Kamis, 09 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 11: Hari pertama di Enggano

Hari masih berada pada pertengahan malam ketika kapalku akan merapat ke pelabuhan Kahyapu di Enggano. Pengumuman untuk bersiap kepada para penumpang telah menggema di seluruh sudut kapal. Akhirnya Enggano terlihat meski hanya beberapa kelip lampu redup di kejauhan. Jika tidak ada pengumuman, mungkin aku hanya mengira kelip lampu tersebut berasal dari kapal nelayan, bukan pelabuhan.

Aku memutuskan untuk berkeliling kapal sebelum Pulo Tello benar-benar merapat. Berharap bisa melihat pulau tujuan dengan lebih jelas. Namun hasilnya nihil ditelan kegelapan malam. Enggano gelap gulita! Pelabuhan hampir tidak terlihat. Sorotan lampu mirip lampu jalan saja yang ada.

Tadinya aku berharap dapat menyaksikan rumah-rumah penduduk sepanjang pesisir pelabuhan. Awalnya aku membayangkan desa Kahyapu berada di pelabuhan dan pesisir sekitar pelabuhan penuh dengan rumah-rumah penduduk. Tadinya aku membayangkan setapak jalan dan jejeran rumah-rumah penduduk dekat pelabuhan. Tapi ternyata..

Hutan, hanya hutan dan laut di sekitar pelabuhan. Peradaban masih berada beberapa ratus meter atau beberapa kilometer lagi dari sini. Mendadak, aku merasa bersyukur telah bertemu kerabat Zulfan. Mendadak, aku berharap tuan rumah menjemputku di pelabuhan.

Aku yang kemarin jumawa hendak menginap dulu di pelabuhan jika tiba tengah malam tiba-tiba kehilangan nyali. Bermalam tanpa tenda di pulau terasing yang dikelilingi hutan dan lautan gelap di tengah malam? Benar-benar tidak siap untuk itu!

Untungnya, Zulfan si tuan rumah berada di pelabuhan malam itu. Sang keponakan yang aku kenal di kapal yang membawaku kepadanya. Perawakannya biasa saja, tidak bongsor juga tidak mini. Hanya sedikit lebih kurus dari yang di foto medsosnya.

Kami pun berkenalan, lalu menuju parkiran motor di pelabuhan. Pelabuhan, yah, kalau saja dapat disebut demikian. “Pelabuhan Kahyapu” hanya berupa dermaga dan satu-dua bangunan yang “tidak aktif”. Penerangan hanya seadanya. Aku bahkan tidak ingat ada lampu jalan yang menyala. Sumber lampu seingatku hanya dari kapal dan kendaraan warga yang keluar dari kapal maupun yang menjemput sanak keluarga. Gelap sekali!

Meskipun gelap dan nyaris tidak bisa melihat apa-apa, aku merasa senang dan bangga. Akhirnya terwujud juga keinginan mengunjungi salah satu pulau terluar sekaligus agak terlupakan ini. Sampai juga di Enggano! Rasanya seperti hidup di alam mimpi. Apalagi yang menyambutku ialah kegelapan malam. Lengkap sudah pembauran antara realitas dan mimpi.

Dalam gelap, aku dan Zulfan menuju tempat motor terparkir. Motornya orang Enggano juga unik, rata-rata rodanya offroad. Beberapa motor yang aku lihat bahkan seperti rangka berjalan. Mesin, rangka, jok, dan pijakan kaki. Cukup sudah. Jangan tanya soal plat apalagi surat. Di pulau terpencil, jalan keluar masuk kendaraan bermotor hanya lewat laut. Makanya relatif aman meninggalkan kendaraan disini. Kunci pun kadang masih nyantel saat motor diparkir. Tidak khawatir hilang karena relatif mudah dicari atau ditelusuri, tidak seperti di kota-kota pulau besar.

Motor ala Enggano di pekarangan rumah

Dengan motor ala Enggano itu kami menembus malam menuju rumah Zulfan di desa Ka’ana. Perjalanan menuju kesana cukup mencekam untukku. Jalanan tidak rata, banyak lubang dan penerangan hanya dari kendaraan kami saja. Jangan berharap ada lampu jalan disini. Penerangan tambahan hanya berasal dari rumah-rumah penduduk di desa yang kami lewati. Selebihnya gelap. Beberapa kali kami hampir terperosok. Untung Zulfan sigap menyeimbangkan motor sehingga kami tidak terjembab. Memang aku agak khawatir selepas dari pelabuhan tadi. Berat bebanku ditambah tas di punggung membuat beban motor cenderung berat ke belakang. Apalagi penerangan minim dan jalanan banyak lubang yang cukup dalam.

Lubang dan kubangan sepanjang jalan Kahyapu-Ka'ana. Foto diambil keseokan harinya

Tapi akhirnya kami bisa sampai dengan selamat tanpa terjatuh. Hanya tulang ekorku yang agak sakit oleh benturan-benturan lubang tadi. Begitu pula otot paha yang rasanya pegal sekali, padahal perjalanannya tidak terlalu jauh. Medannya cukup berat rupanya, apalagi dengan kondisi berboncengan seperti itu.

Tempatku menginap selama di Enggano

Yaudahlah, yang penting sampai dengan selamat. Namun listrik di desa Ka’ana sudah padam dari tadi. Listrik di desa-desa Enggano menyala secara kolektif selepas maghrib atau kira-kira jam 6 sore sampai tengah malam, antara jam 11 atau 12 saja.

Untungnya Zulfan memiliki lampu tenaga surya. Dengan daya yang pas-pasan, kami mengobrol sebentar ala kadarnya sebagai perkenalan awal. Dari sini aku tau bahwa pisang merupakan komoditi utama di Enggano. Hasil kebun yang dapat dijual keluar Enggano. Namun sayangnya harga minyak disini cukup tinggi. Maklum, biaya distribusinya juga tidak murah. Oleh karena itu pisang yang dijual keluar Enggano benar-benar tanpa diolah terlebih dahulu. Begitu pula hasil kebun lain seperti cokelat.

Begitulah, hasil obrolan malam itu diisi dengan cerita tentang komoditas dari Enggano. Belum bicara pariwisata, meskipun Zulfan sempat memberitahukan biaya untuk berkunjung ke pulau Dua dan Merbau, dua pulau kecil disekitar Enggano. Tidak panjang obrolan kami malam itu. Sudah terlalu larut dan lelah.


Tidak lama, Zulfan mempersilahkan aku masuk ke kamar tamu. Lucunya di kamar itu kasurnya ditutupi kelambu. Nah, ini pengalaman pertamaku tidur dalam kelambu. Memang, sebelum kemari aku sudah mendengar bahaya malaria di pulau ini. Tapi aku memang lupa menyiapkan pil kina sebagai anti-malaria. Melihat kelambu merah jambu ini, barulah aku teringat kembali akan bahaya malaria. Ah, baca doa saja sebelum tidur. Semoga perlindungan doa dan kelambu merah jambu ini cukup untuk melindungiku dari penyakit yang sering mengancam di pulau-pulau yang masih banyak tertutup hutan tropis seperti Enggano ini.
---

Pagi datang dengan cepat dan dingin. Mendung gerimis menyelimuti Enggano pagi itu. Untungnya setelah beberapa saat matahari muncul. Kesempatan ini segera aku manfaatkan untuk mengambil gambar di sekitar rumah. Hamparan hutan di seberang jalan. Rumah-rumah sederhana dengan rumput yang lembut. Jalanan di depan rumah yang penuh lubang dan kubangan. Aroma Enggano baru terhirup pagi ini. Ia datang terlambat, tapi tidak mengecewakan. Aura petualangan, berada di desa pulau terpencil amat terasa begitu semuanya dapat terlihat. Seru dan menyenangkan!

Sebuah pagi di Enggano

Sayangnya, tidak lama hujan kembali turun. Aku kembali berlindung ke dalam rumah. Menyaksikan hujan dari jendela yang murung. Meresap, menghayati Enggano dalam hujan. Menikmati suasananya. Sampai kantuk menyerang. Tepat pada waktu tidur siang.

Menunggu hujan reda

Bosan mengamati hujan, aku memutuskan untuk tiduran sebentar. Apalagi tuan rumah pun sedang beristirahat di kamarnya. Aku juga tidak ingin terburu-buru dalam perjalanan ini. Menikmati setiap momen lebih penting daripada mengunjungi banyak tempat sekaligus. Begitulah prinsip yang aku pegang dalam perjalanan kali ini.

Berpose sebelum tidur siang bersama di ruang tv

Menjelang sore, hujan baru berhenti. Sebentar aku berkeliling rumah untuk memotret sebelum Zulfan mengajakku ke pantai. Mencari remis katanya, untuk variasi kuah karena sayur agak sulit didapat. Sulit di dapat? Bukankah lahan terhampar luas di Enggano? Ternyata babi masalahnya. Entah siapa yang pertama kali membawa babi ke Enggano, tapi hewan ini menjadi hama yang amat merusak kebun sayur. Oleh karena itu orang-orang Enggano enggan berkebun sayur. Mereka lebih memilih pisang dan cokelat sebagai komoditi ekspor, sebab sayur amat mudah dirusak babi. Seperti memberi makan mereka, katanya. Zulfan juga berteori, sebenarnya mudah untuk membuat orang Enggano makmur: berantas babi diseluruh pulau, niscaya orang Enggano makmur (dari berkebun karena hama utamanya tidak ada). Tapi ini juga dapat menjadi potensi masalah. Hutan Enggano akan terancam jika terlalu banyak lahan yang dibuka untuk ladang. Padahal disini hidup flora-fauna endemik yang (mungkin) belum banyak ditemukan. Hilangnya hutan akan mengancam ekosistem alias rumah mereka. Kemajuan memang harus memperhatikan kelestarian alam.

Kembali ke Enggano. Nah, ternyata pantainya tidak begitu jauh. Dari belakang rumah, kami berjalan menelusuri jalan setapak. Sedikit hutan tropis, lalu berganti hutan bakau, dan sampailah di tepian daratan. Pasir pantai yang kasar dan padang lamun yang luas menyapa kami di sore yang mendung.

Menembus hutan, menuju pantai

Batas ombak nampak jauh di depan sana. Sudah hancur di tepian karang. Tidak sempat menyapa kami di tepi daratan. Hanya agas, sejenis nyamuk bakau namun lebih kecil yang menyapa kami. Merubung di kaki, membuat tidak betah lama-lama diam. Harus terus bergerak sambil mencari remis untuk disayur. Remis yang bersembunyi diantara pasir pantai. Berjongkok dan menggali demi mencari makhluk kecil yang malang ini.

Menggali pasir, mengumpulkan remis

Namun itu tidak cukup untuk mengusir agas-agas nakal ini. Apalagi aku kadang harus berhenti untuk memotret pantai yang tampak murung di sore itu. Ditutupi awan kelabu dan para penghuni pantai yang diam-diam mengintai. Seperti bintang laut belang ini. Atau camar di kejauhan yang tidak tertangkap kamera berlensa lebar. Pantai ini terasa sepi, terasing, dan sedikit mengancam. Tapi bebas sampah. Tidak ada sampah plastik disini. Hanya ada sampah alam yang akan segera di daur ulang oleh siklus. Terasa liar dan sedikit mengancam. Mungkin dari balik hutan sana ada pemangsa? Imajinasi di tempat baru dan asing mulai meliar, seperti alamnya.

Sepi, tenang, dan sedikit mengancam

 Tidak berlama-lama kami di pantai. Hanya untuk mengisi dua botol bekas air mineral ukuran sedang dengan remis lalu beranjaklah kami kembali. Pulang dengan mengambil jalan memutar. Menelusuri sungai kecil dan muncul di sisi lain desa. Menyapa para tetangga sepanjang jalan. Memperhatikan balai desa dan beberapa fasilitas penunjang desa. Tidak ada bank di desa ini. Di pulau Enggano, hanya ada satu bank daerah. Dan satu buah rumah sakit yang akan aku ceritakan nanti.

Merayap di perairan dangkal.. tenang dan mengancam..

Maghrib mulai menjelang di desa Ka’ana, Enggano. Genset desa mulai dihidupkan. Mengalirkan listrik ke rumah-rumah penduduk. Langit mulai gelap, rumah mulai terang. Listrik menghidupkan malam meski hanya setengahnya. Sudah waktunya pulang. Bahan makan malam sudah ditangan. Masak sebentar, lalu disantap dengan sederhana. Kenyanglah perut, senanglah hati. Sedikit obrolan lagi sebelum tidur disela-sela acara tv dari stasiun tv ibukota. Ditangkap dengan parabola yang teronggok disetiap rumah. Aku tidak bisa terlalu lama berbincang. Rasa kantuk datang dengan cepat. Pukul sepuluh lebih sedikit, aku pamit kepada tuan rumah. Bukan pamit pergi, hanya pamit tidur. Kelambu dipasang, kasur digelar. Selamat tidur, Enggano.

Selamat tidur, Enggano.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar