Jumat, 01 April 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 06: Bertamu ke rumah Raja.

Pulau Rote boleh dibilang tidak terlalu besar untuk dikuasai oleh sebuah kerajaan. Luas pulau ini hanya seperlima Bali atau lebih dari sepertujuh puluh pulau Jawa. Wilayah yang tidak terlalu besar untuk sebuah kerajaan bukan? Namun tidak, di Rote tidak hanya satu tapi ada sembilan belas raja!

Salah satu raja yang “tidak sengaja” kami kunjungi ialah raja Landu. Ah maaf, bukan rajanya yang kami kunjungi karena beliau telah mangkat. Yang berhasil kami kunjungi ialah rumah raja Landu dan keturunan raja yang menghuni rumah tersebut. Tapi dia bukan raja karena sistem raja-raja “telah selesai” di Landuleko.

Raja, dalam bahasa Rote disebut Nusak. Raja sendiri merupakan “gelar” pemberian Belanda kepada Nusak-nusak di Rote. Sejarah panjang dan rumit antara Nusak-nusak Rote dan Belanda hampir tidak mungkin beta ceritakan dalam tulisan singkat ini. Konon, sejarahnya sudah dimulai dari abad ke-16 (bahkan mungkin lebih lama dari itu) dan melewati masa pendudukan Belanda dengan penuh muslihat. Konon lagi, sistem Nusak masih dapat bertahan sejak kedatangan Belanda sampai VOC bubar.

Ah tapi beta bukan hendak bercerita tentang sejarah raja dan nusak disini. Beta hanya ingin menceritakan tentang penemuan tidak sengaja kami dalam perjalanan menuju danau laut mati Landuleko. Berawal dari cerita Kevin, anak pak Sanu yang menggantikan beliau di hari kedua tentang keberadaan rumah raja Landu. Menurut Kevin, ada rumah raja dekat danau laut mati. Letaknya pun searah dengan jalan menuju danau. Walhasil kami keracunan ceritanya dan memutuskan untuk mampir sejenak.

Rumah raja Landu yang agak nyentrik dengan tembok Orange. Kuburan dan parabola terhias di depan rumah.

Awalnya kami hanya ingin memotret rumah raja ini dari luar. Tidak disangka, di warung kecil di depan rumah raja ternyata ada keturunan raja yang mempersilahkan kami masuk. Keramahan khas Indonesia kembali kami temui disini. Mama (atau nona?) yang mempersilahkan kami masuk pun kami hujani dengan pertanyaan-pertanyaan spontan. Namun dengan sopan ia memperkenalkan kami kepada pamannya yang konon lebih paham mengenai silsilah keluarga raja Landu ini.

Kuburan kerabat raja Landu di depan rumah

Setelah dipersilahkan masuk, keluarlah seorang bapak tua dari dalam rumah. Beliau memperkenalkan diri sebagai bapak Erasmus Yohannes. Lebih berbau Belanda daripada Portugis ya? Mengingatkan beta pada pahlawan Belanda bernama Erasmus. Dari bapak Erasmus inilah kami mendengar sedikit cerita tentang raja Landu.

Menurut bapak Erasmus, dulu daerah ini ialah satu kerajaan. Dipimpin oleh raja Landu. Lalu terjadilah penyatuan daerah. Landu bukan lagi menjadi kerajaan tapi hanya bagian dari pemerintahan kabupaten Kupang waktu itu. Rote Ndao sendiri merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Kupang di pulau Timor.

Perubahan pemerintahan pusat berpengaruh pada dinamika pemerintahan daerah. Hal ini wajar dalam politik. Akibatnya bagi Landu, sistem raja sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah camat atau bupati. Bapak Erasmus sendiri merupakan cucu dari raja Landu terakhir (sedih euy nulisnya).

Demikianlah, bapak Erasmus bercerita dan meladeni pertanyaan-pertanyaan kami dengan sabar. Meskipun untuk mendengarkan cerita beliau dibutuhkan konsentrasi ekstra, namun kami banyak mendapat pengetahuan baru mengenai masa lalu Landu dan Rote. Kurang lebih setengah jam kami mendengarkan cerita bapak Erasmus. Semakin banyak beta bertanya, semakin banyak pertanyaan baru muncul di kepala beta. Ini tidak akan ada habisnya jika menuruti keingintahuan beta!

Mustahil memang mendengarkan sejarah berabad-abad hanya dalam waktu kurang dari satu jam. Pasti banyak hal yang menjadi pertanyaan dan jawabannya memicu pertanyaan baru. Dengan rasa keingintahuan yang masih menyiksa, beta terpaksa meninggalkan tempat ini. Pamit kepada bapak Erasmus dan berterima kasih atas ceritanya yang semakin membuat penasaran. Kami masih “harus” mengejar dua tujuan lagi hari ini.

Tidak lupa, sesi foto wajib menjadi penutup kunjungan tidak sengaja ini di rumah raja Landu (alm.). Kami memutuskan untuk berfoto diluar rumah. Mencari lokasi yang menggambarkan keunikan rumah ini. Sekilas rumah ini hampir tidak berbeda dengan rumah-rumah lain kecuali warna catnya yang sangat mencolok. Orange terang dibagian luar dan hijau cerah dibagian dalam. Siapa sangka, rumah sederhana ini ternyata rumah raja? Tampilan sederhana (tapi sedikit nyentrik) rumah ini kontras dengan sejarah panjangnya yang tidak bisa dibilang senderhana.

Foto keluarga Indonesia Diversity dengan keturunan raja Landu.

Kejutan yang membawa rasa penasaran berkelanjutan inilah yang membuat beta berselancar di dunia maya. Mencari informasi tambahan mengenai sejarah Rote. Dan hasilnya sangat minim. James Fox, tercatat sebagai referensi utama tentang Rote. Beta juga menemukan nama Paul Hanning yang juga menulis tentang legenda kerajaan Ndana yang tragis. Begitu banyak cerita, begitu sedikit tulisan.

Cerita-cerita tentang Rote banyak sekali beta dapat dari penduduk Rote. Dari keturunan raja. Dari pemain Sasandu. Dari pemilik penginapan. Dan tentu saja dari pemandu kami, bapak Jusuf Sanu. Cerita-cerita itu mengalir bak dongeng sepanjang waktu beta di Rote. Tapi dari sini pula beta merasakan bahwa masyarakat Rote belum terbiasa menulis meski sudah banyak yang terdidik. Ah beta jadi berangan-angan menulis lebih lanjut dan mendalam tentang kerajaan-kerajaan Rote dan dengan demikian menuliskan tentang sejarah Rote yang selama ini hanya diceritakan melalui lisan. Mohon dukungannya dan sampai jumpa di artikel selanjutnya tentang danau mati Landuleko!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar