Sabtu, 30 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 13 (tamat): Tempat minum kambing yang masih perawan.

Titik paling ujung seringkali menggoda jiwa romantisme pelancong. Berada di ujung negeri, ketika tidak semua orang dapat mencapai tempat itu rasanya cukup membanggakan. Tidak berlebihan sih, hanya cukup saja rasa bangganya. Entah bangga karena apa, saya sendiri juga bingung. Tapi pokoknya, persinggahan di titik paling ujung bisa diceritakan dengan rasa bangga yang cukup untuk mengesankan orang lain.

Nah atas dasar inilah, penetapan titik paling ujung juga memiliki motif ekonomi. Apalagi kalo bukan kunjungan turis yang ingin merasakan romantisme seperti yang saya ceritakan di atas? Namun sejauh ini, baru Sabang lah yang serius menggarap potensi wisata yang didasarkan oleh romantisme di ujung negeri. Meskipun begitu, kesadaran warga akan potensi pariwisata titik terujung sudah ada. Paling tidak warga di selatan Nusantara.

Di Rote, penetapan titik paling selatan ternyata menjadi perebutan beberapa daerah. Tanjung Oebi’i, pulau Ndana dan pantai Nemberalla pernah bersaing untuk ditentukan sebagai titik paling selatan Nusantara. Pantai Nemberalla berada di ujung barat Rote. Termasuk ke dalam wilayah Rote Barat. Namun karena letak Rote melintang dari timur laut ke barat daya, maka dapat dikatakan Nemberalla juga berada di daerah selatan Rote.

Pulau Ndana lebih tepat dikatakan sebagai ujung selatan Nusantara karena letaknya secara geografis memang berada paling selatan. Namun pulau ini tidak memiliki penduduk asli dewasa ini. Pulau ini hanya dijaga oleh TNI sehingga kurang tepat jika tugu selatan dibangun ditempat ini untuk alasan pariwisata. Sebagaimana pulau Rondo yang terletak lebih barat daripada Sabang dan tugu 0 km. Pulau Ndana pun lebih diposisikan sebagai pertahanan negeri daripada pariwisata.

Sedangkan tanjung Oebi’i merupakan tempat paling selatan di Rote Selatan. Nah atas dasar administrasi wilayah, maka tempat ini juga mengklaim diri sebagai titik terselatan Nusantara. Tanjung ini berada di desa Dodaek. Sebenarnya tidak benar-benar berada di desa sih, karena letaknya masih lumayan jauh dari desa. Tapi karena desa Dodaek merupakan desa terakhir dan boleh dibilang merupakan pintu masuk menuju Tanjung Oebi’i, maka titik terselatan versi administrasi wilayah ini kerap disebut berada di Dodaek.

Oebi’i sendiri berarti tempat kambing mencari air. Oe = air. Bi’i = kambing. Topografinya memang berbukit-bukit terjal. Cocok untuk kambing yang memang pemanjat jempolan (saya baru tau tentang hal ini disana). Dan seperti tempat-tempat berstatus perawan, tempat ini cukup jauh dari kota. Meskipun begitu, sudah ada jalan dari tanah dan batu dan dapat dicapai dengan kendaraan bermotor.

Naik-turun.. jalan berbukit menuju Tanjung Oebi'i
Ujung jalan mulai terlihat di kejauhan

Jalan menuju Tanjung Oebi’i cukup indah. Tanjung ini terletak di balik bukit jika kita berjalan dari desa Dodaek sehingga kami berkesempatan untuk melihat garis pantai dari ketinggian. Dan pemandangan dari tempat yang tinggi tidak pernah mengecewakan saya. Selalu ada “uuuuuhhh”, “woooow”, “waaaahh”, “keerreeenn” yang disertai permintaan untuk berhenti sebentar demi mengambil foto. Foto pemandangan dan foto narsis. Lalu kembali melanjutkan perjalanan. Same old thing yang membuat waktu tempuh kami molor dari jadwal.

Dari atas bukit menuju tanjung Oebi'i. Pandangan dari ketinggian tidak pernah mengecewakan.

Tanjung Oebi’i sendiri merupakan ujung jalan (bukan ujung aspal karena aspal sudah berakhir sejak tadi) yang berasal dari desa Dodaek. Sesuai namanya, tanjung ini didominasi oleh tonjolan-tonjolan karang tajam dan gerombolan kambing. Tempat ini merupakan habitat asli mereka. Kambing-kambing ini berkeliaran bebas dan tidak tampak takut dengan manusia. Tapi sepertinya hewan-hewan berkaki empat di Rote sudah terbiasa dengan kehadiran manusia, tidak hanya kambing Oebi’i saja.

Habitat asli kambing, sang pemanjat ulung.

Tempat kambing mencari air ini masih benar-benar alami. Satu-satunya peninggalan manusia ditempat ini ialah dua penanda batas dari semen. Belum tampak tugu seperti 0 km di Sabang ataupun patung-patung penjaga perbatasan seperti di pulau Ndana, Miangas, Merauke, ataupun Sebatik. Kesan alami dan perawan sangat terasa.

Titik selatan versi tanjung Oebi'i

Penanda buatan. Sederhana.

Menikmati keaslian alam seperti ini, ada rasa tidak rela jika tempat ini berdiri bangunan atau tugu buatan manusia. Kadang saya merasa, tempat ini lebih baik dibiarkan seperti ini saja. Keberadaan bangunan akan mengurangi keindahan tempat ini. Biarlah, pulau Ndana saja yang ditetapkan sebagai titik paling selatan Nusantara. Atau jika harus dibangun tugu selatan, sebaiknya bangun saja di kawasan Nemberalla yang memang sudah terkondisikan sebagai kawasan pariwisata.

Perawan dan permata di selatan Rote.
Wefie terakhir

Tanjung Oebi’i, teruslah menjadi perawan dan permata di selatan Rote.

3 komentar:

  1. Lg browsang browsing, eh liat blogger yg namanya terdengar familier.
    Ternyata benar. Temen karaoke di depok dl (��).
    Keren dok tulisan2 dan foto lu skrg.
    Tidak sefilosofis dl, tapi gpp, ngepop justru menjangkau lebih banyak pembaca. Lanjutgan.


    *Phantom of the Debora*

    BalasHapus
  2. Faktor U, pak phantom.. How's life? Ayoklah karaokean lg

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus