Selepas pagi, kami kembali menyusuri jalanan Rote menuju
timur. Jalan di Rote banyak yang sudah dilapisi aspal meski di sebagian kecil
desa jalanannya masih berbatu. Boleh dibilang, pulau ini tidak terlalu
terisolasi seperti yang pertama beta bayangkan. Beberapa jalanan memang tampak
bergelombang dan sedikit berlubang. Mungkin bekas terlintasi truk-truk
pengangkut logistik dari Kupang. Kebutuhan masyarakat Rote memang sangat
tergantung pada Kupang, terutama menyangkut komoditi yang tidak bisa diproduksi
alam Rote.
Bicara mengenai perjalanan, beta sebenarnya senang
berkeliling suatu tempat dengan sepeda motor. Biasanya jika sedang berjalan
sendiri, beta selalu mencari penyewaan motor untuk dibawa keliling. Semarang, Yogyakarta,
Banyuwangi, Bali, Lombok, Kupang merupakan daerah yang sudah pernah beta
kelilingi dengan sepeda motor sewaan. Moda transportasi ini beta pilih karena
lebih praktis, cepat, dan lebih murah daripada harus menyewa mobil dengan
pengemudinya.
Meskipun harus banyak bertanya, baik kepada global positioning system (GPS) atau gunakan
penduduk sekitar (GPS), namun road trip merupakan aktivitas yang sangat beta
sukai ketika travelling. Kadang nyasar dapat
menjadi anugerah tersendiri. Apalagi jika beta menemukan tempat yang bagus ketika
sedang nyasar. Rasanya puas dan ingin
sekali rasanya berbagi, meski sering dituduh pamer, hehehe...
Namun karena kali ini beta pergi bersama tim, maka beta
tidak bisa melakukan road trip dengan
motor, tapi mobil. Perbedaannya tentu saja beta tidak bisa merasakan langsung
udara Rote, pandangan yang agak terhalang kaca, dan toleransi terhadap
keinginan peserta lain.
Satu yang tidak pernah berubah ialah hasrat memotret ketika
melihat lanskap cantik di depan mata. Perjalanan kami di Rote memang banyak
diwarnai oleh photo stop. Berhenti
untuk memotret lanskap sekitar jalan yang kami lalui. Hampir setiap setengah
jam, minimal ada satu kali berhenti untuk memotret. Untuk aktivitas yang satu
ini, kami sepakat sehingga berhenti untuk memotret bukan hal yang tabu meski
banyak menyita waktu dan menyebabkan kami sering molor mencapai lokasi..
Tapi siapa yang bisa menolak keindahan alam Rote? Mulai dari
langit, laut, padang rumput, bahkan rumah-rumah penduduk terasa begitu seksi
dalam pandangan mata. Kami berhenti ketika menjumpai (bekas dan calon) danau
yang sedang kering. Memotret keliling, foto narsis sambil lompat-lompatan lalu
tergesa kembali menuju mobil karena diingatkan waktu yang sudah berlalu.
Calon (atau bekas?) danau yang kami temui di perjalanan menuju Landuleko. |
Ketika membelok di pantai Tunganamo, kami juga meminta
Kevin, anak pak Sanu untuk berhenti sebentar untuk memotret. Pantai Tunganamo
juga sempat beta singgahi beberapa bulan lalu pada kunjungan perdana beta ke
Rote. Makan siang yang penuh keterbatasan (pagi itu semua warung tutup karena
masyarakat pergi ibadah ke gereja) dengan mi instan mentah dan air mineral beta
lakukan dibawah pohon duduk Tunganamo. Lokasinya dipinggir jalan raya dan depan
laut membuat tempat ini terbilang ideal untuk beristirahat. Tunganamo, nice to meet you again.
Selesai laut, lalu padang rumput luas luar biasa dengan
latar langit biru cantik merayu hati untuk tinggal dan diam. Menunggu untuk
dinikmati. Menegur ketergesaan kami mengejar target tujuan. Seakan mengatakan why hurry? Please enjoy every second in this
heavenly place. Karena setiap kita menikmati waktu, maka waktu itu tidak
terbuang sia-sia. Bengong menikmati kecantikan alam, itu bukan buang-buang
waktu bro!
Dan yah, rumah! Rumah penduduk Rote yang begitu unik. Lantai
dan temboknya banyak yang bermaterialkan tanah. Atapnya dari daun-daun kering.
Tapi disamping rumah, teronggok parabola. Produk modern yang kontras sekali
dengan rumah tradisional Rote yang menggunakan bahan-bahan seadanya. Tidak
pakai bata, tidak pake semen, juga tidak pakai genteng.
Parabola disisi rumah sederhana yang materialnya serba alami |
Belum lagi tiga salib besar yang banyak ditemukan disekitar rumah. Bagi beta, keberadaan salib-salib ini sangat fotogenik. Menurut cerita pak Sanu, salib itu dibuat dalam rangka menyambut hari raya Paskah. Jika sudah menjumpai banyak salib seperti ini, barulah terasa bahwa mayoritas penduduk Rote memeluk agama Kristen. Keanekaragaman lain yang beta rasakan karena selama ini beta dibesarkan dilingkungan yang mayoritas beragama Islam.
Begitulah road trip.
Kejutan demi kejutan terjadi tanpa diundang tapi digariskan oleh takdir.
Dibimbing rencana besar Illahi terhadap perjalanan kami. Untungnya, semua
kejutan ini menyenangkan sifatnya. Hal-hal baru. Pemandangan luar biasa. Hampir
tidak ada kejadian tidak menyenangkan meskipun beta sempat jatuh di sawah dan
telapak tangan beta sempat memar. Tapi secara keseluruhan perjalanan ini benar-benar
perjalanan yang penuh kesyukuran. Terima kasih Tuhan, telah memberikan nikmat
sebesar ini melalui program Indonesia Diversity goes to Rote!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar