Pagi ketiga di Enggano datang dengan cepat. Aku bangun
terlambat. Matahari baru saja muncul dari sela-sela pepohonan hutan tropis.
Kehidupan di Enggano menggeliat dengan pelan. Alvin, anak pertama Zulfan sedang
bersiap masuk sekolah. Sedikit merengek memintaku mengantarnya alih-alih
ayahnya. Ada sedikit rasa sungkan yang segera lenyap ketika Zulfan memberiku
kunci motornya. Dia tidak keberatan anaknya memilihku untuk menemaninya
berangkat sekolah.
Aku memang paling senang bermotor ria. Mencoba kerangka
motor bermesin ala Enggano rasanya cukup menyenangkan meski hanya sebentar.
Mesinnya mati-nyala, agak sulit untuk distarter. Tapi diluar itu, semuanya
baik-baik saja. Bisa jalan, bisa seimbang, bisa dibonceng. Cukuplah dikatakan
baik.
Jalanan hanya ada satu di Enggano. Kami menelusuri jalan
menuju utara untuk menuju ke sekolah. Jaraknya tidak sampai dua kilometer dari
rumah sampai sekolah. Sekolah Alvin. Satu-satunya sekolah taman kanak-kanak di
desa Ka’ana. Dari luar, fasilitasnya tampak cukup untuk ukuran sekolah desa.
Entah bagaimana mutu pendidikan atau kegiatan di tk ini, aku tidak sempat
mencari tau lebih jauh.
Sekembalinya dari sekolah, aku bersiap untuk road trip menjelajah desa-desa di
Enggano. Bergegas mandi dan berganti pakaian sementara Zulfan berkeliling kampung
untuk mencari bbm. Pasokan datang terlambat karena insiden di pelabuhan
beberapa hari lalu. Bahan bakar minyak mulai langka di Enggano. Beberapa
tetangga bahkan datang ke rumah untuk menanyakan persediaan bbm, barangkali
masih ada lebih sehingga bisa dibagi. Tapi nihil karena keluarga Zulfan pun
sedang mencari tambahan bensin untuk membawaku berkeliling pulau. Bbm sedang
menjadi isu saat itu.
Namun entah bagaimana, Zulfan berhasil mendapatkan bbm untuk
motornya. Dua liter cukuplah karena motornya memang jenis yang irit bensin.
Modal untuk menelusuri empat desa lain selain Ka’ana, desa Zulfan berada dan
Kahyapu, desa dimana pelabuhan Enggano berada. Sebenarnya ada satu lagi
pelabuhan di Malakoni, tapi jadwalnya tidak serutin pelabuhan Kahyapu. Malakoni
sendiri merupakan pusat administrasi di Enggano. Satu-satunya desa di Enggano
yang memiliki SMA.
Usaha Zulfan mendapatkan bbm sepertinya juga tidak mudah.
Menjelang siang dia baru pulang. Kami memutuskan untuk makan siang dulu sebelum
berkeliling pulau. Makan siang sederhana dengan lauk berbahan dasar ikan. Hampir
setiap kali makan, ikan selalu ada. Rasanya giziku selama di Enggano amat
tercukupi. Entah ikan apa aku lupa bertanya. Yang penting cukup makan agar ada
tenaga. Juga agar bisa bahagia.
Setelah mengisi perut, kami memulai perjalanan menuju
Banjarsari. Desa terjauh di Enggano. Perjalanan menuju desa Banjarsari akan
melewati desa Meok, Malakoni, dan Apoho. Ketiga desa ini letaknya berdekatan
sehingga batas desa kurang terlihat. Sedangkan dari desa kami, Ka’ana sampai ke
Apoho jaraknya beberapa kilometer. Dan dari desa Meok ke desa Banjarsari pun
demikian sehingga antara Meok-Banjarsari maupun Ka’ana-Apoho amat ketara
pergantian desanya.
Pemberhentian pertama kami ialah pelabuhan Malakoni.
Pelabuhan ini cukup besar dan lebih bagus daripada di Kahyapu, tempat aku
mendarat di Enggano. Jarak antara pelabuhan Malakoni dengan rumah penduduk pun
dekat, sesuai dengan bayangan awalku tentang pulau ini.
Sebuah kapal tertambat sendirian di dermaga sepi Malakoni |
Pelabuhan Malakoni amat sepi siang itu. Hanya sebuah kapal
tertambat di dermaga. Kantor pelabuhan tutup. Malakoni tampak sunyi tapi aku
sangsi desa ini pernah ramai. Kecuali mungkin, ketika kapal besar merapat di
dermaga pelabuhan.
Tapi siang itu hanya ada satu kapal tertambat. Tampak
kesepian. Di Malakoni ada penjual bensin eceran. Pertamini. Satu-satunya yang
kulihat selama di Enggano. Tentu saja pertamini ini tutup. Bensin sedang langka
di Enggano. Pertamini Enggano sedang kehilangan komoditasnya. Tidak ada yang
ditawarkan, jadi tutup saja. Lebih baik mengerjakan yang lain sambil menunggu
pasokan. Mungkin menengok ladang. Mungkin memancing ikan. Atau mungkin hanya
sekedar beristirahat. Yang pasti sedang tidak berdagang bensin.
Selfie sebelum pergi |
Setelah sebentar mengambil gambar di pelabuhan, kami pun
melanjutkan perjalanan. Menuju Banjarsari. Desa paling utara. Sekalian
mengunjungi kerabat Zulfan yang tinggal disana. Entah mengapa desanya terpisah
jauh meski masih berkerabat. Mungkin tuntunan nasib atau guratan takdir.
Tapi hikmahnya aku jadi mendapat variasi narasumber. Cerita
dari orang lain di desa lain tentang Enggano. Kerabat Zulfan ini petani
cokelat. Setelah pisang, komoditas Enggano selanjutnya adalah cokelat. Bukan
cokelat hasil olahan tapi hanya kakao kering yang dijemur sepanjang hari
disekitar rumah.
Kakao yang dijemur disekitar rumah |
Kakao konon komoditas unggulan kedua di Enggano setelah pisang |
Sayangnya rumah itu sepi saat kami datangi. Sedang di kebun,
kata tetangganya. Duduk sebentar, sekedar menyeruput kopi sambil melepas lelah,
kami juga disuguhi jeruk liar yang pohonnya banyak tumbuh disekitar rumah.
Rasanya sedikit manis dan banyak asamnya. Iseng mencari buah tangan, kami
meminta sebuah karung dan memetik sendiri jeruk-jeruk yang ada di halaman
belakang. Bukan kualitas terbaik tapi cukup lah untuk oleh-oleh orang desa.
Jeruk liar sekitar kebun. Rasanya agak asam. |
Rumah kerabat Zulfan di Banjarsari lebih dekat ke laut
daripada hutan. Hanya berjarak beberapa ratus meter menembus semak belukar,
laut sudah terlihat. Sepi sebagaimana desa. Hamparan pasirnya tidak terlalu
luas dari batas semak. Bersih dan sudah pasti tanpa sampah. Pantai idaman para
warga kota besar. Untungnya aku tidak tergoda untuk berenang. Selain sudah
terlalu sore, aku juga tidak membawa pakaian ganti. Hanya beberapa jepretan
lalu kami pamit meninggalkan Banjarsari.
Pantai yang berjarak tidak sampai lima ratus meter dari rumah tadi |
Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke satu pantai
lagi. Pantai yang belakangan aku tahu namanya Bakblau ini rupanya tempat
rekreasi favorit warga Enggano. Sudah ada jalan berbatu dari jalanan utama
menuju pantai. DI jalan yang sempit itu kami beberapa kali berpapasan dengan
mobil bak terbuka yang berisi penuh manusia dalam bak tersebut. Rombongan
semobil tapi tidak sampai sekampung.
Jalan setapak berakhir di pantai. Tapi bukan pantai Bakblau.
Masih ada beberapa ratus meter lagi untuk mencapai pantai tersebut. Perjalanan
berubah offroad di atas pasir pantai.
Ini pertama kalinya aku offroad di
pantai. Rasanya luar biasa! Apalagi ketika pulang dari Bakblau. Berkendara di
tepi laut dengan latar matahari tenggelam. Pengalaman pertama yang tidak
terlupakan. Moment terbaik di hari itu. Mungkin moment terbaik bagiku selama
mengunjungi Enggano. Bebas, lepas, merdeka!
Moment terbaik selama di Enggano. Bermotor off-road sepanjang pantai pada waktu petang. |
Kembali ke Bakblau, disana kami mendapati beberapa mobil dan
motor terparkir dipinggir pantai. Dua rombongan besar sedang bermain bola di
tepi pantai. Dengan gawang dari galah mereka menggelar permainan terpopuler
sejagad. Lucunya, “lapangan” mereka juga merupakan muara sungai. Jadi aliran
air terus mengalir menuju laut. Lapangan yang selalu basah oleh air asin dan
air tawar. Tapi mereka tidak perduli. Yang penting lari dan tendang bolanya,
asal jangan sampai kepeleset karena akan menjadi bahan tertawaan semua orang.
Pantai favorit warga Enggano untuk rekreasi |
Sungai yang bermuara di Bakblau pun ramai disinggahi.
Meskipun ramai yang aku maksud tidak sampai 20 orang, tapi jeritan keceriaan
mereka mengisi ruang-ruang kosong di hutan dan sungai sore itu. Semoga saja
tidak ada buaya atau ular yang datang bertamu.
Sungai yang bermuara di Bakblau |
Dari Bakblau perjalanan cukup panjang untuk mencapai Ka’ana.
Maghrib hampir datang ketika kami kembali. Listrik sudah mengaliri desa.
Lampu-lampu mulai dinyalakan. Setibannya dirumah, adzan maghrib terdengar dari
masjid. Aku buru-buru mandi sebelum gelap. Maklum, kamar mandinya berada diluar
rumah, persis di tepi hutan. Aku tidak mau dikunjungi macam-macam serangga
ketika mandi, apalagi dikunjungi dalam gelap.
Mandi, maghrib, lalu makan. Sehari ini rasanya cukup penuh
kepala dan kenangan. Akhirnya aku mendapat gambaran awal tentang keadaan
desa-desa di pulau terpencil. Sayangnya meski di Enggano ada beberapa suku,
namun rasa kesukuannya tidak terlalu kuat. Rumah adat memang masih ada, namun
fungsinya sepertinya kalah oleh balai desa. Peranan kepala suku pun tidak
terlalu terlihat. Kalah jauh dengan peranan kepala desa sebagai perpanjangan
tangan pemerintah.
Satu kesan lagi yang aku rasakan ialah betapa jauh
kesenjangan pembangunan terasa disini. Pemerataan pembangunan tampak seperti
omong kosong. Mulai dari urusan listrik, jalanan, hingga fasilitas kesehatan
terasa mengenaskan. Memang sudah ada rumah sakit di Enggano, tapi yang disebut
rumah sakit hanyalah semacam kontainer yang dicat hijau dan dirubah fungsinya
menjadi ruang-ruang perawatan.
Rumah sakit satu-satunya di Enggano. Tutup diwaktu sore. Sepertinya tidak memungkinkan untuk rawat inap. Jangan sakit di pulau terpencil |
Aku tidak sempat memotret dalamnya karena rumah sakit sudah
tutup ketika kami melintas. Kebetulan aku berpapasan dengan penjaga kunci yang
rumahnya berada tepat diseberang jalan. Antara rumah sakit dan rumah penjaga
kunci hanya dipisahkan jalan raya beralaskan batu kapur dan penuh lubang. Aku
tidak sempat berbincang banyak dengan bapak penjaga kunci. Sudah terlalu sore
waktu itu. Tapi kesan yang terasa dalam benakku ialah agar jangan sampai sakit
di pulau terpencil. Tidak mungkin dirawat inap disini karena listrik hanya
mengalir setengah malam. Rumah sakit buka setengah hari.
Aku tidak tau apakah keadaan Enggano dapat mewakili kondisi
pulau-pulau terpencil Nusantara. Tapi yang pasti, aku merasa pulau ini amat
terbaikan. Ketika pilkada ibukota terdengar begitu gaduh, rusuh dan menyedot
terlalu banyak perhatian, sebaiknya kita juga ingat bahwa Indonesia bukan hanya
Jakarta dan Jawa. Enggano juga Indonesia. Enggano juga butuh perhatian.
Meskipun aku amat mengidamkan Enggano bisa mandiri dan membantu Enggano berdiri
sendiri. Semoga ini dapat menjadi doa. Semoga di masa depan kita dapat membantu
pemerataan pembangunan tanpa bergantung pada pemerintah pusat. Mari mandiri,
Indonesia.