, tujuanku selanjutnya.

Tidak mudah menuju Sungai Penuh dari Bengkulu. Supir angkot yang kutumpangi tidak tahu armada bis atau travel menuju kota itu. Tapi aku yakin pasti ada trayek langsung menuju Sungai Penuh dari sini. Aku lupa pernah mendengar dari penumpang kapal atau penumpang travel ketika aku datang dari Palembang ke Bengkulu bahwa angkutan menuju Sungai Penuh hanya ada di daerah tertentu. Sayangnya aku lupa mencatatnya sehingga harus kembali bertanya sana-sini mengenai itu.

Supir angkot menyarankan aku untuk mencari informasi di terminal saja. Masuk akal, aku langsung setuju. Sekalian mencari tempat sarapan, pikirku. Terminal yang berada di pasar pasti banyak warung makan. Banyak pilihan dan aku berharap rasanya bisa lebih manusiawi daripada warung nasi sekitar pelabuhan. Pilihanku jatuh pada sate padang. Sate padang pertama dalam perjalanan ini. Rasanya memuaskan dan harganya sangat bersahabat. Sebelas ribu rupiah saja untuk sepiring sate padang dengan ketupat. Bonus tambahannya, si penjual sate ini tau rute menuju Sungai Penuh.

Menurut si tukang sate, dari terminal cari angkot menuju kampung Bali. Dari sana ada bis tiga per empat (maksudnya elf) menuju Sungai Penuh. Atau bisa juga ke kawasan Sungai Itam. Tapi Sungai Itam lumayan jauh, lebih baik ke kampung Bali saja. Ada angkot langsung kesana dari pasar, demikan saran tukang sate. Baiklah aku menurut, lalu mencari angkot menuju kampung Bali. Kebetulan angkot kosong. Aku duduk di depan agar mudah mencari informasi dari pak supir angkot.

Lucunya, supir angkot ini justru tidak tahu kota Sungai Penuh. Ada dimana tuh? Dia malah balik bertanya. Laah, yang tau soal trayek malah tukang sate. Aku malah bingung. Sungai Penuh ada di kabupaten Kerinci pak, masuk provinsi Jambi. Ooh, si supir manggut-manggut. Sepertinya bukan trayek favorit. Dia malah curhat mengenai selingkuhannya, membahas temannya yang playboy. Obrolan macam apa ini? Pagi-pagi sudah mesum. Tampaknya semalam kurang jatah dari istrinya.

Untung kami segera sampai di daerah kampung Bali. Aku bingung hendak turun dimana. Untungnya angkot sedang kosong dan si supir mau berbaik hati berkeliling membantuku mencari pool angkutan menuju Sungai Penuh. Akhirnya kami melihat sebuah elf yang hendak berangkat. Di kaca depannya ditempel sticker bertuliskan Bengkulu – Muko muko – Sungai Penuh. Angkotku langsung berhenti. Ternyata bapak supir sigap juga meski obrolannya mesum melulu.

Setelah memastikan elf ini benar menuju Sungai Penuh, aku langsung naik. Ternyata penumpangnya hanya dua orang termasuk aku. Wah enak benar ini. Sepanjang pagi itu aku merasa bebas tiduran, angkat kaki, bersila, dan berganti macam-macam gaya duduk dan tiduran selama perjalanan. Enak juga kalau sampai Sungai Penuh terus seperti ini.

Tapi harapan itu kandas. Setelah sampai tengah hari, satu per satu penumpang naik. Ada yang naik dari pool, ada yang dijemput ke rumahnya. Yang terakhir ini tampaknya penumpang yang sudah menjadi langganan. Supir travel ini juga sempat mengkonfirmasi kedatangannya lewat ponsel dan terlihat akrab ketika bertemu.

Menikmati perjalanan darat dari Bengkulu ke Kerinci

Lepas dari Muko-muko, kursi hampir terisi semua. Hampir, tapi tidak semua. Masih ada jeda antar penumpang. Masih bisa bergerak meski tidak seleluasa siang tadi. Travel ini berhenti beberapa kali untuk istirahat makan. Aku hanya makan satu kali, yaitu pada waktu makan siang. Untung porsinya lumayan banyak. Cukuplah mengisi usus hingga malam nanti.

Berhenti untuk makan sore. Tapan, Sumatra Barat.

Eat stop kami yang kedua di kota Tapan. Sudah masuk Sumatra Barat yang berbatasan dengan Bengkulu. Suasana tanah Minang sedikit banyak terasa. Meski mungkin belum sampai sekental Solok dengan kawasan 1000 koto Gadang-nya, namun aku merasakan perbedaannya dengan daerah sebelumnya.

Fenomena setelah hujan rintik-rintik di sore itu.

Dari Tapan, kami berbelok menembus barisan bukit yang memisahkan daerah Kerinci dengan pesisir. Jalur alas roban yang katanya rawan longsor. Jalur utama logistik menuju Sungai Penuh. Malah boleh dibilang satu-satunya jalur logistik melalui darat. Kebutuhan pokok Kerinci banyak dipasok dari Sumatra Barat. Jalur menuju kesana konon hanya dua. Dari dua jalur tersebut, hanya jalur inilah yang sanggup dilewati kendaraan berat. Jalur lainnya hanya untuk mobil kecil karena kecuramannya amat tinggi. Dari sesama penumpang, aku mendengar bahwa jika terjadi longsor di jalur ini, maka harga-harga di kota Sungai Penuh akan naik. Kelangkaan terjadi hingga longsor teratasi dan jalan dibuka kembali. Wah, meskipun statusnya ibukota kabupaten, tapi rasanya kota Sungai Penuh semi-terisolasi. Bandara sudah ada, tapi tidak dapat mengangkut logistik. Hanya pesawat baling-baling yang bisa mendarat. Bukan opsi angkutan barang kebutuhan pokok. 


Ketika dua truk besar berpapasan di jalur Tapan-Sungai Penuh

Hari sudah gelap ketika kami mencapai kota Sungai Penuh. Meskipun sudah memberi kabar kepada teman yang kukenal dari Coachsurfing dan akan menginap ditempatnya, namun aku agak sungkan untuk langsung mampir ke tempatnya karena sudah malam. Kebetulan aku masih ada anggaran untuk penginapan, jadi aku mencari penginapan murah di kota. Apalagi kelingking kakiku masih terluka sejak dari Enggano. Masih terasa sakit dibawa jalan. Maka aku minta diantarkan ke hotel saja dari travel. Ingin cepat-cepat mandi, makan malam, lalu tidur. Berharap besok sakit di kelingking ini hilang dengan sendirinya. Sebuah harapan yang sia-sia pada akhirnya. Mengenai ini, akan aku ceritakan pada artikel selanjutnya. Juga tentang Kerinci dan kota Sungai Penuh. Sekarang, aku mau istirahat dulu. Istirahat yang sebenarnya dalam 48 jam terakhir.