Senin, 12 September 2016

Solo Trip Swarnadwipa 01: Dari Jakarta, singgah sejenak di Bandar Lampung

Yey! Akhirnya berangkat juga! Perjalanan ini merupakan perjalanan nekat dengan mempertaruhkan sisa tabungan yang ada. Ini adalah saat dimana aku masih memiliki kesehatan, waktu dan sedikit dana untuk menikmati hidup. Dan bagiku, cara terbaik menikmati hidup ialah dengan melakukan perjalanan meskipun dengan dana yang teramat sangat terbatas. Yah, kadang memang harus seperti ini tampaknya untuk bisa terlaksana. The art of kepepet can motivate human (me) to the next level. Ketika terdesak dan keadaan memaksaku mencapai batas kemampuan, lalu melebihinya, itu akan terasa menyakitkan, lalu membanggakan, dan akhirnya membahagiakan. 

To Infinity and Beyond! Sumber gambar

Begitulah kata Buzz Lightyear dalam film animasi Toy Story. Entah kenapa slogan ini melekat di benakku ketika memulai perjalanan ini. Rasanya aku akan menembus batas kemampuanku dan melebihinya. Perasaan yang nanti akan timbul dengan sangat kuat ketika aku selesai mengunjungi danau Kaca di Kerinci.

Tapi itu nanti. Sekarang, aku akan memulai cerita ini dari sebuah toko kelontong alias convenience store yang ada di mulut pintu masuk tol Kebon Jeruk - Merak. Disinilah aku akan memulai perjalanan panjang menelusuri Swarnadwipa alias pulau Emas. Sebutan untuk pulau Sumatra di jaman dulu karena diduga menyimpan cadangan emas yang sangat banyak. Anggapan yang belakangan terbukti keliru karena sebutan pulau emas lebih cocok disematkan kepada Papua yang cadangan emasnya sedang disedot perusahaan Amerika.

Kembali ke toko kelontong hijau-orange-putih yang juga berasal dari Amerika namun kini dimiliki perusahaan Jepang. Toko tempat aku menunggu kedatangan kawan dan keluarganya yang hendak kembali ke Palembang setelah berlebaran di Jakarta. Nebeng! Etape pertama perjalanan dari Jakarta ke Palembang aku jalani dengan cara nebeng. Tebengan yang nantinya bukan hanya di perjalanan tapi juga tempat berteduh dan bermalam. Dengan cara inilah aku menyiasati minimnya dana selama perjalanan ini. Nebeng juga mengharuskan aku menyesuaikan diri dengan cepat bersama ritme hidup orang lain. Salah satu pelajaran yang banyak aku pelajari selama melakukan perjalanan.

Tidak lama menunggu, aku pun bertemu kawan kuliahku bersama keluarga kecilnya. Sedikit urusan toilet dan melajulah kami menelusuri jalan tol Jakarta-Merak yang pagi itu relatif sepi. Menelusuri jalan beraspal mulus (meski kerap diganggu proyek pengaspalan) menuju ujung barat pulau Jawa. Langsung menuju pelabuhan Merak. Disambut kompeks industri disekitar Cilegon-Merak.

Inilah pertama kali aku mencapai pelabuhan Merak tanpa lewat pusat kota Cilegon. Biasanya aku pasti melewati kota karena begitulah rute bus-bus Jakarta-Merak. Baru kali ini aku mencapai Merak dengan kendaraan pribadi. Waktu tempuhnya berbeda lumayan lama, sekitar 1 jam. Dari kejauhan pulau Merak yang namanya juga dijadikan nama pelabuhan terlihat makin jelas.

Antrian masuk ke kapal

Ada dua pulau Merak disini: pulau Merak Besar dan pulau Merak Kecil. Dari atas kapal ferry, pulau Merak besar tampak begitu hijau dan rindang sedangkan pulau Merak Kecil tidak terlihat. Dengan latar depan laut biru cerah tanpa ombak, panorama ke arah pulau Merak Besar membuatku betah berlama-lama memandang ke arah laut. Meskipun sudah beberapa kali menyebrangi selat Sunda, namun baru kali ini aku melakukannya saat matahari masih nampak. Rasanya memang berbeda. Apalagi cuaca cukup cerah siang itu.

Pulau Merak Besar, dilihat dari dermaga

Memandangi Merak Besar, kehidupan serba cepat di Jakarta seolah melambat. Seperti menekan tombol slow forward di remote tv. Ritme kehidupan dalam kepalaku sedikit melambat. Lebih santai. Lebih tenang. Efek perjalanan ini sudah mulai terasa disini. Maka wajar jika aku betah berlama-lama memandangi kehidupan yang tenang di depan mata. Bagian dari "meditasi" selama melakukan perjalanan. Duduk diam memandang dan menikmati ciptaan Illahi. Menikmati waktu dan mensyukuri kehidupan.

