Selasa, 19 Januari 2016

Catper Bali 2: Pura Besakih, antara kesakralan dan pemerasan.

Kunjungan pertama saya ke Pura terbesar di Bali ini menyisakan kegalauan keyakinan dalam diri saya. Maksud hati ingin memahami lebih mendalam tentang kepercayaan Hindu Bali, namun apa daya kegiatan ini "terganggu" komersialisasi wisata.

Peta kompleks Pura Besakih
Peta kompleks Pura Besakih

Pura Besakih, pura terbesar umat Hindu Bali merupakan salah satu objek wisata yang membuat saya penasaran semasa saya tinggal di Bali. Tidak lengkap rasanya meninggalkan Bali tanpa pernah berkunjung kemari. Jadilah saya menyempatkan diri bersama seorang teman saya untuk berkunjung.

Perjalananan kami terhitung spontan. Awalnya kami hanya ingin mengunjungi istana Tampaksiring. Namun karena kurang informasi, kami tidak tahu jika untuk memasuki istana tersebut butuh izin khusus. Walhasil kami hanya sampai pada gerbang istana Tampaksiring tanpa pernah menginjakkan kaki di Tampaksiring :(

Karena hari masih siang, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Pura Besakih via Kintamani. Perjalanan menuju kesana sebenarnya cukup menarik namun sayangnya saya tidak banyak memotret karena dua hal: mengejar waktu dan saya yang mengemudikan motor (kami mengandalkan motor sewaan untuk keliling Bali).

Sampai di Pura Besakih pada sore hari, sekitar pukul 16.00, kami langsung diserbu anak2 kecil dan abg yang menjajakan dagangan berupa kartu pos dan penyewaan sarung. Jurus marketing yang dilancarkan abg-abg penyewaan sarung ialah tidak boleh masuk jika tidak pakai sarung dan selendang (dan belakangan saya baru tahu jika ada fasilitas peminjaman sarung dan selendang gratis untuk pengunjung yang bercelana pendek). Saya dan teman saya digetok 50rb untuk sewa sarung dan selendang (sewa, bukan beli!) Tidak lupa juga guide yang menjelaskan panjang lebar tentang aturan dan syarat untuk mengunjungi Pura ini.

Menurut guide yang memperkenalkan diri dengan nama Kadek, untuk bisa memasuki Pura Besakih, turis harus didampingi pemandu. Saya tanya, berapa biayanya? Kadek bilang bebas, silahkan berikan sesuai dengan kepuasan mas, demikian katanya. Tidak lupa Kadek memberikan embel-embel marketing dengan mengatakan bahwa dana disini disalurkan untuk tiga lembaga, bla-bla-bla, namun saya tidak mendapatkan tiket atau kuitansi untuk jasa pemandu ini.

Baiklah, itu keanehan yang saya simpan dalam hati selama mengunjungi Pura ini. Selain itu, saya dan teman saya cukup direpotkan oleh anak-anak yang menjajakan dagangan berupa kartu pos yang dibandrol 10r untuk 3 lembar. Awalnya saya membeli satu lembar saja dengan uang 5rb. Saya pikir, untuk apa juga banyak-banyak kartu pos seperti itu? Toh nantinya hanya menjadi sampah sepulangnya dari sini. Waktu itu saya membeli karena simpati saja.

Dan itulah kesalahan saya. Begitu membeli satu, teman-temannya di bagian lain langsung menyerbu. Bahkan satu anak dengan gigih menawarkan dengan sangat memaksa dagangannya. Berbagai jurus dia keluarkan, mulai dari untuk beli buku sekolah, untuk makan, dan lain-lain khas argumen anak jalanan. Ah, bagi saya anak ini jauuuuuuuuuuuuuuh lebih keras kepala dan lihai daripada anak-anak jalanan. Penolakan 7-8 kali belum cukup untuk membuatnya mundur. Anak ini menghiasi kunjungan kami kira-kira setengah perjalanan. Luar biasa! Saya membatin, semoga anak ini diberikan fitrah untuk cita-cita besar dengan kengototan seperti itu.

Bocah penjaja kartu pos
Bocah penjaja kartu pos

Terus mengikuti target pembeli...
Terus mengikuti target pembeli...

Disamping keriuhan anak tadi, keinginan saya untuk lebih memahami Hindu Bali sedikit terpenuhi. Saya dipersilakan untuk ikut sembahyang oleh Kadek sehingga bisa sedikit memahami kebijaksanaan Hindu Bali dalam ritual tersebut. Termasuk berdoa yang, meskipun Kadek bilang tujukan kepada Dewa Penghuni Gunung ini, saya tetap memanjatkan doa kepada Tuhan YME, hahaha.. (mengenai sikap saya terhadap ritual dan keyakinan beragama, mungkin akan saya ceritakan di lain waktu).

Namun ada hal yang mengganjal saya. Ketika ritual hampir selesai dan saya diminta untuk meletakkan sedekah (berupa uang tunai) dalam sesajen, saya tidak keberatan. Toh dengan tujuan mengungkapkan rasa syukur kepada Illahi, tidak ada salahnya mengeluarkan sedikit dana, juga untuk menggantikan biaya sesajen ini pikir saya. Yang membuat saya keberatan ialah Kadek mengatakan jumlah uang yang saya keluarkan kurang dan menuntut jumlah tertentu untuk diletakkan dalam sesajen tersebut!

Astaga.

Akhirnya saya bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apakah memang seperti ini aturan agamanya? Atau ini hanya kejahatan oknum bernama Kadek saja?

Mood saya langsung jelek setalah kejadian ini. Rasanya ingin cepat mengakhiri kunjungan ini. Dan tebak! Diakhir kunjungan, lagi-lagi Kadek mengatakan uang yang kami berikan kurang dan meminta lebih, lengkap dengan jurus-jurus marketingnya! Padahal di perjanjian awal dia tidak mau menyebut harga. Kesan buruk yang sempurna untuk di akhir kunjungan ini.

Sebagai penutup, saya tidak ingin berprasangka jelek terhadap umat Hindu Bali yang berusaha ramah terhadap pendatang dan wisatawan. Namun kejadian pada kunjungan pertama saya ke Pura Besakih sungguh bukan pengalaman yang menyenangkan. Terlebih lagi ini terjadi di Pura yang merupakan simbol umat Hindu Bali. Pencitraan merupakan hal yang sangat penting bagi pariwisata. Mungkin turis datang dengan membawa banyak uang (meskipun banyak pula yang kere seperti saya), namun itu bukan berarti mereka dapat "diploroti" sedemikian rupa. Saya kira pendidikan pariwisata masyarakat sekitar harus ditingkatkan, terutama tentang bagaimana bersikap ramah dan jujur terhadap turis. Pariwisata suatu tempat akan hancur jika tempat tersebut mendapat imaji buruk dan pengunjungnya kapok untuk datang lagi. Pura Besakih, semoga tetap menjadi Pura dan objek wisata, bukan sarang penyamun.

Pura Besakih
Bukan sarang penyamun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar