Perjalanan laut selama lebih dari 4 jam akan terasa
membosankan. Apalagi jika sepanjang perjalanan tidak ada “hiburan” seperti
kawanan lumba-lumba atau paus yang melintas. Atau rangkaian pulau lain yang
berserakan. Perjalanan menuju Enggano memang tidak seperti perjalanan menuju
pulau Harapan di kepulauan seribu, dimana banyak pulau yang bisa kita lihat
sepanjang perjalanan sebagai variasi pemandangan. Perjalanan menuju Enggano
amat monoton. Hanya laut dan langit saja sepanjang perjalanan.
Sesenang-senangnya aku menatap laut dan langit, tapi akhirnya bosan juga jika
terus dipandangi selama berjam-jam lamanya.
Jepretan terakhir tentang langit dan laut di sore itu.. |
Mengobrol dengan penumpang lain terasa lebih mengasikkan
daripada memandangi laut dan langit. Apalagi aku memang membutuhkan informasi
sebanyak mungkin tentang Enggano. Namun ternyata banyak penumpang yang
merupakan transmigran. Berasal dari Jawa dan hendak bertani dan membuka ladang
di Enggano. Sepertinya ini memang program pemerintah, aku senang melihat
sendiri transmigrasi ke luar Jawa karena Indonesia memang bukan hanya Jakarta
dan Jawa saja. Wilayah NKRI masih amat luas dan banyak lahan-lahan kosong
diluar Jawa untuk ditinggali dan digarap petani.
Iseng mencari informasi seputar Enggano, dapatnya info mengenai awak kapal |
Namun berbincang dengan mereka, aku tidak mendapatkan
informasi lebih dalam mengenai Enggano seperti tujuanku semula. Aku lantas
berkeliling, menyapa orang-orang yang tampak santai dan familiar dengan
pelayaran ini. Berharap menemukan penduduk asli Enggano yang dapat memberikan
aku informasi lebih mengenai pulau tersebut. Termasuk cara mencapai desa
Ka’ana, rumah Zulfan Zavriey, tuan rumahku selama di Enggano.
Terus terang, aku tidak berani berharap Zulfan akan
menjemputku di pelabuhan. Yah, namanya saja menumpang, harus tau diri. Jangan
terlalu banyak menyusahkan, minta dijemput atau minta dilayani ini-itu. Sebisa
mungkin tidak menyusahkan tuan rumah karena kita akan menumpang ditempatnya
yang bukan hotel tapi rumahnya sehari-hari. Kita akan berbaur dengan para
penghuni rumah sekaligus melihat dan sedikit banyak menjalani keseharian
penduduk Enggano bersamanya. Sopan santun sebagai tamu harus terus diingat,
tidak hanya agar kita selamat tapi juga terbantu selama perjalanan.
Kembali ke perjalanan. Akhirnya aku menemukan seorang
penduduk asli Enggano. Namanya pak Alip. Tepatnya ayah Alip. Alip itu anaknya.
Menurut beliau, penduduk Enggano yang sudah memiliki anak, panggilannya berubah
sesuai nama anaknya. Biasanya nama anaknya yang pertama. Nah kebetulan ayah
Alip ini guru SMA di Enggano. Mengajar agama. Tinggal di desa Meok. Orangnya
ramah dan enak diajak bicara. Dari beliau aku mencatat nama-nama desa di
Enggano. Berurutan mulai dari Kahyapu (tempat kapal bersandar), lalu Ka’ana,
Malakoni, Apoho, Meok, sampai yang terjauh desa Banjarsari di utara. Nah
berarti pelabuhan Kahyapu itu di selatan.
Masih menurut beliau lagi, di Enggao memang masih tinggal
beberapa suku. Paling tidak ada enam suku disana. Diantaranya Ka’uno, Karubi,
Kaitoa.. sisanya lupa aku catat, jadi udah
nggak inget (maaf ya buat suku-suku yang tidak aku tulis). Meskipun begitu,
rasa kesukuan sudah mulai luntur disana. Peran kades alias kepala desa lebih
terasa daripada kepala suku.
Cerita lain yang aku dapatkan ialah tentang penghidupan
penduduk Enggano. Rata-rata penduduk Enggao berladang atau berkebun. Hasil
kebun yang paling banyak dikembangkan ialah pisang. Selanjutnya kakao, baru
setelah itu sayur-sayuran. Tapi kini ada musuh alami bagi para petani, yaitu
babi. Ini yang menjadi keluhan umum di Enggano. Dulu katanya tidak ada babi
disini. Jelaslah, babi bukan satwa endemik Enggano. Entah siapa yang membawa
babi kemari. Padahal penduduk Enggano mayoritas muslim yang tidak menyantap
babi.
Pada kesempatan kali ini, aku pun ingin mengkonfrimasi
penamaan Enggano itu sendiri. Meskipun sudah mendapatkan info dari internet
mengenai arti Enggano, tapi tidak ada salahnya mengecek kebenarannya lagi
dengan bertanya kepada penduduk asli. Sebab informasi yang aku dapatkan dari
internet tidak selalu akurat.
Nah untungnya kali ini cerita ayah Alip sesuai dengan apa
yang aku baca dari internet. Enggano artinya keliru atau kecewa. Portugis
menamainya demikian karena mereka merasa kecewa setelah mengetahui kalau pulau
ini bukan penghasil rempah-rempah. Mereka keliru karena awalnya mengira pulau
ini terletak di Maluku, sumber rempah-rempah yang menjadi komoditi berharga di
Eropa pada abad ke-15 sampai 18. Demikianlah pulau di lepas pantai Bengkulu ini
dinamakan.
Kini, pulau Enggano hampir dilupakan dari kancah nasional.
Nama Bengkulu sendiri sudah jarang terdengar, apalagi pulau yang harus menempuh
perjalanan satu malam dari kota Bengkulu. Makin tenggelamlah nama Enggano
pemberitaan nasional. Itu juga yang membuatku memutuskan untuk mengunjungi
Enggano. Makin misterius, makin penasaran. Dasar manusia yah..
Obrolan kami berlanjut hingga larut, sampai kami merasa
lelah. Untungnya beliau sempat bertanya, dimana aku menginap selama di Enggano.
Aku bilang, akan menginap di rumah Zulfan. Rupanya dia kenal. Dan di kapal ada
ponakannya Zulfan yang juga bekas murid beliau. Akhirnya setelah perkenalan
singkat, ayah Alip mohon diri untuk beristirahat. Aku merasa agak lega karena
paling tidak sudah ada koneksi ke Zulfan nanti. Maklum, sejak berlayar sinyal
ponsel hilang. Sinyal di Enggano pun konon sulit. Sempat khawatir bagaimana
menuju rumah Zulfan sesampainya di Enggano nanti, tapi kini aku sudah agak lega
karena sudah bertemu anggota keluarganya.
Selamat tidur, Pulo Tello.. |
Akhirnya aku bisa tidur dengan agak tenang. Enggano masih
beberapa jam lagi. Sekarang, sebaiknya aku merebahkan diri dulu. Berusaha tidur
mengingat perjalanan akan selalu membutuhkan tenaga. Jangan sia-siakan
kesempatan istirahat. Agak jarang kesempatan untuk meluruskan tubuh dan
mengistirahatkan punggung dalam perjalanan ini. Tapi di kapal Pulo Tello ini,
aku dapat meluruskan tubuh dan tidur dengan nyenyak meski hanya beberapa jam
saja. Selamat tidur, Pulo Tello.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar