Minggu, 26 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 12: Intim bersama gelap

Setelah pagi pertama yang muram dan dihiasi hujan sepanjang hari, aku berharap di hari kedua aku bisa berkeliling dan mendapatkan gambaran lebih luas tentang Enggano dengan kelima indraku sendiri. Meskipun aku belum tau apakah Zulfan akan mengantarku berkeliling atau aku akan berkeliling sendiri disekitar desa dan mencari cerita, tapi aku berharap hari ini matahari akan lebih banyak bersinar daripada kemarin.

Sepertinya aku nyaman dengan cepat dalam kamar berkelambu merah jambu ini. Sekali lagi matahari mendahului aku menyapa hari. Aku sendiri tidak ingin terburu-buru, tapi juga tidak ingin membuang waktu seharian dirumah lagi seperti kemarin. Setelah mandi dan sarapan, aku mulai memikirkan rencana untuk hari itu. Tapi ternyata Zulfan seperti membaca pikiranku. Dia meminta aku menunggu sementara dia mengurus suatu keperluan. Tidak lama, katanya. Lalu kita akan berkeliling pulau dengan sepeda motor. Mengunjungi desa-desa lain di Enggano. Memenuhi hasrat keingintahuanku tentang pulau ini.

Jadi baiklah, aku menunggu dulu di rumah meski mulai tidak betah diam atau sekedar membaca buku dari koleksi Zulfan. Iseng-iseng aku membuka koleksi pakaian kotor dan mencuci saja. Lumayan untuk mengisi waktu dan reload pakaian bersih. Aku menghitung, idealnya mencuci 3 hari sekali dan maksimal 5 hari sekali. Tapi kalau sudah 5 hari, biasanya persediaan amat tipis. Jadi bolehlah sedikit mencuci sambil menunggu.

Tidak lama setelah selesai, aku kembali menunggu Zulfan. Belum ada tanda-tanda kedatangannya. Yang datang malah saudara-saudara istrinya. Oh iya, istri Zulfan memang orang asli Enggano, sementra Zulfan sendiri berasal dari Krui, Lampung. Ramai berkunjung dan berbaur bersama mereka, aku sempat mendengar rencana untuk berwisata ke pulau Dua, salah satu pulau kecil disekitar Enggano selain pulau Merbau.

Sebenarnya Zulfan sudah sempat menawariku untuk mengunjungi pulau tersebut ketika pertama kali datang. Namun ongkos yang perlu dikeluarkan sebesar tiga ratus ribu rupiah terasa berat bagiku yang hanya membatasi lima ratus ribu rupiah saja selama di Enggano. Apalagi disana tidak ada bank atau ATM. Jadi aku sudah menolak tawaran itu karena besarnya biaya yang dibutuhkan, terutama untuk solar dan ongkos boatman.

Tapi lain halnya jika ada tawaran untuk membagi biaya tersebut dengan orang lain. Apalagi jika bisa ikut gratis, hehehe.. Namun dari obrolan yang sedikit-sedikit kutangkap, rombongan ini belum pasti pergi pesiar ke pulau dua tersebut. Apalagi masalah bbm yang mulai langka sempat menjadi penghalang mereka untuk meneruskan niat tersebut. Saat itu aku berpikir, mungkin mereka akan berlayar sementara aku dan Zulfan keliling desa-desa Enggano.

Namun ketika Zulfan kembali, dia mengajakku untuk ikut rombongan ke pulau Dua. Dia bilang, besok saja ya keliling desanya. Baiklah, aku menurut saja. Kapan lagi bisa ikut hoping island disekitar Enggano. Aku pun belum tau apakah bisa kembali ke pulau ini di sisa umurku. Mungkin ini kunjungan sekali seumur hidup meski aku berharap tidak demikan.

Di sungai dalam hutan, teronggoklah sebuah kapal yang akan mengantarkan kami ke pulau Dua

Jadi baiklah, ke pulau Dua kita berangkat! Perjalanan dimulai dari halaman belakang. Menelusuri jalan setapak ditengah hutan hingga menemukan aliran sungai. Ada beberapa kapal kayu yang tampak tenggelam disana. Oh bukan, bukan tenggelam rupanya. Hanya tergenang air hujan setinggi air sungai hingga tampak karam. Penyebabnya, kapal tidak ditutup terpal ketika terakhir kali dipakai. Dan ternyata dengan kapal yang tampak karam itulah kami akan berangkat menuju pulau Dua. Wow banget yah?

Menguras air hujan yang masuk ke badan kapal

Menjaga mesin tetap kering agar dapat menyala 

Jika dirumah kita biasa memanaskan mobil atau motor sebelum dipakai, maka disini kami harus menguras air hujan yang masuk ke kapal sebelum bisa menggunakannya. Bergantian kami menguras air hujan hingga kapal kembali terapung. Lalu memasang kayu tambahan sebagai dasar kapal dan pijakan kaki. Selanjutnya memasang mesin dan mengatur posisi duduk. Barulah kapal bisa diberangkatkan.

Menuju muara sungai yang penuh dengan tumbuhan liar

Dari sungai kecil di dalam hutan, kami mulai beranjak. Mesin kapal yang berisik membawa kami menelusuri sungai hingga ke muara. Sungai berganti laut. Langit sedang kelabu. Ombak pun tidak terlalu tenang. Aku tidak tahu apakah pengaruh cuaca atau memang biasanya seperti ini mengingat laut di depan sana ialah samudra Hindia. Tidak seperti laut Jawa yang terlindung Kalimantan dan Sumatra, disini tidak ada penghalang sehingga angin samudra langsung membawa ombak kemari.

Kapal kecil di tengah samudra. Bergoyang cukup hebat, untung tidak sampai terbalik. Kapal kecil kami menyusuri pantai bakau yang cetek. Sesekali dasar kapal tersangkut pasir, tapi masih bisa membebaskan diri. Kami menyusuri pinggiran pulau ke arah tenggara hingga tepian pulau Enggano yang besar berakhir. Kini memasuki lautan lepas. Meski pulau Dua sudah terlihat namun perasaan was-was masih berkecamuk di benakku. Berharap perjalanan baik-baik saja. Berdoa kapal tidak digulung ombak. Cuaca sedang tidak terlalu bersahabat meski tidak turun hujan.

Kecemasanku sempat bertambah ketika melihat sebuah kapal besar karam disekitar perairan pulau Dua. Bobotnya pasti berton-ton. Entah belasan entah puluhan ton, yang pasti jauh lebih besar dari kapal kami. Sepertinya kapal tersebut tersangkut karang hingga karam. Sebelum berangkat, sayup-sayup aku mendengar warga menggosipkan kapal karam dekat Kahyapu. Rupanya kapal ini yang mereka bicarakan.

Kapal karam disekitar perairan pulau Dua, Enggano. Calon rumah bagi terumbu karang.

Meskipun tampak karam, tapi kapal ini masih terlihat utuh dipermukaannya. Rupanya warga tidak berani “menjarah” kapal yang telah karam ini. Takut berurusan dengan pihak berwajib. Padahal aku yakin masih banyak barang-barang yang masih bisa digunakan diatas kapal. Tampaknya semua itu hanya akan menjadi rumah baru bagi terumbu karang. Begitulah kira-kira alam akan menyeimbangkan dirinya.

Langit sedang mendung ketika kami merapat ke pulau Dua

Perjalanan berlanjut lagi. Tidak jauh dari lokasi kapal karam tersebut, kami akhirnya mencapai pantai. Tidak banyak lokasi yang bisa dijadikan pilihan menambat kapal. Pantai yang penuh pohon kelapa ini salah satu tempat yang baik untuk merapat. Di dekat situ ada beberapa orang sedang menebang pohon kelapa. Mereka mengambil daunnya untuk menjadi atap rumbai. Banyak buah kelapa disekitarnya. Basa-basi sedikit, dapatlah kami dibagi buah kepala segar.

Sejenak kami beristirahat sambil menikmati kelapa. Pantai tempat kami mendarat sepertinya kurang cocok untuk bermain air atau menangkap ikan. Jadinya kami memutuskan untuk berpindah tempat. Menuju pondok disisi lain pulau. Rupanya Zulfan sudah sering mengantar tamu kemari. Dia sudah mendirikan pondok peristirahatan disana. Ada gudang dan beberapa perlengkapan untuk bermalam di pulau. Meskipun kami tidak berniat bermalam disini, namun peralatan barberque, penerangan tenaga surya dan alat-alat masak menjadi peralatan yang berguna bagi kami saat ini.

Pondok kecil yang amat terancam abrasi

Yang kurang hanya bahan makanannya. Kami membawa nasi tapi lauknya masih harus dicari. Peralatan mancing tidak ada, hanya ada jaring. Untungnya di rombongan kami ada beberapa nelayan yang mahir menggunakan jaring. Rombongan akhirnya tersebar diseluruh pantai. Berburu ikan dan kimo, sejenis kerang yang bisa langsung dimakan mentah-mentah.

Aku termasuk yang diajak mencari kimo. Meski tidak mengenali target, tetap saja diajak berburu. Namun entah kenapa aku sudah keburu lelah waktu itu. Mungkin sisa lelah dari perjalanan panjang ini. Yang pasti aku menyerah duluan dan memilih beristirahat di tepi pantai. Ada rasa sungkan dan malu sebenarnya, tapi setelah ini kami masih harus menelusuri hutan dan mendorong kapal kayu bila ia terperangkap di perairan dangkal sepanjang pantai. Aku masih akan membutuhkan tenagaku. Rasanya amat berharga disaat seperti ini. Kesempatan beristirahat aku manfaatkan baik-baik. Tidak apa malu asalkan sehat. Keselamatan lebih penting daripada gengsi.

Dan benar saja, ketika rombongan pencari kimo selesai dan bergabung bersama pencari ikan, aku kena ledek sekali-dua kali. Ahahaha, bawa ketawa saja. Mereka juga tidak serius menertawakan. Memang terbersit rasa malu karena ikut makan tanpa membawa tangkapan. Ah sebodo amat. Makan ya makan aja. Sungguh kali itu aku amat ingin dianggap tamu.

Aku sama sekali tidak bisa mencari ikan atau mengenali kimo. Pengetahuan dan kemampuanku sama sekali kosong soal berburu di laut. Dasar orang kota yah? Padahal perjalanan ini bertujuan untuk mengenali dan berbaur dengan penduduk lokal. Ah, aku juga harus belajar menyimpan tenaga selain belajar berburu makanan di alam. Beruntung aku bertemu dengan tuan rumah dan keluarganya yang baik hati. Tidak terlalu ambil pusing akan ketidakmampuanku membantu mereka. Keramahannya juga membuat nyaman.

Meskipun malu, aku tetap ikut mencicipi hasil tangkapan mereka. Setiap jenis yang ditawarkan, aku coba. Otot kimo yang berwarna putih dimakan mentah-mentah. Rasanya tawar, tapi dengan cocolan sambal bercampur jeruk, rasanya jadi maknyuss. Sedangkan rasa ikan hampir sama karena semuanya dibakar. Dagingnya dioleskan kecap dan sambal untuk dimakan dengan nasi. Nikmat sebenarnya, tapi sayangnya kami sudah diburu waktu mengingat matahari sudah amat condong ke barat.

Agak tergesa kami mengemasi barang bawaan dan hasil tangkapan ke kapal. Kami masih harus mengambil beberapa buah kelapa yang sengaja ditinggal ditempat pertama. Hari sudah semakin sore. Matahari sebentar lagi tenggelam di cakrawala. Terang berganti gelap. Langit kelam tanpa bulan tanpa bintang. Kegelapan datang. Suasana agak mencekam. Setidaknya buatku, entah apa warga Enggano yang satu kapal denganku merasakan kecemasan serupa. Tapi tampaknya tidak. Mereka sepertinya telah terbiasa dengan kegelapan malam, baik di darat maupun di laut.

Kegelapan sempat membuat kami bimbang, apakah merapat di Kahyapu yang dekat atau kembali ke Ka’ana dalam gelap. Namun jika merapat di Kahyapu, dengan apa kami menuju Ka’ana, desa tempat rumah kami berada? Jalan jelas tidak mungkin karena jaraknya yang lumayan jauh. Berharap ada yang jemput juga hampir mustahil karena sinyal seluler amat langka disini. Jadi kami memutuskan untuk langsung kembali ke Ka’ana dengan kapal ini. Menembus malam berbekal sebuah lampu tenaga surya. Benar, hanya satu dan satu-satunya. Tanpa cadangan baterai. Aku amat berharap energinya cukup hingga kami kembali ke desa.

Kepulangan dari pulau Dua menuju pulau utama (Enggano) merupakan salah satu pengalaman paling berkesan selama perjalanan ini. Terombang-ambing di laut dalam kapal kayu kecil. Hampir tanpa penerangan. Laut gelap. Daratan gelap. Aku berada diantara hutan perawan dan samudra ganas yang sama-sama gelap. Pulau Enggano hanya menampilkan siluetnya. Air laut disamping kapal tampak hitam tertutup malam. Aku membayangkan, jika aku menjalani pengalaman ini bersama teman kotaku, mungkin ia akan mengutuk sebelum menangis. Apalagi jika ia tipe orang yang takut dengan gelap.

Coba bayangkan, lautan yang kami seberangi ialah samudra luas. Kedalamnya berkilo-kilo meter. Dan penghuninya pasti lebih besar, lebih liar dan lebih menakutkan daripada laut Jawa yang lebih dangkal. Begitupula angin dan gelombang yang datang tanpa terhalang. Langsung dari samudra luas. Samudra itu kami seberangi dalam kegelapan. Laut berubah dari biru menjadi hitam. Bukan karena limbah tapi karena ketiadaan cahaya. Gelap, benar-benar gelap!

Setelah berhasil menyebrangi daerah dalam, kapal kami mulai agak merapat ke garis pantai. Laut yang kami susuri mulai dangkal. Ombak sudah tidak terlalu ganas. Angin pun kini tidak terlalu keras. Kapal kami sudah sedikit terlindung oleh pulau utama, yaitu Enggano.

Hilang satu kecemasan, muncul lagi yang lain. Karena gelap, tukang perahu kesulitan mencari celah dangkal. Kapal beberapa kali tersangkut di pasir. Penumpang, terutama yang laki-laki turun untuk mendorong kapal. Namun ketika berhasil lepas dari jebakan pasir, kapal langsung bergerak tanpa menunggu apakah para penumpang yang tadi mendorong kapal sudah naik semua, hahahahaha! Kami pun naik dengan tergesa. Kadang hampir menyebabkan kapal terbalik. Seram dan lucu sekaligus! Coba bayangkan seandainya aku telat naik. Sendirian diantara kegelapan bakau dan laut. Tanpa cahaya dan tanpa mengenali wilayah. Kebayang ya stressnya kalau itu sampai terjadi? Hahahahaha!
  
Akhirnya kami berhasil menemukan muara sungai menuju desa. Disini tampaknya sudah lebih aman, tapi aku membatin. Bukankah muara sungai habitat ular dan buaya? Aku sempat menanyakan apakah ada buaya dan ular di Enggano sebelum berangkat. Jawabannya: buaya agak jarang, tapi ular ada. Bagus! Menembus sungai ditengah hutan pada malam hari. Penuh pohon-pohon besar dan minim cahaya. Hanya lampu tenaga surga satu buah. Satu! Hanya itu bekal kami menembus habitat ular dan buaya menuju rumah. Belum lagi serangga yang mungkin beracun. Aku bisa menyingkirkan rasa jijik sejenak tapi tetap cemas akan bahaya sengatan beracun atau gigitan buaya. Semoga tidak ada ular yang tiba-tiba nomplok dari atas pohon. Semoga tidak ada buaya yang tiba-tiba nongol di samping kapal. Semoga aman dari sengatan serangga beracun. Semoga selamat sampai di rumah.

Amat senang rasanya ketika perjalanan sungai berakhir. Tapi kami masih harus melewati jalan setapak membelah hutan untuk sampai ke rumah. Tidak pikir panjang dan hanya membawa beberapa barang yang sempat kuraih ketika turun dari kapal, aku bergegas jalan menuju rumah. Sudah tidak sudi menunggu. Berharap ada orang lain yang memeriksa barang-barang di kapal dan membawa semuanya turun sehingga tidak ada yang tertinggal. Aku sih masa bodo waktu itu. Sudah keburu was-was!

Kelegaan baru benar-benar aku rasakan ketika melihat cahaya rumah. Akhirnya sampai, kembali dengan selamat. Sungguh perjalanan pulang yang luar biasa bagi anak kota seperti aku. Merasa lelah dan lusuh, kami langsung mandi. Tentu saja secara bergantian. Yang perempuan mandi duluan. Aku tidak keberatan. Sudah tidak cemas lagi soalnya. Menunggu mandi mah, tidak apa-apa meski kamar mandinya berada di tepi hutan dan tanpa lampu. Hanya dari sela-sela papan kayu penutup kamar mandi, cahaya bisa masuk. Tidak mengapa, kerisihannya tidak seberapa dibandingkan waktu menelusuri hutan dalam gelap tadi.



Begitulah hari kedua di Enggano terjadi. Kunjungan setengah hari ke pulau Dua membawa kisah tak terduga. Perjalanan pulang dalam gelap merupakan salah satu momen yang tidak akan kulupakan dalam perjalanan ini. Meskipun aku sebenarnya tidak ingin melupakan semua kejadian yang aku alami selama solo trip ini, tapi melaut ditengah kegelapan malam merupakan pengalaman yang amat memicu adrenalin. Begitu intens dalam kegelapan dan ketidaktahuan. Di laut dan di hutan. Cemas dan was-was. Emosiku kerap berada diantara takut, tertantang dan takjub. Excited! Expected the unexpected. Harapanku akan kejadian tak terduga telah terjadi hari itu. Banyak pelajaran yang aku dapat melalui kelima indra dan emosiku. Pelajaran yang dipelajari bukan dari buku, bukan dari ceramah, bukan dari diskusi. Tapi dari pengalaman indra dan emosi. Luar biasa! Kesenangan melakukan perjalanan aku dapatkan dengan maksimal malam itu. Tidak sabar rasanya menunggu kejadian tak terduga selanjutnya. Sampai jumpa di hari ketiga di Enggano!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar