Kamis, 09 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 10: Di atas laut Bengkulu

Perjalanan laut selama lebih dari 4 jam akan terasa membosankan. Apalagi jika sepanjang perjalanan tidak ada “hiburan” seperti kawanan lumba-lumba atau paus yang melintas. Atau rangkaian pulau lain yang berserakan. Perjalanan menuju Enggano memang tidak seperti perjalanan menuju pulau Harapan di kepulauan seribu, dimana banyak pulau yang bisa kita lihat sepanjang perjalanan sebagai variasi pemandangan. Perjalanan menuju Enggano amat monoton. Hanya laut dan langit saja sepanjang perjalanan. Sesenang-senangnya aku menatap laut dan langit, tapi akhirnya bosan juga jika terus dipandangi selama berjam-jam lamanya.

Jepretan terakhir tentang langit dan laut di sore itu..

Mengobrol dengan penumpang lain terasa lebih mengasikkan daripada memandangi laut dan langit. Apalagi aku memang membutuhkan informasi sebanyak mungkin tentang Enggano. Namun ternyata banyak penumpang yang merupakan transmigran. Berasal dari Jawa dan hendak bertani dan membuka ladang di Enggano. Sepertinya ini memang program pemerintah, aku senang melihat sendiri transmigrasi ke luar Jawa karena Indonesia memang bukan hanya Jakarta dan Jawa saja. Wilayah NKRI masih amat luas dan banyak lahan-lahan kosong diluar Jawa untuk ditinggali dan digarap petani.

Iseng mencari informasi seputar Enggano, dapatnya info mengenai awak kapal

Namun berbincang dengan mereka, aku tidak mendapatkan informasi lebih dalam mengenai Enggano seperti tujuanku semula. Aku lantas berkeliling, menyapa orang-orang yang tampak santai dan familiar dengan pelayaran ini. Berharap menemukan penduduk asli Enggano yang dapat memberikan aku informasi lebih mengenai pulau tersebut. Termasuk cara mencapai desa Ka’ana, rumah Zulfan Zavriey, tuan rumahku selama di Enggano.

Terus terang, aku tidak berani berharap Zulfan akan menjemputku di pelabuhan. Yah, namanya saja menumpang, harus tau diri. Jangan terlalu banyak menyusahkan, minta dijemput atau minta dilayani ini-itu. Sebisa mungkin tidak menyusahkan tuan rumah karena kita akan menumpang ditempatnya yang bukan hotel tapi rumahnya sehari-hari. Kita akan berbaur dengan para penghuni rumah sekaligus melihat dan sedikit banyak menjalani keseharian penduduk Enggano bersamanya. Sopan santun sebagai tamu harus terus diingat, tidak hanya agar kita selamat tapi juga terbantu selama perjalanan.

Kembali ke perjalanan. Akhirnya aku menemukan seorang penduduk asli Enggano. Namanya pak Alip. Tepatnya ayah Alip. Alip itu anaknya. Menurut beliau, penduduk Enggano yang sudah memiliki anak, panggilannya berubah sesuai nama anaknya. Biasanya nama anaknya yang pertama. Nah kebetulan ayah Alip ini guru SMA di Enggano. Mengajar agama. Tinggal di desa Meok. Orangnya ramah dan enak diajak bicara. Dari beliau aku mencatat nama-nama desa di Enggano. Berurutan mulai dari Kahyapu (tempat kapal bersandar), lalu Ka’ana, Malakoni, Apoho, Meok, sampai yang terjauh desa Banjarsari di utara. Nah berarti pelabuhan Kahyapu itu di selatan.

Masih menurut beliau lagi, di Enggao memang masih tinggal beberapa suku. Paling tidak ada enam suku disana. Diantaranya Ka’uno, Karubi, Kaitoa.. sisanya lupa aku catat, jadi udah nggak inget (maaf ya buat suku-suku yang tidak aku tulis). Meskipun begitu, rasa kesukuan sudah mulai luntur disana. Peran kades alias kepala desa lebih terasa daripada kepala suku.

Cerita lain yang aku dapatkan ialah tentang penghidupan penduduk Enggano. Rata-rata penduduk Enggao berladang atau berkebun. Hasil kebun yang paling banyak dikembangkan ialah pisang. Selanjutnya kakao, baru setelah itu sayur-sayuran. Tapi kini ada musuh alami bagi para petani, yaitu babi. Ini yang menjadi keluhan umum di Enggano. Dulu katanya tidak ada babi disini. Jelaslah, babi bukan satwa endemik Enggano. Entah siapa yang membawa babi kemari. Padahal penduduk Enggano mayoritas muslim yang tidak menyantap babi.  

Pada kesempatan kali ini, aku pun ingin mengkonfrimasi penamaan Enggano itu sendiri. Meskipun sudah mendapatkan info dari internet mengenai arti Enggano, tapi tidak ada salahnya mengecek kebenarannya lagi dengan bertanya kepada penduduk asli. Sebab informasi yang aku dapatkan dari internet tidak selalu akurat.

Nah untungnya kali ini cerita ayah Alip sesuai dengan apa yang aku baca dari internet. Enggano artinya keliru atau kecewa. Portugis menamainya demikian karena mereka merasa kecewa setelah mengetahui kalau pulau ini bukan penghasil rempah-rempah. Mereka keliru karena awalnya mengira pulau ini terletak di Maluku, sumber rempah-rempah yang menjadi komoditi berharga di Eropa pada abad ke-15 sampai 18. Demikianlah pulau di lepas pantai Bengkulu ini dinamakan.

Kini, pulau Enggano hampir dilupakan dari kancah nasional. Nama Bengkulu sendiri sudah jarang terdengar, apalagi pulau yang harus menempuh perjalanan satu malam dari kota Bengkulu. Makin tenggelamlah nama Enggano pemberitaan nasional. Itu juga yang membuatku memutuskan untuk mengunjungi Enggano. Makin misterius, makin penasaran. Dasar manusia yah..

Obrolan kami berlanjut hingga larut, sampai kami merasa lelah. Untungnya beliau sempat bertanya, dimana aku menginap selama di Enggano. Aku bilang, akan menginap di rumah Zulfan. Rupanya dia kenal. Dan di kapal ada ponakannya Zulfan yang juga bekas murid beliau. Akhirnya setelah perkenalan singkat, ayah Alip mohon diri untuk beristirahat. Aku merasa agak lega karena paling tidak sudah ada koneksi ke Zulfan nanti. Maklum, sejak berlayar sinyal ponsel hilang. Sinyal di Enggano pun konon sulit. Sempat khawatir bagaimana menuju rumah Zulfan sesampainya di Enggano nanti, tapi kini aku sudah agak lega karena sudah bertemu anggota keluarganya.

Selamat tidur, Pulo Tello..

Akhirnya aku bisa tidur dengan agak tenang. Enggano masih beberapa jam lagi. Sekarang, sebaiknya aku merebahkan diri dulu. Berusaha tidur mengingat perjalanan akan selalu membutuhkan tenaga. Jangan sia-siakan kesempatan istirahat. Agak jarang kesempatan untuk meluruskan tubuh dan mengistirahatkan punggung dalam perjalanan ini. Tapi di kapal Pulo Tello ini, aku dapat meluruskan tubuh dan tidur dengan nyenyak meski hanya beberapa jam saja. Selamat tidur, Pulo Tello.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar