Jumat, 02 September 2016

Solo Trip Swarnadwipa 00: Awal mula perjalanan ke barat Nusantara.

Sumatra. Bagian dari Indonesia ini hampir tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Hanya sebatas Pahawang dan Kiluan di Lampung saja yang sebelumnya pernah aku kunjungi di daratan Sumatra. Itu juga bukan perjalanan mengeksplorasi melainkan hanya bagian dari open trip. Perjalanan singkat yang sangat "hore" dalam rangka mengisi libur akhir pekan.

Padahal Sumatra merupakan daerah yang cukup ramai dan merupakan pulau yang paling maju setelah Jawa-Bali. Kunjungan ke wilayah Sumatra terkesan "biasa" dan tidak terasa seistimewa kunjungan ke Papua atau Maluku misalnya. Perjalanan dinas ke kota-kota di Sumatra seperti Medan, Palembang, Pekanbaru, hingga Batam pun rasanya lebih ramai daripada ke Palu, Gorontalo, Ambon, Sorong, atau Nabire.

Namun mungkin karena itulah Sumatra lebih jarang dijadikan tujuan wisata dewasa ini bila dibandingkan dengan kawasan timur Nusantara. Paling-paling hanya Sumatra Barat, Sabang dan Danau Toba saja yang menjadi target kunjungan wisata di Sumatra. Bandingkan dengan banyaknya tujuan wisata (terutama wisata alam) di daerah timur seperti Alor, Rote, Komodo, Lombok, Flores, Wakatobi, Togean, Kei, Bunaken, sampai Raja Ampat.

Memang jika bicara alam, apalagi alam bawah laut, daerah barat Nusantara tampak kalah indah jika dibandingkan wilayah timur. Paling-paling hanya Sabang, Belitung, dan Anambas saja yang "dapat bersaing" dengan tempat-tempat di timur Nusantara. Hal ini tidak mengherankan karena segitiga koral dunia berada mulai dari Sulawesi, Lombok, hingga Papua.

Namun kawasan barat Nusantara juga memiliki daya tariknya sendiri bagiku. Yang pertama ialah budaya. Budaya Melayu, Minang, Batak, Aceh memiliki kepribadiannya sendiri yang terasa cukup kental. Hal ini juga didukung oleh budaya literasi yang lebih maju dibandingkan dengan kawasan timur. Setelah Jawa, buku-buku Nusantara yang banyak ditulis ialah tentang Minang, Melayu, Batak, dan Aceh. Setidaknya itu kesimpulanku ketika melakukan penelusuran literatur dalam rangka mengumpulkan informasi tentang Sumatra.

Daya tarik lainnya ialah kuliner! Sudah bukan rahasia lagi jika masakan-masakan Sumatra kaya dengan rempah. Mulai dari Palembang, Padang, Aceh hingga Medan, semuanya memiliki masakan khasnya masing-masing. Nanti aku ceritakan bagaimana perjalanan kali ini membuat anggaran makanku jebol lumayan parah. Meskipun demikian, aku tidak merasa rugi apalagi menyesal karena kelezatan masakan-masakan itu aku rindukan saat aku menulis artikel ini, hmm..

Oke, kita sudahi lamunan laparnya.. Kembali ke cerita perjalanan seorang diri keliling Sumatra. Yah nggak sendirian juga sih sebenarnya karena di tempat-tempat tujuan aku selalu mencari "tuan rumah" alias orang yang bisa ditebengin nginep sekaligus bisa dijadikan informan mengenai tempat tersebut. Aku mencarinya dari berbagai media sosial seperti facebook, instagram hingga coachsurfing. Berawal dari tanya-tanya, beberapa menawari aku untuk menginap ditempatnya (yang tentu saja disambut dengan senang hati), hingga berakhir dengan bertemu dan bertamu sekaligus menginap di tempat mereka. Nanti aku ceritakan lebih lengkap mengenai tuan-tuan rumah yang baik hati ini. Namun sebelumnya aku ingin bercerita mengenai pemilihan tujuan yang ingin aku datangi di Sumatra.

I love island so much. Sejak aku menderita sakit punggung bawah dan dilarang dokter untuk beraktivitas vertikal terlalu berat (seperti loncat, lari, membawa beban berat, dan sejenisnya) maka pilihan untuk mendaki gunung otomatis aku coret. Dan island hoping jadi kegiatan yang sangat menarik bagiku. Apalagi jika ditambah snorkeling atau free diving,wuiih lengkap rasanya hari!

Tapi aku tidak berharap terlalu banyak pada terumbu karang di Sumatra. Target snorkeling hanya di Sabang saja. Tapi mengunjungi pulau? Nah yang ini tidak ingin aku lewatkan! Jadilah aku targetkan untuk mengunjungi pulau-pulau terluar sekaligus batas negara dalam daftar kunjunganku. Enggano, Mentawai, Nias dan Weh segera masuk daftar kunjungan. Empat pulau di empat provinsi yang berbeda. Lalu aku berpikir, bagaimana jika sekalian saja aku kunjungi semua provinsi di Sumatra, terutama yang belum pernah aku kunjungi. Menarik juga rasanya!

Maka provinsi Lampung dan Bangka Belitung tidak masuk daftarku karena sebelumnya aku sudah pernah kesana. Untuk Sumatra Selatan, aku hanya memasukkan Palembang karena alasan biaya. Di Palembang aku memiliki kawan kuliah yang tinggal disana. Urusan menginap aman. Urusan transportasi, dia menawarkan aku untuk menggunakan sepeda motornya untuk menjelajahi kota. Dua urusan penting aman lah. Rasanya tidak memerlukan biaya banyak karena dua dari tiga pos pengeluaran terbesar telah tertutupi. Tidak perlu lagi sewa kendaraan dan bayar penginapan. Selain itu aku juga dapat tumpangan gratis dari Jakarta ke Palembang karena waktunya bertepatan dengan mudik lebaran. Lengkap sudah!

Untuk Bengkulu, tujuan sudah terwakili dengan target utama pulau Enggano. Selain itu aku masih bisa menambahkan beberapa tujuan wisata dalam kota seperti benteng Marlborough dan rumah pengasingan Soekarno. Untuk Jambi sepertinya aku tidak mendapatkan target kunjungan pulau. Dari hasil browsing dapatlah satu tujuan luar biasa "dekat" Kerinci, yaitu danau Kaco (atau danau Kaca dalam bahasa Indonesia). Nanti aku ceritakan secara khusus mengenai danau luar biasa ini.

Lalu Sumatra Barat! Provinsi "paling mudah" untuk berwisata. Disini aku memasukkan cukup banyak daftar kunjungan. Yang utama ialah Mentawai dan lembah Harau. Namun disamping itu aku juga memasukkan istana Pagaruyung karena searah dan Bukittinggi sebagai icon wisata utama di Sumbar. Bukittinggi aku pilih sebagai tujuan terakhir di Sumbar karena selain Padang, akses dari sini menuju tempat lain terbilang paling mudah daripada Payakumbuh atau Batusangkar. Termasuk akses menuju Sibolga, kota transit sebelum menyebrang ke Nias, salah satu tujuan utamaku. Untuk provinsi Sumatra Utara, Nias lebih menarik bagiku ketimbang danau Toba. Nanti aku ceritakan alasannya.

Lalu provinsi paling ujung Sumatra: Aceh! Sudah jelas pulau Weh menjadi primadonanya. Bahkan salah satu target utama perjalanan kali ini ialah merayakan ulang tahun republik di titik 0 kilometer Indonesia. Setelah 2014 aku merayakannya di bawah laut pulau Tunda, dan 2015 di kampung balik gunung Wae Rebo, maka pada tahun 2016 aku ingin merayakannya di ujung barat republik. Hal ini pula yang menjadi alasan kenapa aku merencanakan perjalanan ini di bulan Juli-Agustus. Intinya, 17 Agustus 2016, aku harus berada di pulau Weh.

Selesai? Belum! Meskipun salah satu target puncaknya merayakan hari kemerdekaan di ujung barat republik, namun masih ada dua tempat lagi yang menjadi target utamaku, yaitu selat Malaka dan Kepulauan Riau. Selat Malaka? Ada apa disana? Memangnya itu objek wisata? Yah bukan sih, selat Malaka ya selat, laut, bukan objek wisata. Tapi selat Malaka merupakan jalur pelayaran tersibuk negeri ini sejak pra kolonial. Selat ini menjadi objek rebutan antar bangsa sejak jaman rempah-rempah. Selat yang sarat sejarah karena posisinya yang sangat strategis sebagai pintu masuk menuju kepulauan Nusantara. Sejarah inilah yang membuat aku penasaran dan ingin melihat kondisi selat Malaka saat ini.

Sedangkan kepulauan Riau merupakan provinsi terakhir di Sumatra yang belum aku kunjungi. Kepri aku letakkan sebagai tujuan terakhir karena aksesnya terbilang mudah untuk kembali ke Jakarta. Yah tidak disemua titik sih, hanya di Batam dan Bintan saja akses ke Jakarta terbilang mudah. Selain itu daya tarik pulau Penyengat sebagai tempat sarat sejarah, tempat dimana raja Ali Haji berasal terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Raja Ali Haji ialah sang pencipta Gurindam Dua Belas yang menjadi pegangan orang Melayu. Maka Bintan di Kepulauan Riau aku masukkan sebagai tujuan terakhirku dalam perjalanan kali ini.

Merencanakan serius sejak Januari, berangkatnya bulan Juli.

Selesai menentukan tujuan, langkah selanjutnya ialah mencari informasi mengenai transportasi menuju tempat-tempat tersebut. Kelasnya cukup kelas ekonomi atau yang paling murah saja. Tidak perlu lah itu kamar-kamar VIP dalam kapal ferry. Untuk transportasi darat, awalnya aku mengincar bis yang rasanya lebih murah daripada travel. Namun tidak seperti di Jawa, angkutan umum antar provinsi di Sumatra ini umumnya menggunakan travel. Memang sih lebih enak karena langsung diantar ke alamat tujuan, tapi kan  lebih mahal! Jika ini di Jawa, aku pasti akan langsung menolak jika naik travel tapi karena di Sumatra aku tidak punya pilihan lain, jadi yausudah, relakanlah rupiah-rupiah itu masuk ke kas travel.

Oh iya, informasi mengenai transportasi ini tidak selalu aku dapatkan dari internet. Malah aku sempat kesulitan mendapatkan jadwal keberangkatan dan jalur transportasi publik antar kota di Sumatra. Untuk jalur laut mungkin aku masih maklum karena kondisi laut sulit ditebak. Tapi untuk transportasi darat? Kadang aku merasa sebagian daerah di republik ini belum memasuki jaman internet. Informasinya masih sangat terbatas dan tidak up to date.

Mempersiapkan diri sebelum melakukan perjalanan itu sangat penting. Mengumpulkan informasi termasuk salah satu hal penting dalam mempersiapkan perjalanan. Ketika aku merasa kesulitan mendapatkan informasi transportasi, langkah selanjutnya ialah mencari kenalan yang pernah mengunjungi daerah tersebut atau lebih bagus lagi kenalan yang berdomisili di tempat itu. Sukur-sukur sekalian ditawari bermalam ditempatnya. Jadi selain menghemat biaya penginapan, aku juga bisa mengenal kehidupan sehari-hari masyarakat lokal. Hotel kadang bisa menjadi penjara. Pemisah antara masyarakat lokal dan turis. Menghambat kita untuk berbaur, meskipun menawarkan privasi.

Yah pada akhirnya, melakukan solo trip alias perjalanan seorang diri memang masih jarang dilakukan orang Indonesia. Apalagi solo trip dengan menumpang tinggal di rumah warga dan dalam waktu yang lumayan lama (lebih dari seminggu). Kebanyakan teman-teman saya melakukan perjalanan berkelompok dengan durasi yang tidak terlalu lama. Umumnya antara tiga sampai lima hari. Hal ini disebabkan karena faktor cuti yang tidak bisa terlalu lama dan biaya. Tetapi faktor biaya sebenarnya lebih bisa disiasati dengan cara (antara lain) menumpang. Baik penginapan maupun transportasi. Waktu lah yang lebih sulit disiasati dan berharga lebih mahal daripada uang. Uang yang hilang bisa dicari kembali. Waktu yang berlalu takkan kembali kepada kita. Waktu tidak mengenal balikan. Ia akan selalu move on.

Selain dua hal tadi, soal keberanian/tekad/kenekatan juga perlu disiapkan. Aku menyebutnya persiapan mental. Rasa takut tentu saja ada. Selalu ada ketakutan ketika kita pergi ke tempat baru, apalagi seorang diri. Tapi dengan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya, ketakutan itu pelan-pelan berkurang. Kadang malah berganti dengan exciting. Antusiasme baru yang makin lama makin menjadi obsesi.

Pengalaman juga penting. Pengalaman dapat menurunkan kecemasan. Solo trip ini merupakan solo trip kedua. Yang pertama dulu aku menjalaninya lebih banyak dengan kelompok. Dari 26 hari bepergian, sekitar 7 hari aku bepergian bersama kelompok keliling kepulauan Komodo, Wae Rebo, Bajawa, hingga Kelimutu. Ketika mengunjungi Ijen, Baluran, Alas Purwo dan Gili Kondo pun aku menjalaninya dengan kelompok meskipun berbeda-beda. Sebelum itu aku juga banyak melakukan open trip singkat. Dari perjalanan-perjalanan kecil inilah aku mengumpulkan pemahaman dan ketenangan sebagai bekal untuk mempersiapkan perjalanan jauh dan panjang.

Jadi, mari kita berangkat! (bersambung..)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar