Matahari sudah condong ke Barat ketika kami berhenti di
pantai Lely, tidak jauh dari batu Termanu. Warna langit sudah mulai berubah.
Birunya sudah mulai beranjak ungu. Bias sinar matahari terpantul awan
memunculkan warna merah kekuningan. Golden
hour segera tiba. Waktu favorit para fotografer ketika matahari menciptakan
cahaya terbaiknya bagi mata dan kamera.
Jejak kaki hewan ternak banyak ditemukan disini. Batu Termanu terlihat dari kejauhan. |
Jenis cahaya yang berbeda-beda datang pada waktu ini. Cahaya
keras (hard light), cahaya lembut (soft light), cahaya pantul (reflection) dari
air laut dan awan pun tersedia. Datang dengan lambat namun pergi dengan cepat.
Waktu tidak mengizinkan matahari berlama-lama ada di garis cakrawala. Turun
dengan tergesa. Meninggalkan cahaya yang membirukan langit, menjadikannya ungu
lalu hitam. Memerahkan awan, membuatnya merah kekuningan sebelum menjadikannya
kembali kelabu dalam balutan malam.
Pantai Lely menjadi lokasi sunset pertama kami di Rote |
Malam pun akhirnya datang. Sinar matahari kini menyapa lewat
pantulan bulan. Cahaya bintang masa lalu pun menyapa bumi. Disambut oleh
dinginnya angin malam. Suara ombak seakan membisikkan kami “jangan terlalu lama
disini, sudah gelap”. Tidak ada penerangan yang cukup disekitar pantai Lely.
Bahkan bisa dikatakan belum ada penerangan yang cukup memadai di pantai-pantai
pulau Rote.
Kepada langit, karang, ombak, awan dan pasir di pantai Lely,
kami harus pamit. Seperti sang surya sudah beranjak dari cakrawala, kami pun
harus pergi dari tempat ini. Meninggalkan kalian dalam kenangan. Kenangan yang
akan terpicu kemunculannya oleh imaji yang kami abadikan melalui hasil teknologi
bernama kamera. Terima kasih Tuhan, untuk hari yang indah ini.
Bagi saya, sebuah hari biasanya berakhir ketika matahari
tenggelam, bukan pada tengah malam. Namun sepertinya hari ini belum berakhir.
Kami masih akan menyantap makan malam sebelum kembali ke hotel untuk
beristirahat. Agenda terakhir di hari yang penuh anugerah. Dan perut kami
mengarahkan langkah menuju kota Ba’a.
Mencari makan di ibukota kabupaten Rote Ndao ini tidak
sulit. Warung makanan laut (seafood) bertebaran meski masih bisa dihitung jari.
Dan hanya warung makan jenis inilah yang kami hitung. Pokoknya, harus seafood malam ini! Bayangan cumi bakar
sudah mengganggu imajinasi saya sejak beranjak dari pantai Lely. Rupanya
teman-teman lain juga punya selera serupa terhadap makanan laut. Mantap lah
ini!
Nona-nona yang akan memasakkan makan malam kami. |
Tidak perlu lama, kami segera memilih dan duduk di salah
satu warung seafood. Menu cumi bakar menjadi wajib bagi saya. Inilah jenis
seafood yang paling saya gemari sebab makannya relatif mudah, tidak ada tulang,
tidak ada cangkang. Tinggal hap!
Selamat makaaan! |
Menu tersaji cepat. Dan dimakan dengan lebih cepat lagi.
Beberapa ekor ikan dan cumi langsung tandas di piring kami. Menimbulkan rasa
kenyang di perut dan rasa nikmat di lidah. Nikmat lain lagi di hari yang sama.
Banyak sekali kenikmatan yang diberikan Illahi melalui Indonesia-Diversity hari
ini. Dan ini baru hari pertama dari rencana empat hari kami di Rote. Terima
kasih Tuhan, terima kasih Indonesia-Diversity. Hari pertama kami sungguh indah
dan penuh ketakjuban. Cerita hari kedua beta sambung di tulisan selanjutnya
yaa! Selamat malam, Rote.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar