Jumat, 05 Februari 2016

Lombok Road Trip 2 - Masjid Bayan Beleq dan Labuhan Lombok

Lanjutan Lombok Road Trip 1 -

Setelah menikmati pantai Tebing, kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalur lingkar utara Lombok. Dari pantai Tebing, kini kami memasuki wilayah Bayan. Daerah ini cukup populer bagi para pendaki Rinjani. Di desa Bayan terdapat pula air terjun Sendang Gile dan masjid kuno Bayan yang cukup terkenal di kalangan traveller.

Kami sempat menemukan papan arah menuju air terjun Sendang Gile tapi kami memutuskan untuk melewatinya. Hal ini dikarenakan kami yakin bahwa untuk menikmati air terjun dibutuhkan waktu yang tidak sebentar. Paling tidak satu jam sampai satu jam setengah terhitung untuk kembali ke jalur utama. Setengah jam untuk memasuki kawasan air terjun. Satu jam untuk trekking dan menikmati air terjunnya. Terlalu lama bagi kami. Perjalanan masih sangat panjang dan kami tidak ingin terlalu malam kembali ke Mataram.

Lain halnya dengan masjid kuno Bayan Beleq yang terletak persis di pinggir jalan. Mengunjungi masjid ini hanya butuh waktu lima belas menit saja. Selain kompleksnya tidak terlalu besar, bangunan yang menarik juga tidak banyak. Selain masjid itu sendiri, hanya ada makam-makam (beleq) tokoh agama yang ikut menyebarkan Islam di Lombok.

Dari luar, masjid ini tampak sama seperti rumah-rumah warga sekitar. Berbentuk kotak, ukuran 9 x 9 meter, dan temboknya terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pondasinya disusun dari batu kali dan lantainya hanya beralaskan tanah liat. Di tengah-tengah masjid tergantung gong (beduk) dan dikelilingi oleh penyangga bangunan yang konon berasal dari kayu nangka. Masjid ini sendiri dikunci ketika kami mengunjunginya. Konon, masjid ini dibuka dan digunakan hanya pada waktu-waktu tertentu seperti Idul Fitri.

Masjid kuno Bayan Beleq

Pintunya dikunci. Dibuka hanya pada saat-saat tertentu seperti Idul Fitri

Bagian dalam masjid hasil ngintip dari celah bambu. Beduk besar tergantung di tengah masjid. 

Secara fisik, bangunan masjid ini sangat biasa. Yang menjadikan masjid ini istimewa ialah sejarahnya. Masjid kuno Bayan Beleq konon sudah berdiri sejak abad ke-17. Masjid ini juga merupakan tonggak sejarah penyebaran Islam di Lombok. Konon, Islam masuk pertama kali ke Lombok melalui daerah Bayan ini. Masjid ini juga sudah ditetapkan sebagai benda cagar budaya.

Sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya

Memasuki masjid ini kami tidak dikenakan biaya khusus atau tiket masuk. Namun diakhir kunjungan kami diminta mengisi buku tamu lalu diminta untuk memberikan sumbangan seikhlasnya. Dan kami berikan seikhlas yang kami mampu. Selain itu kami juga dikenakan biaya parkir standar objek wisata. Lima ribu untuk motor dan sepuluh ribu untuk mobil.

Selepas masjid kuno, kami meneruskan perjalanan. Jalur lingkar utara sudah lebih dari setengahnya kami telusuri. Namun anehnya daerah Bayan ini kok terasa luas sekali ya? Sudah lebih dari satu jam memasuki daerah Bayan, namun ketika melihat penunjuk jalan, daerah yang kami lalui masih saja ada embel-embel Bayan. Rasanya seperti jalan di tempat.

Perasaan "jalan di tempat" mulai hilang ketika kami keluar dari area hutan dan jalan berbukit dengan penuh kelokan. Akhirnya jalan datar lagi! Anak-anak Rinjani garis pantai mulai terlihat lagi. Kami masih melintasi jalur utara. Meskipun dinaungi awan kelabu, namun pemandangan sepanjang jalan ini tetap menakjubkan. Kami tidak bisa menahan diri untuk berhenti sebentar demi mengabadikan pemandangan yang indah ini.

Rinjani, batas maksmial kecepatan, dan jalan beraspal mulus!

Mejeng sejenak di depan anak-anak Rinjani

Perlahan jalur utara mulai membelok ke selatan. Pertanda jalur utara mulai berganti dengan jalur timur. Letak Rinjani dan anak-anaknya pun mulai berubah, menegaskan jika kami sudah sampai pada ujung timur laut pulau Lombok. Panorama anak-anak Rinjani dan Gili Sulat pun membentang di depan mata. Sekali lagi, menjadi alasan untuk berhenti sejenak dan menekan tombol pelepas rana kamera beberapa kali.

Jembatan di daerah gili Sulat. Jalan sudah mulai mengarah ke selatan.
Kadang jika dihadapkan pada panorama yang bikin spechless, saya suka bingung sendiri hendak kemana mengarahkan kamera. Semuanya bagus, semuanya luar biasa. Untuk melakukan framing pun saya harus berpikir agak lama. Disini, terasa wejangan-wejangan "guru-guru" fotografi saya seperti Ansel Adams, Henri Cartier-Bresson sampai yang terkini seperti Arbain Rambey, Jerry Aurum, Don Hasman dan Feri Latif: Untuk bisa menghasilkan foto panorama yang baik, kita harus berulang kali mengunjungi tempat tersebut. Survey waktu terbaik. Menentukan sudut terbaik pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Jadi jangan heran jika foto yang saya hasilkan tergolong standar. Kami hanya memotret sambil lalu. Hasilnya tentu berbeda jika benar-benar diniatkan untuk  menghasilkan foto terbaik dari tempat ini. Lagipula saya juga berpegang pada prinsip every place has a special moment. Dan kami tidak datang pada momen terbaiknya. Tapi kami tetap memotret. Untuk sekedar menjadi saksi dan pemicu ingatan di masa depan (caelaaaaahh).

And the road must go on. Waktu sudah menujukkan pukul 14 lewat ketika kami melewati daerah gili Sulat (Sambelia). Rasa ngantuk mulai menyerang. Apalagi langit masih terus mendung dan gerimis sesekali turun. Menambah besar rasa kantuk. Kami memutuskan berhenti di warung pinggir jalan untuk sekedar menikmati mi instan dan membeli beberapa permen untuk mengusir kantuk selama di perjalanan.

Setelah papan petunjuk gili lampu dan gili kondo terlihat satu per satu, perasaan saya mulai lega karena daerah asing sudah selesai. Sebelumnya saya pernah mencapai gili kondo melalui jalur tengah. Jadi jalan selanjutnya sudah lebih familiar dan bisa lebih terukur waktu tempuhnya, yaitu sekitar 3 jam. Check point dalam bayangan saya ialah pasar Poh Gading. Pertigaan yang memisahkan jalur Sambelia, Mataram, dan pelabuhan Kahyangan. 

Sebelum mencapai pasar Poh Gading, kami melewati pohon purba Pringgabaya (pohon Lian). Kumpulan pohon yang saya yakin berusia ratusan tahun menjulang tinggi di pinggir jalan. Sayangnya saya tidak mendapatkan informasi lebih dalam mengenai pohon-pohon ini. Namun penampilannya sudah dapat membuat penggemar fotografi enggan melepaskan kesempatan mengabadikan pohon tua yang megah ini.

Cuaca mendung sore itu tidak menghalangi kami untuk memotret pohon ini dari pinggir jalan. Dulu waktu pertama kali melewati tempat ini pada Agustus 2015, belum ada pos masuk. Sekarang (Januari 2016) sudah ada. Pos masuk artinya pungutan lagi. Karena itu kami hanya berhenti sebentar dari pinggir jalan dan mengambil dua jepretan tanpa turun dari motor lalu cabut lagi. Malas dengan tetek bengek retribusi!

Pohon purba Lian di Pringgabaya

Setelah berhenti sebentar di pohon Lian, kami melanjutkan perjalanan dan memutuskan untuk berbelok sedikit ke pelabuhan Kahyangan sebelum kembali ke Mataram. Mendung masih menggantung di langit. Menghapus kelembutan matahari pada golden hour. Sedikit banyak juga mengganggu mood memotret karena sedari tadi mendung tidak kunjung pergi.

Hanya sebentar kami disini. Perjalanan kami lanjutkan namun sebelumnya kami memutuskan untuk istirahat sejenak sekalian ashar di Pringgabaya. Punggung bawah sudah mulai terasa pegal. Rasa kantuk juga belum hilang sepenuhnya. Tapi karena kami tidak ingin sampai Mataram terlalu lama, maka cukuplah istirahat setengah jam di tempat ini.

Itu rencananya, tapi kenyataannya kami baru meninggalkan tempat itu setelah satu jam lamanya berada disana. Beberapa orang bergamis mengajak ngobrol. Tidak sopan rasanya mengabaikan mereka begitu saja. Jadilah kami mengobrol sebentar. 

Rombongan mereka berjumlah dua belas orang. Mereka rombongan yang sedang berdakwah dari masjid ke masjid di seluruh Nusantara. Saudara seiman kami berasal dari Palopo di Sulawesi Selatan. Sudah tiga hari dari rencana satu minggu mereka i'tikaf di masjid Pringgabaya sambil berdakwah. Setelah dari Lombok, mereka berencana meneruskan perjalanan ke Bima. Sebelumnya mereka i'tikaf di Jawa (saya lupa kotanya). Sudah tiga bulan mereka melakukan perjalanan ini. Dan mereka belum berniat untuk kembali. Entah sampai kapan mereka berkelana.

Traveller dakwah. Pejalan yang menyebarkan dan memperkuat keyakinan mereka selama perjalanan. I'tikaf dari  masjid ke masjid. Berbincang dengan siapa saja yang mampir ke masjid tempat mereka singgah. Obrolan singkat sore itu penuh salam damai. Terasa sejuk tanpa benih radikal. Semoga saja mereka menyebarkan kedamaian dan bukan merekrut calon teroris. Islam itu damai. 

Pertemuan ini merupakan salah satu unexpected thing dalam perjalanan kali ini. Membuka mata saya lebih lebar, bahwa jenis pejalan lebih banyak dari dugaan saya selama ini. Tidak hanya koper versus ransel saja. Tidak hanya mereka yang mengincar keindahan alam lalu berselfie ria seperti saya. Tidak hanya mereka yang ingin melepaskan penat dari rutinitas kota yang penuh sesak.

Banyak alasan melakukan perjalanan. Dan alasan itu selalu personal. Kita mungkin berjalan bersama. Mencapai tujuan wisata bersama. Duduk dalam motor, bis, kapal, atau pesawat yang sama. Tapi alasan kita tidak pernah benar-benar sama. Oleh karena itu, menurut saya kita tidak bisa mencela alasan orang lain melakukan perjalanan. Sebab kita tidak tahu apa yang penting bagi orang itu dalam hidupnya. Kita tidak bisa menghakimi atau menentukan apa yang penting dan tidak penting dalam kehidupan orang lain. Karena kita semua adalah manusia.

Perjalanan dari masjid Pringgabaya ke Mataram memakan waktu kurang lebih dua setengah jam setelah dipotong maghrib, makan malam dan berteduh sebentar dari serangan hujan tiba-tiba. Kami kembali ke rumah singgah pada pukul 20.55 Wita. Speedometer menujukkan angka 23599.0 km. Jarak sejauh 247,6 km ditempuh dalam waktu sebelas jam dengan istirahat, sholat, makan, dan foto-foto. Melelahkan dan puas. Apalagi ada banyak pertemuan dan perbincangan tak terduga dengan alam, hasil budaya, dan manusia selama perjalanan sebelas jam dan (hampir 250 km) ini.

Pertemuan adalah takdir. 
Perbincangan adalah cerita. 
Dan perjalanan? Perjalanan adalah kehidupan.

Sampai jumpa dicerita lain dalam kehidupan! 

*seri Road Trip Lombok - selesai.

Senin, 01 Februari 2016

Lombok Road Trip 1 - Pantai Tebing, rapuh dan terasing.

One day in Lombok, saya memutuskan untuk menjalani road trip. Perjalanan dengan sepeda motor, bagi saya ialah perjalanan yang paling mengasyikkan setelah dengan kapal laut. Kita dapat melakukan kontak langsung dengan alam, Merasakan hembusan angin, sengatan matahari, dan tetesan air hujan secara langsung, bagi saya itu sangat menyenangkan. Meski kadang juga melelahkan, terutama bagi pantat dan punggung saya yang semakin rentan.

Tapi niat sudah dikandung badan. Saya ingin menelusuri jalan raya pulau Lombok. Pilihan yang saya ambil ialah jalan lingkar utara-tengah. Pilihan ini saya ambil karena hanya jalur utara saja lah yang belum pernah saya jalani. Saya sudah pernah ke daerah selatan (Kuta, Tanjung Aan), Barat (Senggigi), Tenggara (Jerowaru, pantai Pink, Surga, dkk). Terus terang, saya menelusuri jalur ini hanya sekedar penasaran, tanpa sebuah tempat yang ingin dituju. Perjalanan, konon adalah tujuan itu sendiri.

Bermodal motor sewaan dan perlengkapan berkendara yang saya siapkan dari Jakarta (jaket + buff + masker), saya memulai perjalanan dari Mataram pukul 09.48 WITA. Speedometer motor menunjukkan angka 23351.6 km. Kami mampir sebentar untuk sarapan (agak telat yah klo dibilang sarapan?) lalu memulai road trip dari dalam kota Mataram menuju kota tua Ampenan. Terus menuju utara ke jalan raya Senggigi.

Sebenarnya banyak titik pandang menarik disepanjang jalan raya Senggigi. Mulai dari gardu pandang Batu Layar, Karang Bolong, Malimbu 1 dan 2, sampai Teluk Nara.. semuanya menawarkan pemandangan teluk dan bukit yang sama-sama menakjubkan. Namun saya tidak berhenti berlama-lama disini, Selain sudah beberapa kali melewati tempat ini (sehingga perasaaan "kejutan pada pandangan pertama" sudah banyak berkurang), perjalanan kami masih panjang.


Pantai Senggigi dari atas bukit


Karang bolong berserta dua dari tiga gili dunia di kejauhan

Perjalanan Mataram hingga perempatan Pemenang memakan waktu kira-kira satu jam. Ini rute yang sudah sering saya lalui sehingga rasanya tidak asing. Perempatan Pemenang ialah perempatan dimana pelabuhan Bangsal berada. Selepas perempatan Pemenang, barulah perjalanan yang sebenarnya dimulai. Daerah ini hingga pelabuhan gili Kondo masih perawan bagi saya. Sehingga road trip menelusuri daerah perawan dimulai disini.

Mulai titik ini, bolehlah saya mengharapkan pemandangan-pemandangan tidak terduga yang tidak saya bayangkan. Expect the unexpected. Inilah yang membuat saya begitu menyukai road trip. Menikmati perjalanannya, bukan tujuannya. Tujuan tetap penting karena itulah yang menentukan arah langkah. Tanpa tujuan, perjalanan mungkin hanya berputar-putar. Langkah pertama mungkin tidak pernah terjadi jika arahnya tidak ditentukan.

Etape pertama dari jalan ini rasanya biasa saja. Hanya jalannya yang agak menyempit. Hampir pas-pasan untuk dua kendaraan berlawanan arah. Truk-truk sedang juga terlihat sering melewati jalur ini. Pemandangan sawah dan laut menjadi hal jamak. Tapi belum ada yang benar-benar istimewa.

Kota pertama yang kami lalui (seingat saya) ialah Tanjung. Dan seperti kota-kota kecil pada umumnya, yang disebut pusat kota ialah pasar dan deretan ruko-ruko sepanjang jalan. Akhir deretan ruko adalah akhir dari batas kota. Meski secara admisitratif batas kota masih jauh dari batas deretan ruko, namun suasana "kota" berakhir disini.

Lepas dari Tanjung, rumah dan ruko semakin jarang terlihat. Karena perut sudah terasa lapar, kami memutuskan untuk mencari warung makan dipinggir jalan sebelum melanjutkan perjalanan lebih jauh. Warung makan yang kami pilih ialah warung yang ramai dikunjungi orang. Meskipun warung ramai tidak selalu enak, paling tidak dari pengalaman saya warung jenis ini lebih aman daripada warung yang sepi, hehehe..

Selesai mengisi perut kami melanjutkan perjalanan. Bangunan-bangunan semakin jarang terlihat, Berganti dengan pohon-pohon rindang di kanan dan kiri jalan. Pemandangannnya silih berganti dengan sawah dan laut. Perjalanan kami kini menembus hutan. Beberapa kali naik turun dan berkelok-kelok jalurnya. Hingga kami menemukan papan kecil di pinggir jalan bertuliskan "pantai Tebing".

Penasaran dengan pantainya, kami memasuki jalan kecil yang tidak lagi beraspal. Jalannya campuran antara pasir, batu dan rerumputan. Jalan setapak untuk mobil. Beberapa bagian jalan yang terdiri dari pasir tampak bekas aliran air. Tampaknya jalan ini sering banjir ketika hujan datang. Setelah beberapa ratus meter menelusuri jalan ini, sampailah kami diujung jalan yang berakhir di laut.

Keindahan pantai Tebing tidak bisa langsung kami nikmati dari tempat kami memarkirkan motor. Perlu turun dulu beberapa langkah karena tempat kami memarkir motor letaknya agak tinggi dan sedikit berjarak dari bibir pantai. Begitu turun, barulah tampak kemegahan pantai yang rapuh ini.

Pantai Tebing - Kecantikan yang rapuh

Keberadaan pantai ini cukup tersembunyi dan termasuk jauh letaknya dari objek wisata lain di Lombok. Tebing yang berada disisi selatan pantai ini juga termasuk rapuh. Hal ini tidak lepas dari material penyusun tebing berupa kombinasi antara pasir dan tanah. Tebing ini juga cukup licin untuk dipanjat. Kami beruntung dapat menikmati pemandangan disini karena tebing ini dapat longsor setiap saat.

Seri Lombok Road Trip - bersambung