Sepertinya rombongan piknik yang merapat ke pulau ini

Tidak berapa lama aku melihat ada beberapa perahu nelayan yang tampak merapat ke pulau tersebut. Meskipun kurang jelas karena jaraknya cukup jauh tapi sepertinya isi perahu tersebut lebih mirip wisatawan daripada pencari ikan. Gerak-gerik mereka pun seperti tidak mencari ikan tapi lebih kepada bermain air dan menggelar tikar di pantai. Jelas wisatawan. Waktu itu aku cukup penasaran dari mana mereka menyebrang menuju pulau yang tampaknya tidak berpenghuni tersebut. Namun pada saat aku menulis artikel ini, pertanyaan tersebut sudah terjawab! Dan aku berencana untuk mengunjungi kedua Merak tersebut. Siip, nambah tujuan baru dalam daftar perjalanan singkat (short trip) di tahun ini :)

Setelah waktu singkat yang begitu nikmat, ferry ini pun berangkatlah. KMP Langgurdi, salah satu dari sekian banyak KMP yang hilir mudik sepanjang selat Sunda ini cukup nyaman. Interiornya luas. Ruang berpendingin udara tidak hanya ada di ruang VIP tapi nyaris diseluruh lantai utama. Kapal ini salah satu KMP terbaik di jalur pelayaran selat Sunda. Tidak seperti bis atau kereta api yang interiornya relatif sama apapun namanya, untuk ferry (KMP) jenis-jenisnya berbeda. Jika dibandingkan dengan mobil, rasanya ada yang serasa inova ada yang serasa terrano. Terasa bedanya!

Lepas dari Merak, Langgurdi bergerak menuju Bakaheuni di ujung selatan Sumatra. Perjalanan terasa monoton dan membosankan. Aku lebih banyak tidur daripada ngobrol. Penumpang kapal ini tidak terlalu banyak sehingga terasa cukup lega dan leluasa untuk merebahkan badan. Meluruskan punggung sejenak sebelum ditekuk lagi dalam perjalanan darat menuju Bandar Lampung.

Meskipun tujuan akhirnya Palembang, namun kami memutuskan untuk menginap semalam di Bandar Lampung. Mengistirahatkan tubuh dan mental. Juga kendaraan. Dalam perjalanan jauh, penting untuk menarik napas dan mengatur ritme agar bisa selamat sampai tujuan. Pepatah Jawa alon-alon asal kelakon tepat kiranya diterapkan dalam perjalanan ini. Biar lambat asal selamat. Keselamatan lebih penting daripada apapun dalam perjalanan.

Selain keselamatan, kenikmatan perjalanan juga penting. Paling tidak untukku karena salah satu tujuan aku melakukan perjalanan ini ialah untuk bermeditasi. Namun bukan jenis meditasi duduk sila dan berdiam diri, tapi lebih kepada merasakan sendiri hal-hal yang serba baru. Aku menyebutnya meditasi ala pejalan. Traveller meditation. Membiarkan kelima indra merasakan hal baru sambil bergerak, lalu membiarkan otak mencerna dan memberi makna. Jika kelima indra adalah lidah dan mulut, maka otak adalah lambung dan usus. Makanannya ialah pengalaman baru. Dikunyah oleh indra, diproses oleh otak. Automatic processing. Terjadi begitu saja secara otomatis.

Yah tapi sebenarnya tidak serta merta juga seperti itu sih. Otakku baru bisa mencernanya ketika aku tidak terlalu lelah atau cemas. Ketika aku merasa sehat dan aman. Ketika ritme perjalanan terjaga. Tidak tergesa-gesa dan masih punya waktu untuk menikmati suasana. Waktu untuk bengong-bengong sejenak.

Tidur dan tiba-tiba sampai ke Bakahuni

Dan begitulah perjalanan ini berlangsung. Perjalanan dari Bakahuni ke Bandar Lampung berlangsung cepat. Aku lebih banyak tidur sepanjang perjalanan. Efek kurang tidur di malam sebelumnya langsung terasa setelah makan siang. Biasanya jika aku begadang semalaman, ngantuknya baru terasa tengah hari. Setelah makan, tidur. Begitulah kebiasaan orang-orang berperut buncit. Apalagi jalur Bakahuni-Bandar Lampung sudah pernah aku lalui sebelumnya sehingga rasa penasarannya sudah tidak ada. Kalah oleh rasa kantuk. Dan aku membiarkan diriku tertidur.

Tidur adalah jalan pintas menjalankan waktu ketika ia mulai membosankan. Shortcut time. Memotong siang menjadi sore dalam sekejap. Bahkan sore pun sudah hampir habis ketika kami memasuki kota Bandar Lampung. Menjelang gelap, kami bergegas menuju tempat bermalam kami di kota ini. Nah karena kali ini judulnya nebeng maka aku tidak bisa memilih penginapan. Temanku lah yang sudah memesan hotel untuk keluarganya. Aku tinggal menyesuaikan situasi dan kondisinya. Untungnya matras gulung selalu ada dalam daftar barang bawaanku. Benda ini termasuk salah satu benda penting bagiku. Penunjang istirahat. Sangat membantuku mengadaptasi lingkungan sehingga aku bisa lebih fleskibel dalam menentukan tempat meletakkan tubuh dan meluruskan punggung. Akhirnya hari pertama perjalanan ini akan segera berlalu. Malam pertama di Bandar Lampung. Mungkin akan jadi malam terakhir juga dalam perjalanan ini karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Palembang besok.

Welcome and Goodnight, Bandar Lampung

Jadi setelah membersihkan diri dan mengisi perut, aku bersiap untuk meletakkan badan dan meluruskan punggung. Di luar, bulan separuh mengintip malas dari sela-sela mega. Bangunan-bagunan berhiaskan mahkota siger satu persatu mematikan lampu dan menutup pintu. Sudah waktunya kota ini beristirahat. Selamat tidur, Bandar Lampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar