Jumat, 26 Mei 2017

Solo Trip Swarnadwipa 17 - Keindahan misterius di tengah hutan

Danau Kaco ialah tujuan utamaku di Kerinci. Memang aku tidak memasukkan rencana untuk mendaki Kerinci karena masalah backpain alias sakit punggung. Dokter sudah melarangku untuk mengangkat beban yang terlalu berat atau olahraga vertikal seperti mendaki. Katanya akan berakibat buruk pada tulang belakang. Risiko terburuknya ialah syaraf terjepit.

Yah okelah karena aku sudah bepergian dengan ransel yang otomatis membebani punggung, maka aku tidak akan memaksakan diri untuk mendaki gunung juga. Mungkin nanti jika sakit punggungku sudah sembuh, bolehlah diagendakan kembali.

Sedangkan danau Kaco, aku sudah memimpikannya sejak pertama kali tau dari teman. Informasi itu aku perdalam dengan membaca berbagai artikel tentang tempat tersebut. Mulai dari cara mencapainya hingga legenda yang menyertainya. Warna biru yang begitu pekat menjadi daya tarik utama danau ini. Konon di malam purnama, danau ini akan bersinar terang karena memantulkan cahaya bulan. Tapi aku tidak akan membuktikan hal tersebut karena tidak berniat mendirikan kemah dan menginap disekitar danau.

Kedalamannya juga jadi misteri tersendiri. Konon belum ada penyelam yang berhasil mengukur kedalaman danau tersebut meskipun ditunjang dengan peralatan selam modern seperti tabung oksigen. Legenda mengatakan bahwa ada harta karun berupa bongkahan berlian besar tersimpan di dasar telaga, namun setiap penyelam yang ingin mengambil berlian tersebut tidak pernah kembali. Berlian di dasar danau pula yang memantulkan cahaya bulan sehingga danau ini tampak bersinar di kala purnama.

Keindahan yang misterius di tengah hutan. Demi mengunjungi danau ini aku harus menunggu kakiku sembuh hingga hari ke-4. Padahal awalnya aku hanya berencana menghabiskan 3 hari saja di Kerinci. Tidak apa, mungkin ini bagian dari takdir. Dan aku ingin mengisi takdir hari ini dengan mengunjungi tempat tersebut.

Maka jadilah kami berangkat kembali dari Siluak Gedang menuju desa Lempur, tempat dimana danau Kaco berada. Jarak tempuhnya lebih jauh dari perjalanan kemarin. Untuk mencapai desa Lempur, kami harus kembali melewati danau Kerinci. Berangkat lebih pagi, pulang lebih malam karena perjalanan lebih panjang.

Cuaca agak mendung di langit selatan ketika kami memulai perjalanan di pagi hari. Alamat buruk, kami berdoa semoga hujan tidak menyertai perjalanan kami hari ini. Medan pendakian amat buruk jika hujan turun. Tidak mau membuang waktu, kami bergegas tancap gas menuju desa Lempur.

Kami hanya berhenti sebentar untuk membeli bekal makan siang dan buang air kecil. Tidak banyak panorama yang berhasil aku foto sepanjang jalan, tapi aku sempat mengabadikan danau Kerinci dari sisi yang lain. Jika kemarin kami hanya mengunjungi sisi dermaga, sekarang kami melewati seberang danau. Pemandangannya agak berbeda dan lebih terasa mistis.

Danau Kerinci, dari sisi seberang dermaga

Sayangnya kami tidak punya waktu lama untuk berburu foto di danau Kerinci. Awan sudah semakin gelap di selatan. Kami berlomba dengan hujan. Semoga tidak turun dulu sebelum kami sampai disana. Semoga medan pendakian tidak terlalu parah tertutup lumpur, karena dari informasi yang aku peroleh jalur hutan menuju danau Kaco sebenarnya tidak terlalu menanjak, hanya amat berlumpur. Apalagi jika dilewati saat hujan atau tidak lama setelah hujan turun.

Setelah sampai di desa Lempur, langit makin gelap. Tampaknya doa kami tidak terkabul. Jalan menuju kesana pun tampak basah. Sepertinya hujan belum lama turun dan akan segera turun lagi disini. Tapi tidak apa, hujan tidak akan menyurutkan langkah kami menuju tujuan impian. Semoga “hanya” lumpur dan hujan yang menjadi handicap kami. Semoga tidak ada handicap tak terduga lain. Aamiin.

Di depan "pintu masuk"
Tidak sulit mencari jalan masuk menuju danau Kaco dari desa Lempur. Danau itu merupakan andalan wisata disini. Semua orang tau tempatnya. Tapi mereka berkomentar sama: “wah, mau kesana hujan-hujan begini (saat itu sudah turun gerimis tipis) ? Kemarin baru turun hujan, jadi lumpurnya pasti tebal.” Tidak apa bu, tunjukkan saja jalannya.

Sebelum mencapai tempat itu, kami dihadang oleh pemuda setempat dalam pos sederhana. Ah, tampaknya ada semacam retribusi, karcis masuk danau Kaco. Entah legal entah illegal, tapi bayar saja daripada ribut. Sepuluh ribu rupiah per orang. Kami berdua, jadi aku harus merogoh kocek sebesar dua puluh ribu rupiah untuk bisa masuk.

Tidak pakai lama, kami segera menyusuri jalan setapak menuju danau Kaco. Sejak dari titik ini, mulai terasa kebutuhan akan seorang pemandu. Jalan setapak kerap bercabang. Penanda menuju danau tersebut agak samar. Butuh pemandu untuk penunjuk jalan. Mungkin aku akan terseset jika berjalan sendiri kemari. Nasihat sepanjang jalan dari orang-orang yang kutanyai tentang tempat ini kini terasa kebenarannya. Banyak bertanya, selamat sampai tujuan.

Petunjuk arah yang amat mudah terlewat jika tidak tahu medan

Kesulitan karena jalan setapak banyak tertutup lumpur langsung terasa dari awal perjalanan. Kami harus pandai-pandai mencari pijakan antara batang kayu dan batu. Kadang kami harus memutar untuk menghindari lumpur. Kenapa harus dihindari? Karena langkah akan terasa amat berat setelah terbenam dalam lumpur. Selain menghabiskan lebih banyak tenaga, juga ada risiko alas kaki jebol. Beberapa kali kami temukan alas kaki yang ditinggalkan dijalan. Kondisinya tentu sudah hancur. Jebol atau putus. Sudah terlalu malas dibawa pulang atau sudah menjadi beban dalam perjalanan. Meskipun aku sudah menyiapkan sandal gunung yang sudah di sol / dijahit keliling, namun tetap aja aku tidak ingin menantang lumpur. Lebih baik cari aman di tempat asing. Tidak apa lebih lambat sampai asalkan bisa selamat sampai tujuan. Pepatah jawa yang menjadi salah satu pedomanku dalam perjalanan kali ini.

Mencari pijakan antara batang kayu dan batu demi menghindari lumpur tebal

Banyak alas kaki jebol yang ditinggalkan begitu saja

Dan benar, perjalanan terasa amat lama. Terasa bukan terukur. Sebab menurut ukuran jam, waktu tempuh kami masih tergolong rata-rata. Ah mungkin aku sedang dibohongi perasaan. Semoga harapan tidak ikut membohongiku. Perasaan sudah dekat terasa berulang kali, sampai akhirnya kami benar-benar sampai ke danau ini!

Pos istirahat satu-satunya. Penanda sepertiga perjalanan.

Becek, sekelilingnya masih ada beberapa sampah dari pengunjung sebelum kami. Tapi birunya danau persis seperti bayangan awalku tentang tempat ini. Jernih meski kemarin baru hujan dan hari ini sedikit gerimis. Hujan yang lebih besar mungkin akan turun sebentar lagi jika melihat langit yang makin kelabu. Tapi itu tidak menyurutkan langkah kami untuk turun ke danau. Ada rasa bangga dalam diri sendiri ketika berhasil kemari. Aku pribadi menganggap pencapaian ini sebagai prestasi. Setelah berhasil mencapai pulau Enggano yang terpencil, inilah prestasi keduaku dalam perjalanan ini.

Akhirnya sampai juga ke Danau Kaco!

Yyyyeeeaaaaaahhhh !!!!!!

Perasaan berhasil, euforia, kebahagiaan yang agak meletup terasa dalam diri. Tapi karena tubuh agak lelah dan harus menyimpan tenaga untuk perjalanan pulang, maka aku tidak terlalu mengungkapkannya dengan berlebihan. Apalagi euforia ini mulai bercampur cemas karena mendung masih menggantung. Langit semakin pekat. Tidak lama, rintik hujan mulai kencang. Dari gerimis menjadi hujan deras. Di sekitar danau tidak ada tempat berlindung. Untung aku membawa jaket ponco. Didukung batang kayu, kami membuat bivak sederhana. Sekedar melindungi nasi agar tidak basah dan menjadi tempat kami bersantap siang sambil menatap danau dalam hujan.

Langsung disambut hujan deras!

Wet lunch. Makan siang yang basah dalam bivak. Untung ponconya tidak berlubang. Untung hujannya tidak berangin. Kami masih sempat menyantap nasi dengan dendeng batokok, salah satu kuliner khas Kerinci. Dendeng yang dipukul dengan palu sehingga menjadi amat lembut ketika sampai ke mulut. Aku menyebutnya steak ala Kerinci. Sayangnya aku tidak sempat memotret makanan terenak selama solo trip Swarnadwipa ini. Sudah keburu habis sebelum difoto!

Untunglah hujan tidak turun lama. Setelah hujan, aku masih menyempatkan diri memotret sekeliling danau, termasuk menjumpai ikan penghuni danau: ikan semah. Mengenai ikan semah, aku sudah diperingati Dedi untuk tidak mengambilnya dari danau jika tidak ingin tertimpa nasib buruk. Tampaknya ikan ini juga memiliki cerita atau legendanya sendiri. Sayangnya aku lupa untuk bertanya. Namun yang pasti, aku menuruti pesan tersebut.

Para penghuni danau

Ya, selain pesan untuk menjaga kelestarian habitat di tempat ini, terselip juga nasihat untuk menghindari hal berbau mistik. Meskipun aku jarang percaya hal seperti ini, tapi pesan dari tuan rumahku selama di Kerinci tentu harus diindahkan. Mengikuti kata pepatah take nothing but pictures, kill nothing but time, leave nothing but footprint.

Bergaya sebelum pulang

Setelah puas memotret, kami memutuskan untuk segera kembali ke parkiran motor. Takut hujan turun lagi karena langit belum lagi cerah meski hujan sudah berhenti. Jalan pulang rasanya akan lebih berat daripada waktu datang tadi. Tapi kami tidak punya pilihan. Harus segera kembali karena kami tidak membawa peralatan berkemah ataupun senter selain dari ponsel. Kami harus keluar dari hutan sebelum gelap.

Kabut setelah hujan mengiringi kepulangan kami.

Namun seperti halnya rasa yang sering menipu, perjalanan pulang terasa lebih cepat daripada pergi. Meski lagi-lagi waktu tempuhnya tidak jauh berbeda dan jaraknya sama persis dengan jarak datang karena kami melewati jalan yang sama. Ada perasaan lega begitu kami berhasil keluar hutan menuju parkiran motor yang tidak mirip tempat parkir sebab hanya berupa lahan kosong disamping rumah warga dan tidak ada kendaraan lain yang diparkir disitu. Yang ada hanya tiket parkir. Tapi yasudahlah, mari kembali ke Siluak Gedang. Hari ini sangat melelahkan meski hanya satu tempat yang dituju. Selamat tidur, bumi sakti alam Kerinci.

Senin, 22 Mei 2017

Solo Trip Swarnadwipa 16 - Bumi Sakti Alam Kerinci

Pagi kedua di Kerinci, aku masih merasakan nyeri di ujung kelingking kaki kiri. Tampaknya tidak ada rencana bepergian hari ini kecuali untuk berobat. Dedi berbaik hati mengantarkanku ke puskesmas setempat. Dari pemeriksaan disana, ternyata lukaku sudah bernanah. Bengkaknya lumayan besar. Untung tidak demam. Penanganan dilakukan untuk mengeluarkan nanah. Prosesnya amat menyakitkan. Untung hanya sebentar. Penanganannya sederhana tapi berefek besar. Nyeri di kaki jauh berkurang. Tidak lagi merebet ketika dipakai jalan. Tampaknya hari ini aku hanya beristirahat saja untuk memulihkan luka. Aku yakin besok sudah bisa kembali normal. Lusa mungkin aku bisa mengunjungi danau Kaco, tujuan utamaku selama di Kerinci.

Masa-masa pemulihan terasa sangat panjang. Meski “hanya” sehari, namun menjalani hari tanpa melakukan kegiatan apapun amat membosankan. Aku hanya duduk-duduk dan sesekali tiduran saja di rumah Dedi. Untungnya di tempat Dedi ada tv kabel. Pilihan saluran menonton lebih variatif. Sialnya, di Kerinci listrik sering padam. Kadang waktu padamnya lebih lama daripada waktu menyala. Jika sudah begini, pilihannya hanya tidur. Hal ini sebenarnya membuat aku merasa sungkan terhadap tuan rumah, tapi segera kusingkirkan rasa itu karena aku membutuhkan tempat istirahat. Lagipula Dedi sedang keluar untuk mengurus suatu keperluan dan meninggalkan aku sendiri di rumah.

-----

Begitulah hari keduaku di Kerinci yang berjalan amat pelan. Namun di hari itu aku menyempatkan untuk bertanya kepada Dedi cara menuju Danau Kaco. Mencari informasi dan menyiapkan diri untuk mengunjungi target utamaku selama di Kerinci. Dan hasilnya agak diluar dugaan.

Tadinya aku membayangkan untuk menyewa motor dan mengeksplorasi sendiri wilayah Sungai Penuh dan sekitarnya. Tapi Danau Kaco terletak di tengah hutan. Untuk menuju kesana aku harus melewati jalan setapak dan minim petunjuk. Semua orang yang aku tanyai tidak menyarankanku untuk berkunjung sendirian kesana. Baiklah, karena bukan hanya 1-2 orang yang berkata begitu, aku memutuskan untuk mengikuti saran itu. Tidak pergi sendirian kesana. Maka Dedi membantu aku mencarikan pemandu untuk kesana.

Ternyata harga pemandu tidak murah. Apalagi pemandu di desa Lempur, tempat dimana Danau Kaco berada. Harganya sama sekali tidak cocok untuk kantongku yang pas-pasan. Apalagi sebelumnya aku tidak menganggarkan pengeluaran untuk membayar pemandu. Tampaknya niatku menuju Danau Kaco mendapatkan rintangan kedua setelah cederanya kelingking kaki kiri.

Untungnya Dedi menawarkan alternatif lain, yaitu menyewa pemandu dari timnya. Tapi dengan catatan tidak menginap di desa Lempur. Jadi pergi pulang di hari yang sama. Harganya lebih cocok terhadap kondisi keuanganku. Maka jadilah kesepakatan 2 hari tanpa menginap. Satu hari ke danau Kaco. Satu hari lagi keliling Sungai Penuh.

Hari ketiga, aku memberanikan diri untuk keluar dan menguji kesembuhan jari kelingkingku. Targetnya hanya sekeliling Sungai Penuh: Danau Kerinci, Bukit Khayangan, Masjid Agung, dan mungkin Air Panas Semurup jika sempat. Yang terakhir ini sebenarnya aku tidak terlalu antusias, tapi daripada bengong di rumah, lebih baik mengunjungi tempat baru saja.

Maka dengan sedikit keraguan dan penuh antusiasme, aku pun mulai menjelajahi Sungai Penuh. Hari ini rasanya seperti hari pertama di Kerinci karena sebelumnya aku hanya beristirahat saja. Tujuan pertamaku ialah Danau Kerinci. Danau terluas di daerah ini sekaligus pusat wisata kabupaten Kerinci. Jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat kota Sungai Penuh. Sekitar 16 km atau setengah jam perjalanan santai dengan motor (karena melewati kota dan banyak lampu lalu lintas).

Namun kami berangkat dari Siluak Gedang, kira-kira 10 km dari kota Sungai Penuh. Jadi waktu tempuhnya sedikit lebih lama. Tapi perjalanannya cukup menyenangkan. Cuaca cerah berawan pagi itu. Hamparan awan sedikiit menutupi barisan bukit di pegunungan Kerinci, menciptakan ray of light dari langit ke kaki gunung. Pemandangan yang membuatku betah memandangnya seharian. Sayangnya aku tidak punya waktu seharian karena harus mengunjungi beberapa tempat hari ini. Maka aku harus cukup puas dengan hanya mengabadikannya melalui kamera. Itu pun hanya sedikit karena aku harus berhenti untuk mendapatkan foto yang layak.

Terlalu sayang dilewatkan kamera meski sedang terburu-buru

Setelah berhenti sebentar, kami melanjutkan perjalanan. Tidak lama, kami memasuki kota Sungai Penuh, ibukota kabupaten Kerinci. Kota yang tidak besar tapi padat. Namanya diambil sesuai dengan keadaannya di jaman dulu, yaitu tempat dimana sungai meluap (penuh). Memasuki kota ini rasanya seperti memasuki Jakarta di awal 90an. Lalu lintasnya agak membingungkan. Tapi karena aku hanya dibonceng jadi aku tidak terlalu memikirkannya.

Hello & Goodbye, Sungai Penuh

Tiba-tiba saja kami sudah hampir keluar kota. Ucapan selamat jalan kami rasakan ketika melintasi jembatan cinta atau jembatan ceker ayam. Konon jembatan ini satu-satunya jalan layang di provinsi Jambi. Jembatan ini dibangun untuk mengatasi banjir yang kerap melanda daerah ini. Konon lagi, pondasinya amat dalam karena hingga kedalaman 40 meter, materialnya masih berupa tanah basah. Batu cadas baru ditemukan pada kedalaman tersebut sehingga struktur jembatan membutuhkan pondasi sedalam itu.

Jembatan ini layak dijadikan icon Sungai Penuh

Belum lengkap jika belum mejeng di atas jembatan ini

Panorama dari atas jembatan amat segar dilihat mata

Tidak lama selepas jembatan cinta, kami sampai ke tepi danau Kerinci. Danaunya cukup luas, namun yang membuat menarik ialah panorama jajaran bukit di seberang danau. Apalagi saat itu suasananya amat tenang. Tidak banyak pengunjung yang datang. Mungkin karena bukan hari libur. Membuatku betah berlama-lama memandang setelah asik memotret sekeliling.

Dermaga danau Kerinci

Terhampar luas dengan barisan Gunung Raya di sisi seberang

Memandangi hamparan air yang luas ini membuatku terbayang cerita tentang asal-usul danau. Legenda Carupat dan Calupit, kakak beradik yang saling menyayangi meski berbeda nasib. Yang satu menjadi naga penunggu danau, yang satu lagi menjadi pemimpin arif bijaksana. Melihat luasnya danau, imajinasiku sempat tergoda untuk membayangkan keberadaan naga besar penghuni danau. Danau yang luas dikelilingi gunung dan bukit. Apalagi berada di tempat yang agak terisolir. Pasti masih banyak mitos dan legenda yang mengelilingi tempat ini.

Sisi lain dari danau Kerinci. Entah apa yang dicari anak-anak ini, aku tidak sempat bertanya..

Cerita rakyat seperti ini menarik untuk dikaji lebih dalam. Melalui tuturan seperti ini, kita dapat memahami, atau paling tidak menduga pola pikir masyarakat sesuai tradisi turun temurun. Cerita rakyat selalu menarik untukku, apalagi ditambah kunjungan ke tempat legenda tersebut dilahirkan. Sayangnya kami tidak berhasil menemukan museum disini. Tanya kanan-kiri kepada orang berseragam (baca: pegawai pemerintah) dapatlah info bahwa museum Kerinci masih dalam tahap pembangunan. Lokasinya berada di belakang dermaga. Danau Kerinci ini tampaknya akan menjadi pusat pariwisata kabupaten Kerinci mengingat jalur pendakian ke puncak gunung Kerinci dikelola oleh Taman Nasional Kerinci Seblat, bukan pemkab Kerinci.

Bangunan besar beratapkan seng putih dilatar belakang itulah yang konon akan dijadikan museum Kerinci.

Hari masih siang ketika kami meninggalkan danau Kerinci. Aku memang tidak berniat menghabiskan waktu seharian disini sebab masih ada 2 tempat lagi yang ingin aku kunjungi, yaitu masjid Agung Pondok Tinggi dan bukit Khayangan. Maka kami segera beranjak kembali menuju kota Sungai Penuh untuk makan siang.

Kami memutuskan untuk makan siang di pasar Sungai Penuh. Selain banyak pilihan, tempatnya sudah cukup dekat dengan tujuan kami selanjutnya, yaitu masjid Agung Pondok Tinggi. Dari segi waktu juga cocok. Aku ingin menyempatkan diri untuk sholat dzuhur disana, tidak sekedar berwisata atau berburu foto saja. Jadi makan siang ditempat yang dekat masjid ini ialah pilihan yang paling tepat.

Benar saja, setelah kami selesai makan siang, adzan berkumandang. Kami bergegas menuju kesana untuk ikut berjamaah. Selama perjalanan ini mungkin baru kali ini aku ikut sholat berjamaah dan tepat waktu. Kemarin-kemarin lebih banyak di jamak. Rasanya memang lebih nikmat ikut jamaah, apalagi di masjid kuno seperti ini. Rasanya ada nuansa beda. Lebih klasik, kuno.. pokoknya beda lah!

Masjid Agung Pondok Tinggi. Mulai dibangun pada 1874 dan selesai pada 1902.

Selesai ibadah, aku baru menyempatkan diri untuk memotret sekeliling masjid. Keunikan yang paling terasa dari masijd ini ialah nuansa kayu yang amat kental. Dan juga ada rasa Melayu. Mungkin karena warna kuning amat dominan. Dinding masjid terbuat dari kayu dan dipasang agak menjorok ke luar, tidak tegak lurus ke atas. Buatku yang terbiasa dengan dinding lurus, rasanya kok agak ganjil ya, seperti mau rubuh meski aku yakin dindingnya cukup kokoh. Bagian langit-langit ditengah masjid dibiarkan terbuka sehingga rangka bangunan terlihat jelas, begitu pula dengan atap dari seng.

Mejeng narsis di depan masjid
Bagian dalam masjid, temboknya miring keluar.

Mihrab dan mimbar masjid.

Hal lain yang menurutku menarik ialah tempat muadzin mengumandangkan adzan. Tempatnya berada di ruang utama, namun agak ditinggikan. Untuk mencapainya kita harus menaiki tangga yang tingginya lumayan. Tangga ini berakhir di sebuah panggung kecil berukuran 2 sadjadah lebih sedikit, tempat muadzin mengumandangkan adzan.

Tempat muadzin mengumandangkan adzan. Letaknya agak tinggi dan bertempat di dalam ruang utama.

Tempat muadzin, luasnya hanya cukup 2 untuk sadjadah lebih sedikit.


Selain itu masjid ini memiliki 2 buah bedug. Konon 1 bedug digunakan untuk menandakan waktu sholat seperti bedug di masjid-masjid pada umumnya, satu bedug lagi digunakan sebagai tanda bahaya, fungsinya seperti pentungan ronda. Unik ya? Dari cerita yang aku dapat, bedug tanda bahaya dinamakan “Tabuh Larangan” dan ukurannya lebih besar daripada bedug penanda waktu sholat.

Tabuh Larangan (kanan) dan bedug penanda waktu sholat (kiri)


Menghabiskan waktu di masjid berusia 100 tahun lebih ini rasanya seperti berkelana ke masa lalu Sungai Penuh. Konon masjid ini mulai dibangun pada 1874 dan selesai di tahun 1902. Hampir 30 tahun pembangunannya. Rasanya menakjubkan masih dapat merasakan beribadah di salah satu masjid tertua Kerinci ini. Sayangnya meski banyak masjid tua lain disekitar sini, hanya masjid Agung Pondok Tinggi inilah yang sempat aku kunjungi.

Lepas dari Masjid Agung Pondok Tinggi, kami bergegas menuju bukit Khayangan. Jalannya agak menanjak. Tidak banyak penunjuk arah menuju kesana. Kami hanya mengandalkan peta dari ponsel. Jika sinyal hilang, terpaksa bertanya kepada penduduk. Meskipun tidak semua jawaban yang kami dapatkan mencerahkan, namun itu lebih baik daripada bingung yang disimpan sendiri. Sedikit berputar-putar, banyak bertanya dan banyak mengecek peta ponsel, akhirnya kami sampai juga ke Bukit Khayangan.

Santai sangat sebentar di Bukit Khayangan. Kota Sungai Penuh dan danau Kerinci terlihat jelas dari sini.

Bukit Khayangan. Nama yang menurutku sedikit berlebihan untuk tempat ini dan terasa klise. Memang panorama dari sini bisa dibilang indah, namun hampir sama misalnya jika kita berhenti di puncak dan menikmati pemandangan dari ketinggian. Kota Sungai Penuh dan Danau Kerinci memang terlihat dari sini. Pemandangannya cukup indah untuk membuat kita betah berlama-lama. Hanya area bukit ini tidak terlalu luas sehingga kurang leluasa untuk bersantai jika sedang ramai.

Kami tidak banyak menghabiskan waktu disini. Karena selain panorama, hampir tidak ada hal lain yang dapat ditawarkan tempat ini. Untuk bersantai pun agak kurang karena hanya ada satu saung saja. Jadi pengunjung harus bergantian untuk mengambil foto.

Mungkin waktu kunjungan kami juga kurang tepat. Rasanya tempat ini akan luar biasa untuk mengambil foto jika kita datang pada saat menjelang matahari tenggelam atau terbit. Pada golden hour, bukan pada pukul 3 sore. Tapi karena waktu yang aku punya hanya saat itu, maka apa boleh buat. Saat itu aku memang tidak mengkhususkan diri untuk berburu foto, tapi lebih mengenal Kerinci dengan kelima indraku sendiri. Dan memotret apa yang aku temukan. Objek yang hadir tanpa rencana. Kejutan dan hal unik yang aku temukan dalam perjalanan, itulah hal-hal yang akan aku potret. Jadi memang tidak direncanakan tapi lebih ke spontanitas.

Tidak lama, kami segera beranjak pergi. Aku berharap sudah sampai di rumah sebelum gelap. Lagipula aku tidak ingin terlalu lelah hari ini mengingat besok aku berencana mengunjungi danau Kaco yang medannya lumayan. Itulah tujuan utamaku selama di Kerinci ini. Apalagi kelingking kaki masih dalam masa penyembuhan. Semoga besok sudah bisa sembuh total untuk modal menerabas hutan menuju danau Kaco.

Sebenarnya sebelum mencapai rumah, kami sempat mampir ke sumber air panas Semurup. Namun terus terang aku sama sekali tidak terkesan dengan tempat ini, jadi maaf, aku akan melewatkan cerita tentang tempat tersebut. Meskipun sudah disebut sebagai “objek wisata” namun terus terang, tempat ini perlu banyak dibenahi untuk dapat menarik pengunjung. Akhirnya menjelang maghrib, kami sampai kembali ke Siluak Gedang, tempatku bermalam selama di Kerinci.

Setelah hari ini berakhir, aku mulai dapat merasakan Kerinci meski sangat sedikit. Kunjungan ke Danau Kerinci dan Masjid Agung Pondok Tinggi telah memberikanku kesan awal tentang daerah ini. Terutama tentang masa lalunya. Rasanya terlalu banyak cerita dalam sehari. Itu juga belum termasuk kunjungan ke museum karena ternyata museum Kerinci masih dalam tahap pembangunan.

Perjalanan hari ini membuatku merasa untuk mengenal Indonesia memang butuh waktu yang amat panjang. Rentang waktu sebulan rasanya masih kurang untuk mengenal Sungai Penuh saja. Belum lagi kota dan desa disekitarnya. Cerita apalagi yang akan ditawarkan oleh mereka?

Ini baru satu daerah bernama Kerinci. Satu kota kabupaten dalam provinsi Jambi. Masih banyak kabupaten lain di provinsi ini. Masih banyak provinsi lain dalam Indonesia kita. Usia kita mungkin tidak cukup sebab begitu banyak sejarah, tradisi, cerita, dan kearifan lokal yang tersebar sepanjang Nusantara ini. Rasanya tidak sabar menanti cerita yang aku dapatkan di desa Lempur, tempat danau Kaco berada. Nantikan di artikel selanjutnya!