Senin, 24 Oktober 2016

SoloTrip Swarnadwipa 03: Sejarah rasa mistik di bukit Siguntang

Bukit Siguntang. Tempat ini aku kenal dari salah satu artikel di laman media travel. Artikel itu menyebutkan bahwa tempat ini merupakan tempat bersejarah di Palembang. Konon, bukit ini menjadi asal mula sebuah kerajaan di Palembang. Aku lupa kerajaan apa yang disebutkan dalam artikel tersebut, namun sudah cukup untuk membuatku penasaran dan memasukkan tempat ini ke dalam tujuan yang ingin aku kunjungi selama di Palembang.

Bukit Siguntang berada tidak jauh dari pusat kota. Mencapainya tidak sulit, hanya pintu masuknya tidak terlalu mencolok. Terkesan biasa dan mudah terlewatkan. Aku sempat berputar-putar sebelum memasuki gerbang masuknya. Masuk kesini rasanya tidak seperti memasuki suatu objek wisata. Lebih terasa memasuki taman kota. Areanya luas, sepi, dan banyak pepohonan rindang. Cocok sekali untuk pacaran (jika punya, hehehehe).

Lebih mirip taman kota daripada objek wisata

Untungnya ketika aku memasuki tempat ini, tidak ada pasangan yang sedang berpacaran. Setidaknya dalam pengamatanku. Mungkin karena masih pagi dan bukan hari libur, suasananya masih relatif sepi. Hanya ada penjaga pos dan sebuah motor terparkir disebelah motorku.

Dari tempat parkir motor, aku menaiki undakan landai menuju objek utama. Undakan ini seperti karpet merah usang meski warnanya abu-abu. Undangan untuk memasuki ruang utama tanpa sekat. Lalu seperti ucapan selamat datang, daftar tujuh makam yang berada disini terpampang disebelah kiri undakan. Selamat datang di makam keramat.

Selamat datang di tujuh makam Siguntang.

Sejujurnya, nama-nama yang terukir disana terlihat asing olehku. Belum pernah atau samar-samar saja terdengar sebelumnya. Meskipun tempat ini disebut sebagai peninggalan sejarah dan menjadi objek wisata sejarah, namun aku sama sekali tidak tahu sejarah ketujuh orang yang dimakamkan disini. Disekitar makam juga tidak ada keterangan yang menjelaskan siapa tokoh-tokoh yang dimakamkan disini. Rasanya tidak seperti memasuki tempat bersejarah.

Makam "pertama", Panglima Tuan Djunjungan

Lebih mirip makam keramat. Pengunjung yang aku temui pun sepertinya hanya akan berziarah saja. Namun satu makam tampaknya lebih ramai diziarahi daripada makam lainnya. Makam raja Segentar Alam. Namanya ditulis paling awal dalam daftar makam. Bangunannya tampak paling megah dan paling banyak dikunjungi. Tapi aku tidak tahu sama sekali mengenai tokoh yang satu ini. Siapa Raja Segentar Alam ?

Makam Raja Segentar Alam. Makam yang paling sering diziarahi
Apakah ia salah satu raja Sriwijaya? Rasanya tidak. Salah satu sultan Palembang? Mungkin, tapi usia temuan arkeologis di bukit Siguntang umurnya sejaman dengan Sriwijaya. Atau Segentar Alam punya nama lain? I have no idea at all.

Satu hal yang pasti, makam ini paling ramai dikunjungi dibanding makam lainnya. Hal ini mendorong rasa penasaranku untuk melihat lebih ke dalam. Kebetulan saat sedang melongok ke dalam, seorang nenek mempersilahkan aku masuk. Mungkin disangka ingin berziarah padahal hanya sekedar penasaran. Karena sudah tanggung, okelah aku masuk saja.

Di dalam, tempat ini terasa seperti musholla. Karpet digelar mengelilingi makam. Sepertinya banyak peziarah mengelilingi makam sambil berdoa. Entah doa macam apa yang dipanjatkan. Kotak sumbangan, air kemasan, dan rangkaian-rangkaian bunga untuk ditaburkan di atas makam juga tersedia rapi disana. Terasa sekali jika makam ini sering diziarahi. Tetapi siapa itu Raja Sigentar Alam?


Makam Raja Segentar Alam dari dalam bagunan.
Sesembahan kepada arwah sang Raja

Cerita mengenai tokoh ini aku dengar dari nenek yang tadi mempersilahkan aku masuk. Beliau memperkenalkan diri sebagai Nyai Atun. Juru kunci makam Raja Segentar Alam. Ceritanya penuh dengan mistis. Beliau datang karena mendapat mimpi, dipanggil oleh arwah Raja Segentar. Menyuruhnya tinggal untuk merawat makamnya. Atas dasar mimpi itulah beliau datang dari Jawa pada tahun 1977 kalau aku tidak salah catat. Penuh bisikan gaib, nenek Atun kemudian memutuskan untuk menjaga dan merawat makam ini hingga sekarang.

Menurut nenek Atun, Raja Segentar Alam ialah raja Sriwijaya yang berasal dari Jawa, keturunan Majapahit (hah?). Raja berlayar dari Lembang Melayu ke Lancang Kuning. Ketika tiba, jangkarnya tersangkut segempal tanah. Karena dulu semua dunia merupakan samudra luas, kapal tersebut terdampar kemudian hilang (hah lagi).

Raja ini juga memiliki dua pengawal setia: Panglima Bagus Kuning dan Panglima Bagus Karang. Kedua makam ini berada dalam satu atap, tidak jauh dari makam Raja Segentar Alam. Sedangkan makam Putri Kembang Dadar berada agak jauh dari kelompok makam Raja Segentar Alam. Tampaknya hubungan tokoh ini dengan Raja Segentar Alam agak jauh, namun sekali lagi aku tidak pernah mendengar cerita tentang tokoh ini sama sekali. Nenek Atun sendiri hanya menceritakan tokoh Raja Segentar Alam dan rombongannya, termasuk kedua panglima tadi.


Makam panglima bagus kuning & bagus karang. Pengawal Raja Segentar Alam.

Makam Putri Kembang Dadar letaknya agak terpisah.

Penuh mistis, diceritakan oleh seorang nenek, dan amat minim bukti sejarah maupun arkeologis. Ceritanya pun penuh kejanggalan. Tapi aku tidak menyanggah atau mengkritisi sama sekali cerita si nenek. Hanya mendengarkan saja. Karena yang aku dengarkan justru hal yang tidak diucapkan sang nenek.

Mendengarkan kisah Nyai Atun, juru kunci makam Raja Segentar Alam.

Alih-alih tercerahkan dengan cerita mengenai tokoh Raja Segentar Alam, aku malah takjub dengan pengakuan si nenek yang datang seorang diri dari Jawa untuk menjaga makam hanya karena mimpi. Meninggalkan semua yang ia miliki di tanah Jawa. Suami dan anaknya. Untuk menjaga makam di tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya.

Jika ceritanya benar, maka betapa hidup itu adalah pilihan. Seperti apa kita ingin menjalaninya? Apakah kita memiliki keberanian untuk menjalankan hidup yang kita inginkan? Apakah kita siap untuk membayar harganya, konsekuensi dari pilihan hidup kita? Menjadi juru kunci makam alih-alih menjadi ibu rumah tangga biasa adalah pilihan nenek/nyai Atun. Pilihan yang sulit aku pahami, tapi terkadang pilihan hidup hanya bisa dipahami oleh pengambil keputusan itu sendiri. Aku rasa, aku tidak perlu memahami pilihan hidup nenek Atun. Yang perlu aku pahami ialah ia telah mengambil keputusan, hidup seperti apa yang ingin ia jalani. Dan inilah yang aku pelajari dari pertemuan ini: hidup adalah pilihan,

Seperti keputusanku untuk melakukan perjalanan ini. Tidak mudah untuk memulainya. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Tapi aku memutuskan untuk berjalan. Karena alasan yang mungkin hanya aku sendiri yang memahaminya. Atau mungkin juga aku tidak perlu alasan untuk perjalanan ini. Tidak perlu mengapa dan tidak perlu karena. Just because.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar