Senin, 27 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 13: Enggano Road Trip

Pagi ketiga di Enggano datang dengan cepat. Aku bangun terlambat. Matahari baru saja muncul dari sela-sela pepohonan hutan tropis. Kehidupan di Enggano menggeliat dengan pelan. Alvin, anak pertama Zulfan sedang bersiap masuk sekolah. Sedikit merengek memintaku mengantarnya alih-alih ayahnya. Ada sedikit rasa sungkan yang segera lenyap ketika Zulfan memberiku kunci motornya. Dia tidak keberatan anaknya memilihku untuk menemaninya berangkat sekolah.

Aku memang paling senang bermotor ria. Mencoba kerangka motor bermesin ala Enggano rasanya cukup menyenangkan meski hanya sebentar. Mesinnya mati-nyala, agak sulit untuk distarter. Tapi diluar itu, semuanya baik-baik saja. Bisa jalan, bisa seimbang, bisa dibonceng. Cukuplah dikatakan baik.

Jalanan hanya ada satu di Enggano. Kami menelusuri jalan menuju utara untuk menuju ke sekolah. Jaraknya tidak sampai dua kilometer dari rumah sampai sekolah. Sekolah Alvin. Satu-satunya sekolah taman kanak-kanak di desa Ka’ana. Dari luar, fasilitasnya tampak cukup untuk ukuran sekolah desa. Entah bagaimana mutu pendidikan atau kegiatan di tk ini, aku tidak sempat mencari tau lebih jauh.

Sekembalinya dari sekolah, aku bersiap untuk road trip menjelajah desa-desa di Enggano. Bergegas mandi dan berganti pakaian sementara Zulfan berkeliling kampung untuk mencari bbm. Pasokan datang terlambat karena insiden di pelabuhan beberapa hari lalu. Bahan bakar minyak mulai langka di Enggano. Beberapa tetangga bahkan datang ke rumah untuk menanyakan persediaan bbm, barangkali masih ada lebih sehingga bisa dibagi. Tapi nihil karena keluarga Zulfan pun sedang mencari tambahan bensin untuk membawaku berkeliling pulau. Bbm sedang menjadi isu saat itu.

Namun entah bagaimana, Zulfan berhasil mendapatkan bbm untuk motornya. Dua liter cukuplah karena motornya memang jenis yang irit bensin. Modal untuk menelusuri empat desa lain selain Ka’ana, desa Zulfan berada dan Kahyapu, desa dimana pelabuhan Enggano berada. Sebenarnya ada satu lagi pelabuhan di Malakoni, tapi jadwalnya tidak serutin pelabuhan Kahyapu. Malakoni sendiri merupakan pusat administrasi di Enggano. Satu-satunya desa di Enggano yang memiliki SMA.

Usaha Zulfan mendapatkan bbm sepertinya juga tidak mudah. Menjelang siang dia baru pulang. Kami memutuskan untuk makan siang dulu sebelum berkeliling pulau. Makan siang sederhana dengan lauk berbahan dasar ikan. Hampir setiap kali makan, ikan selalu ada. Rasanya giziku selama di Enggano amat tercukupi. Entah ikan apa aku lupa bertanya. Yang penting cukup makan agar ada tenaga. Juga agar bisa bahagia.

Setelah mengisi perut, kami memulai perjalanan menuju Banjarsari. Desa terjauh di Enggano. Perjalanan menuju desa Banjarsari akan melewati desa Meok, Malakoni, dan Apoho. Ketiga desa ini letaknya berdekatan sehingga batas desa kurang terlihat. Sedangkan dari desa kami, Ka’ana sampai ke Apoho jaraknya beberapa kilometer. Dan dari desa Meok ke desa Banjarsari pun demikian sehingga antara Meok-Banjarsari maupun Ka’ana-Apoho amat ketara pergantian desanya.

Pemberhentian pertama kami ialah pelabuhan Malakoni. Pelabuhan ini cukup besar dan lebih bagus daripada di Kahyapu, tempat aku mendarat di Enggano. Jarak antara pelabuhan Malakoni dengan rumah penduduk pun dekat, sesuai dengan bayangan awalku tentang pulau ini.

Sebuah kapal tertambat sendirian di dermaga sepi Malakoni

Pelabuhan Malakoni amat sepi siang itu. Hanya sebuah kapal tertambat di dermaga. Kantor pelabuhan tutup. Malakoni tampak sunyi tapi aku sangsi desa ini pernah ramai. Kecuali mungkin, ketika kapal besar merapat di dermaga pelabuhan.

Tapi siang itu hanya ada satu kapal tertambat. Tampak kesepian. Di Malakoni ada penjual bensin eceran. Pertamini. Satu-satunya yang kulihat selama di Enggano. Tentu saja pertamini ini tutup. Bensin sedang langka di Enggano. Pertamini Enggano sedang kehilangan komoditasnya. Tidak ada yang ditawarkan, jadi tutup saja. Lebih baik mengerjakan yang lain sambil menunggu pasokan. Mungkin menengok ladang. Mungkin memancing ikan. Atau mungkin hanya sekedar beristirahat. Yang pasti sedang tidak berdagang bensin.

Selfie sebelum pergi

Setelah sebentar mengambil gambar di pelabuhan, kami pun melanjutkan perjalanan. Menuju Banjarsari. Desa paling utara. Sekalian mengunjungi kerabat Zulfan yang tinggal disana. Entah mengapa desanya terpisah jauh meski masih berkerabat. Mungkin tuntunan nasib atau guratan takdir.

Tapi hikmahnya aku jadi mendapat variasi narasumber. Cerita dari orang lain di desa lain tentang Enggano. Kerabat Zulfan ini petani cokelat. Setelah pisang, komoditas Enggano selanjutnya adalah cokelat. Bukan cokelat hasil olahan tapi hanya kakao kering yang dijemur sepanjang hari disekitar rumah.

Kakao yang dijemur disekitar rumah

Kakao konon komoditas unggulan kedua di Enggano setelah pisang

Sayangnya rumah itu sepi saat kami datangi. Sedang di kebun, kata tetangganya. Duduk sebentar, sekedar menyeruput kopi sambil melepas lelah, kami juga disuguhi jeruk liar yang pohonnya banyak tumbuh disekitar rumah. Rasanya sedikit manis dan banyak asamnya. Iseng mencari buah tangan, kami meminta sebuah karung dan memetik sendiri jeruk-jeruk yang ada di halaman belakang. Bukan kualitas terbaik tapi cukup lah untuk oleh-oleh orang desa.

Jeruk liar sekitar kebun. Rasanya agak asam.

Rumah kerabat Zulfan di Banjarsari lebih dekat ke laut daripada hutan. Hanya berjarak beberapa ratus meter menembus semak belukar, laut sudah terlihat. Sepi sebagaimana desa. Hamparan pasirnya tidak terlalu luas dari batas semak. Bersih dan sudah pasti tanpa sampah. Pantai idaman para warga kota besar. Untungnya aku tidak tergoda untuk berenang. Selain sudah terlalu sore, aku juga tidak membawa pakaian ganti. Hanya beberapa jepretan lalu kami pamit meninggalkan Banjarsari.

Pantai yang berjarak tidak sampai lima ratus meter dari rumah tadi

Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke satu pantai lagi. Pantai yang belakangan aku tahu namanya Bakblau ini rupanya tempat rekreasi favorit warga Enggano. Sudah ada jalan berbatu dari jalanan utama menuju pantai. DI jalan yang sempit itu kami beberapa kali berpapasan dengan mobil bak terbuka yang berisi penuh manusia dalam bak tersebut. Rombongan semobil tapi tidak sampai sekampung.

Jalan setapak berakhir di pantai. Tapi bukan pantai Bakblau. Masih ada beberapa ratus meter lagi untuk mencapai pantai tersebut. Perjalanan berubah offroad di atas pasir pantai. Ini pertama kalinya aku offroad di pantai. Rasanya luar biasa! Apalagi ketika pulang dari Bakblau. Berkendara di tepi laut dengan latar matahari tenggelam. Pengalaman pertama yang tidak terlupakan. Moment terbaik di hari itu. Mungkin moment terbaik bagiku selama mengunjungi Enggano. Bebas, lepas, merdeka!

Moment terbaik selama di Enggano. Bermotor off-road sepanjang pantai pada waktu petang. 

Kembali ke Bakblau, disana kami mendapati beberapa mobil dan motor terparkir dipinggir pantai. Dua rombongan besar sedang bermain bola di tepi pantai. Dengan gawang dari galah mereka menggelar permainan terpopuler sejagad. Lucunya, “lapangan” mereka juga merupakan muara sungai. Jadi aliran air terus mengalir menuju laut. Lapangan yang selalu basah oleh air asin dan air tawar. Tapi mereka tidak perduli. Yang penting lari dan tendang bolanya, asal jangan sampai kepeleset karena akan menjadi bahan tertawaan semua orang.

Pantai favorit warga Enggano untuk rekreasi

Sungai yang bermuara di Bakblau pun ramai disinggahi. Meskipun ramai yang aku maksud tidak sampai 20 orang, tapi jeritan keceriaan mereka mengisi ruang-ruang kosong di hutan dan sungai sore itu. Semoga saja tidak ada buaya atau ular yang datang bertamu.

Sungai yang bermuara di Bakblau

Dari Bakblau perjalanan cukup panjang untuk mencapai Ka’ana. Maghrib hampir datang ketika kami kembali. Listrik sudah mengaliri desa. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Setibannya dirumah, adzan maghrib terdengar dari masjid. Aku buru-buru mandi sebelum gelap. Maklum, kamar mandinya berada diluar rumah, persis di tepi hutan. Aku tidak mau dikunjungi macam-macam serangga ketika mandi, apalagi dikunjungi dalam gelap.

Mandi, maghrib, lalu makan. Sehari ini rasanya cukup penuh kepala dan kenangan. Akhirnya aku mendapat gambaran awal tentang keadaan desa-desa di pulau terpencil. Sayangnya meski di Enggano ada beberapa suku, namun rasa kesukuannya tidak terlalu kuat. Rumah adat memang masih ada, namun fungsinya sepertinya kalah oleh balai desa. Peranan kepala suku pun tidak terlalu terlihat. Kalah jauh dengan peranan kepala desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah.

Satu kesan lagi yang aku rasakan ialah betapa jauh kesenjangan pembangunan terasa disini. Pemerataan pembangunan tampak seperti omong kosong. Mulai dari urusan listrik, jalanan, hingga fasilitas kesehatan terasa mengenaskan. Memang sudah ada rumah sakit di Enggano, tapi yang disebut rumah sakit hanyalah semacam kontainer yang dicat hijau dan dirubah fungsinya menjadi ruang-ruang perawatan.

Rumah sakit satu-satunya di Enggano. Tutup diwaktu sore. Sepertinya tidak memungkinkan untuk rawat inap. Jangan sakit di pulau terpencil

Aku tidak sempat memotret dalamnya karena rumah sakit sudah tutup ketika kami melintas. Kebetulan aku berpapasan dengan penjaga kunci yang rumahnya berada tepat diseberang jalan. Antara rumah sakit dan rumah penjaga kunci hanya dipisahkan jalan raya beralaskan batu kapur dan penuh lubang. Aku tidak sempat berbincang banyak dengan bapak penjaga kunci. Sudah terlalu sore waktu itu. Tapi kesan yang terasa dalam benakku ialah agar jangan sampai sakit di pulau terpencil. Tidak mungkin dirawat inap disini karena listrik hanya mengalir setengah malam. Rumah sakit buka setengah hari.


Aku tidak tau apakah keadaan Enggano dapat mewakili kondisi pulau-pulau terpencil Nusantara. Tapi yang pasti, aku merasa pulau ini amat terbaikan. Ketika pilkada ibukota terdengar begitu gaduh, rusuh dan menyedot terlalu banyak perhatian, sebaiknya kita juga ingat bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta dan Jawa. Enggano juga Indonesia. Enggano juga butuh perhatian. Meskipun aku amat mengidamkan Enggano bisa mandiri dan membantu Enggano berdiri sendiri. Semoga ini dapat menjadi doa. Semoga di masa depan kita dapat membantu pemerataan pembangunan tanpa bergantung pada pemerintah pusat. Mari mandiri, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar