Kamis, 09 Februari 2017

Solo Trip Swarnadwipa 08: Tertahan di pulau Baai..

Dari masjid di depan rumah pengasingan Soekarno, aku memutuskan untuk langsung menuju pelabuhan pulau Baii. Meskipun masih siang, aku memutuskan untuk langsung menuju kesana karena takut ketinggalan kapal. Lebih baik datang lebih awal dan menunggu daripada datang belakangan dan terlambat. Begitulah kira-kira prinsipnya.

Setelah tiga kali bertukar angkot, akhirnya aku sampai ke pelabuhan pulau Baii. Suasana pelabuhan sore itu cukup terik dan sepi. Area pelabuhan cukup luas. Pos masuknya sepi tanpa penjaga. Terpaksa masuk ke dalam gedung dalam area pelabuhan. Entah gedung apa. Amat minim keterangan dan penunjuk arah disini. Dimana loket penjualan tiketnya?

Gedung yang aku masuki tampaknya kantor pelabuhan. Aku menanyakan tiket tapi dijawab kapal tidak berangkat hari ini. APAAHH?! Mereka menjawab kalau hari ini ialah jadwal keberangkatan mobil bbm. Tidak boleh angkut penumpang jika sedang mengangkut mobil bbm. Waduh, salah informasi kah aku? Dari hasil browsing, aku mendapatkan informasi kalau kapal Bengkulu-Enggano berangkat dua kali seminggu. Setiap hari Jumat dan Selasa. Apakah jadwal ini sudah berubah?

Kapalnya sih sudah bersandar, tapi belum pasti berangkat sesuai jadwal..

Aku mencoba bernegosiasi dengan pihak pelabuhan. Minta keringanan untuk mengangkut satu penumpang saja. Toh kapalnya pasti cukup untuk seorang penumpang tambahan. Mereka bersikeras untuk menolak dengan gaya arogan ala birokrat orba. Menyebalkan! Sudah minim informasi, jadwalnya tidak teratur lagi. Alasannya: ombak sedang tinggi atau laut sedang badai. 

Belakangan, aku tau bahwa alasan ini merupakan alasan yang sering dipakai oleh petugas pelabuhan jika enggan memberangkatkan kapal. Entah benar-benar badai atau bohong-bohong badai. Toh akses mengenai keadaan cuaca di laut tidak mudah diakses calon penumpang. Tidak mudah dibuktikan kebenaran atau ketidakbenarannya oleh orang awam.

Galau karena tidak dapat tiket, aku memutuskan untuk berisirahat sebentar di teras kantor tersebut. Sebuah kejadian tidak terduga pertama yang aku alami dalam perjalanan ini. Kemanakah aku harus melangkah? Lanjut ke Kerinci atau menunggu keberangkatan kapal yang tidak menentu? Atau bermalam dulu di kota Bengkulu hingga besok, baru menentukan langkah? Masalahnya aku tidak kenal siapa-siapa disini. Lagipula aku tidak menyisihkan budget untuk biaya hotel.

Hari masih sore ketika beberapa calon penumpang memasuki kantor pelabuhan untuk menanyakan tiket. Satu orang menyapaku, menanyakan asal. Aku menjawab dari ibukota. Bingung karena “salah jadwal” dan belum menetapkan langkah selanjutnya. Pak Norman, demikian nama laki-laki itu menjawab bisa nyebrang kok. Hah? Secercah harapan yang semoga enggak palsu. Bagaimana caranya pak? Di dalam (dari pihak pelabuhan) sudah tidak membolehkan. Sepertinya si bapak punya cara lain untuk naik ke kapal.

Nanti kamu naik aja bareng kita, kata pak Norman. Rupanya si bapak sedang menunggu kawannya yang mau berangkat ke Enggano. Rupanya lagi, si bapak merupakan anggota TNI penjaga perbatasan di Enggano. Dua anggotanya ditugaskan berjaga disana. Mereka sedang dalam perjalanan dari kota Curup menuju pelabuhan. Wah harap-harap cemas nih. Masa sih kalo masuk bareng anggota enggak dikasih juga? In shaa Allah ada jalan. Harap-harap cemas jadinya. Tapi mulai ada harapan untuk naik ke kapal dan menuju Enggano.

Semakin sore, semakin banyak calon penumpang  berdatangan. Wah ada banyak kawan, pikirku. Apakah kawan kecewa atau kawan berangkat, aku tidak pasti juga. Yang pasti mereka semua ingin menyebrang ke Enggano. Seperti juga aku. Sepertinya aku tidak salah jadwal. Dari percakapan dengan pak Norman, taulah aku bahwa hari itu (Jumat) memang jadwalnya penumpang. Bbm sendiri jadwalnya minggu. Oalaah, berarti ada perubahan jadwal mendadak disini.

Calon penumpang yang langsung memasuki kapal tanpa ba-bi-bu lagi. Mulai banyak "teman" senasib, hehehe..

Menjelang malam, truk-truk pengangkut bbm mulai berdatangan. Yang aku heran, truk itu bukan milik Pertamina. Pada badan truk tertulis PT Bumi Melabero. Sepertinya perusahaan swasta. Jadi bbm di Enggano dikelola swasta dan bukan Pertamina? Memangnya boleh ya?

Pihak pelabuhan sepertinya sudah menunggu-nunggu kedatangan truk-truk bbm ini. Tampaknya mereka tidak akan memberangkatkan kapal jika truk-truk tersebut belum naik ke kapal. Begitu datang, mereka langsung berbaris menuju kapal yang sudah penuh dengan calon penumpang. Nah ini pasti masalah nih!

Pihak pelabuhan tadi sudah melarang aku menumpang dengan alasan yang sudah disebutkan di atas. Jika mereka masih bersikeras melarang penumpang berlayar seperti mereka harus menurunkan calon penumpang yang sudah bersiap di atas kapal. Bisakah?

Nggak bisa! Meskipun sudah melibatkan pihak berwenang, tapi penumpang tetap tidak mau turun. Aku jadi mendapat beberapa cerita tentang keras kepalanya para penumpang ini. Suatu ketika pihak keamanan yang bertugas meneriaki calon penumpang yang sudah berada di kapal “Turun kamu, ngerti nggak?” tapi bukannya takut atau turun, mereka malah balik menjawab “Nggak pak, ‘turun’ itu apa?” Wahahahaha!

Tapi dari kasus kali ini, taulah aku bahwa para calon penumpang memiliki hak untuk menyebrang. Jadwal penyebrangan penumpang memang hari Jumat dan Selasa, sementara BBM Minggu (berarti aku tidak salah jadwal! Infoku valid!). Rupanya pihak pelabuhan mengubah jadwal secara sepihak tanpa ada sosialisasi secara luas. Pantaslah disambut protes calon penumpang yang keras kepala.
Jadwal keberangkatan pun molor. Dari seharusnya kapal sudah berlayar pukul 17.00, namun sampai pukul 20.00 masih belum ada kepastian, apakah kapal berlayar atau tidak. Setengah jam kemudian terdengar pengumuman diseluruh kapal: Ada badai di laut Enggano malam ini. Kapal tidak bisa diberangkatkan. Supir truk diminta unloading, menurunkan truk bbm dari dalam kapal. Calon penumpang pun dipersilahkan pulang.

Menunggu kepastian berlayar bagaikan menunggu Godot

Pulang? Wah masalah lagi nih. Aku tidak menyiapkan budget untuk menginap di Bengkulu. Jarak dari pelabuhan ke kota juga jauh! Sementara angkutan umum sudah berhenti beroperasi sejak maghrib tadi. Nah bingung deh, harus ngapain ya?

Kebingungan ini juga disertai rasa lapar. Maklum, sudah waktunya makan malam. Jadi aku memutuskan untuk mencari warung nasi sekitar pelabuhan. Dari jauh sih sepertinya ada warung makan yang masih buka di tepi jalan raya. Ke sana lah aku melangkahkan kaki. Mengisi perut sambil memikirkan langkah berikutnya..

Warung nasi dekat pelabuhan sudah banyak yang tutup tapi masih ada yang buka. Pilihan tidak banyak. Makan saja sudah. Yang penting perut terisi dan tidak sakit. Soal rasa, abaikan saja. Harganya juga sedikit lebih mahal dari harga warteg tapi masih sesuai budget.

Setelah perut terisi, aku memutuskan untuk bermalam di kapal atau sekitar kantor pelabuhan saja. Toh pasti ada tempat untuk merebahkan diri. Aku selalu membawa tikar gulung untuk situasi seperti ini. Mudah-mudahan ada tempat yang agak tertutup. Maklum, angin malam yang berhembus dari laut dapat membawa pengaruh buruk bagi tubuh yang tidak terbiasa tidur di alam terbuka.

Namun rejeki tidak lari kemana. Baru saja menyebrang jalan menuju kantor pelabuhan, aku kembali bertemu pak Norman. Bertanya beliau aku hendak kemana. Aku menjawab hendak bermalam di kapal. Nah disini rejekiku datang. Pak Norman yang baik hati ini menawarkan aku untuk menginap di rumahnya. Lebih aman daripada di kapal, katanya. Inilah tawaran yang tidak mungkin aku tolak.
Maka dengan membonceng motor beliau, berangkatlah aku menuju rumahnya. Lumayan jauh, sekitar 20 menit berkendara dengan motor di jalan yang sepi, sampailah aku ke rumahnya. Sepanjang perjalanan, aku mendengarkan sepotong cerita tentang Bengkulu.

Meskipun sudah menjadi provinsi sendiri, Bengkulu masih agak tertinggal pembangunannya. Kalah jauh pamornya dari tetangganya, Sumatra Barat dan Sumatra Selatan. Salah satu indikasi ketertinggalan yang aku rasakan ialah sulitnya mencari transportasi umum menuju Bengkulu. Jalur kereta tidak sampai ke sini. Bis AKAP Sumatra pun tidak melintas ke Bengkulu. Mereka hanya memilih jalur lintas timur yang lebih ramai dan melintasi ibukota propinsi seperti Palembang, Jambi, Pekanbaru, hingga Medan.

Secara fisik, pembangunan kota pun sepertinya tidak terlalu pesat. Malah aku merasa kampung ayahku di Blitar lebih ramai daripada Bengkulu ini. Padahal Bengkulu statusnya ibukota propinsi, sedangkan Blitar hanya ibukota kabupaten saja. Isu pemerataan pembangunan masih nyata dan cukup terasa di Bengkulu. Padahal Indonesia bukan hanya Jakarta dan Jawa. Bengkulu juga Indonesia!

Wah bagaimana di Enggano nanti ya batinku. Jika ibukota propinsinya saja tidak terlalu ramai, bagaimana kondisi pulau terluarnya yang berjarak satu malam perjalanan laut dari daratan utama? 

Rasa penasaranku makin besar malam itu dan menjadi penghantar tidur. Pak Norman meminjamkan salah satu kontrakan petaknya kepadaku. Rasa lelah sejak perjalanan dari Palembang kemarin malam telah menjadi obat tidur yang mujarab. Pelor, nempel langsung molor. Begitulah kondisiku setelah sampai ke tempat istirahat. Tidur tanpa basa-basi. Besok saja lanjut berbasa-basi dengan tuan rumah. Selamat malam, Bengkulu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar