Senin, 28 Maret 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 01: Oemau, lalu menuju Oesosole.

Setelah tiba di Ba’a, kami dijemput oleh Pak Jusuf Sanu. Putra Rote asli yang akan menjadi pemandu kami selama lima hari kedepan. Dari pak Sanu ini nantinya kami mendengar banyak cerita tentang Rote. Siapa sangka pulau sekecil ini memiliki 18 kerajaan dan sangat kaya dengan legenda lisan?

Siap bertualang bersama bapak Jusuf Sanu. Putra Rote asli yang menjadi pemandu kami kali ini.

Setiap tempat punya cerita. Setiap kerajaan memiliki sejarahnya masing-masing. Seringkali bersinggungan dengan perang dan perkawinan. Namun satu hal yang menjadi kesamaan mereka ialah kehidupan yang banyak berpusat pada pohon lontar.

Cerita-cerita itu terus mengalir selama perjalanan. Di mobil, di kapal, saat makan, saat santai, pak San terus bercerita tentang kebiasaan dan legenda Rote. Namun disini beta akan bercerita sedikit demi sedikit cerita pak Sanu yang banyak itu.

Tempat tujuan dan cerita tentang tempat itu sudah menjadi satu kesatuan. Tempat pertama yang kami kunjungi ialah mata air Oemau. Inilah sumber air kota Ba’a. Tempatnya berada dihutan yang teduh, dikelilingi oleh bambu di sekitar kolam mata air. Airnya jernih. Mengingatkan saya pada air terjun Mata Jitu di pulau Moyo. Kejernihan yang membuat saya tidak kuasa menahan godaan untuk ikut berendam dalam kolam ini. Bergabung bersama anak-anak sekolahan yang lebih dulu berenang. Segar sekali rasanya! Mungkin inilah air tersegar yang pernah saya rasakan sampai saat ini. Kesegaran yang tidak terlupakan. Mantaaapp!

Menikmati kejernihan Oemau. Foto oleh Salman.


Satu-satunya foto dalam air di perjalanan kali ini.


Sayang sekali kami diburu jadwal yang padat hari ini. Kesenangan berendam disini harus terhenti karena kami harus segera makan siang dan berangkat menuju Oesosole untuk menikmati pantai perawan di timur Rote. Selesai berenang, kami makan siang di Ba’a. Mencari makan di Rote harus hati-hati untuk yang muslim. Karena mayoritas masyarakat sini beragama Katolik, maka babi sudah jamak menjadi hidangan. Untuk itu kami harus lebih selektif dalam memilih tempat makan.

Setelah menemukan rumah makan yang bertanda halal, kami segera masuk dan memesan makanan. Menu seafood dan nasi campur banyak ditawarkan. Kami segera memesan menu yang penyajiannya tidak memakan banyak waktu karena sudah terlambat ke Oesosole. Begitu datang, Salman dan Dita melanjutkan ritual makan-makan orang Jakarta: memotret makanan sebelum memakannya.


Potret dulu sebelum disantap.

Kami makan dengan cepat karena harus bergegas. Menu dipesan. Makanan disajikan. Dipotret lalu dimakan. Dan selesailah sudah. Meskipun sempat diserang efek kenyang bego setelah makan (ditambah jam tidur kami yang masih kurang karena perjalanan tengah malam), tapi kami harus segera tersadar dan bergegas menuju tujuan yang kedua di Rote J

Perjalanan menuju Oesosole begitu indah dan menggoda kami untuk meminta bapak Sanu berhenti sebentar. Kenapa? Karena kami ingin memotret keindahan yang terhampar sepanjang jalan kenangan. Menelusuri jalan yang sama seperti saat pertama kali beta mengunjungi Rote, rasanya seperti memutar ulang kenangan. Keindahan Rote masih berlangsung. Namun karena berbeda musim, wajah cantiknya juga berubah. Jika dulu Rote tampak gersang dan seksi, kali ini kehijauan menghampar luas membuat Rote terasa subur dan teduh.


Berhenti untuk mengambil foto. Puluhan kali kejadian ini terulang disepanjang perjalanan.

Satu hal yang tidak berubah dari Rote ialah sengatan matahari yang sangat terik. Di musim hujan ataupun musim kemarau, matahari Rote tetap menyengat. Namun kali ini teriknya matahari ditutupi dengan teduhnya pepohonan dan rerumputan. Cukup sering kami mematikan pendingin udara dan memilih untuk membuka jendela lebar-lebar. Menikmati udara bersih pulau Rote. Jalanan beraspal mulus dan kosong serta udara bersih yang segar membuat nikmatnya perjalanan jadi maksimal. Hal yang mustahil kami dapatkan di Jakarta.

Oesosole akan segera datang. Padang luas disambung pasir dan laut menyambut kami sebelum mencapai kawanan karang yang menjadi landmark Oesosole. Tidak terasa kami segera mencapai tujuan kedua kami di hari ini. Perjalanan panjang dari Ba’a yang dipenuhi dengan photo stop segera berakhir tanpa terasa. Jauh menjadi dekat jika hati bahagia selama perjalanan.

Jalan menuju Oesosole..

Semakin dekat tujuan, semakin berdebar hati beta. Tujuh bulan lalu, ketika beta mengunjungi Oesosole seorang diri, beta amat kagum dengan keindahan yang sepi di tempat ini. Keluarga karang yang disebut pak Sanu sebagai batu cinta membuat beta amat merindukan pantai ini. Masihkah Oesosole tetap indah? Seperti apa bentuk kawanan batu/karang cinta Oesosole? Tunggu di tulisan selanjutnya yaa, hehehe..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar