Minggu, 03 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 08: Paplea & mulut seribu!

Mulut seribu di Rote Timur ialah tujuan terakhir kami di hari kedua ini. Untuk mencapai mulut seribu, kami menuju pelabuhan Papela. Pelabuhan ini termasuk ke dalam pelabuhan rakyat. Mayoritas penduduknya berasal dari Bugis dan menganut agama Islam. Desa yang cukup langka di Nusa Tenggara Timur, namun suku Bugis dan Makassar terkenal sebagai pelaut ulung dari jaman nenek moyang. Tidak heran jika daerah pesisir di kepulauan Nusantara terdapat kampung-kampung Bugis. Kampung sejenis ini pernah beta temukan di pesisir Ende, kampung Komodo, dan pulau Kelapa Dua di kepulauan Seribu.

Kembali ke Papela. Hujan sedang menyambut kami ketika sampai disini. Sambutan lain berasal dari kotoran kambing yang berserak dipintu masuk pelabuhan yang sebenarnya tanpa pintu. Beta ingat, disinilah beta nyasar tujuh bulan lalu ketika hendak mencapai pantai Oesosole. Lagi-lagi nostalgia. Mungkin kunjungan ini bentuk jawaban atas doa dan harapan. Tujuh bulan lalu, ketika beta meninggalkan Rote, beta berdoa semoga dapat kembali kemari lagi dengan tim, tidak sendiri. Alhamdulillah, doa tersebut dijawab dengan cara yang luar biasa!

Awan kelabu menyambut kami di Papela

Berbeda dengan tujuh bulan lalu, kali ini cuacanya lebih teduh. Teduh di darat, teduh di langit. Hujan sedang belum juga berhenti sehingga kami memilih untuk menunggu sambil makan siang. Namun ketika hujan pun, kegiatan di pelabuhan tidak berhenti. Bocah-bocah desa bermain hujan dengan gembira. Di ujung dermaga, angkatan laut Republik Indonesia rupanya sedang mensurvey dermaga Papela. Konon untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga dapat menjadi pelabuhan yang lebih baik lagi. Tidak sekedar pelabuhan nelayan saja. Semoga usaha ini dapat berujung pada kemudahan transportasi di kepulauan tenggara. Aamiin.

Bocah-bocah bermain dengan gembira di bawah rintik hujan. Papela, Rote Timur.

Setelah menunggu kira-kira satu jam, hujan pun reda. Berganti titik-titik gerimis. Langit masih kelabu, namun sudah berkurang kesedihannya dibandingkan dengan saat pertama kali kami datang. Kami lantas bersiap menaiki kapal milik pak Dahlan, ketua RT 02 di kampung Papela ini. Melalui beliau, kami mendengarkan banyak cerita tentang tempat ini. Terlambat sekitar satu jam setengah dari jadwal semula, kami pun berangkat menuju mulut seribu. And I have no idea, what is the mulut seribu?

Pantai? Pulau? Atau yang lain? Jawaban yang beta peroleh dari pak Sanu, mulut seribu ialah pantai. Pantai? Nama yang unik untuk sebauh pantai. Tapi nanti beta sadari bahwa daripada pantai, mulut seribu lebih cocok dinamakan labirin. Tapi itu baru beta sadari dalam ketika mengeksplor mulut seribu sebentar lagi. Sekarang, mari kita berangkat!

Ada dua jalur untuk mencapai mulut seribu dari Papela. Jalur pertama lebih dekat, ke arah barat laut. Melalui jalur ini kita dapat langsung mencapai mulut seribu, namun ketika itu kedalaman airnya kurang. Kapal yang kami tumpangi tidak bisa melewati jalur itu. Akibatnya kami harus mengambil arah timur laut. Memutari pulau Usu. Dan itu menjadi berkah tersendiri bagi kami.

Kepo di atas kapal. Foto oleh Salman.

Memang waktu tempuh menjadi lebih lama, tapi kami disajikan pemandangan luar biasa di pulau Usu. Tebing karang yang menjulang tinggi. Sudah mulai berwarna hijau dan ditumbuhi pepohonan dan rumput. Indah berkali-kali. Rasanya seperti berada di jaman dinosaurus. Ah, mungkin beta karena beta terkesan dengan film-film Steven Spilberg sejak jaman sekolah, terutama film Jurassic Park dan sekuel-sekuelnya. Sisi luar pulau Usu mirip sekali dengan pulau Dinosaurus Spilberg!

Rote Jurassic Island

Selain daya tarik lanskap pulau Usu, ternyata panorama bawah laut selat Pukuafu yang kami lalui juga luar biasa indah. Terumbu karang terlihat jelas dari atas kapal. Visibilitynya bagus sekali siang itu. Sayang kami tidak membawa perlengkapan snorkeling. Jika tidak, mungkin kami sudah meminta berhenti untuk snorkeling di tempat ini.

Namun sesungguhnya, keindahan ini juga memiliki bahayanya sendiri. Selat Pukuafu berada di pertemuan tiga laut, yaitu laut Sawu, laut Timor dan Samudra Hindia. Selat ini juga dikenal sebagai selat pencabut nyawa dan menjadi momok tersendiri di Nusa Tenggara Timur. Kecelakaan kapal sering terjadi disini. Dari penelusuran beta, setidaknya ada tiga berita mengenai tenggelamnya kapal feri di selat Pukuafu. Januari 2006, JM Fery tenggelam dan hampir seratus orang hilang. April 2012, kapal barang yang memuat BBM dari Kupang menuju Rote tenggelam. Untungnya ABK berhasil diselamatkan oleh tim SAR Kupang. Yang terakhir Agustus 2013. Kapal tenggelam antara pulau Semau dan pulau Kambing dalam perjalanan dari Kupang menuju Rote. Cukup mengerikan? Kini beta bersyukur karena kami tidak membawa peralatan snorkeling sehingga tidak meminta berhenti di selat maut ini.

Nama Pukuafu sendiri (konon) berasal dari bahasa Portugis, yaitu “puke” yang berarti muntah dan “afu” yang artinya berulang. Jadi Pukuafu artinya terus-menerus muntah. Konon, anak buah Magelhans yang menamakannya demikian ketika mereka dalam perjalanan pulang ke Eropa dari Filipina. Ketika itu kapal mereka dihantam ombak besar sehingga disini dan terus-menerus muntah. Tidak heran jika penumpang kapal terus-terusan muntah jika dihantam ombak besar terus-menerus. Jika ombaknya sering menenggelamkan kapal, maka muntah yang tak kunjung berhenti merupakan derita yang amat kecil.

Nah, untungnya kami tidak merasakan kedua hal itu kali ini. Alhamdulillah, segala puji bagi Illahi yang Maha Kuasa. Selat ini begitu tenang sehingga membuat kami dapat menikmati alam bawah laut tanpa harus menyelam dengan takjub. Bahkan beta berhasil berselfie ria di atas kapal yang sedang berjalan dengan latar belakang terumbu karang di bawah air. Visibilitynya sangat baik sehingga mampu tertangkap kamera dari atas kapal yang sedang berjalan. Luar biasa!

Narsis dengan latar belakang terumbu karang. Tapi kali ini bukan underwater

Dan akhirnya setelah melewati tempat menakjubkan ini, sampailah kami di mulut seribu. Sebuah labirin laut. Dipagari oleh karang-karang besar disekitarnya. Menciptakan banyak celah dan jalan masuk ke daratan Rote. Inilah asal mula penamaan mulut seribu, karena tempat ini punya banyak mulut (celah) yang membingungkan. Arah mana yang harus diambil? Dan seperti labirin, jika salah mengambil arah maka konsekuensinya ialah tersesat. Tidak heran karena celah yang terdapat disini cukup membingungkan.

Bahkan ada opini yang mengatakan bahwa tempat ini ada penunggunya. Jika kita tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada penunggu tempat ini, niscaya kapal kita akan tersesat dalam labirin ini. Mistis? Bisa jadi. Oleh karena itu kami memiliki alasan kuat untuk menyewa kapal milik penduduk setempat yang sudah hapal seluk-beluk labirin ini.

Mengunjungi mulut seribu, kami hanya berputar-putar dan mengekspolrasi labirinnya. Seperti tur perahu yang membawa penumpangnya mengitari suatu daerah, beginilah cara menikmati mulut seribu. Bagi beta, daya tarik tempat ini lebih kepada momen senja, dimana langit dan laut tersaji dengan sangat cantik. Salah satu sunset terbaik yang pernah beta alami.

Nah karena sangat banyak molornya, matahari sudah tenggelam ketika kami kembali ke dermaga Papela. Tubuh sudah lelah. Kamera sudah menyerah. Yang tersisa di hari ini ialah kerinduan kepada kasur di hotel. Jaraknya kira-kira satu setengah jam dari Papela. Sebuah hari yang penuh rasa syukur pun berakhir sudah. Sampai jumpa di hari ketiga!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar