Senin, 31 Oktober 2016

Travel Meditation - About the sea and the transport

Travellling needs transport. Mencoba berbagai moda transportasi umum selama perjalanan merupakan keasikan tersendiri buat saya. Ada kalanya pengalaman ini memberikan sudut pandang baru, namun ada kalanya juga memberikan siksaan secara fisik pada tubuh. Terkadang exciting terkadang memboooooosaaaaannnkkaaaannnn.......
Bioskop mini dalam KMP Kelud. Obat anti bosan yang kurang ampuh.
Bioskop mini dalam KMP Kelud. Salah satu obat anti bosan dalam pelayaran 24 jam dari Belawan menuju Batam.
Rasa bosan biasanya timbul setelah perjalanan yang monoton. Kebanyakan di laut tapi tidak menutup kemungkinan terjadi juga di darat. Tapi pelayaran yang lebih dari 3 jam biasanya sudah cukup untuk menimbulkan jenuh. Dalam perjalanan kali ini, saya mengalami empat kali pelayaran yang durasinya terbilang lama, yaitu Bengkulu-Enggano, Enggano-Bengkulu, Sibolga-Gunungsitoli, dan Belawan-Batam.
KMP Kelud yang menghubungkan Belawan-Kepri-Jakarta.  Rute Belawan-Batam membutuhkan waktu 24 jam, sedangkan untuk sampai Jakarta butuh 2 hari dari Belawan.
KMP Kelud yang menghubungkan Belawan-Kepri-Jakarta. Rute Belawan-Batam membutuhkan waktu 24 jam, sedangkan untuk sampai Jakarta butuh 2 hari dari Belawan.
Untungnya hampir semua kapal berangkat sore atau menjelang malam. Kapal Wira Glory misalnya. Kapal yang melayani rute Sibolga-Nias ini dijadwalkan berangkat pukul 8 malam dan sampai tujuan pukul 8 pagi. Karena itu tidak heran jika ruang penumpangnya berupa tempat tidur alih-alih tempat duduk.
Ranjang ala kapal Sibolga-Nias. Nomor tiket bukan tempat duduk melainkan tempat tidur.
Ranjang ala kapal Sibolga-Nias. Nomor tiket bukan tempat duduk melainkan tempat tidur.
Bagi saya, saat paling menarik dari penggunaan moda transportasi ini justru sebelum berangkat, termasuk ketika berada di pelabuhan/terminal/bandara. Di pelabuhan Bandar Deli misalnya. Pelabuhan yang berada di Belawan ini saat itu baru saja diresmikan. Lobby utamanya lebih terasa bandara daripada pelabuhan. Rapi dan terkesan modern. Mungkin jika tidak diburu-buru waktu, saya akan betah berlama-lama di pelabuhan ini sambil menunggu kapal berangkat.
Salah satu sudut pelabuhan Bandar Deli. Berasa di bandara alih-alih pelabuhan.
Salah satu sudut pelabuhan Bandar Deli. Berasa di bandara alih-alih pelabuhan.
Begitu pula dengan loket tiket dan ruang tunggu pelabuhan. Loket tiketnya mirip dengan loket check-in bandara minus bagasi. Tertata rapi meskipun calon penumpang langsung membanjiri loket, saling berebutan untuk dilayani duluan. Untungnya budaya antri sudah terbentuk disini. Meskipun berdesak-desakan, tapi antrian tetap tertib dan aman.  Semoga  bisa terus tertib seperti ini. Kerja yang bagus dari awak pelabuhan Bandar Deli :)
Antrilah di loket, untuk beli tiket. Siapkan dompet. Awas ada copet. -Project Pop
Antrilah di loket, untuk beli tiket. Siapkan dompet. Awas ada copet. -Project Pop
Satu hal menarik dari pelayaran panjang Belawan-Batam ialah memperhatikan bagaimana penumpang naik-turun di Tanjung Balai Karimun. Saat membeli tiket, saya sempat heran saat mengetahui bahwa harga tiket Tanjung Balai yang dihargai lebih mahal daripada tiket Batam. Padahal kan Batam lebih jauh. Keheranan ini terjawab ketika KMP Kelud mendekati pulau tersebut. Tadinya saya kira kapal akan merapat di pelabuhan untuk beberapa saat. Namun tidak. KMP Kelud berhenti disekitar pulau untuk kemudian didekati oleh kapal kayu. Kapal kayu ini membawa calon penumpang dari Tanjung Balai sekaligus menurunkan penumpang yang hendak menuju pulau tersebut. Oalaah, ternyata ini yang menyebabkan harga tiket Tanjung Balai lebih mahal daripada Batam. Ternyata ongkos operasionalnya lebih tinggi karena harus diantar-jemput dengan kapal kayu untuk mencapai pelabuhan.
Kapal kayu yang mengantar-jemput penumpang Kelud tujuan Tanjung Balai.
Kapal kayu yang mengantar-jemput penumpang Kelud tujuan Tanjung Balai.
Begitulah balada kapal besar di pulau kecil. Pelabuhannya tidak cukup besar untuk sang kapal. Mungkin lautnya juga terlalu dangkal, entahlah. Yang pasti kapal ini tidak merapat di Tanjung Balai, hanya di Batam saja ia bersandar di pelabuhan.
Lain cerita ketika saya hendak menuju Bintan dari Batam. Karena jaraknya yang berdekatan dan kedua pulau ini termasuk pulau yang paling sibuk di Kepulauan Riau, maka transportasi antar pulau tergolong mudah dalam artian jadwalnya cukup banyak.
Pelayaran ini tampaknya juga banyak dikelola oleh swasta. Persaingan tampaknya sangat ketat sehingga saya cukup takjub ketika hendak membeli tiket. Mbak-mbak penjual tiket memanggil-manggil dengan suara keras dari dalam loket. Setengah badannya bahkan sampai terjulur keluar, memanggil calon penumpang yang baru memasuki area loket. Bagi saya, ini pemandangan yang unik, dan yang menyenangkan disini saya tidak ditarik-tarik oleh calo. Persaingan ala ferry Batam ini tampaknya diawasi oleh otoritas pelabuhan. Cukuplah begini saja tanpa calo. Rasanya cukup tenang dalam memilih ferry meskipun terdengar riuh.
Agresif memanggil calon penumpang di hari yang sepi. Unik dan lebih baik daripada diserbu calo,
Agresif memanggil calon penumpang di hari yang sepi. Unik dan lebih baik daripada diserbu calo,
Kondisi ferrynya sendiri cukup terawat. Nyaman dinaiki dan lebih cepat sampai dibandingkan dengan ferry. Tentu dengan harga yang disesuaikan. Tapi itu sepadan dengan apa yang didapatkan kok.
Tempat duduk penumpang dalam kapal Batam-Bintan. Kursinya lebih empuk daripada pesawat.
Tempat duduk penumpang dalam kapal Batam-Bintan. Kursinya lebih empuk daripada pesawat.
Disini saya rasakan bahwa pelayaran seputar Batam sudah terlayani dengan baik. Selain tujuan Bintan, saya juga melihat tujuan Singkep di pelabuhan tersebut. Tarempa dan Natuna mungkin terlalu jauh, tapi alangkah baiknya jika di masa depan, pulau-pulau lain di Indonesia dapat terlayani sebaik Batam. Aamiin.

Travel Meditation - Just because

Why do we travel? Kenapa sih kita harus bepergian, menjelajah atau apapun namanya itu? Pertanyaan ini selalu berulang dalam benak saya sebelum dan selama perjalanan. Kenapa sih saya ngotot banget pingin keliling Sumatra?
Di depan pintu benteng Malborough, Bengkulu
Di depan pintu benteng Malborough, Bengkulu.
Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. Pertanyaan yang seringkali muncul ketika ragu. Ketika dihadapkan oleh kesulitan selama perjalanan. Dorongan untuk memotong tujuan dan pulang ke rumah seringkali muncul ketika kesulitan datang bertubi-tubi. Demam karena infeksi. Kapal yang tertahan di pelabuhan selama beberapa hari. Biaya tak terduga yang muncul akibat hal-hal diluar rencana. Dan lain-lain, sebut saja. Masihkah perlu untuk  terus berjalan?
Mengunjungi rumah Tan Malaka di Suliki yang sepi. Bapak republik terlupakan di tempat terpencil Sumatra Barat.
Mengunjungi rumah Tan Malaka di Suliki yang sepi. Bapak republik terlupakan di tempat terpencil Sumatra Barat.
Masih. Sepertinya kaki melangkah mengikuti hati. Selalu ada kebahagiaan dan rasa tidak percaya ketika menjejak tujuan baru. Berapa kali membatin, akhirnya sampai juga di Bengkulu. Akhirnya ketemu juga rumah Tan Malaka. Akhirnya kesampaian juga tujuh belasan di nol kilometer. Dan kata-kata batin yang lain. Bagaimana rasanya ketika mimpi menjadi kenyataan? Bagaimana rasanya menjalani mimpi ketika sedang terjaga? Bagaimana rasanya bermimpi ketika tidak sedang tidur?
Merayakan 17 Agustus 2016 di titik 0 kilometer pulau Weh. Ada kebanggan tersendiri yang bersifat pribadi.
Merayakan 17 Agustus 2016 di titik 0 kilometer pulau Weh. Ada kebanggaan tersendiri yang bersifat pribadi.
Amazing! Kebanggaan dan kebahagiaan ketika berhasil mencapai tempat-tempat yang ada dalam daftar mimpiku menjadi jawaban atas keraguan diatas. Terkadang, saya merasa bahwa saya telah melampaui keterbatasan saya. Merasa naik tingkat. Ada yang berubah. Ada yang berkembang, ter-upgrade ketika saya berhasil mewujudkan mimpi. Karenanya saya merasa bangga terhadap diri sendiri. Sebuah personal achievement. Prestasi pribadi. Beginilah cara seorang introvert menilai dirinya sendiri.
Nanjak melewati lumpur setengah betis demi menuju Danau Kaco di Jambi.
Nanjak melewati lumpur setengah betis demi menuju Danau Kaco di Jambi.
Ekspresi rasa puas setelah berhasil mencapai tempat terpencil ini. Tiga jam berkubang dalam tanjakan lumpur tidak sia-sia.
Ekspresi rasa puas setelah berhasil mencapai tempat terpencil ini. Tiga jam berkubang dalam tanjakan lumpur tidak sia-sia.
Why do we travel? Kenapa tempat itu yang dikunjungi dan bukan tempat ini? Well, saya pribadi percaya bahwa jawaban dari pertanyaan itu tidak ada yang mutlak, bahkan selalu pribadi. Berbeda antara satu orang dengan orang lain. Mengapa saya berjalan? Terkadang jawabannya tidak dapat dijelaskan. Hanya dapat dirasakan. Ketika mendatangi tempat baru. Ketika mendapatkan pengalaman baru. Ketika kita merasa beruntung, sial, takjub, bosan, atau bahagia selama perjalanan. Ketika itulah aku mendapatkan jawabannya. Why do I travel? Because ..... ah, maybe just because.

Travel Meditation - Feeling is believing

Perjalanan seorang diri merupakan tantangan dan impian sekaligus. Solo travel membuat kita dapat lebih merenungkan diri sendiri, melakukan apa yang benar-benar kita inginkan. Bertanggung jawab terhadap dan hanya terhadap diri sendiri. Perjalanan yang lebih berisiko. Perjalanan yang lebih egois. Perjalanan yang lebih idealis. Tidak harus pergi ke tempat yang tidak ingin kita tuju. Tidak harus berkompormi terhadap tujuan kelompok. Tidak akan mendengar keluh kesah travelmate. Tidak akan disalahkan. Tidak akan menyalahkan. Just me and myself travelling through Swarnadwipa aka Sumatra.
Yah sebenarnya tidak seidealis itu juga sih. Intinya saya hanya ingin pergi menjelajah Sumatra ketika masih punya waktu dan dana. Mengunjungi tempat satu per satu akan menghabiskan lebih banyak waktu dan dana daripada mengunjunginya sekaligus. Sebagai gambaran, daripada harus bolak balik Padang-Jakarta PP dan Medan-Jakarta PP, lebih baik dari Padang lalu ke Medan bukan? Irit biaya. Tidak harus pakai pesawat. Dan pasti akan lebih banyak yang dilihat, didengar dan dirasakan selama perjalanan Padang-Medan.
Nah tapi tujuanku bukan hanya Padang dan Medan, melainkan seluruh Sumatra. Ehm, sebenarnya sih seluruh Nusantara, tapi setelah menghitung budget, sepertinya hanya cukup untuk Sumatra saja. Kalimantan mungkin tahun depan, semoga Tuhan mengizinkan, aamiin.
Merencanakan perjalanan merupakan keseruan tersendiri!
Merencanakan perjalanan merupakan keseruan tersendiri!
Dan tentu saja, perjalanan membutuhkan persiapan. Apalagi kali ini saya melakukannya seorang diri. Berhubung dana yang tersedia tidak banyak, maka saya mencari kenalan yang  bersedia menampung tidur selama perjalanan sebab budget untuk penginapan amat terbatas!. Alhamdulillah ada beberapa kenalan baru yang bersedia memberikan tumpangan selama di Palembang, Enggano, Kerinci, Padang, Medan, dan Bintan.
Makan malam di basecamp Kerinci sebelum menuju Padang
Bermalam di basecamp Kerinci sebelum menuju Padang
Kenalan-kenalan ini aku dapatkan dari sosial media. Facebook, Instagram sampai Coachsurfing aku gunakan untuk menjalin relasi, mengumpulkan info, dan mengharapkan tawaran menginap, hehehehe..
Ditemani tuan rumah keliling Sawahlunto & Batusangkar dari Padang!
Ditemani Roni, tuan rumah di Padang berkeliling kampung halamannya di Sawahlunto & Batusangkar!
Disinilah saya rasakan kehangatan dan keramahan bangsa Indonesia. Beberapa tuan rumah yang baru saya kenal bahkan tidak sekedar menawarkan tempat menginap dan makanan tapi juga menemani saya mengelilingi daerahnya. Bahkan ada juga orang yang baru saya kenal di kapal menawarkan diri untuk mengantar saya berkeliling Nias.
Bersama bang Dedy yang baru saya kenal di kapal menuju Gunungsitoli namun berbaik hati mengenalkan Nias kepada saya
Bersama bang Dedy di pelabuhan Gunungsitoli. Meskipun baru saya kenal di kapal, namun ia bersedia mengantarkan saya keliling Nias. A very warm welcome  :)
Begitulah Indonesia. Keramahan yang saya rasakan langsung ketika berjalan seorang diri menelusuri Sumatra merupakan salah satu pelajaran berharga dalam perjalanan ini. Keramahan itu bukan sekedar omong kosong meskipun terdengar klise. Prasangka tentu ada, bahkan banyak prasangka negatif yang saya dengar sepanjang jalan.
Hati-hati dengan orang daerah A, Waspada dengan orang pulau B. Dan lain-lain. Namun saya membuktikan sendiri bahwa prasangka itu tidak sepenuhnya benar. Scam bukannya tidak ada, namun bantuan dan keramahan yang saya dapatkan sepanjang jalan membuktikan bahwa keramahan orang Indonesia itu nyata. Tidak hanya di Jawa, tidak hanya di Bali, tapi juga di Sumatra dan Nusa Tenggara. Setidaknya itulah yang dapat saya katakan karena saya belum sempat mendatangi Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. I just say what I have experienced.
Merayakan ulang tahun kecil-kecilan mamak. Berasa mendapatkan keluarga baru di Medan.
Merayakan ulang tahun kecil-kecilan mamak. Berasa mendapatkan keluarga baru di Medan.
Keterbatasan dana dalam perjalanan seorang diri ini telah memberikan pelajaran pertama tentang keramahan ini. Rasanya seperti menemukan keluarga-keluarga baru sepanjang perjalanan. I will always remember them as part of my journey. Jadi jangan takut untuk bersolo travelling di Indonesia. Jangan biarkan prasangka menjadi penghalang. Waspada tetap penting tapi berikanlah kesempatan pada keramahan warga lokal untuk merasakan Indonesia yang sesungguhnya.

Senin, 24 Oktober 2016

SoloTrip Swarnadwipa 03: Sejarah rasa mistik di bukit Siguntang

Bukit Siguntang. Tempat ini aku kenal dari salah satu artikel di laman media travel. Artikel itu menyebutkan bahwa tempat ini merupakan tempat bersejarah di Palembang. Konon, bukit ini menjadi asal mula sebuah kerajaan di Palembang. Aku lupa kerajaan apa yang disebutkan dalam artikel tersebut, namun sudah cukup untuk membuatku penasaran dan memasukkan tempat ini ke dalam tujuan yang ingin aku kunjungi selama di Palembang.

Bukit Siguntang berada tidak jauh dari pusat kota. Mencapainya tidak sulit, hanya pintu masuknya tidak terlalu mencolok. Terkesan biasa dan mudah terlewatkan. Aku sempat berputar-putar sebelum memasuki gerbang masuknya. Masuk kesini rasanya tidak seperti memasuki suatu objek wisata. Lebih terasa memasuki taman kota. Areanya luas, sepi, dan banyak pepohonan rindang. Cocok sekali untuk pacaran (jika punya, hehehehe).

Lebih mirip taman kota daripada objek wisata

Untungnya ketika aku memasuki tempat ini, tidak ada pasangan yang sedang berpacaran. Setidaknya dalam pengamatanku. Mungkin karena masih pagi dan bukan hari libur, suasananya masih relatif sepi. Hanya ada penjaga pos dan sebuah motor terparkir disebelah motorku.

Dari tempat parkir motor, aku menaiki undakan landai menuju objek utama. Undakan ini seperti karpet merah usang meski warnanya abu-abu. Undangan untuk memasuki ruang utama tanpa sekat. Lalu seperti ucapan selamat datang, daftar tujuh makam yang berada disini terpampang disebelah kiri undakan. Selamat datang di makam keramat.

Selamat datang di tujuh makam Siguntang.

Sejujurnya, nama-nama yang terukir disana terlihat asing olehku. Belum pernah atau samar-samar saja terdengar sebelumnya. Meskipun tempat ini disebut sebagai peninggalan sejarah dan menjadi objek wisata sejarah, namun aku sama sekali tidak tahu sejarah ketujuh orang yang dimakamkan disini. Disekitar makam juga tidak ada keterangan yang menjelaskan siapa tokoh-tokoh yang dimakamkan disini. Rasanya tidak seperti memasuki tempat bersejarah.

Makam "pertama", Panglima Tuan Djunjungan

Lebih mirip makam keramat. Pengunjung yang aku temui pun sepertinya hanya akan berziarah saja. Namun satu makam tampaknya lebih ramai diziarahi daripada makam lainnya. Makam raja Segentar Alam. Namanya ditulis paling awal dalam daftar makam. Bangunannya tampak paling megah dan paling banyak dikunjungi. Tapi aku tidak tahu sama sekali mengenai tokoh yang satu ini. Siapa Raja Segentar Alam ?

Makam Raja Segentar Alam. Makam yang paling sering diziarahi
Apakah ia salah satu raja Sriwijaya? Rasanya tidak. Salah satu sultan Palembang? Mungkin, tapi usia temuan arkeologis di bukit Siguntang umurnya sejaman dengan Sriwijaya. Atau Segentar Alam punya nama lain? I have no idea at all.

Satu hal yang pasti, makam ini paling ramai dikunjungi dibanding makam lainnya. Hal ini mendorong rasa penasaranku untuk melihat lebih ke dalam. Kebetulan saat sedang melongok ke dalam, seorang nenek mempersilahkan aku masuk. Mungkin disangka ingin berziarah padahal hanya sekedar penasaran. Karena sudah tanggung, okelah aku masuk saja.

Di dalam, tempat ini terasa seperti musholla. Karpet digelar mengelilingi makam. Sepertinya banyak peziarah mengelilingi makam sambil berdoa. Entah doa macam apa yang dipanjatkan. Kotak sumbangan, air kemasan, dan rangkaian-rangkaian bunga untuk ditaburkan di atas makam juga tersedia rapi disana. Terasa sekali jika makam ini sering diziarahi. Tetapi siapa itu Raja Sigentar Alam?


Makam Raja Segentar Alam dari dalam bagunan.
Sesembahan kepada arwah sang Raja

Cerita mengenai tokoh ini aku dengar dari nenek yang tadi mempersilahkan aku masuk. Beliau memperkenalkan diri sebagai Nyai Atun. Juru kunci makam Raja Segentar Alam. Ceritanya penuh dengan mistis. Beliau datang karena mendapat mimpi, dipanggil oleh arwah Raja Segentar. Menyuruhnya tinggal untuk merawat makamnya. Atas dasar mimpi itulah beliau datang dari Jawa pada tahun 1977 kalau aku tidak salah catat. Penuh bisikan gaib, nenek Atun kemudian memutuskan untuk menjaga dan merawat makam ini hingga sekarang.

Menurut nenek Atun, Raja Segentar Alam ialah raja Sriwijaya yang berasal dari Jawa, keturunan Majapahit (hah?). Raja berlayar dari Lembang Melayu ke Lancang Kuning. Ketika tiba, jangkarnya tersangkut segempal tanah. Karena dulu semua dunia merupakan samudra luas, kapal tersebut terdampar kemudian hilang (hah lagi).

Raja ini juga memiliki dua pengawal setia: Panglima Bagus Kuning dan Panglima Bagus Karang. Kedua makam ini berada dalam satu atap, tidak jauh dari makam Raja Segentar Alam. Sedangkan makam Putri Kembang Dadar berada agak jauh dari kelompok makam Raja Segentar Alam. Tampaknya hubungan tokoh ini dengan Raja Segentar Alam agak jauh, namun sekali lagi aku tidak pernah mendengar cerita tentang tokoh ini sama sekali. Nenek Atun sendiri hanya menceritakan tokoh Raja Segentar Alam dan rombongannya, termasuk kedua panglima tadi.


Makam panglima bagus kuning & bagus karang. Pengawal Raja Segentar Alam.

Makam Putri Kembang Dadar letaknya agak terpisah.

Penuh mistis, diceritakan oleh seorang nenek, dan amat minim bukti sejarah maupun arkeologis. Ceritanya pun penuh kejanggalan. Tapi aku tidak menyanggah atau mengkritisi sama sekali cerita si nenek. Hanya mendengarkan saja. Karena yang aku dengarkan justru hal yang tidak diucapkan sang nenek.

Mendengarkan kisah Nyai Atun, juru kunci makam Raja Segentar Alam.

Alih-alih tercerahkan dengan cerita mengenai tokoh Raja Segentar Alam, aku malah takjub dengan pengakuan si nenek yang datang seorang diri dari Jawa untuk menjaga makam hanya karena mimpi. Meninggalkan semua yang ia miliki di tanah Jawa. Suami dan anaknya. Untuk menjaga makam di tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya.

Jika ceritanya benar, maka betapa hidup itu adalah pilihan. Seperti apa kita ingin menjalaninya? Apakah kita memiliki keberanian untuk menjalankan hidup yang kita inginkan? Apakah kita siap untuk membayar harganya, konsekuensi dari pilihan hidup kita? Menjadi juru kunci makam alih-alih menjadi ibu rumah tangga biasa adalah pilihan nenek/nyai Atun. Pilihan yang sulit aku pahami, tapi terkadang pilihan hidup hanya bisa dipahami oleh pengambil keputusan itu sendiri. Aku rasa, aku tidak perlu memahami pilihan hidup nenek Atun. Yang perlu aku pahami ialah ia telah mengambil keputusan, hidup seperti apa yang ingin ia jalani. Dan inilah yang aku pelajari dari pertemuan ini: hidup adalah pilihan,

Seperti keputusanku untuk melakukan perjalanan ini. Tidak mudah untuk memulainya. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Tapi aku memutuskan untuk berjalan. Karena alasan yang mungkin hanya aku sendiri yang memahaminya. Atau mungkin juga aku tidak perlu alasan untuk perjalanan ini. Tidak perlu mengapa dan tidak perlu karena. Just because.

Minggu, 09 Oktober 2016

Solo Trip Swarnadwipa 02: Menuju kota tujuan pertama

Bandar Lampung dalam perjalanan kali ini adalah persinggahan. Tempat beristirahat sejenak untuk melanjutkan perjalanan. Tujuan untuk satu malam untuk melepas lelah dan menjemput pagi. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju Palembang. Menuju rumah kawanku, Oka dan Ditie. Tempatku bermalam untuk beberapa hari ke depan.

Sebenarnya niat untuk mengeksplorasi Bandar Lampung bukannya tidak ada. Meskipun beberapa kali melewati kota ini karena harus membawa peserta open trip, namun aku belum benar-benar pernah mengeksplorasi kotanya. Pasti asyik mencari tempat makan enak dan khas Lampung. Selain itu kunjungan ke museum pasti menarik untuk memahami sejarah kota sekaligus awal untuk mengeksplorasi provinsi ini lebih jauh. Namun karena kali ini aku menumpang, maka ritme pun harus disesuaikan. Daripada harus ngeteng lagi menuju Palembang, lebih baik terus bersama. Toh pada akhirnya aku juga akan menuju Palembang untuk mengeksporasi beberapa tujuan wisata disana.

Maka aku kemudian menyamakan ritme perjalanan. Tidur cepat dan tidak begadang karena besok pagi sudah harus melanjutkan perjalanan. Yah meskipun tidak pagi-pagi amat, tapi waktu untuk memulihkan diri amat berharga jika besok kita harus menempuh perjalanan jauh lagi. Terutama waktu untuk meluruskan punggung karena aku memiliki sakit punggung bawah (low backpain) yang sangat mengganggu jika harus duduk terlalu lama. Sekaligus mengistirahatkan pantat dan tulang ekor, fiuuhhh!

Malam berlalu dengan cepat dan pagi pun menjelang. Minggu pagi di Bandar Lampung tampak bersemangat. Dari jendela kamar, aku melihat warga memulai aktivitas. Kebetulan hotel tempat kami menginap berada di pusat kota dan terletak di lantai tiga, jadi mudah melihat kegiatan warga dari sini. Layaknya car free day satu per satu warga mulai tumpah ruah ke jalan. Bersama teman, bersama keluarga. Menyehatkan badan sekaligus rekreasi. Memulihkan mental dan menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga. Tampak ceria dan sehat menyambut matahari pagi di hari minggu. Hari libur memang terasa menyenangkan.

Bergaya sebelum pulang

Tapi aku tidak bisa terlalu lama menikmati waktu di atas sini. Kami berencana melanjutkan perjalanan yang akan memakan waktu seharian. Dan kami tidak mau kemalaman sampai ke Palembang. Jadilah kami bergegas membersihkan diri sekaligus mengemas ulang barang-barang kami ke dalam mobil. Check-out lalu bergegas mencari sarapan. Kami berharap bisa berwisata kuliner pada waktu sarapan kali ini seperti yang kami lakukan saat makan malam kemarin. Mencari rekomendasi tempat makan enak dari internet lalu mencobanya. Kemarin kami mencoba mi ayam Koga yang cukup sering direkomendasikan di internet. Kami memilih itu karena kebetulan sedang melewati tempatnya ketika mendapatkan informasi itu. Seperti sudah ditakdirkan, akhirnya kami mencobanya. Hasilnya menyenangkan meski pelayanannya perlu ditingkatkan.

Mi Ayam Koga. Foto diambil dari sini 

Namun untuk waktu sarapan tidak semudah itu. Tempat makan yang banyak direkomendasikan belum ada yang buka. Sarapan kali ini sepertinya harus dilakukan dengan seketemunya alih-alih hasil rekomendasi. Walhasil kami menyantap lontong sayur dan nasi uduk sebagai menu sarapan. Rasanya lebih tidak enak dibandingkan bikinan orang Betawi (harganya tidak murah pula). Memang makanan paling enak itu makanan yang disajikan di tempat asalnya. Nasi uduk dan lontong sayur adalah milik Betawi. Sejauh lidahku merasa, tidak ada tempat lain yang menyajikan kedua kuliner ini sebaik yang aku temukan di Jakarta. Meniru tidak akan sebaik hasil aslinya.

Lotong sayurnya nggak cocok sama lidah saya! Sumber foto

Selesai sarapan, kami masih ingin mencari buah tangan. Oka ingin membeli beberapa oleh-oleh untuk teman kantornya. Merupakan hukum tak tertulis untuk membawakan buah tangan ke kantor setelah cuti beberapa saat. Jadilah kami bertanya kanan-kiri. Menggunakan penduduk sekitar untuk mencari tahu tempat membeli oleh-oleh khas Lampung: keripik pisang cokelat!

Keripik pisang cokelat. Cemilan yang bikin nagih! Sumber foto 

Sebenarnya ada satu nama merek produsen keripik pisang terkenal di Lampung. Namun karena letaknya tidak searah, kami memutuskan untuk membelinya di gang PU, tempat dimana banyak toko keripik pisang aneka rasa berseliweran di sepanjang jalan. Rasanya sama kok. Aku jadi curiga, jangan-jangan yang membedakan hanya mereknya saja tapi isinya sama. Dengan diberi merek tertentu, harga produk yang sama dapat naik beberapa persen. Kekuatan merek. Reputasi memiliki harganya sendiri.

Aneka rasa keripik pisang. Produk yang terlihat sama namun dikemas dalam berbagai merek berbeda. Sumber foto

Setelah memborong beberapa kantong keripik pisang cokelat dan keju (kami tidak tertarik dengan varian lain semisal rasa moca, melon, dll), kami melanjutkan perjalanan menuju Palembang. Perjalanan di atas aspal panas dan teriknya matahari. Jalannya agak monoton dan menurutku mirip dengan jalur pantai utara alias pantura. Namun perbaikan jalan lebih sedikit disini.

Farewell Bandar Lampung!

Pringsewu - Tulang bawang - Mesuji - Kayu agung - Indralaya, lalu sampailah kami pada tujuan: Palembang! Sedikit lebih lama dari perkiraan tapi kami bersyukur bisa sampai dengan sehat dan selamat. Lelah dan lapar, kami memutuskan untuk mampir sebentar ke warung pempek langganan Ditie. Sekedar mengganjal perut dan melepaskan kerinduan pada kuliner khas Palembang ini. Sambutan selamat datang yang paling cocok buatku. Bukan tarian atau untaian bunga tapi makanan!

Tabik!
Melepas rindu pada kuliner lokal