Hari masih berada pada pertengahan malam ketika kapalku akan
merapat ke pelabuhan Kahyapu di Enggano. Pengumuman untuk bersiap kepada para
penumpang telah menggema di seluruh sudut kapal. Akhirnya Enggano terlihat
meski hanya beberapa kelip lampu redup di kejauhan. Jika tidak ada pengumuman,
mungkin aku hanya mengira kelip lampu tersebut berasal dari kapal nelayan,
bukan pelabuhan.
Aku memutuskan untuk berkeliling kapal sebelum Pulo Tello
benar-benar merapat. Berharap bisa melihat pulau tujuan dengan lebih jelas.
Namun hasilnya nihil ditelan kegelapan malam. Enggano gelap gulita! Pelabuhan
hampir tidak terlihat. Sorotan lampu mirip lampu jalan saja yang ada.
Tadinya aku berharap dapat menyaksikan rumah-rumah penduduk
sepanjang pesisir pelabuhan. Awalnya aku membayangkan desa Kahyapu berada di
pelabuhan dan pesisir sekitar pelabuhan penuh dengan rumah-rumah penduduk.
Tadinya aku membayangkan setapak jalan dan jejeran rumah-rumah penduduk dekat
pelabuhan. Tapi ternyata..
Hutan, hanya hutan dan laut di sekitar pelabuhan. Peradaban
masih berada beberapa ratus meter atau beberapa kilometer lagi dari sini.
Mendadak, aku merasa bersyukur telah bertemu kerabat Zulfan. Mendadak, aku
berharap tuan rumah menjemputku di pelabuhan.
Aku yang kemarin jumawa hendak menginap dulu di pelabuhan
jika tiba tengah malam tiba-tiba kehilangan nyali. Bermalam tanpa tenda di
pulau terasing yang dikelilingi hutan dan lautan gelap di tengah malam?
Benar-benar tidak siap untuk itu!
Untungnya, Zulfan si tuan rumah berada di pelabuhan malam
itu. Sang keponakan yang aku kenal di kapal yang membawaku kepadanya.
Perawakannya biasa saja, tidak bongsor juga tidak mini. Hanya sedikit lebih
kurus dari yang di foto medsosnya.
Kami pun berkenalan, lalu menuju parkiran motor di
pelabuhan. Pelabuhan, yah, kalau saja dapat disebut demikian. “Pelabuhan
Kahyapu” hanya berupa dermaga dan satu-dua bangunan yang “tidak aktif”.
Penerangan hanya seadanya. Aku bahkan tidak ingat ada lampu jalan yang menyala.
Sumber lampu seingatku hanya dari kapal dan kendaraan warga yang keluar dari
kapal maupun yang menjemput sanak keluarga. Gelap sekali!
Meskipun gelap dan nyaris tidak bisa melihat apa-apa, aku
merasa senang dan bangga. Akhirnya terwujud juga keinginan mengunjungi salah
satu pulau terluar sekaligus agak terlupakan ini. Sampai juga di Enggano!
Rasanya seperti hidup di alam mimpi. Apalagi yang menyambutku ialah kegelapan
malam. Lengkap sudah pembauran antara realitas dan mimpi.
Dalam gelap, aku dan Zulfan menuju tempat motor terparkir.
Motornya orang Enggano juga unik, rata-rata rodanya offroad. Beberapa motor
yang aku lihat bahkan seperti rangka berjalan. Mesin, rangka, jok, dan pijakan
kaki. Cukup sudah. Jangan tanya soal plat apalagi surat. Di pulau terpencil,
jalan keluar masuk kendaraan bermotor hanya lewat laut. Makanya relatif aman
meninggalkan kendaraan disini. Kunci pun kadang masih nyantel saat motor diparkir. Tidak khawatir hilang karena relatif
mudah dicari atau ditelusuri, tidak seperti di kota-kota pulau besar.
Motor ala Enggano di pekarangan rumah |
Dengan motor ala Enggano itu kami menembus malam menuju
rumah Zulfan di desa Ka’ana. Perjalanan menuju kesana cukup mencekam untukku.
Jalanan tidak rata, banyak lubang dan penerangan hanya dari kendaraan kami
saja. Jangan berharap ada lampu jalan disini. Penerangan tambahan hanya berasal
dari rumah-rumah penduduk di desa yang kami lewati. Selebihnya gelap. Beberapa
kali kami hampir terperosok. Untung Zulfan sigap menyeimbangkan motor sehingga
kami tidak terjembab. Memang aku agak khawatir selepas dari pelabuhan tadi.
Berat bebanku ditambah tas di punggung membuat beban motor cenderung berat ke
belakang. Apalagi penerangan minim dan jalanan banyak lubang yang cukup dalam.
Lubang dan kubangan sepanjang jalan Kahyapu-Ka'ana. Foto diambil keseokan harinya |
Tapi akhirnya kami bisa sampai dengan selamat tanpa
terjatuh. Hanya tulang ekorku yang agak sakit oleh benturan-benturan lubang tadi.
Begitu pula otot paha yang rasanya pegal sekali, padahal perjalanannya tidak
terlalu jauh. Medannya cukup berat rupanya, apalagi dengan kondisi berboncengan
seperti itu.
Tempatku menginap selama di Enggano |
Yaudahlah, yang penting sampai dengan selamat. Namun listrik
di desa Ka’ana sudah padam dari tadi. Listrik di desa-desa Enggano menyala
secara kolektif selepas maghrib atau kira-kira jam 6 sore sampai tengah malam,
antara jam 11 atau 12 saja.
Untungnya Zulfan memiliki lampu tenaga surya. Dengan daya
yang pas-pasan, kami mengobrol sebentar ala kadarnya sebagai perkenalan awal.
Dari sini aku tau bahwa pisang merupakan komoditi utama di Enggano. Hasil kebun
yang dapat dijual keluar Enggano. Namun sayangnya harga minyak disini cukup
tinggi. Maklum, biaya distribusinya juga tidak murah. Oleh karena itu pisang
yang dijual keluar Enggano benar-benar tanpa diolah terlebih dahulu. Begitu
pula hasil kebun lain seperti cokelat.
Begitulah, hasil obrolan malam itu diisi dengan cerita
tentang komoditas dari Enggano. Belum bicara pariwisata, meskipun Zulfan sempat
memberitahukan biaya untuk berkunjung ke pulau Dua dan Merbau, dua pulau kecil
disekitar Enggano. Tidak panjang obrolan kami malam itu. Sudah terlalu larut
dan lelah.
Tidak lama, Zulfan
mempersilahkan aku masuk ke kamar tamu. Lucunya di kamar itu kasurnya ditutupi
kelambu. Nah, ini pengalaman pertamaku tidur dalam kelambu. Memang, sebelum
kemari aku sudah mendengar bahaya malaria di pulau ini. Tapi aku memang lupa
menyiapkan pil kina sebagai anti-malaria. Melihat kelambu merah jambu ini, barulah
aku teringat kembali akan bahaya malaria. Ah, baca doa saja sebelum tidur.
Semoga perlindungan doa dan kelambu merah jambu ini cukup untuk melindungiku
dari penyakit yang sering mengancam di pulau-pulau yang masih banyak tertutup
hutan tropis seperti Enggano ini.
---
Pagi datang dengan cepat dan
dingin. Mendung gerimis menyelimuti Enggano pagi itu. Untungnya setelah
beberapa saat matahari muncul. Kesempatan ini segera aku manfaatkan untuk
mengambil gambar di sekitar rumah. Hamparan hutan di seberang jalan.
Rumah-rumah sederhana dengan rumput yang lembut. Jalanan di depan rumah yang
penuh lubang dan kubangan. Aroma Enggano baru terhirup pagi ini. Ia datang
terlambat, tapi tidak mengecewakan. Aura petualangan, berada di desa pulau
terpencil amat terasa begitu semuanya dapat terlihat. Seru dan menyenangkan!
Sebuah pagi di Enggano |
Sayangnya, tidak lama hujan
kembali turun. Aku kembali berlindung ke dalam rumah. Menyaksikan hujan dari
jendela yang murung. Meresap, menghayati Enggano dalam hujan. Menikmati
suasananya. Sampai kantuk menyerang. Tepat pada waktu tidur siang.
Menunggu hujan reda |
Bosan mengamati hujan, aku
memutuskan untuk tiduran sebentar. Apalagi tuan rumah pun sedang beristirahat
di kamarnya. Aku juga tidak ingin terburu-buru dalam perjalanan ini. Menikmati
setiap momen lebih penting daripada mengunjungi banyak tempat sekaligus.
Begitulah prinsip yang aku pegang dalam perjalanan kali ini.
Berpose sebelum tidur siang bersama di ruang tv |
Menjelang sore, hujan baru
berhenti. Sebentar aku berkeliling rumah untuk memotret sebelum Zulfan
mengajakku ke pantai. Mencari remis katanya, untuk variasi kuah karena sayur
agak sulit didapat. Sulit di dapat? Bukankah lahan terhampar luas di Enggano?
Ternyata babi masalahnya. Entah siapa yang pertama kali membawa babi ke
Enggano, tapi hewan ini menjadi hama yang amat merusak kebun sayur. Oleh karena
itu orang-orang Enggano enggan berkebun sayur. Mereka lebih memilih pisang dan
cokelat sebagai komoditi ekspor, sebab sayur amat mudah dirusak babi. Seperti
memberi makan mereka, katanya. Zulfan juga berteori, sebenarnya mudah untuk
membuat orang Enggano makmur: berantas babi diseluruh pulau, niscaya orang
Enggano makmur (dari berkebun karena hama utamanya tidak ada). Tapi ini juga
dapat menjadi potensi masalah. Hutan Enggano akan terancam jika terlalu banyak
lahan yang dibuka untuk ladang. Padahal disini hidup flora-fauna endemik yang
(mungkin) belum banyak ditemukan. Hilangnya hutan akan mengancam ekosistem
alias rumah mereka. Kemajuan memang harus memperhatikan kelestarian alam.
Kembali ke Enggano. Nah,
ternyata pantainya tidak begitu jauh. Dari belakang rumah, kami berjalan
menelusuri jalan setapak. Sedikit hutan tropis, lalu berganti hutan bakau, dan
sampailah di tepian daratan. Pasir pantai yang kasar dan padang lamun yang luas
menyapa kami di sore yang mendung.
Menembus hutan, menuju pantai |
Batas ombak nampak jauh di depan
sana. Sudah hancur di tepian karang. Tidak sempat menyapa kami di tepi daratan.
Hanya agas, sejenis nyamuk bakau namun lebih kecil yang menyapa kami. Merubung
di kaki, membuat tidak betah lama-lama diam. Harus terus bergerak sambil
mencari remis untuk disayur. Remis yang bersembunyi diantara pasir pantai.
Berjongkok dan menggali demi mencari makhluk kecil yang malang ini.
Menggali pasir, mengumpulkan remis |
Namun itu tidak cukup untuk
mengusir agas-agas nakal ini. Apalagi aku kadang harus berhenti untuk memotret
pantai yang tampak murung di sore itu. Ditutupi awan kelabu dan para penghuni
pantai yang diam-diam mengintai. Seperti bintang laut belang ini. Atau camar di
kejauhan yang tidak tertangkap kamera berlensa lebar. Pantai ini terasa sepi,
terasing, dan sedikit mengancam. Tapi bebas sampah. Tidak ada sampah plastik
disini. Hanya ada sampah alam yang akan segera di daur ulang oleh siklus.
Terasa liar dan sedikit mengancam. Mungkin dari balik hutan sana ada pemangsa?
Imajinasi di tempat baru dan asing mulai meliar, seperti alamnya.
Sepi, tenang, dan sedikit mengancam |
Merayap di perairan dangkal.. tenang dan mengancam.. |
Maghrib mulai menjelang di desa
Ka’ana, Enggano. Genset desa mulai dihidupkan. Mengalirkan listrik ke
rumah-rumah penduduk. Langit mulai gelap, rumah mulai terang. Listrik
menghidupkan malam meski hanya setengahnya. Sudah waktunya pulang. Bahan makan
malam sudah ditangan. Masak sebentar, lalu disantap dengan sederhana.
Kenyanglah perut, senanglah hati. Sedikit obrolan lagi sebelum tidur
disela-sela acara tv dari stasiun tv ibukota. Ditangkap dengan parabola yang
teronggok disetiap rumah. Aku tidak bisa terlalu lama berbincang. Rasa kantuk
datang dengan cepat. Pukul sepuluh lebih sedikit, aku pamit kepada tuan rumah.
Bukan pamit pergi, hanya pamit tidur. Kelambu dipasang, kasur digelar. Selamat
tidur, Enggano.
Selamat tidur, Enggano. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar