Setelah tiba di Ba’a, kami dijemput oleh Pak Jusuf Sanu.
Putra Rote asli yang akan menjadi pemandu kami selama lima hari kedepan. Dari
pak Sanu ini nantinya kami mendengar banyak cerita tentang Rote. Siapa sangka
pulau sekecil ini memiliki 18 kerajaan dan sangat kaya dengan legenda lisan?
Siap bertualang bersama bapak Jusuf Sanu. Putra Rote asli yang menjadi pemandu kami kali ini. |
Setiap tempat punya cerita. Setiap kerajaan memiliki sejarahnya masing-masing.
Seringkali bersinggungan dengan perang dan perkawinan. Namun satu hal yang menjadi
kesamaan mereka ialah kehidupan yang banyak berpusat pada pohon lontar.
Cerita-cerita itu terus mengalir selama perjalanan. Di
mobil, di kapal, saat makan, saat santai, pak San terus bercerita tentang
kebiasaan dan legenda Rote. Namun disini beta akan bercerita sedikit demi
sedikit cerita pak Sanu yang banyak itu.
Tempat tujuan dan cerita tentang tempat itu sudah menjadi
satu kesatuan. Tempat pertama yang kami kunjungi ialah mata air Oemau. Inilah
sumber air kota Ba’a. Tempatnya berada dihutan yang teduh, dikelilingi oleh
bambu di sekitar kolam mata air. Airnya jernih. Mengingatkan saya pada air
terjun Mata Jitu di pulau Moyo. Kejernihan yang membuat saya tidak kuasa
menahan godaan untuk ikut berendam dalam kolam ini. Bergabung bersama anak-anak
sekolahan yang lebih dulu berenang. Segar sekali rasanya! Mungkin inilah air
tersegar yang pernah saya rasakan sampai saat ini. Kesegaran yang tidak
terlupakan. Mantaaapp!
Satu-satunya foto dalam air di perjalanan kali ini. |
Sayang sekali kami diburu jadwal yang padat hari ini.
Kesenangan berendam disini harus terhenti karena kami harus segera makan siang
dan berangkat menuju Oesosole untuk menikmati pantai perawan di timur Rote.
Selesai berenang, kami makan siang di Ba’a. Mencari makan di Rote harus
hati-hati untuk yang muslim. Karena mayoritas masyarakat sini beragama Katolik,
maka babi sudah jamak menjadi hidangan. Untuk itu kami harus lebih selektif
dalam memilih tempat makan.
Setelah menemukan rumah makan yang bertanda halal, kami
segera masuk dan memesan makanan. Menu seafood dan nasi campur banyak
ditawarkan. Kami segera memesan menu yang penyajiannya tidak memakan banyak
waktu karena sudah terlambat ke Oesosole. Begitu datang, Salman dan Dita
melanjutkan ritual makan-makan orang Jakarta: memotret makanan sebelum
memakannya.
Potret dulu sebelum disantap. |
Kami makan dengan cepat karena harus bergegas. Menu dipesan.
Makanan disajikan. Dipotret lalu dimakan. Dan selesailah sudah. Meskipun sempat
diserang efek kenyang bego setelah
makan (ditambah jam tidur kami yang masih kurang karena perjalanan tengah
malam), tapi kami harus segera tersadar dan bergegas menuju tujuan yang kedua
di Rote J
Perjalanan menuju Oesosole begitu indah dan menggoda kami
untuk meminta bapak Sanu berhenti sebentar. Kenapa? Karena kami ingin memotret
keindahan yang terhampar sepanjang jalan kenangan. Menelusuri jalan yang sama
seperti saat pertama kali beta mengunjungi Rote, rasanya seperti memutar ulang
kenangan. Keindahan Rote masih berlangsung. Namun karena berbeda musim, wajah
cantiknya juga berubah. Jika dulu Rote tampak gersang dan seksi, kali ini
kehijauan menghampar luas membuat Rote terasa subur dan teduh.
Berhenti untuk mengambil foto. Puluhan kali kejadian ini terulang disepanjang perjalanan. |
Satu hal yang tidak berubah dari Rote ialah sengatan
matahari yang sangat terik. Di musim hujan ataupun musim kemarau, matahari Rote
tetap menyengat. Namun kali ini teriknya matahari ditutupi dengan teduhnya
pepohonan dan rerumputan. Cukup sering kami mematikan pendingin udara dan
memilih untuk membuka jendela lebar-lebar. Menikmati udara bersih pulau Rote.
Jalanan beraspal mulus dan kosong serta udara bersih yang segar membuat
nikmatnya perjalanan jadi maksimal. Hal yang mustahil kami dapatkan di Jakarta.
Oesosole akan segera datang. Padang luas disambung pasir dan
laut menyambut kami sebelum mencapai kawanan karang yang menjadi landmark Oesosole. Tidak terasa kami
segera mencapai tujuan kedua kami di hari ini. Perjalanan panjang dari Ba’a
yang dipenuhi dengan photo stop
segera berakhir tanpa terasa. Jauh menjadi dekat jika hati bahagia selama
perjalanan.
Jalan menuju Oesosole.. |
Semakin dekat tujuan, semakin berdebar hati beta. Tujuh
bulan lalu, ketika beta mengunjungi Oesosole seorang diri, beta amat kagum
dengan keindahan yang sepi di tempat ini. Keluarga karang yang disebut pak Sanu
sebagai batu cinta membuat beta amat merindukan pantai ini. Masihkah Oesosole
tetap indah? Seperti apa bentuk kawanan batu/karang cinta Oesosole? Tunggu di
tulisan selanjutnya yaa, hehehe..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar