Esoknya, aku bangun kesiangan. Tubuh masih terasa lelah
meski matahari sudah tinggi. Aku bangkit dari kasur dengan enggan. Mandi lalu
menyapa tuan rumah. Sebenarnya aku merasa agak malu karena bangun terlalu
siang. Tapi tubuh masih menuntut istirahat. Kompromi antara etika dan rasa
lelah, akhirnya membuatku bangun terlambat.
Dan ternyata tidak lama waktuku berbasa-basi dengan tuan
rumah yang baik hati ini. Belum sampai setengah jam ngobrol, pak Norman mendapat kabar dari pelabuhan: kapal akan
berangkat siang ini. Membawa penumpang umum, bukan truk BBM.
Nah perkiraanku meleset lagi! Tadinya aku kira kapal akan
berangkat sore, tapi tiba-tiba jadwal berganti siang. Untung pak Norman
mendapat kabar dari pelabuhan. Untung juga aku menginap di tempat beliau,
sehingga mendapat update informasi yang tidak ada di internet. Fiiuuhh!
Setelah menerima kabar ini, kami bergegas menuju pelabuhan.
Agak tergesa dan sedikit ngebut di jalan yang (sepertinya) tidak pernah ramai.
Dengan berharap-harap cemas semoga kami tidak terlambat. Semoga kapal belum
berangkat. Aamiin.
Lucunya, sampai di pelabuhan kapal motor penumpang (KMP)
Pulo Tello masih sepi. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberangkatan menuju
Enggano. Suasananya sama dengan tadi malam minus truk-truk bbm di dalam kapal.
Sudah tidak ada lagi truk-truk BBM di lambung kapal |
Kami lantas mendatangi kantor pelabuhan untuk menanyakan
kepastian. Hasilnya, kapal memang akan berangkat sebentar lagi. Namun frase
“sebentar lagi” disini tidak dapat didefinisikan dengan satuan waktu. Bisa satu
jam, bisa tiga jam, bisa juga nanti malam. Luar biasa!
Inilah pengalaman pertamaku berhadapan dengan ketidakjelasan
jadwal pelayaran. Belakangan aku tau bahwa ketidakjelasan seperti ini jamak
terjadi, apalagi pada rute-rute penyebrangan yang relatif jauh dan lama di
kepulauan Maluku dan kepulauan nun jauh di utara Sulawesi. Entah kapan aku bisa
menyambangi rangkaian kepulauan legendaris itu..
Kembali ke Bengkulu, kondisi di atas kapal sudah cukup
ramai. Ramai oleh calon penumpang yang semalam tidur di kapal. Pagar-pagar
pembatas kapal sudah bertambah fungsi menjadi jemuran handuk. Kapal tidak
ubahnya kamar besar bagi para calon penumpang. Ada yang habis mandi. Ada yang
masih tidur. Ada yang menyusui. Ada yang bergosip. Ada juga yang menyusui
sambil bergosip. Lengkap lah pokoknya!
Habis mandi. Selama kapal belum berlayar, tidak usah takut persediaan air bersih habis |
Calon penumpang yang menginap di kapal |
Setelah beberapa jam menunggu, terdengar suara pemberitahuan
melalui pengeras suara di dalam kapal. Loket tiket sudah dibuka. Para penumpang
harap turun untuk membeli tiket di kantor pelabuhan! Wah akhirnya sebuah
kepastian! Dengan dijualnya tiket, keberangkatan kapal terasa selangkah lebih
pasti. Paling tidak dari pihak pelayaran sudah ada niat untuk berlayar. Tidak
seperti kemarin yang terombang-ambing tanpa kepastian.
Calon penumpang pun bergerombol di depan loket. Bergerombol,
bukan berbaris. Bukan antri. Yah budaya antri masih jauh panggang dari api
disini. Pemandangan yang biasa dijumpai di Indonesia. Salah satu kebiasaan
buruk selain buang sampah sembarangan. Semoga kebiasaan jelek ini dapat berubah
di masa depan, aamiin.
SOP pelayanan. Sudah dipajang di depan loket, tapi masih terasa basa-basi. |
Tidak lama kemudian, tiket sudah di tangan. Harga tertera Rp. 59,000,- tapi dibayar enam puluh ribu. Dan anehnya, harga yang tertera pada sobekan karcis untuk petugas dan penumpang beda. Di sobekan karcis untuk petugas, tertera harga Rp. 57,000,- Hmm.. artinya apa yah, hayoooo?
Tiket penyebrangan Bengkulu-Enggano |
Sempat terbesit pikiran untuk “menanyakan” selisih harga
tersebut kepada petugas. Namun melihat calon penumpang lain nurut-nurut saja,
niat ini aku urungkan. Oh iya, hal lain yang tidak biasa ialah disini harga
penyebrangan tidak hanya menghitung orang dan kendaraan, tapi juga barang
bawaan. Bawaan yang dimaksud disini seperti sembako, atau entah barang-barang
apa yang ada dalam kardus yang dibawa calon penumpang ini. Sedikit banyak aku
mulai merasakan keterbatasan transportasi dari dan menuju Enggano. Barang yang
dibawa tampaknya bekal untuk beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan.
Tapi disini penumpang dilarang membawa bbm dalam dirigen.
Padahal pasokan bbm di Enggano terbatas. Mungkin pihak pelayaran memiliki
alasannya sendiri. Mungkin karena alasan keamanan. Tapi semoga bukan bentuk
monopoli perusahaan tertentu yang mengelola pasokan bbm di Enggano. Semoga.
Setelah menunggu kira-kira 2-3 jam, akhirnya peluit panjang
tanda kapal akan bersiap berlayar dibunyikan. Kata calon penumpang disebelahku,
setengah jam lagi kapal akan berlayar. Fuiih, adrenaline sedikit terpacu.
Merasa bersemangat, penasaran, dan bercampur sedikit rasa takut. Bersemangat,
karena akhirnya jadi juga jalan. Penasaran, karena ini kunjungan pertama. Pulau
yang amat jarang disebut secara nasional meskipun cukup besar. Jauh dari tujuan
wisata pelancong. Pulau terluar yang vital bagi kesatuan NKRI. Seperti apa
Enggano? Apakah tuan rumahku benar-benar bersedia menampungku seperti
percakapan di media sosial beberapa waktu lalu? Bagaimana mencapai tempatnya
dari pelabuhan? Apakah ada transportasi umum? Bisakah aku menumpang kendaraan
warga untuk menuju kesana? Dan pertanyaan-pertanyaan khawatir lain yang lahir
dari ketidaktahuanku tentang Enggano. Takut yang beralasan. Takut yang excited!
Pulau Baai yang kecil dan bersahaja. Selamat tinggal, akhirnya kami jadi berangkat ke Enggano sore ini! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar