Senin, 27 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 13: Enggano Road Trip

Pagi ketiga di Enggano datang dengan cepat. Aku bangun terlambat. Matahari baru saja muncul dari sela-sela pepohonan hutan tropis. Kehidupan di Enggano menggeliat dengan pelan. Alvin, anak pertama Zulfan sedang bersiap masuk sekolah. Sedikit merengek memintaku mengantarnya alih-alih ayahnya. Ada sedikit rasa sungkan yang segera lenyap ketika Zulfan memberiku kunci motornya. Dia tidak keberatan anaknya memilihku untuk menemaninya berangkat sekolah.

Aku memang paling senang bermotor ria. Mencoba kerangka motor bermesin ala Enggano rasanya cukup menyenangkan meski hanya sebentar. Mesinnya mati-nyala, agak sulit untuk distarter. Tapi diluar itu, semuanya baik-baik saja. Bisa jalan, bisa seimbang, bisa dibonceng. Cukuplah dikatakan baik.

Jalanan hanya ada satu di Enggano. Kami menelusuri jalan menuju utara untuk menuju ke sekolah. Jaraknya tidak sampai dua kilometer dari rumah sampai sekolah. Sekolah Alvin. Satu-satunya sekolah taman kanak-kanak di desa Ka’ana. Dari luar, fasilitasnya tampak cukup untuk ukuran sekolah desa. Entah bagaimana mutu pendidikan atau kegiatan di tk ini, aku tidak sempat mencari tau lebih jauh.

Sekembalinya dari sekolah, aku bersiap untuk road trip menjelajah desa-desa di Enggano. Bergegas mandi dan berganti pakaian sementara Zulfan berkeliling kampung untuk mencari bbm. Pasokan datang terlambat karena insiden di pelabuhan beberapa hari lalu. Bahan bakar minyak mulai langka di Enggano. Beberapa tetangga bahkan datang ke rumah untuk menanyakan persediaan bbm, barangkali masih ada lebih sehingga bisa dibagi. Tapi nihil karena keluarga Zulfan pun sedang mencari tambahan bensin untuk membawaku berkeliling pulau. Bbm sedang menjadi isu saat itu.

Namun entah bagaimana, Zulfan berhasil mendapatkan bbm untuk motornya. Dua liter cukuplah karena motornya memang jenis yang irit bensin. Modal untuk menelusuri empat desa lain selain Ka’ana, desa Zulfan berada dan Kahyapu, desa dimana pelabuhan Enggano berada. Sebenarnya ada satu lagi pelabuhan di Malakoni, tapi jadwalnya tidak serutin pelabuhan Kahyapu. Malakoni sendiri merupakan pusat administrasi di Enggano. Satu-satunya desa di Enggano yang memiliki SMA.

Usaha Zulfan mendapatkan bbm sepertinya juga tidak mudah. Menjelang siang dia baru pulang. Kami memutuskan untuk makan siang dulu sebelum berkeliling pulau. Makan siang sederhana dengan lauk berbahan dasar ikan. Hampir setiap kali makan, ikan selalu ada. Rasanya giziku selama di Enggano amat tercukupi. Entah ikan apa aku lupa bertanya. Yang penting cukup makan agar ada tenaga. Juga agar bisa bahagia.

Setelah mengisi perut, kami memulai perjalanan menuju Banjarsari. Desa terjauh di Enggano. Perjalanan menuju desa Banjarsari akan melewati desa Meok, Malakoni, dan Apoho. Ketiga desa ini letaknya berdekatan sehingga batas desa kurang terlihat. Sedangkan dari desa kami, Ka’ana sampai ke Apoho jaraknya beberapa kilometer. Dan dari desa Meok ke desa Banjarsari pun demikian sehingga antara Meok-Banjarsari maupun Ka’ana-Apoho amat ketara pergantian desanya.

Pemberhentian pertama kami ialah pelabuhan Malakoni. Pelabuhan ini cukup besar dan lebih bagus daripada di Kahyapu, tempat aku mendarat di Enggano. Jarak antara pelabuhan Malakoni dengan rumah penduduk pun dekat, sesuai dengan bayangan awalku tentang pulau ini.

Sebuah kapal tertambat sendirian di dermaga sepi Malakoni

Pelabuhan Malakoni amat sepi siang itu. Hanya sebuah kapal tertambat di dermaga. Kantor pelabuhan tutup. Malakoni tampak sunyi tapi aku sangsi desa ini pernah ramai. Kecuali mungkin, ketika kapal besar merapat di dermaga pelabuhan.

Tapi siang itu hanya ada satu kapal tertambat. Tampak kesepian. Di Malakoni ada penjual bensin eceran. Pertamini. Satu-satunya yang kulihat selama di Enggano. Tentu saja pertamini ini tutup. Bensin sedang langka di Enggano. Pertamini Enggano sedang kehilangan komoditasnya. Tidak ada yang ditawarkan, jadi tutup saja. Lebih baik mengerjakan yang lain sambil menunggu pasokan. Mungkin menengok ladang. Mungkin memancing ikan. Atau mungkin hanya sekedar beristirahat. Yang pasti sedang tidak berdagang bensin.

Selfie sebelum pergi

Setelah sebentar mengambil gambar di pelabuhan, kami pun melanjutkan perjalanan. Menuju Banjarsari. Desa paling utara. Sekalian mengunjungi kerabat Zulfan yang tinggal disana. Entah mengapa desanya terpisah jauh meski masih berkerabat. Mungkin tuntunan nasib atau guratan takdir.

Tapi hikmahnya aku jadi mendapat variasi narasumber. Cerita dari orang lain di desa lain tentang Enggano. Kerabat Zulfan ini petani cokelat. Setelah pisang, komoditas Enggano selanjutnya adalah cokelat. Bukan cokelat hasil olahan tapi hanya kakao kering yang dijemur sepanjang hari disekitar rumah.

Kakao yang dijemur disekitar rumah

Kakao konon komoditas unggulan kedua di Enggano setelah pisang

Sayangnya rumah itu sepi saat kami datangi. Sedang di kebun, kata tetangganya. Duduk sebentar, sekedar menyeruput kopi sambil melepas lelah, kami juga disuguhi jeruk liar yang pohonnya banyak tumbuh disekitar rumah. Rasanya sedikit manis dan banyak asamnya. Iseng mencari buah tangan, kami meminta sebuah karung dan memetik sendiri jeruk-jeruk yang ada di halaman belakang. Bukan kualitas terbaik tapi cukup lah untuk oleh-oleh orang desa.

Jeruk liar sekitar kebun. Rasanya agak asam.

Rumah kerabat Zulfan di Banjarsari lebih dekat ke laut daripada hutan. Hanya berjarak beberapa ratus meter menembus semak belukar, laut sudah terlihat. Sepi sebagaimana desa. Hamparan pasirnya tidak terlalu luas dari batas semak. Bersih dan sudah pasti tanpa sampah. Pantai idaman para warga kota besar. Untungnya aku tidak tergoda untuk berenang. Selain sudah terlalu sore, aku juga tidak membawa pakaian ganti. Hanya beberapa jepretan lalu kami pamit meninggalkan Banjarsari.

Pantai yang berjarak tidak sampai lima ratus meter dari rumah tadi

Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke satu pantai lagi. Pantai yang belakangan aku tahu namanya Bakblau ini rupanya tempat rekreasi favorit warga Enggano. Sudah ada jalan berbatu dari jalanan utama menuju pantai. DI jalan yang sempit itu kami beberapa kali berpapasan dengan mobil bak terbuka yang berisi penuh manusia dalam bak tersebut. Rombongan semobil tapi tidak sampai sekampung.

Jalan setapak berakhir di pantai. Tapi bukan pantai Bakblau. Masih ada beberapa ratus meter lagi untuk mencapai pantai tersebut. Perjalanan berubah offroad di atas pasir pantai. Ini pertama kalinya aku offroad di pantai. Rasanya luar biasa! Apalagi ketika pulang dari Bakblau. Berkendara di tepi laut dengan latar matahari tenggelam. Pengalaman pertama yang tidak terlupakan. Moment terbaik di hari itu. Mungkin moment terbaik bagiku selama mengunjungi Enggano. Bebas, lepas, merdeka!

Moment terbaik selama di Enggano. Bermotor off-road sepanjang pantai pada waktu petang. 

Kembali ke Bakblau, disana kami mendapati beberapa mobil dan motor terparkir dipinggir pantai. Dua rombongan besar sedang bermain bola di tepi pantai. Dengan gawang dari galah mereka menggelar permainan terpopuler sejagad. Lucunya, “lapangan” mereka juga merupakan muara sungai. Jadi aliran air terus mengalir menuju laut. Lapangan yang selalu basah oleh air asin dan air tawar. Tapi mereka tidak perduli. Yang penting lari dan tendang bolanya, asal jangan sampai kepeleset karena akan menjadi bahan tertawaan semua orang.

Pantai favorit warga Enggano untuk rekreasi

Sungai yang bermuara di Bakblau pun ramai disinggahi. Meskipun ramai yang aku maksud tidak sampai 20 orang, tapi jeritan keceriaan mereka mengisi ruang-ruang kosong di hutan dan sungai sore itu. Semoga saja tidak ada buaya atau ular yang datang bertamu.

Sungai yang bermuara di Bakblau

Dari Bakblau perjalanan cukup panjang untuk mencapai Ka’ana. Maghrib hampir datang ketika kami kembali. Listrik sudah mengaliri desa. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Setibannya dirumah, adzan maghrib terdengar dari masjid. Aku buru-buru mandi sebelum gelap. Maklum, kamar mandinya berada diluar rumah, persis di tepi hutan. Aku tidak mau dikunjungi macam-macam serangga ketika mandi, apalagi dikunjungi dalam gelap.

Mandi, maghrib, lalu makan. Sehari ini rasanya cukup penuh kepala dan kenangan. Akhirnya aku mendapat gambaran awal tentang keadaan desa-desa di pulau terpencil. Sayangnya meski di Enggano ada beberapa suku, namun rasa kesukuannya tidak terlalu kuat. Rumah adat memang masih ada, namun fungsinya sepertinya kalah oleh balai desa. Peranan kepala suku pun tidak terlalu terlihat. Kalah jauh dengan peranan kepala desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah.

Satu kesan lagi yang aku rasakan ialah betapa jauh kesenjangan pembangunan terasa disini. Pemerataan pembangunan tampak seperti omong kosong. Mulai dari urusan listrik, jalanan, hingga fasilitas kesehatan terasa mengenaskan. Memang sudah ada rumah sakit di Enggano, tapi yang disebut rumah sakit hanyalah semacam kontainer yang dicat hijau dan dirubah fungsinya menjadi ruang-ruang perawatan.

Rumah sakit satu-satunya di Enggano. Tutup diwaktu sore. Sepertinya tidak memungkinkan untuk rawat inap. Jangan sakit di pulau terpencil

Aku tidak sempat memotret dalamnya karena rumah sakit sudah tutup ketika kami melintas. Kebetulan aku berpapasan dengan penjaga kunci yang rumahnya berada tepat diseberang jalan. Antara rumah sakit dan rumah penjaga kunci hanya dipisahkan jalan raya beralaskan batu kapur dan penuh lubang. Aku tidak sempat berbincang banyak dengan bapak penjaga kunci. Sudah terlalu sore waktu itu. Tapi kesan yang terasa dalam benakku ialah agar jangan sampai sakit di pulau terpencil. Tidak mungkin dirawat inap disini karena listrik hanya mengalir setengah malam. Rumah sakit buka setengah hari.


Aku tidak tau apakah keadaan Enggano dapat mewakili kondisi pulau-pulau terpencil Nusantara. Tapi yang pasti, aku merasa pulau ini amat terbaikan. Ketika pilkada ibukota terdengar begitu gaduh, rusuh dan menyedot terlalu banyak perhatian, sebaiknya kita juga ingat bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta dan Jawa. Enggano juga Indonesia. Enggano juga butuh perhatian. Meskipun aku amat mengidamkan Enggano bisa mandiri dan membantu Enggano berdiri sendiri. Semoga ini dapat menjadi doa. Semoga di masa depan kita dapat membantu pemerataan pembangunan tanpa bergantung pada pemerintah pusat. Mari mandiri, Indonesia.

Minggu, 26 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 12: Intim bersama gelap

Setelah pagi pertama yang muram dan dihiasi hujan sepanjang hari, aku berharap di hari kedua aku bisa berkeliling dan mendapatkan gambaran lebih luas tentang Enggano dengan kelima indraku sendiri. Meskipun aku belum tau apakah Zulfan akan mengantarku berkeliling atau aku akan berkeliling sendiri disekitar desa dan mencari cerita, tapi aku berharap hari ini matahari akan lebih banyak bersinar daripada kemarin.

Sepertinya aku nyaman dengan cepat dalam kamar berkelambu merah jambu ini. Sekali lagi matahari mendahului aku menyapa hari. Aku sendiri tidak ingin terburu-buru, tapi juga tidak ingin membuang waktu seharian dirumah lagi seperti kemarin. Setelah mandi dan sarapan, aku mulai memikirkan rencana untuk hari itu. Tapi ternyata Zulfan seperti membaca pikiranku. Dia meminta aku menunggu sementara dia mengurus suatu keperluan. Tidak lama, katanya. Lalu kita akan berkeliling pulau dengan sepeda motor. Mengunjungi desa-desa lain di Enggano. Memenuhi hasrat keingintahuanku tentang pulau ini.

Jadi baiklah, aku menunggu dulu di rumah meski mulai tidak betah diam atau sekedar membaca buku dari koleksi Zulfan. Iseng-iseng aku membuka koleksi pakaian kotor dan mencuci saja. Lumayan untuk mengisi waktu dan reload pakaian bersih. Aku menghitung, idealnya mencuci 3 hari sekali dan maksimal 5 hari sekali. Tapi kalau sudah 5 hari, biasanya persediaan amat tipis. Jadi bolehlah sedikit mencuci sambil menunggu.

Tidak lama setelah selesai, aku kembali menunggu Zulfan. Belum ada tanda-tanda kedatangannya. Yang datang malah saudara-saudara istrinya. Oh iya, istri Zulfan memang orang asli Enggano, sementra Zulfan sendiri berasal dari Krui, Lampung. Ramai berkunjung dan berbaur bersama mereka, aku sempat mendengar rencana untuk berwisata ke pulau Dua, salah satu pulau kecil disekitar Enggano selain pulau Merbau.

Sebenarnya Zulfan sudah sempat menawariku untuk mengunjungi pulau tersebut ketika pertama kali datang. Namun ongkos yang perlu dikeluarkan sebesar tiga ratus ribu rupiah terasa berat bagiku yang hanya membatasi lima ratus ribu rupiah saja selama di Enggano. Apalagi disana tidak ada bank atau ATM. Jadi aku sudah menolak tawaran itu karena besarnya biaya yang dibutuhkan, terutama untuk solar dan ongkos boatman.

Tapi lain halnya jika ada tawaran untuk membagi biaya tersebut dengan orang lain. Apalagi jika bisa ikut gratis, hehehe.. Namun dari obrolan yang sedikit-sedikit kutangkap, rombongan ini belum pasti pergi pesiar ke pulau dua tersebut. Apalagi masalah bbm yang mulai langka sempat menjadi penghalang mereka untuk meneruskan niat tersebut. Saat itu aku berpikir, mungkin mereka akan berlayar sementara aku dan Zulfan keliling desa-desa Enggano.

Namun ketika Zulfan kembali, dia mengajakku untuk ikut rombongan ke pulau Dua. Dia bilang, besok saja ya keliling desanya. Baiklah, aku menurut saja. Kapan lagi bisa ikut hoping island disekitar Enggano. Aku pun belum tau apakah bisa kembali ke pulau ini di sisa umurku. Mungkin ini kunjungan sekali seumur hidup meski aku berharap tidak demikan.

Di sungai dalam hutan, teronggoklah sebuah kapal yang akan mengantarkan kami ke pulau Dua

Jadi baiklah, ke pulau Dua kita berangkat! Perjalanan dimulai dari halaman belakang. Menelusuri jalan setapak ditengah hutan hingga menemukan aliran sungai. Ada beberapa kapal kayu yang tampak tenggelam disana. Oh bukan, bukan tenggelam rupanya. Hanya tergenang air hujan setinggi air sungai hingga tampak karam. Penyebabnya, kapal tidak ditutup terpal ketika terakhir kali dipakai. Dan ternyata dengan kapal yang tampak karam itulah kami akan berangkat menuju pulau Dua. Wow banget yah?

Menguras air hujan yang masuk ke badan kapal

Menjaga mesin tetap kering agar dapat menyala 

Jika dirumah kita biasa memanaskan mobil atau motor sebelum dipakai, maka disini kami harus menguras air hujan yang masuk ke kapal sebelum bisa menggunakannya. Bergantian kami menguras air hujan hingga kapal kembali terapung. Lalu memasang kayu tambahan sebagai dasar kapal dan pijakan kaki. Selanjutnya memasang mesin dan mengatur posisi duduk. Barulah kapal bisa diberangkatkan.

Menuju muara sungai yang penuh dengan tumbuhan liar

Dari sungai kecil di dalam hutan, kami mulai beranjak. Mesin kapal yang berisik membawa kami menelusuri sungai hingga ke muara. Sungai berganti laut. Langit sedang kelabu. Ombak pun tidak terlalu tenang. Aku tidak tahu apakah pengaruh cuaca atau memang biasanya seperti ini mengingat laut di depan sana ialah samudra Hindia. Tidak seperti laut Jawa yang terlindung Kalimantan dan Sumatra, disini tidak ada penghalang sehingga angin samudra langsung membawa ombak kemari.

Kapal kecil di tengah samudra. Bergoyang cukup hebat, untung tidak sampai terbalik. Kapal kecil kami menyusuri pantai bakau yang cetek. Sesekali dasar kapal tersangkut pasir, tapi masih bisa membebaskan diri. Kami menyusuri pinggiran pulau ke arah tenggara hingga tepian pulau Enggano yang besar berakhir. Kini memasuki lautan lepas. Meski pulau Dua sudah terlihat namun perasaan was-was masih berkecamuk di benakku. Berharap perjalanan baik-baik saja. Berdoa kapal tidak digulung ombak. Cuaca sedang tidak terlalu bersahabat meski tidak turun hujan.

Kecemasanku sempat bertambah ketika melihat sebuah kapal besar karam disekitar perairan pulau Dua. Bobotnya pasti berton-ton. Entah belasan entah puluhan ton, yang pasti jauh lebih besar dari kapal kami. Sepertinya kapal tersebut tersangkut karang hingga karam. Sebelum berangkat, sayup-sayup aku mendengar warga menggosipkan kapal karam dekat Kahyapu. Rupanya kapal ini yang mereka bicarakan.

Kapal karam disekitar perairan pulau Dua, Enggano. Calon rumah bagi terumbu karang.

Meskipun tampak karam, tapi kapal ini masih terlihat utuh dipermukaannya. Rupanya warga tidak berani “menjarah” kapal yang telah karam ini. Takut berurusan dengan pihak berwajib. Padahal aku yakin masih banyak barang-barang yang masih bisa digunakan diatas kapal. Tampaknya semua itu hanya akan menjadi rumah baru bagi terumbu karang. Begitulah kira-kira alam akan menyeimbangkan dirinya.

Langit sedang mendung ketika kami merapat ke pulau Dua

Perjalanan berlanjut lagi. Tidak jauh dari lokasi kapal karam tersebut, kami akhirnya mencapai pantai. Tidak banyak lokasi yang bisa dijadikan pilihan menambat kapal. Pantai yang penuh pohon kelapa ini salah satu tempat yang baik untuk merapat. Di dekat situ ada beberapa orang sedang menebang pohon kelapa. Mereka mengambil daunnya untuk menjadi atap rumbai. Banyak buah kelapa disekitarnya. Basa-basi sedikit, dapatlah kami dibagi buah kepala segar.

Sejenak kami beristirahat sambil menikmati kelapa. Pantai tempat kami mendarat sepertinya kurang cocok untuk bermain air atau menangkap ikan. Jadinya kami memutuskan untuk berpindah tempat. Menuju pondok disisi lain pulau. Rupanya Zulfan sudah sering mengantar tamu kemari. Dia sudah mendirikan pondok peristirahatan disana. Ada gudang dan beberapa perlengkapan untuk bermalam di pulau. Meskipun kami tidak berniat bermalam disini, namun peralatan barberque, penerangan tenaga surya dan alat-alat masak menjadi peralatan yang berguna bagi kami saat ini.

Pondok kecil yang amat terancam abrasi

Yang kurang hanya bahan makanannya. Kami membawa nasi tapi lauknya masih harus dicari. Peralatan mancing tidak ada, hanya ada jaring. Untungnya di rombongan kami ada beberapa nelayan yang mahir menggunakan jaring. Rombongan akhirnya tersebar diseluruh pantai. Berburu ikan dan kimo, sejenis kerang yang bisa langsung dimakan mentah-mentah.

Aku termasuk yang diajak mencari kimo. Meski tidak mengenali target, tetap saja diajak berburu. Namun entah kenapa aku sudah keburu lelah waktu itu. Mungkin sisa lelah dari perjalanan panjang ini. Yang pasti aku menyerah duluan dan memilih beristirahat di tepi pantai. Ada rasa sungkan dan malu sebenarnya, tapi setelah ini kami masih harus menelusuri hutan dan mendorong kapal kayu bila ia terperangkap di perairan dangkal sepanjang pantai. Aku masih akan membutuhkan tenagaku. Rasanya amat berharga disaat seperti ini. Kesempatan beristirahat aku manfaatkan baik-baik. Tidak apa malu asalkan sehat. Keselamatan lebih penting daripada gengsi.

Dan benar saja, ketika rombongan pencari kimo selesai dan bergabung bersama pencari ikan, aku kena ledek sekali-dua kali. Ahahaha, bawa ketawa saja. Mereka juga tidak serius menertawakan. Memang terbersit rasa malu karena ikut makan tanpa membawa tangkapan. Ah sebodo amat. Makan ya makan aja. Sungguh kali itu aku amat ingin dianggap tamu.

Aku sama sekali tidak bisa mencari ikan atau mengenali kimo. Pengetahuan dan kemampuanku sama sekali kosong soal berburu di laut. Dasar orang kota yah? Padahal perjalanan ini bertujuan untuk mengenali dan berbaur dengan penduduk lokal. Ah, aku juga harus belajar menyimpan tenaga selain belajar berburu makanan di alam. Beruntung aku bertemu dengan tuan rumah dan keluarganya yang baik hati. Tidak terlalu ambil pusing akan ketidakmampuanku membantu mereka. Keramahannya juga membuat nyaman.

Meskipun malu, aku tetap ikut mencicipi hasil tangkapan mereka. Setiap jenis yang ditawarkan, aku coba. Otot kimo yang berwarna putih dimakan mentah-mentah. Rasanya tawar, tapi dengan cocolan sambal bercampur jeruk, rasanya jadi maknyuss. Sedangkan rasa ikan hampir sama karena semuanya dibakar. Dagingnya dioleskan kecap dan sambal untuk dimakan dengan nasi. Nikmat sebenarnya, tapi sayangnya kami sudah diburu waktu mengingat matahari sudah amat condong ke barat.

Agak tergesa kami mengemasi barang bawaan dan hasil tangkapan ke kapal. Kami masih harus mengambil beberapa buah kelapa yang sengaja ditinggal ditempat pertama. Hari sudah semakin sore. Matahari sebentar lagi tenggelam di cakrawala. Terang berganti gelap. Langit kelam tanpa bulan tanpa bintang. Kegelapan datang. Suasana agak mencekam. Setidaknya buatku, entah apa warga Enggano yang satu kapal denganku merasakan kecemasan serupa. Tapi tampaknya tidak. Mereka sepertinya telah terbiasa dengan kegelapan malam, baik di darat maupun di laut.

Kegelapan sempat membuat kami bimbang, apakah merapat di Kahyapu yang dekat atau kembali ke Ka’ana dalam gelap. Namun jika merapat di Kahyapu, dengan apa kami menuju Ka’ana, desa tempat rumah kami berada? Jalan jelas tidak mungkin karena jaraknya yang lumayan jauh. Berharap ada yang jemput juga hampir mustahil karena sinyal seluler amat langka disini. Jadi kami memutuskan untuk langsung kembali ke Ka’ana dengan kapal ini. Menembus malam berbekal sebuah lampu tenaga surya. Benar, hanya satu dan satu-satunya. Tanpa cadangan baterai. Aku amat berharap energinya cukup hingga kami kembali ke desa.

Kepulangan dari pulau Dua menuju pulau utama (Enggano) merupakan salah satu pengalaman paling berkesan selama perjalanan ini. Terombang-ambing di laut dalam kapal kayu kecil. Hampir tanpa penerangan. Laut gelap. Daratan gelap. Aku berada diantara hutan perawan dan samudra ganas yang sama-sama gelap. Pulau Enggano hanya menampilkan siluetnya. Air laut disamping kapal tampak hitam tertutup malam. Aku membayangkan, jika aku menjalani pengalaman ini bersama teman kotaku, mungkin ia akan mengutuk sebelum menangis. Apalagi jika ia tipe orang yang takut dengan gelap.

Coba bayangkan, lautan yang kami seberangi ialah samudra luas. Kedalamnya berkilo-kilo meter. Dan penghuninya pasti lebih besar, lebih liar dan lebih menakutkan daripada laut Jawa yang lebih dangkal. Begitupula angin dan gelombang yang datang tanpa terhalang. Langsung dari samudra luas. Samudra itu kami seberangi dalam kegelapan. Laut berubah dari biru menjadi hitam. Bukan karena limbah tapi karena ketiadaan cahaya. Gelap, benar-benar gelap!

Setelah berhasil menyebrangi daerah dalam, kapal kami mulai agak merapat ke garis pantai. Laut yang kami susuri mulai dangkal. Ombak sudah tidak terlalu ganas. Angin pun kini tidak terlalu keras. Kapal kami sudah sedikit terlindung oleh pulau utama, yaitu Enggano.

Hilang satu kecemasan, muncul lagi yang lain. Karena gelap, tukang perahu kesulitan mencari celah dangkal. Kapal beberapa kali tersangkut di pasir. Penumpang, terutama yang laki-laki turun untuk mendorong kapal. Namun ketika berhasil lepas dari jebakan pasir, kapal langsung bergerak tanpa menunggu apakah para penumpang yang tadi mendorong kapal sudah naik semua, hahahahaha! Kami pun naik dengan tergesa. Kadang hampir menyebabkan kapal terbalik. Seram dan lucu sekaligus! Coba bayangkan seandainya aku telat naik. Sendirian diantara kegelapan bakau dan laut. Tanpa cahaya dan tanpa mengenali wilayah. Kebayang ya stressnya kalau itu sampai terjadi? Hahahahaha!
  
Akhirnya kami berhasil menemukan muara sungai menuju desa. Disini tampaknya sudah lebih aman, tapi aku membatin. Bukankah muara sungai habitat ular dan buaya? Aku sempat menanyakan apakah ada buaya dan ular di Enggano sebelum berangkat. Jawabannya: buaya agak jarang, tapi ular ada. Bagus! Menembus sungai ditengah hutan pada malam hari. Penuh pohon-pohon besar dan minim cahaya. Hanya lampu tenaga surga satu buah. Satu! Hanya itu bekal kami menembus habitat ular dan buaya menuju rumah. Belum lagi serangga yang mungkin beracun. Aku bisa menyingkirkan rasa jijik sejenak tapi tetap cemas akan bahaya sengatan beracun atau gigitan buaya. Semoga tidak ada ular yang tiba-tiba nomplok dari atas pohon. Semoga tidak ada buaya yang tiba-tiba nongol di samping kapal. Semoga aman dari sengatan serangga beracun. Semoga selamat sampai di rumah.

Amat senang rasanya ketika perjalanan sungai berakhir. Tapi kami masih harus melewati jalan setapak membelah hutan untuk sampai ke rumah. Tidak pikir panjang dan hanya membawa beberapa barang yang sempat kuraih ketika turun dari kapal, aku bergegas jalan menuju rumah. Sudah tidak sudi menunggu. Berharap ada orang lain yang memeriksa barang-barang di kapal dan membawa semuanya turun sehingga tidak ada yang tertinggal. Aku sih masa bodo waktu itu. Sudah keburu was-was!

Kelegaan baru benar-benar aku rasakan ketika melihat cahaya rumah. Akhirnya sampai, kembali dengan selamat. Sungguh perjalanan pulang yang luar biasa bagi anak kota seperti aku. Merasa lelah dan lusuh, kami langsung mandi. Tentu saja secara bergantian. Yang perempuan mandi duluan. Aku tidak keberatan. Sudah tidak cemas lagi soalnya. Menunggu mandi mah, tidak apa-apa meski kamar mandinya berada di tepi hutan dan tanpa lampu. Hanya dari sela-sela papan kayu penutup kamar mandi, cahaya bisa masuk. Tidak mengapa, kerisihannya tidak seberapa dibandingkan waktu menelusuri hutan dalam gelap tadi.



Begitulah hari kedua di Enggano terjadi. Kunjungan setengah hari ke pulau Dua membawa kisah tak terduga. Perjalanan pulang dalam gelap merupakan salah satu momen yang tidak akan kulupakan dalam perjalanan ini. Meskipun aku sebenarnya tidak ingin melupakan semua kejadian yang aku alami selama solo trip ini, tapi melaut ditengah kegelapan malam merupakan pengalaman yang amat memicu adrenalin. Begitu intens dalam kegelapan dan ketidaktahuan. Di laut dan di hutan. Cemas dan was-was. Emosiku kerap berada diantara takut, tertantang dan takjub. Excited! Expected the unexpected. Harapanku akan kejadian tak terduga telah terjadi hari itu. Banyak pelajaran yang aku dapat melalui kelima indra dan emosiku. Pelajaran yang dipelajari bukan dari buku, bukan dari ceramah, bukan dari diskusi. Tapi dari pengalaman indra dan emosi. Luar biasa! Kesenangan melakukan perjalanan aku dapatkan dengan maksimal malam itu. Tidak sabar rasanya menunggu kejadian tak terduga selanjutnya. Sampai jumpa di hari ketiga di Enggano!

Kamis, 09 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 11: Hari pertama di Enggano

Hari masih berada pada pertengahan malam ketika kapalku akan merapat ke pelabuhan Kahyapu di Enggano. Pengumuman untuk bersiap kepada para penumpang telah menggema di seluruh sudut kapal. Akhirnya Enggano terlihat meski hanya beberapa kelip lampu redup di kejauhan. Jika tidak ada pengumuman, mungkin aku hanya mengira kelip lampu tersebut berasal dari kapal nelayan, bukan pelabuhan.

Aku memutuskan untuk berkeliling kapal sebelum Pulo Tello benar-benar merapat. Berharap bisa melihat pulau tujuan dengan lebih jelas. Namun hasilnya nihil ditelan kegelapan malam. Enggano gelap gulita! Pelabuhan hampir tidak terlihat. Sorotan lampu mirip lampu jalan saja yang ada.

Tadinya aku berharap dapat menyaksikan rumah-rumah penduduk sepanjang pesisir pelabuhan. Awalnya aku membayangkan desa Kahyapu berada di pelabuhan dan pesisir sekitar pelabuhan penuh dengan rumah-rumah penduduk. Tadinya aku membayangkan setapak jalan dan jejeran rumah-rumah penduduk dekat pelabuhan. Tapi ternyata..

Hutan, hanya hutan dan laut di sekitar pelabuhan. Peradaban masih berada beberapa ratus meter atau beberapa kilometer lagi dari sini. Mendadak, aku merasa bersyukur telah bertemu kerabat Zulfan. Mendadak, aku berharap tuan rumah menjemputku di pelabuhan.

Aku yang kemarin jumawa hendak menginap dulu di pelabuhan jika tiba tengah malam tiba-tiba kehilangan nyali. Bermalam tanpa tenda di pulau terasing yang dikelilingi hutan dan lautan gelap di tengah malam? Benar-benar tidak siap untuk itu!

Untungnya, Zulfan si tuan rumah berada di pelabuhan malam itu. Sang keponakan yang aku kenal di kapal yang membawaku kepadanya. Perawakannya biasa saja, tidak bongsor juga tidak mini. Hanya sedikit lebih kurus dari yang di foto medsosnya.

Kami pun berkenalan, lalu menuju parkiran motor di pelabuhan. Pelabuhan, yah, kalau saja dapat disebut demikian. “Pelabuhan Kahyapu” hanya berupa dermaga dan satu-dua bangunan yang “tidak aktif”. Penerangan hanya seadanya. Aku bahkan tidak ingat ada lampu jalan yang menyala. Sumber lampu seingatku hanya dari kapal dan kendaraan warga yang keluar dari kapal maupun yang menjemput sanak keluarga. Gelap sekali!

Meskipun gelap dan nyaris tidak bisa melihat apa-apa, aku merasa senang dan bangga. Akhirnya terwujud juga keinginan mengunjungi salah satu pulau terluar sekaligus agak terlupakan ini. Sampai juga di Enggano! Rasanya seperti hidup di alam mimpi. Apalagi yang menyambutku ialah kegelapan malam. Lengkap sudah pembauran antara realitas dan mimpi.

Dalam gelap, aku dan Zulfan menuju tempat motor terparkir. Motornya orang Enggano juga unik, rata-rata rodanya offroad. Beberapa motor yang aku lihat bahkan seperti rangka berjalan. Mesin, rangka, jok, dan pijakan kaki. Cukup sudah. Jangan tanya soal plat apalagi surat. Di pulau terpencil, jalan keluar masuk kendaraan bermotor hanya lewat laut. Makanya relatif aman meninggalkan kendaraan disini. Kunci pun kadang masih nyantel saat motor diparkir. Tidak khawatir hilang karena relatif mudah dicari atau ditelusuri, tidak seperti di kota-kota pulau besar.

Motor ala Enggano di pekarangan rumah

Dengan motor ala Enggano itu kami menembus malam menuju rumah Zulfan di desa Ka’ana. Perjalanan menuju kesana cukup mencekam untukku. Jalanan tidak rata, banyak lubang dan penerangan hanya dari kendaraan kami saja. Jangan berharap ada lampu jalan disini. Penerangan tambahan hanya berasal dari rumah-rumah penduduk di desa yang kami lewati. Selebihnya gelap. Beberapa kali kami hampir terperosok. Untung Zulfan sigap menyeimbangkan motor sehingga kami tidak terjembab. Memang aku agak khawatir selepas dari pelabuhan tadi. Berat bebanku ditambah tas di punggung membuat beban motor cenderung berat ke belakang. Apalagi penerangan minim dan jalanan banyak lubang yang cukup dalam.

Lubang dan kubangan sepanjang jalan Kahyapu-Ka'ana. Foto diambil keseokan harinya

Tapi akhirnya kami bisa sampai dengan selamat tanpa terjatuh. Hanya tulang ekorku yang agak sakit oleh benturan-benturan lubang tadi. Begitu pula otot paha yang rasanya pegal sekali, padahal perjalanannya tidak terlalu jauh. Medannya cukup berat rupanya, apalagi dengan kondisi berboncengan seperti itu.

Tempatku menginap selama di Enggano

Yaudahlah, yang penting sampai dengan selamat. Namun listrik di desa Ka’ana sudah padam dari tadi. Listrik di desa-desa Enggano menyala secara kolektif selepas maghrib atau kira-kira jam 6 sore sampai tengah malam, antara jam 11 atau 12 saja.

Untungnya Zulfan memiliki lampu tenaga surya. Dengan daya yang pas-pasan, kami mengobrol sebentar ala kadarnya sebagai perkenalan awal. Dari sini aku tau bahwa pisang merupakan komoditi utama di Enggano. Hasil kebun yang dapat dijual keluar Enggano. Namun sayangnya harga minyak disini cukup tinggi. Maklum, biaya distribusinya juga tidak murah. Oleh karena itu pisang yang dijual keluar Enggano benar-benar tanpa diolah terlebih dahulu. Begitu pula hasil kebun lain seperti cokelat.

Begitulah, hasil obrolan malam itu diisi dengan cerita tentang komoditas dari Enggano. Belum bicara pariwisata, meskipun Zulfan sempat memberitahukan biaya untuk berkunjung ke pulau Dua dan Merbau, dua pulau kecil disekitar Enggano. Tidak panjang obrolan kami malam itu. Sudah terlalu larut dan lelah.


Tidak lama, Zulfan mempersilahkan aku masuk ke kamar tamu. Lucunya di kamar itu kasurnya ditutupi kelambu. Nah, ini pengalaman pertamaku tidur dalam kelambu. Memang, sebelum kemari aku sudah mendengar bahaya malaria di pulau ini. Tapi aku memang lupa menyiapkan pil kina sebagai anti-malaria. Melihat kelambu merah jambu ini, barulah aku teringat kembali akan bahaya malaria. Ah, baca doa saja sebelum tidur. Semoga perlindungan doa dan kelambu merah jambu ini cukup untuk melindungiku dari penyakit yang sering mengancam di pulau-pulau yang masih banyak tertutup hutan tropis seperti Enggano ini.
---

Pagi datang dengan cepat dan dingin. Mendung gerimis menyelimuti Enggano pagi itu. Untungnya setelah beberapa saat matahari muncul. Kesempatan ini segera aku manfaatkan untuk mengambil gambar di sekitar rumah. Hamparan hutan di seberang jalan. Rumah-rumah sederhana dengan rumput yang lembut. Jalanan di depan rumah yang penuh lubang dan kubangan. Aroma Enggano baru terhirup pagi ini. Ia datang terlambat, tapi tidak mengecewakan. Aura petualangan, berada di desa pulau terpencil amat terasa begitu semuanya dapat terlihat. Seru dan menyenangkan!

Sebuah pagi di Enggano

Sayangnya, tidak lama hujan kembali turun. Aku kembali berlindung ke dalam rumah. Menyaksikan hujan dari jendela yang murung. Meresap, menghayati Enggano dalam hujan. Menikmati suasananya. Sampai kantuk menyerang. Tepat pada waktu tidur siang.

Menunggu hujan reda

Bosan mengamati hujan, aku memutuskan untuk tiduran sebentar. Apalagi tuan rumah pun sedang beristirahat di kamarnya. Aku juga tidak ingin terburu-buru dalam perjalanan ini. Menikmati setiap momen lebih penting daripada mengunjungi banyak tempat sekaligus. Begitulah prinsip yang aku pegang dalam perjalanan kali ini.

Berpose sebelum tidur siang bersama di ruang tv

Menjelang sore, hujan baru berhenti. Sebentar aku berkeliling rumah untuk memotret sebelum Zulfan mengajakku ke pantai. Mencari remis katanya, untuk variasi kuah karena sayur agak sulit didapat. Sulit di dapat? Bukankah lahan terhampar luas di Enggano? Ternyata babi masalahnya. Entah siapa yang pertama kali membawa babi ke Enggano, tapi hewan ini menjadi hama yang amat merusak kebun sayur. Oleh karena itu orang-orang Enggano enggan berkebun sayur. Mereka lebih memilih pisang dan cokelat sebagai komoditi ekspor, sebab sayur amat mudah dirusak babi. Seperti memberi makan mereka, katanya. Zulfan juga berteori, sebenarnya mudah untuk membuat orang Enggano makmur: berantas babi diseluruh pulau, niscaya orang Enggano makmur (dari berkebun karena hama utamanya tidak ada). Tapi ini juga dapat menjadi potensi masalah. Hutan Enggano akan terancam jika terlalu banyak lahan yang dibuka untuk ladang. Padahal disini hidup flora-fauna endemik yang (mungkin) belum banyak ditemukan. Hilangnya hutan akan mengancam ekosistem alias rumah mereka. Kemajuan memang harus memperhatikan kelestarian alam.

Kembali ke Enggano. Nah, ternyata pantainya tidak begitu jauh. Dari belakang rumah, kami berjalan menelusuri jalan setapak. Sedikit hutan tropis, lalu berganti hutan bakau, dan sampailah di tepian daratan. Pasir pantai yang kasar dan padang lamun yang luas menyapa kami di sore yang mendung.

Menembus hutan, menuju pantai

Batas ombak nampak jauh di depan sana. Sudah hancur di tepian karang. Tidak sempat menyapa kami di tepi daratan. Hanya agas, sejenis nyamuk bakau namun lebih kecil yang menyapa kami. Merubung di kaki, membuat tidak betah lama-lama diam. Harus terus bergerak sambil mencari remis untuk disayur. Remis yang bersembunyi diantara pasir pantai. Berjongkok dan menggali demi mencari makhluk kecil yang malang ini.

Menggali pasir, mengumpulkan remis

Namun itu tidak cukup untuk mengusir agas-agas nakal ini. Apalagi aku kadang harus berhenti untuk memotret pantai yang tampak murung di sore itu. Ditutupi awan kelabu dan para penghuni pantai yang diam-diam mengintai. Seperti bintang laut belang ini. Atau camar di kejauhan yang tidak tertangkap kamera berlensa lebar. Pantai ini terasa sepi, terasing, dan sedikit mengancam. Tapi bebas sampah. Tidak ada sampah plastik disini. Hanya ada sampah alam yang akan segera di daur ulang oleh siklus. Terasa liar dan sedikit mengancam. Mungkin dari balik hutan sana ada pemangsa? Imajinasi di tempat baru dan asing mulai meliar, seperti alamnya.

Sepi, tenang, dan sedikit mengancam

 Tidak berlama-lama kami di pantai. Hanya untuk mengisi dua botol bekas air mineral ukuran sedang dengan remis lalu beranjaklah kami kembali. Pulang dengan mengambil jalan memutar. Menelusuri sungai kecil dan muncul di sisi lain desa. Menyapa para tetangga sepanjang jalan. Memperhatikan balai desa dan beberapa fasilitas penunjang desa. Tidak ada bank di desa ini. Di pulau Enggano, hanya ada satu bank daerah. Dan satu buah rumah sakit yang akan aku ceritakan nanti.

Merayap di perairan dangkal.. tenang dan mengancam..

Maghrib mulai menjelang di desa Ka’ana, Enggano. Genset desa mulai dihidupkan. Mengalirkan listrik ke rumah-rumah penduduk. Langit mulai gelap, rumah mulai terang. Listrik menghidupkan malam meski hanya setengahnya. Sudah waktunya pulang. Bahan makan malam sudah ditangan. Masak sebentar, lalu disantap dengan sederhana. Kenyanglah perut, senanglah hati. Sedikit obrolan lagi sebelum tidur disela-sela acara tv dari stasiun tv ibukota. Ditangkap dengan parabola yang teronggok disetiap rumah. Aku tidak bisa terlalu lama berbincang. Rasa kantuk datang dengan cepat. Pukul sepuluh lebih sedikit, aku pamit kepada tuan rumah. Bukan pamit pergi, hanya pamit tidur. Kelambu dipasang, kasur digelar. Selamat tidur, Enggano.

Selamat tidur, Enggano.

Solo Trip Swarnadwipa 10: Di atas laut Bengkulu

Perjalanan laut selama lebih dari 4 jam akan terasa membosankan. Apalagi jika sepanjang perjalanan tidak ada “hiburan” seperti kawanan lumba-lumba atau paus yang melintas. Atau rangkaian pulau lain yang berserakan. Perjalanan menuju Enggano memang tidak seperti perjalanan menuju pulau Harapan di kepulauan seribu, dimana banyak pulau yang bisa kita lihat sepanjang perjalanan sebagai variasi pemandangan. Perjalanan menuju Enggano amat monoton. Hanya laut dan langit saja sepanjang perjalanan. Sesenang-senangnya aku menatap laut dan langit, tapi akhirnya bosan juga jika terus dipandangi selama berjam-jam lamanya.

Jepretan terakhir tentang langit dan laut di sore itu..

Mengobrol dengan penumpang lain terasa lebih mengasikkan daripada memandangi laut dan langit. Apalagi aku memang membutuhkan informasi sebanyak mungkin tentang Enggano. Namun ternyata banyak penumpang yang merupakan transmigran. Berasal dari Jawa dan hendak bertani dan membuka ladang di Enggano. Sepertinya ini memang program pemerintah, aku senang melihat sendiri transmigrasi ke luar Jawa karena Indonesia memang bukan hanya Jakarta dan Jawa saja. Wilayah NKRI masih amat luas dan banyak lahan-lahan kosong diluar Jawa untuk ditinggali dan digarap petani.

Iseng mencari informasi seputar Enggano, dapatnya info mengenai awak kapal

Namun berbincang dengan mereka, aku tidak mendapatkan informasi lebih dalam mengenai Enggano seperti tujuanku semula. Aku lantas berkeliling, menyapa orang-orang yang tampak santai dan familiar dengan pelayaran ini. Berharap menemukan penduduk asli Enggano yang dapat memberikan aku informasi lebih mengenai pulau tersebut. Termasuk cara mencapai desa Ka’ana, rumah Zulfan Zavriey, tuan rumahku selama di Enggano.

Terus terang, aku tidak berani berharap Zulfan akan menjemputku di pelabuhan. Yah, namanya saja menumpang, harus tau diri. Jangan terlalu banyak menyusahkan, minta dijemput atau minta dilayani ini-itu. Sebisa mungkin tidak menyusahkan tuan rumah karena kita akan menumpang ditempatnya yang bukan hotel tapi rumahnya sehari-hari. Kita akan berbaur dengan para penghuni rumah sekaligus melihat dan sedikit banyak menjalani keseharian penduduk Enggano bersamanya. Sopan santun sebagai tamu harus terus diingat, tidak hanya agar kita selamat tapi juga terbantu selama perjalanan.

Kembali ke perjalanan. Akhirnya aku menemukan seorang penduduk asli Enggano. Namanya pak Alip. Tepatnya ayah Alip. Alip itu anaknya. Menurut beliau, penduduk Enggano yang sudah memiliki anak, panggilannya berubah sesuai nama anaknya. Biasanya nama anaknya yang pertama. Nah kebetulan ayah Alip ini guru SMA di Enggano. Mengajar agama. Tinggal di desa Meok. Orangnya ramah dan enak diajak bicara. Dari beliau aku mencatat nama-nama desa di Enggano. Berurutan mulai dari Kahyapu (tempat kapal bersandar), lalu Ka’ana, Malakoni, Apoho, Meok, sampai yang terjauh desa Banjarsari di utara. Nah berarti pelabuhan Kahyapu itu di selatan.

Masih menurut beliau lagi, di Enggao memang masih tinggal beberapa suku. Paling tidak ada enam suku disana. Diantaranya Ka’uno, Karubi, Kaitoa.. sisanya lupa aku catat, jadi udah nggak inget (maaf ya buat suku-suku yang tidak aku tulis). Meskipun begitu, rasa kesukuan sudah mulai luntur disana. Peran kades alias kepala desa lebih terasa daripada kepala suku.

Cerita lain yang aku dapatkan ialah tentang penghidupan penduduk Enggano. Rata-rata penduduk Enggao berladang atau berkebun. Hasil kebun yang paling banyak dikembangkan ialah pisang. Selanjutnya kakao, baru setelah itu sayur-sayuran. Tapi kini ada musuh alami bagi para petani, yaitu babi. Ini yang menjadi keluhan umum di Enggano. Dulu katanya tidak ada babi disini. Jelaslah, babi bukan satwa endemik Enggano. Entah siapa yang membawa babi kemari. Padahal penduduk Enggano mayoritas muslim yang tidak menyantap babi.  

Pada kesempatan kali ini, aku pun ingin mengkonfrimasi penamaan Enggano itu sendiri. Meskipun sudah mendapatkan info dari internet mengenai arti Enggano, tapi tidak ada salahnya mengecek kebenarannya lagi dengan bertanya kepada penduduk asli. Sebab informasi yang aku dapatkan dari internet tidak selalu akurat.

Nah untungnya kali ini cerita ayah Alip sesuai dengan apa yang aku baca dari internet. Enggano artinya keliru atau kecewa. Portugis menamainya demikian karena mereka merasa kecewa setelah mengetahui kalau pulau ini bukan penghasil rempah-rempah. Mereka keliru karena awalnya mengira pulau ini terletak di Maluku, sumber rempah-rempah yang menjadi komoditi berharga di Eropa pada abad ke-15 sampai 18. Demikianlah pulau di lepas pantai Bengkulu ini dinamakan.

Kini, pulau Enggano hampir dilupakan dari kancah nasional. Nama Bengkulu sendiri sudah jarang terdengar, apalagi pulau yang harus menempuh perjalanan satu malam dari kota Bengkulu. Makin tenggelamlah nama Enggano pemberitaan nasional. Itu juga yang membuatku memutuskan untuk mengunjungi Enggano. Makin misterius, makin penasaran. Dasar manusia yah..

Obrolan kami berlanjut hingga larut, sampai kami merasa lelah. Untungnya beliau sempat bertanya, dimana aku menginap selama di Enggano. Aku bilang, akan menginap di rumah Zulfan. Rupanya dia kenal. Dan di kapal ada ponakannya Zulfan yang juga bekas murid beliau. Akhirnya setelah perkenalan singkat, ayah Alip mohon diri untuk beristirahat. Aku merasa agak lega karena paling tidak sudah ada koneksi ke Zulfan nanti. Maklum, sejak berlayar sinyal ponsel hilang. Sinyal di Enggano pun konon sulit. Sempat khawatir bagaimana menuju rumah Zulfan sesampainya di Enggano nanti, tapi kini aku sudah agak lega karena sudah bertemu anggota keluarganya.

Selamat tidur, Pulo Tello..

Akhirnya aku bisa tidur dengan agak tenang. Enggano masih beberapa jam lagi. Sekarang, sebaiknya aku merebahkan diri dulu. Berusaha tidur mengingat perjalanan akan selalu membutuhkan tenaga. Jangan sia-siakan kesempatan istirahat. Agak jarang kesempatan untuk meluruskan tubuh dan mengistirahatkan punggung dalam perjalanan ini. Tapi di kapal Pulo Tello ini, aku dapat meluruskan tubuh dan tidur dengan nyenyak meski hanya beberapa jam saja. Selamat tidur, Pulo Tello.

Solo Trip Swarnadwipa 09: Jadi kita berangkat sore ini !

Esoknya, aku bangun kesiangan. Tubuh masih terasa lelah meski matahari sudah tinggi. Aku bangkit dari kasur dengan enggan. Mandi lalu menyapa tuan rumah. Sebenarnya aku merasa agak malu karena bangun terlalu siang. Tapi tubuh masih menuntut istirahat. Kompromi antara etika dan rasa lelah, akhirnya membuatku bangun terlambat.

Dan ternyata tidak lama waktuku berbasa-basi dengan tuan rumah yang baik hati ini. Belum sampai setengah jam ngobrol, pak Norman mendapat kabar dari pelabuhan: kapal akan berangkat siang ini. Membawa penumpang umum, bukan truk BBM.

Nah perkiraanku meleset lagi! Tadinya aku kira kapal akan berangkat sore, tapi tiba-tiba jadwal berganti siang. Untung pak Norman mendapat kabar dari pelabuhan. Untung juga aku menginap di tempat beliau, sehingga mendapat update informasi yang tidak ada di internet. Fiiuuhh!

Setelah menerima kabar ini, kami bergegas menuju pelabuhan. Agak tergesa dan sedikit ngebut di jalan yang (sepertinya) tidak pernah ramai. Dengan berharap-harap cemas semoga kami tidak terlambat. Semoga kapal belum berangkat. Aamiin.

Lucunya, sampai di pelabuhan kapal motor penumpang (KMP) Pulo Tello masih sepi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberangkatan menuju Enggano. Suasananya sama dengan tadi malam minus truk-truk bbm di dalam kapal.

Sudah tidak ada lagi truk-truk BBM di lambung kapal

Kami lantas mendatangi kantor pelabuhan untuk menanyakan kepastian. Hasilnya, kapal memang akan berangkat sebentar lagi. Namun frase “sebentar lagi” disini tidak dapat didefinisikan dengan satuan waktu. Bisa satu jam, bisa tiga jam, bisa juga nanti malam. Luar biasa!

Inilah pengalaman pertamaku berhadapan dengan ketidakjelasan jadwal pelayaran. Belakangan aku tau bahwa ketidakjelasan seperti ini jamak terjadi, apalagi pada rute-rute penyebrangan yang relatif jauh dan lama di kepulauan Maluku dan kepulauan nun jauh di utara Sulawesi. Entah kapan aku bisa menyambangi rangkaian kepulauan legendaris itu..

Kembali ke Bengkulu, kondisi di atas kapal sudah cukup ramai. Ramai oleh calon penumpang yang semalam tidur di kapal. Pagar-pagar pembatas kapal sudah bertambah fungsi menjadi jemuran handuk. Kapal tidak ubahnya kamar besar bagi para calon penumpang. Ada yang habis mandi. Ada yang masih tidur. Ada yang menyusui. Ada yang bergosip. Ada juga yang menyusui sambil bergosip. Lengkap lah pokoknya!

Habis mandi. Selama kapal belum berlayar, tidak usah takut persediaan air bersih habis

Calon penumpang yang menginap di kapal
Setelah beberapa jam menunggu, terdengar suara pemberitahuan melalui pengeras suara di dalam kapal. Loket tiket sudah dibuka. Para penumpang harap turun untuk membeli tiket di kantor pelabuhan! Wah akhirnya sebuah kepastian! Dengan dijualnya tiket, keberangkatan kapal terasa selangkah lebih pasti. Paling tidak dari pihak pelayaran sudah ada niat untuk berlayar. Tidak seperti kemarin yang terombang-ambing tanpa kepastian.

Calon penumpang pun bergerombol di depan loket. Bergerombol, bukan berbaris. Bukan antri. Yah budaya antri masih jauh panggang dari api disini. Pemandangan yang biasa dijumpai di Indonesia. Salah satu kebiasaan buruk selain buang sampah sembarangan. Semoga kebiasaan jelek ini dapat berubah di masa depan, aamiin.

SOP pelayanan. Sudah dipajang di depan loket, tapi masih terasa basa-basi.

Tidak lama kemudian, tiket sudah di tangan. Harga tertera Rp. 59,000,- tapi dibayar enam puluh ribu. Dan anehnya, harga yang tertera pada sobekan karcis untuk petugas dan penumpang beda. Di sobekan karcis untuk petugas, tertera harga Rp. 57,000,- Hmm.. artinya apa yah, hayoooo?

Tiket penyebrangan Bengkulu-Enggano

Sempat terbesit pikiran untuk “menanyakan” selisih harga tersebut kepada petugas. Namun melihat calon penumpang lain nurut-nurut saja, niat ini aku urungkan. Oh iya, hal lain yang tidak biasa ialah disini harga penyebrangan tidak hanya menghitung orang dan kendaraan, tapi juga barang bawaan. Bawaan yang dimaksud disini seperti sembako, atau entah barang-barang apa yang ada dalam kardus yang dibawa calon penumpang ini. Sedikit banyak aku mulai merasakan keterbatasan transportasi dari dan menuju Enggano. Barang yang dibawa tampaknya bekal untuk beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan.

Tapi disini penumpang dilarang membawa bbm dalam dirigen. Padahal pasokan bbm di Enggano terbatas. Mungkin pihak pelayaran memiliki alasannya sendiri. Mungkin karena alasan keamanan. Tapi semoga bukan bentuk monopoli perusahaan tertentu yang mengelola pasokan bbm di Enggano. Semoga.

Setelah menunggu kira-kira 2-3 jam, akhirnya peluit panjang tanda kapal akan bersiap berlayar dibunyikan. Kata calon penumpang disebelahku, setengah jam lagi kapal akan berlayar. Fuiih, adrenaline sedikit terpacu. Merasa bersemangat, penasaran, dan bercampur sedikit rasa takut. Bersemangat, karena akhirnya jadi juga jalan. Penasaran, karena ini kunjungan pertama. Pulau yang amat jarang disebut secara nasional meskipun cukup besar. Jauh dari tujuan wisata pelancong. Pulau terluar yang vital bagi kesatuan NKRI. Seperti apa Enggano? Apakah tuan rumahku benar-benar bersedia menampungku seperti percakapan di media sosial beberapa waktu lalu? Bagaimana mencapai tempatnya dari pelabuhan? Apakah ada transportasi umum? Bisakah aku menumpang kendaraan warga untuk menuju kesana? Dan pertanyaan-pertanyaan khawatir lain yang lahir dari ketidaktahuanku tentang Enggano. Takut yang beralasan. Takut yang excited!

Pulau Baai yang kecil dan bersahaja. Selamat tinggal, akhirnya kami jadi berangkat ke Enggano sore ini!

Menjelang sore, kapal mulai bergetar. Mesin kapal dihidupkan. Awak kapal dan pelabuhan mulai sibuk. Pergerakan kapal mulai terasa. Mencoba membebaskan diri dari dermaga. Tambang pengikat mulai dilepaskan. Perlahan, KMP Pulo Tello menjauh dari dermaga, berbalik arah menuju laut lepas. Melewati pulau Baai. Pulau yang namanya dijadikan nama pelabuhan seolah memberi restu pelayaran ketika kami melewatinya. Pulau kecil ini tampak tenang dan bersahaja. Pohon-pohon pinus yang tumbuh di ujung pulau seperti melambai. Mengucapkan selamat jalan, selamat berlayar. Langit dan lautan biru membentang di haluan kapal. Seolah menunggu kami untuk petualangan baru. Akhirnya, jadi kita ke Enggano sore ini!

Solo Trip Swarnadwipa 08: Tertahan di pulau Baai..

Dari masjid di depan rumah pengasingan Soekarno, aku memutuskan untuk langsung menuju pelabuhan pulau Baii. Meskipun masih siang, aku memutuskan untuk langsung menuju kesana karena takut ketinggalan kapal. Lebih baik datang lebih awal dan menunggu daripada datang belakangan dan terlambat. Begitulah kira-kira prinsipnya.

Setelah tiga kali bertukar angkot, akhirnya aku sampai ke pelabuhan pulau Baii. Suasana pelabuhan sore itu cukup terik dan sepi. Area pelabuhan cukup luas. Pos masuknya sepi tanpa penjaga. Terpaksa masuk ke dalam gedung dalam area pelabuhan. Entah gedung apa. Amat minim keterangan dan penunjuk arah disini. Dimana loket penjualan tiketnya?

Gedung yang aku masuki tampaknya kantor pelabuhan. Aku menanyakan tiket tapi dijawab kapal tidak berangkat hari ini. APAAHH?! Mereka menjawab kalau hari ini ialah jadwal keberangkatan mobil bbm. Tidak boleh angkut penumpang jika sedang mengangkut mobil bbm. Waduh, salah informasi kah aku? Dari hasil browsing, aku mendapatkan informasi kalau kapal Bengkulu-Enggano berangkat dua kali seminggu. Setiap hari Jumat dan Selasa. Apakah jadwal ini sudah berubah?

Kapalnya sih sudah bersandar, tapi belum pasti berangkat sesuai jadwal..

Aku mencoba bernegosiasi dengan pihak pelabuhan. Minta keringanan untuk mengangkut satu penumpang saja. Toh kapalnya pasti cukup untuk seorang penumpang tambahan. Mereka bersikeras untuk menolak dengan gaya arogan ala birokrat orba. Menyebalkan! Sudah minim informasi, jadwalnya tidak teratur lagi. Alasannya: ombak sedang tinggi atau laut sedang badai. 

Belakangan, aku tau bahwa alasan ini merupakan alasan yang sering dipakai oleh petugas pelabuhan jika enggan memberangkatkan kapal. Entah benar-benar badai atau bohong-bohong badai. Toh akses mengenai keadaan cuaca di laut tidak mudah diakses calon penumpang. Tidak mudah dibuktikan kebenaran atau ketidakbenarannya oleh orang awam.

Galau karena tidak dapat tiket, aku memutuskan untuk berisirahat sebentar di teras kantor tersebut. Sebuah kejadian tidak terduga pertama yang aku alami dalam perjalanan ini. Kemanakah aku harus melangkah? Lanjut ke Kerinci atau menunggu keberangkatan kapal yang tidak menentu? Atau bermalam dulu di kota Bengkulu hingga besok, baru menentukan langkah? Masalahnya aku tidak kenal siapa-siapa disini. Lagipula aku tidak menyisihkan budget untuk biaya hotel.

Hari masih sore ketika beberapa calon penumpang memasuki kantor pelabuhan untuk menanyakan tiket. Satu orang menyapaku, menanyakan asal. Aku menjawab dari ibukota. Bingung karena “salah jadwal” dan belum menetapkan langkah selanjutnya. Pak Norman, demikian nama laki-laki itu menjawab bisa nyebrang kok. Hah? Secercah harapan yang semoga enggak palsu. Bagaimana caranya pak? Di dalam (dari pihak pelabuhan) sudah tidak membolehkan. Sepertinya si bapak punya cara lain untuk naik ke kapal.

Nanti kamu naik aja bareng kita, kata pak Norman. Rupanya si bapak sedang menunggu kawannya yang mau berangkat ke Enggano. Rupanya lagi, si bapak merupakan anggota TNI penjaga perbatasan di Enggano. Dua anggotanya ditugaskan berjaga disana. Mereka sedang dalam perjalanan dari kota Curup menuju pelabuhan. Wah harap-harap cemas nih. Masa sih kalo masuk bareng anggota enggak dikasih juga? In shaa Allah ada jalan. Harap-harap cemas jadinya. Tapi mulai ada harapan untuk naik ke kapal dan menuju Enggano.

Semakin sore, semakin banyak calon penumpang  berdatangan. Wah ada banyak kawan, pikirku. Apakah kawan kecewa atau kawan berangkat, aku tidak pasti juga. Yang pasti mereka semua ingin menyebrang ke Enggano. Seperti juga aku. Sepertinya aku tidak salah jadwal. Dari percakapan dengan pak Norman, taulah aku bahwa hari itu (Jumat) memang jadwalnya penumpang. Bbm sendiri jadwalnya minggu. Oalaah, berarti ada perubahan jadwal mendadak disini.

Calon penumpang yang langsung memasuki kapal tanpa ba-bi-bu lagi. Mulai banyak "teman" senasib, hehehe..

Menjelang malam, truk-truk pengangkut bbm mulai berdatangan. Yang aku heran, truk itu bukan milik Pertamina. Pada badan truk tertulis PT Bumi Melabero. Sepertinya perusahaan swasta. Jadi bbm di Enggano dikelola swasta dan bukan Pertamina? Memangnya boleh ya?

Pihak pelabuhan sepertinya sudah menunggu-nunggu kedatangan truk-truk bbm ini. Tampaknya mereka tidak akan memberangkatkan kapal jika truk-truk tersebut belum naik ke kapal. Begitu datang, mereka langsung berbaris menuju kapal yang sudah penuh dengan calon penumpang. Nah ini pasti masalah nih!

Pihak pelabuhan tadi sudah melarang aku menumpang dengan alasan yang sudah disebutkan di atas. Jika mereka masih bersikeras melarang penumpang berlayar seperti mereka harus menurunkan calon penumpang yang sudah bersiap di atas kapal. Bisakah?

Nggak bisa! Meskipun sudah melibatkan pihak berwenang, tapi penumpang tetap tidak mau turun. Aku jadi mendapat beberapa cerita tentang keras kepalanya para penumpang ini. Suatu ketika pihak keamanan yang bertugas meneriaki calon penumpang yang sudah berada di kapal “Turun kamu, ngerti nggak?” tapi bukannya takut atau turun, mereka malah balik menjawab “Nggak pak, ‘turun’ itu apa?” Wahahahaha!

Tapi dari kasus kali ini, taulah aku bahwa para calon penumpang memiliki hak untuk menyebrang. Jadwal penyebrangan penumpang memang hari Jumat dan Selasa, sementara BBM Minggu (berarti aku tidak salah jadwal! Infoku valid!). Rupanya pihak pelabuhan mengubah jadwal secara sepihak tanpa ada sosialisasi secara luas. Pantaslah disambut protes calon penumpang yang keras kepala.
Jadwal keberangkatan pun molor. Dari seharusnya kapal sudah berlayar pukul 17.00, namun sampai pukul 20.00 masih belum ada kepastian, apakah kapal berlayar atau tidak. Setengah jam kemudian terdengar pengumuman diseluruh kapal: Ada badai di laut Enggano malam ini. Kapal tidak bisa diberangkatkan. Supir truk diminta unloading, menurunkan truk bbm dari dalam kapal. Calon penumpang pun dipersilahkan pulang.

Menunggu kepastian berlayar bagaikan menunggu Godot

Pulang? Wah masalah lagi nih. Aku tidak menyiapkan budget untuk menginap di Bengkulu. Jarak dari pelabuhan ke kota juga jauh! Sementara angkutan umum sudah berhenti beroperasi sejak maghrib tadi. Nah bingung deh, harus ngapain ya?

Kebingungan ini juga disertai rasa lapar. Maklum, sudah waktunya makan malam. Jadi aku memutuskan untuk mencari warung nasi sekitar pelabuhan. Dari jauh sih sepertinya ada warung makan yang masih buka di tepi jalan raya. Ke sana lah aku melangkahkan kaki. Mengisi perut sambil memikirkan langkah berikutnya..

Warung nasi dekat pelabuhan sudah banyak yang tutup tapi masih ada yang buka. Pilihan tidak banyak. Makan saja sudah. Yang penting perut terisi dan tidak sakit. Soal rasa, abaikan saja. Harganya juga sedikit lebih mahal dari harga warteg tapi masih sesuai budget.

Setelah perut terisi, aku memutuskan untuk bermalam di kapal atau sekitar kantor pelabuhan saja. Toh pasti ada tempat untuk merebahkan diri. Aku selalu membawa tikar gulung untuk situasi seperti ini. Mudah-mudahan ada tempat yang agak tertutup. Maklum, angin malam yang berhembus dari laut dapat membawa pengaruh buruk bagi tubuh yang tidak terbiasa tidur di alam terbuka.

Namun rejeki tidak lari kemana. Baru saja menyebrang jalan menuju kantor pelabuhan, aku kembali bertemu pak Norman. Bertanya beliau aku hendak kemana. Aku menjawab hendak bermalam di kapal. Nah disini rejekiku datang. Pak Norman yang baik hati ini menawarkan aku untuk menginap di rumahnya. Lebih aman daripada di kapal, katanya. Inilah tawaran yang tidak mungkin aku tolak.
Maka dengan membonceng motor beliau, berangkatlah aku menuju rumahnya. Lumayan jauh, sekitar 20 menit berkendara dengan motor di jalan yang sepi, sampailah aku ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, aku mendengarkan sepotong cerita tentang Bengkulu.

Meskipun sudah menjadi provinsi sendiri, Bengkulu masih agak tertinggal pembangunannya. Kalah jauh pamornya dari tetangganya, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan. Salah satu indikasi ketertinggalan yang aku rasakan ialah sulitnya mencari transportasi umum menuju Bengkulu. Jalur kereta tidak sampai ke sini. Bis AKAP Sumatra pun tidak melintas ke Bengkulu. Mereka hanya memilih jalur lintas timur yang lebih ramai dan melintasi ibukota propinsi seperti Palembang, Jambi, Pekanbaru, hingga Medan.

Secara fisik, pembangunan kota pun sepertinya tidak terlalu pesat. Malah aku merasa kampung ayahku di Blitar lebih ramai daripada Bengkulu ini. Padahal Bengkulu statusnya ibukota propinsi, sedangkan Blitar hanya ibukota kabupaten saja. Isu pemerataan pembangunan masih nyata dan cukup terasa di Bengkulu. Padahal Indonesia bukan hanya Jakarta dan Jawa. Bengkulu juga Indonesia!

Wah bagaimana di Enggano nanti ya batinku. Jika ibukota propinsinya saja tidak terlalu ramai, bagaimana kondisi pulau terluarnya yang berjarak satu malam perjalanan laut dari daratan utama? 

Rasa penasaranku makin besar malam itu dan menjadi penghantar tidur. Pak Norman meminjamkan salah satu kontrakan petaknya kepadaku. Rasa lelah sejak perjalanan dari Palembang kemarin malam telah menjadi obat tidur yang mujarab. Pelor, nempel langsung molor. Begitulah kondisiku setelah sampai ke tempat istirahat. Tidur tanpa basa-basi. Besok saja lanjut berbasa-basi dengan tuan rumah. Selamat malam, Bengkulu..