Rabu, 02 Maret 2016

Caper Lampung 1 : Rush Trip Pahawang

Pada suatu hari...

Awalnya saya agak melongo ketika seorang teman mengajak ke Pahawang. Hah? Pahawang? Dimana tuh? Saya sama sekali tidak tahu soal tempat ini. Boro-boro tau, mendengar namanya saja baru sekali itu. Kawan saya hanya mengatakan lokasinya ada di Lampung. Tempatnya masih bagus, relatif lebih sepi daripada kepulauan Seribu di Jakarta.

Entah kenapa saya percaya dengan perkataan kawan saya itu. Soalnya saya punya teori, semakin jauh dari Jakarta, semakin baik kondisi terumbu karangnya (meskipun belum tentu demikian). Kesan Jakarta sebagai kota limbah tidak bisa dihapuskan begitu saja dari bayangan saya. Teluk Jakarta yang hitam, bau dan penuh sampah. Warna hitam bergeser kecokelatan di pulau-pulau terdekat. Empat pulau di taman arkeologi Onrust kini memiliki laut berwarna hijau kecokelatan. Tanda bahwa limbah Jakarta telah sampai ke sini.

Jadi, mari melarikan diri ke Lampung. Eh, tidak lari juga sih. Tapi rasanya cukup tergesa-gesa mengingat kami hanya punya waktu di akhir pekan saja. Berangkat hari Jumat malam. Dan harus kembali kemari pada Minggu malam. Bagi saya, ini termasuk sebagai rush trip. Trip rusuh. Serba cepat, kadang kurang terhayati. Tapi tetap berkesan. Perjalanan pertama selalu berkesan.

Perjalanan kami dimulai sejak kami berkumpul di pelabuhan Merak. Lalu menyebrang dengan ferry menuju Sumatra. Inilah pertama kali saya menjejakkan kaki di pulau Sumatra dan untungnya bukan hanya saya saja yang pertama kali menyebrang dari Merak ke Bakaheuni. Perilaku norak ala first timer visit sudah menjangkiti kami sejak melihat kapal-kapal ferry di Merak. Lalu ketika akan naik ke kapal di dermaga 3. Terakhir, ketika kami menginjakkan kaki di kapal. Alhamdulillah, kali ini saya punya teman norak berjamaah.

Norak bareng di ferry tengah malam

Short story of Ketapang

Setelah mencapai daratan Sumatra, perjalanan menuju pulau Pahawang dimulai dari pelabuhan Bakahuni menuju dermaga Ketapang. Jangan salah, ini bukan pelabuhan Ketapang yang ada di Banyuwangi lho, tapi di Lampung. Namanya memang sama dengan pelabuhan di ujung timur pulau Jawa, namun kondisinya mohon jangan dibandingkan. Dermaga Ketapang yang ini berada di sebuah desa. Desa Ketapang namanya. Letaknya di kabupaten Pesawaran, Lampung. Penamaan dermaga ini sendiri disesuaikan dengan lokasi desa tempat dermaga ini berada.

Dari cerita yang saya dengar dari penduduk desa, pada hari-hari biasa dermaga ini terbilang sepi. Kegiatannya paling-paling hanya penyebrangan rutin dari dan ke pulau-pulau sekitar. Penyebrangan ini kadang bersamaan dengan pengangkutan komoditas pulau seperti pisang dan cokelat. Oh iya, salah satu oleh-oleh yang terkenal khas dari Lampung ialah keripik pisang cokelat. Mmm...

Masih konon, kesibukan di dermaga dan desa ini meningkat tajam pada akhir pekan dan hari libur. Gelombang turis datang memadati desa ini. Kebanyakan berasal dari Jakarta. Jika sudah waktu wisata, sulit mencari parkir di desa ini. Lahan kosong di dermaga yang pertama-tama terisi penuh kendaraan. Lalu halaman-halaman rumah warga perlahan-lahan menjadi lahan parkir dadakan. Kepadatan kendaraan yang diparkir di dermaga dan halaman rumah warga sudah cukup untuk menggambarkan betapa padatnya pengunjung daerah ini pada waktu wisata.

Dermaga Ketapang pada waktu wisata. Penuh mobil parkir!

Pahawang, sang pulau utama

Pulau Pahawang merupakan salah satu gugusan pulau yang berada di teluk Rantai, kabupaten Pesawaran, Lampung. Jika merujuk pada trip pulau Pahawang, maka biasanya trip itu sudah termasuk kunjungan ke pulau-pulau sekitar seperti pulau Tegal, pulau Maitem, pulau Kelagian, pulau Pahawang Kecil, dan pulau Pahawang itu sendiri.

Perjalanan dari dermaga Ketapang menuju pulau Pahawang membutuhkan waktu sekitar satu jam dengan perahu nelayan bermesin 18pk. Pulau Pahawang merupakan pulau berpenghuni terpadat dibandingkan dengan pulau-pulau sekitarnya. Tidak heran jika kegiatan wisata dipusatkan di pulau ini. Hal ini dipertegas dengan kehadiran penginapan atau rumah tinggal untuk menampung wisatawan.

Sayangnya di pulau ini pasokan listrik masih bergantung pada genset. Belum ada aliran listrik dari PLN. Listrik hanya menyala sejak matahari terbenam hingga tengah malam. Oleh karena itu beberapa pengunjung memilih untuk menginap di sekitar dermaga Ketapang yang listriknya menyala selama 24 jam. Disana juga sudah tersedia beberapa penginapan yang cukup memadai.

Terumbu karang disekitar pulau Pahawang sebenarnya tidak terlalu sehat. Banyak karang mati bekas bom ikan. Untungnya penduduk disini sadar akan potensi wisata bahari (baca: snorkeling). Dibuatlah lokalisasi terumbu karang. Transplatasi karang difokuskan kepada anemon. Kenapa anemon? Karena anemon adalah rumah bagi ikan badut atau yang lebih populer disebut Nemo. Dan Nemo merupakan ikan primadona wisatawan. Anemon berbagai warna lengkap dengan Nemo dilestarikan disini. Wajar jika sopt ini lantas dinamakan sebagai taman Nemo.

Taman Nemo, icon Pahawang
Ragam warnanya lebih banyak dibandingkan lokasi snorkeling lain di Pahawang


Which one better?

Apakah setiap tempat wisata membutuhkan maskot? Lokasi khas yang menjadi andalan di foto-foto promosi wisata? Jika iya, mungkin taman anemon dibuat juga untuk tujuan itu. Sejujurnya, selain transplatasi karang tadi, tidak ada yang bagus di lokasi snorkeling ini. Karang-karang disekitarnya sudah banyak yang rusak. Entah karena jangkar kapal, bom ikan atau perilaku wisatawan yang kurang kesadaran lingkungannya. Yah, wisata selalu membawa dampak kerusakan, sekecil apa pun itu. Alam tidak lagi sama ketika sudah banyak dikunjungi manusia.

Hal ini kadang membuat saya enggan untuk menceritakan lokasi di tempat terpencil yang masih indah dan dapat dikatakan perawan. Perawan hampir selalu lebih menarik daripada janda. Sayangnya Pahawang sudah menjadi janda dengan banyak mantan. Mantan bom, mantan jangkar, dan terutama mantan pengunjung alias wisatawan.

Maka saya melanjutkan cerita saya dengan pengalaman snorkeling di lokasi lain sekitar Pahawang. Yang pertama adalah Tanjung Putus. Ini adalah lokasi terjauh dari dermaga Ketapang. Perjalanan dengan kapal menuju tempat ini memakan waktu sekitar 2-3 jam dari Ketapang dengan kapal 18 pk. Lokasi ini tergolong populer dan menjadi menu wajib bagi peserta trip Pahawang meskipun agak jauh. Kondisi terumbu karang di tempat ini relatif lebih baik daripada di taman Nemo. Sayangnya banyak sampah yang terbawa arus disini. Jadi meskipun karangnya sehat, namun kurang nyaman untuk snorkeling. Mungkin saya datang pada waktu yang salah..

Lokasi snorkeling kedua adalah disekitar pulau Kelagian kecil. Di tempat ini kondisi karang tidak sebagus di Tanjung Putus, namun karena tidak ada sampah yang terbawa arus, snorkeling jadi lebih menyenangkan disini. Sayangnya lokasinya terlalu dekat pantai dan dangkal sehingga banyak wisatawan yang berdiri dengan menginjak karang! Menyebalkan! Inilah sebabnya saya lebih suka snorkeling di tempat yang agak dalam.

Terakhir, kami snorkeling disekitar pulau Tegal. Dari ketiga lokasi snorkeling, menurut saya kondisi terumbu karang disini yang paling baik. Namun kombinasi antara tempatnya yang dangkal dan (lagi-lagi) sampah yang terbawa arus mengikis keindahan tempat ini. Keindahannya akan terus terkikis seiring dengan hantaman jangkar yang semakin sering dan injakan kaki wisatawan biadab. Kedatangan manusia selalu mendatangkan kerusakan bagi alam. Disitu kadang saya merasa sedih, persis seperti polisi wanita itu di televisi.

Snorkeling tanpa menyentuh biota laut, itu aturan emasnya bro!

Selain snorkeling, kegiatan lainnya ialah bermain-main di pulau. Foto-foto, berenang, atau sekedar duduk ngobrol sambil ngopi menjadi menu kegiatan lain dalam perjalanan kali ini. Pulau Pahawang kecil yang merupakan pulau terdekat dari pulau Pahawang menawarkan lokasi untuk selfie yang lumayan menyenangkan. Saat air laut surut, gosong pasirnya terhampar cukup panjang, nyaris menyentuh daratan Sumatra.

Gosong pasir di Pahawang Kecil

Kondisi hampir sama juga terdapat di pulau Maitem. Di pulau yang berada paling dekat dengan Ketapang ini, gosong pasirnya bahkan bisa mencapai daratan Sumatra. Tidak jarang pemancing datang dengan berjalan kaki dari Ketapang ke pulau ini. Gosong pasir di pulau Maitem lebih halus dan bersih jika dibandingkan dengan di pulau Pahawang kecil. Pemandangan sekitarnya juga lebih indah. Menurut saya, inilah lokasi terbaik untuk berburu foto.

Gosong pasir di Maitem. Lebih bersih daripada di Pahawang kecil.

Namun karena gosong pasirnya menghadap ke timur, tempat ini kurang cocok untuk menyaksikan matahari tenggelam. Lokasi terbaik untuk menikmati sunset ialah pulau Kelagian kecil. Disini saya menyaksikan matahari tenggelam dengan tenang. Ketika itu hanya ada dua kapal yang bersandar di pulau ini. Tenang, tidak terlalu ramai dan cerah. Kondisi terbaik untuk menikmati matahari tenggelam. Ini adalah salah satu sunset terbaik yang pernah saya saksikan.

Menunggu matahari terbenam di Kelagian kecil

Hanya kesan singkat, bukan kesimpulan

Rush Trip. Perjalanan singkat kurang dari tiga hari biasanya jarang membawa kesan mendalam bagi saya. Sebetulnya perjalanan kali ini pun kurang lebih sama. Akan lebih banyak terlupakan daripada teringat. Meskipun ada beberapa momen yang akan saya ingat dalam waktu yang lama, yaitu ketika matahari tenggelam di Kelagian kecil. Sisa ingatan lainnya mungkin akan tersimpan dalam foto.

Kesan tidak mendalam tapi termasuk penting ialah kesan pertama. Meskipun tidak selalu menggoda tapi kesan pertama seperti memberikan pemahaman awal. Penjelasan mengenai alam Lampung atau karakter orangnya tentu tidak mungkin saya simpulkan dalam perjalanan sesingkat ini. Tapi perjalanan kurang dari 48 jam di sekitar Pahawang telah memberikan pemahaman awal tentang Lampung. Nantinya pengalaman ini dapat saya bandingkan dengan perjalanan ke Krakatau dan Kiluan.

Kesan singkat tentang pulau-pulau disekitar teluk Lampung mungkin itu yang bisa saya dapatkan. Jika dilihat di peta, banyak sekali teluk-teluk kecil dalam teluk besar Lampung. Mungkin itu yang membuat arus di perairan Pahawang (dan Kiluan) relatif lebih tenang jika dibandingkan dengan pulau Harapan di kepulauan Seribu. Dari obrolan dengan orang-orang pulau, hampir tidak pernah kegiatan snorkeling batal karena arus. Berbeda dengan snorkeling di kepulauan Seribu yang lebih sering terganggu karena masalah arus.

Sampai tulisan ini dibuat, sudah lima kali saya mengunjungi Lampung. Tiga kali ke Pahawang, satu kali ke Kiluan dan satu kali ke Krakatau. Kesemuanya tergolong sebagai rush trip. Hal ini kadang membuat saya penasaran untuk tinggal lebih lama dan mencoba berbaur dengan mereka, bukan datang sebagai wisatawan tapi sebagai musafir. Pengelana yang bertahan hidup dengan berbaur dan beradaptasi. Musafir yang mempelajari kehidupan dari perjalanan.

Seperti apa kehidupan masyarakat Pahawang sebelum datang gelombang turis? Apa yang membedakan orang Lampung dengan orang Palembang? Dengan orang Jakarta? Dengan orang Jawa? Pertanyaan yang sama juga menyangkut soal alam dan para penghuni pulau selain manusia. Semua ini hanya bisa terjawab ketika saya bisa tinggal lebih lama bersama mereka. Ikut menjalani beberapa hari kehidupan mereka. Mendengarkan lebih banyak cerita dari bibir mereka. Sejarah saat ini. Menghayati. Memahami. Untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa saya dapatkan dari sebuah rush trip. Semoga besok ada kesempatan untuk berkelana mengenal Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar