Senin, 28 Maret 2016

Indonesia Diversity goes to Rote 02: Oesosole di Timur Rote.

Oesosole. Pantai pasir putih menghampar luas dengan kumpulan batu karang menjadikan pantai ini sebagai salah satu yang tercantik di pulau Rote. Sebuah karang berdiri tegak agak terpisah dari karang lainnya. Kaum romantis menamakan karang ini sebagai karang hati. Menurut saya, bentuknya lebih menyerupai jamur daripada hati (heart). Ah tapi biarkanlah kita sebut karang hati. Mudah-mudahan lebih menjual, hehehe..

Mengenai pantai ini, bentuknya tidak banyak berubah sejak terakhir kali beta mengunjungi tempat ini. Masih sepi. Masih luas. Dan masih belum terpelihara dengan baik. Beberapa sampah plastik terhampar disepanjang pantai. Bercampur dengan sampah alami seperti daun dan batang kayu. Tidak ada tempat sampah. Apalagi petugas kebersihan. Tampaknya pantai ini sering dikunjungi penduduk setempat pada akhir pekan. Sebab sampah yang terhampar masih terlihat baru, berasal dari daratan, bukan terbawa arus laut.

Rasanya agak aneh. Mengunjungi sebuah pantai “perawan” yang sudah tersebar beberapa sampah plastik. Seakan keperawanannya sudah ternoda tapi hanya satu kali saja. Sudah bukan lagi perawan tapi juga bukan milik siapa-siapa. Bayangan pengunjung pantai yang meninggalkan sampah plastik begitu saja di tempat ini sedikit merusak kebahagiaan saya siang ini. Sebenarnya sampah yang tersebar tidak begitu banyak, namun karena areanya sangat luas maka memungutinya akan memakan waktu yang cukup lama. Beta hanya membawa sampah seadanya saja dari pantai ini. Semoga pengelolaan sampah yang baik bisa dilakukan disini sebelum tempat ini ramai oleh pengunjung. Karena setiap pengunjung, pasti datang membawa sampah. Sayangnya, sedikit pengunjung yang membawa sampahnya pulang.

Terlepas dari masalah sampah, Oesosole memang indah. Airnya begitu menggoda. Deburan ombaknya seakan memanggil beta untuk berenang. Bagi beta, rayuannya lebih dahsyat daripada Ratu Pantai Selatan di pulau Jawa. Dulu beta tidak berani berenang karena takut terbawa arus dan tidak ada yang mengawasi. Kini, alasan itu gugur sudah. Waktunya membayar utang kepada pantai Oesosole: berenang!

And this is hard payment, dude! Pasir pantainya ternyata sangat gembur. Sekali langkah, kaki terperosok hingga setengah betis. Ombak di pinggirannya pun cukup kencang meski area landainya cukup luas. Rasanya setengah mati untuk berjalan dan setengah hidup untuk berenang. Alas kaki yang menemani beta berjalan dalam satu tahun ini sepertinya harus tutup usia disini. Kalah oleh tarikan pasir dan ombak Oesosole, sol sandal gunung beta terlepas menjadi tiga lapisan, hiks..


Menikmati laut Oesosole. Foto oleh Salman.

Tapi utang tetap utang. Meski tidak kuat berlama-lama, beta tetap berenang. Mencoba menikmati ciptaan Illahi di pulau paling selatan Nusantara. Untungnya matahari sudah tidak terlalu tegak diatas  kepala. Jadi beta hanya bergulat dengan pasir dan ombak. Itu pun sudah sangat melelahkan. Tidak sampai lima belas menit, beta sudah merasa cukup. Waktunya duduk santai sambil kembali menikmati Oesosole dengan cara yang berbeda.

Menikmati pasir pantai Oesosole, kita perlu sedikit berhati-hati dengan ranjau lunak: kotoran hewan. Kotoran sapi tersebar cukup banyak disini. Tidak perlu heran sebab hewan ternak dibiarkan bebas berkeliaran di Rote. Sapi, kuda, kambing, domba, babi banyak terlihat di sepanjang jalan. Kebetulan, beta menemukan kawanan sapi nyasar disini. Takut meninggalkan ranjau baru disekitar kami, beta berinisiatif mengarahkan kawanan sapi ke tempat lain. Mendadak jadi gembala, hahaha!


Mendadak gembala sapi. Foto oleh Salman

Oesosole selalu membuat beta betah berlama-lama. Menikmati hamparan pasir luas. Langit jernih. Laut biru. Debur ombak begitu meninabobokan. Daun-daun kering dipantai seakan menjadi alas alami. Tidak seempuk kasur, namun terasa lebih menyatu dengan alam. Sekedar memejamkan mata dan merebahkan tubuh saja terasa begitu nikmat. Damn, I want to live like this forever!


Narsis santai di pantai.

Tapi ada awal, tentu ada akhir karena kita hidup di dunia yang fana. Kami harus beranjak dari tempat ini karena hendak menikmati matahari terbenam di tempat lain. Beta meninggalkan tempat ini dengan berat hati. Tapi kita tidak boleh serakah. Sebuah kenangan lain sudah tercipta di tempat ini. Oesosole akan beta kenang dengan ingatan yang bahagia bercampur sedikit kecemasan soal sampahnya. Lalu kami bergerak ke Barat, menuju kawasan batu Termanu. Tempat dimana kami akan menginap malam ini.

Indonesia Diversity was here!


Perjalanan kembali terasa begitu cepat. Tidak terasa matahari sudah hampir kembali ke peraduan ketika kami memasuki kawasan batu Termanu. Kami mencari tempat terbuka untuk mengabadikan momen matahari tenggelam dan akhirnya menepi di pantai Lely. Disini kami berlomba untuk mengabadikan sunset pertama kami di Rote. Nah, cerita tentang sunset dan makan malam yang serba seafood akan beta tuturkan pada tulisan selanjutnya, oke? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar