Selasa, 12 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 12: Dan pulau terselatan itu ternyata bukan Rote..

Rote seringkali disebut sebagai pulau paling selatan NKRI namun kenyataannya tidak demikian. Pulau terselatan ialah pulau Ndana. Pulau ini sempat disebut tidak berpenghuni. Kini pulau Ndana dijaga oleh marinir dan angkatan laut sebagai penjaga garis batas Nusantara. Dengan begitu pulau ini memiliki penghuninya meski hanya sementara. Ya, karena keberadaan penjaga perbatasan ini disesuaikan dengan masa tugasnya. Tim ini akan digantikan tim lain setelah penugasan mereka selesai.

Selain marinir dan AL, tidak ada penduduk sipil yang mendiami pulau Ndana. Setidaknya pada masa kini. Lalu apakah dulu pulau ini berpenghuni? Tentang hal ini, masyarakat Rote memiliki folklore-nya sendiri. Sayangnya folklore ini tidak bisa beta ceritakan disini karena suatu alasan. Namun jika ingin tau lebih jauh, silahkan baca buku Paul Hanning tentang legenda Sangguana atau silahkan browsing di internet dengan kata kunci Pulau Ndana, Sangguana dan Danau Merah Ndana.

Selain cerita pulau Ndana, ternyata masih banyak cerita-cerita lain dalam tradisi lisan Rote. Selama perjalanan beberapa hari ini, tidak terhitung berapa banyak cerita rakyat yang beta dengar dari penduduk Rote. Namun sayangnya cerita-cerita ini baru dituturkan secara lisan dan belum banyak ditulis. Apalagi yang ditulis oleh anak bangsa. Kebanyakan tulisan tentang Rote/Roti  dan daerah-daerah terpencil lainnya di Indonesia ditulis oleh peneliti asing. Mulai dari yang serius seperti Antropolog, Naturalis, Sejarawan, sampai pelancong dan musafir. Karena itu, yuk kita tulis dan kumpulkan pengetahuan yang tersebar di Nusantara. Karena inilah wawasan Nusantara yang sebenarnya.

Kembali ke pulau Ndana. Kami mengunjungi pulau itu dari pantai Nemberalla menggunakan kapal milik resort. Perjalanan ke pulau Ndana memakan waktu kira-kira satu jam. Perjalanan laut seperti ini selalu tentative waktunya. Tergantung ombak dan kapal yang digunakan. Jadi perkiraan waktunya jangan disamakan dengan perjalanan darat yang lebih mudah diprediksi.

Sebenarnya pantai terdekat dari pulau Ndana ialah Oeseli. Namun kami memutuskan berangkat dari Nemberalla karena hendak menggunakan fasilitas kapal dari resort. Di Oeseli sendiri belum ada penginapan. Otomatis, kapal-kapal di Oeseli hanya ada milik nelayan yang tidak dilengkapi dengan standar keamanan seperti jaket pelampung. Oleh karena itu, lebih aman menyebrang dari Nemberalla meski jaraknya lebih jauh.

Berangkat dengan penuh keceriaan dari Nemberalla meski langit berawan

Perjalanan laut ini cukup tenang meskipun kami melewati jalur selancar Bo’a. Sayangnya kami tidak bertemu dengan peselancar pagi itu. Cukup aneh sebetulnya ketika menonton peselancar beraksi. Turis menonton turis. Hahahaha!

Tentang selancar, beta mendapat cerita yang cukup unik. Konon, orang yang pertama berselancar di Rote ialah seorang bule (yang namanya tidak beta dapatkan dari cerita ini). Bule tersebut meletakkan papan selancarnya di atas kuda (karena waktu itu kendaraan bermotor langka) lantas menuju Nemberalla dari Ba’a. Orang-orang yang melihat kuda si bule mengira dia membawa perahu di atas kuda. Walhasil kabar mengenai orang yang berperahu di darat pun menjadi kabar angin yang makin kencang bertiup. Semakin banyak orang yang menonton si bule dengan kuda dan selancarnya. Ketika berselancar, gosip pun berkembang menjadi: si bule berselancar dari Kupang hingga Nemberalla. Hahaha! Namanya juga kabar angin. Namun begitulah sifat tradisi lisan: mudah berubah sehingga dapat tercipta banyak versi.

Hal ini menjadi tantangan sendiri bagi penulis, terutama yang mencari keaslian dari cerita yang beredar. Apalagi jika bisa dibuktikan melalui hasil peninggalan berupa reruntuhan bangunan atau hal lain. Seru sekali kedengerannya ya? Mungkin suatu saat beta akan melakukan itu. Tapi sekarang, cukuplah beta bercerita tentang pengalaman melancong ke pulau Ndana saja.

Mendarat di pulau Ndana, kami langsung disambut beberapa anggota TNI yang sedang berenang disekitar pulau. Begitu merapat, mereka langsung sigap membantu menautkan tali kapal dan membantu kami turun dari kapal. Agak takjub sebetulnya menerima perlakuan seperti itu. Jujur, kami merasa sangat diterima meskipun belum memberi kabar apapun kepada mereka. Warm welcome from them.


Kami lalu menuju markas mereka sambil mendengarkan banyak penjelasan tentang Ndana. Tentang jejak rusa yang banyak terlihat di hutan, namun jarang terlihat fisiknya (lah, serem amat). Tentang reruntuhan bangunan di dalam hutan. Danau merah yang katanya tidak terlalu merah. Tentang tempat snorkeling keren di bagian utara dan barat laut pulau (yang tidak sempat kami datangi, hiks..). Terselip juga curhatan mereka tentang suka-duka menjaga pulau tak berpenghuni. Namun sekali lagi, beta tidak bisa bercerita terlalu detail karena suatu alasan. Ah, mungkin lebih baik foto beta saja yang bercerita kali ini: silahkan disimak dan sampai jumpa pada artikel Dodaek!

Sambutan selamat datang di pulau Ndana
Foto bareng di markas Marinir pulau Ndana
Peta situasi pulau Rote dan sekitarnya
Patung Jendral Sudirman yang menjadi ikon pulau Ndana
Sisi lain dari patung sang Jendral
Foto keluarga sekaligus kesempatan narsis terakhir di pulau ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar