Jumat, 25 November 2016

Solo Trip Swarnadwipa 07: Rumah pengasingan Soekarno

Setelah mengunjungi situs bersejarah milik kolonial Inggris, aku hendak mengunjungi pantai Pasir Panjang yang menjadi primadona wisata di Bengkulu. Meskipun foto-foto yang dipajang di internet menurutku biasa saja, tapi aku tetap ingin mengunjunginya karena ini simbol wisata Bengkulu.

Menurut Google Maps, jarak pantai tersebut dengan benteng Marlborough tidak terlalu jauh. Aku memutuskan untuk berjalan kaki sambil menelusuri jalan raya yang sebelah selatan benteng. Menyusuri jalan raya tepi laut. Melewati perkampungan nelayan. Terselip juga spanduk yang menawarkan paket wisata ke pulau Tikus diantara rumah-rumah nelayan tersebut.

Jalan raya dan laut dipisahkan tembok beton yang cukup tinggi. Aku tidak bisa melihat langsung pantainya namun laut masih terlihat. Laut di pagi itu tampak ganas. Ombaknya mempermainkan kapal-kapal nelayan yang bersandar disekitar pantai. Membuat kapal naik turun dengan kasar. Dipermainkan ombak yang hendak menyasar daratan. Ombak yang hancur menghantam pembatas beton. Menghamburkan air laut ke jalan raya. Laut tampak sedang kurang bersahabat pagi itu. Pantai Panjang terasa enggan dikunjungi.

Berjalan beberapa ratus meter, aku memutuskan untuk mampir sejenak ke warung kopi yang baru buka. Warung kopi, konon merupakan tempat terbaik untuk mencari informasi tentang kota. Begitulah petuah yang pernah diujarkan pejalan terdahulu. Aku memang berniat menikmati segelas kopi untuk sekedar mengurangi lelah. Tentu kesempatan untuk mencari tahu tentang transportasi menuju tempat-tempat yang ingin aku datangi tidak mungkin aku lewatkan juga. Duduk, memesan kopi lalu bertanya. Tentang transportasi umum. Tentang keseharian lawan bicara. Tentang laut yang tidak juga tenang. Perbincangan santai di pagi yang cerah dan berangin kencang.

Dari obrolan santai warung kopi, tahulah aku bahwa pantai pasir panjang yang ingin aku kunjungi jaraknya masih lumayan jauh. Naik ojek kena sepuluh ribu. Itu harga lokal. Jika tau aku orang asing (dalam artian bukan orang Bengkulu), maka harga yang dikenakan mungkin akan lebih mahal. Cara untuk "menyamar" sebagai warga lokal ialah dengan langsung membayar dengan jumlah yang biasa dibayarkan warga lokal. Jangan tanya ongkos kepada tukang ojek atau supir angkot. Mereka akan menyebutkan harga di atas harga yang biasanya dibayarkan warga lokal. Tanya kepada penumpang atau warga lokal yang tidak terlibat bisnis transportasi. Mereka bebas kepentingan "menipu" ongkos.

Sebenarnya jumlah yang dinaikkan para supir atau tukang ojek tidak terlalu mahal. Jika anda sedang berlibur dan punya budget berlebih, bolehlah kasih harga yang mereka minta. Paling mahal naik 10-20 ribu. Untuk angkot paling naik 2-5 ribu. Enggak mahal kalo sekali naik. Enggak mahal kalo bisa nginep di hotel dengan rate 200 ribu ke atas. Tapi untuk backpacker yang tidak punya budget hotel dan bermalam dengan menumpang rumah warga, maka setiap rupiah berharga. Iya, mungkin terkesan pelit, tapi inilah cara untuk bertahan. Perjalanan masih jauh. Dana juga terbatas. Tidak bijak rasanya mengeluarkan dana berlebih jika kita bisa mendapatkan harga lokal, hehehe..

Selain pasir panjang, aku juga menanyakan cara menuju rumah pengasingan bung Karno. Cukup sekali naik angkot. Bayar 4 ribu. Bilang mau turun di rumah bung Karno. Naiknya dari jalan yang disitu, tunjuk bapak yang aku ajak bicara sambil menujuk jalan lain dibalik warung. Angkot tidak melewati jalan tepi laut. Dari rumah Soekarno ke pasir panjang, ojek juga sepuluh ribu. Dari pasir panjang ke pelabuhan pulau Baai, ojek dua puluh ribu. Oke deh pak, terima kasih atas informasinya.

Waktunya beranjak dari warung kopi. Kemanakah harus kulangkahkan kaki? Melihat kondisi laut dengan ombak yang masih menampar-nampar pembatas beton, aku memutuskan untuk mengunjungi rumah pengasingan Soekarno dulu. Batin juga ragu, akankah aku melepaskan kesempatan berkunjung ke pantai pasir panjang?

Rumah pengasingan Bung Karno di Bengkulu. Halamannya luas!

Yah kita liat nanti saja setelah berkunjung ke rumah pengasingan Soekarno di Bengkulu. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kawasan benteng Marlborough. Ketika aku sampai disana, masih ada rombongan turis yang sepertinya dari Jakarta sedang berkunjung ke sana. Rumahnya relatif sepi tapi bukan tidak ada pengunjung sama sekali. Halamannya luas, jauh lebih luas daripada rumah pengasingan di Ende. Meskipun begitu, luas bangunannya hampir sama. Malah saya hampir merasa deja vu. Maklum, interior bangunannya mirip dengan rumah pengasingan di Ende. Hanya halamannya saja yang sangat luas. Kalau rumah pengasingan di Ende terletak disekitar rumah warga, jalan di depan rumahnya pun hanya cukup untuk dua mobil, maka rumah pengasingan yang di Bengkulu ini berada di depan jalan raya yang cukup luas. Toko oleh-oleh pun berjajar disekitar rumah tersebut. Sepertinya memang dikondisikan sebagai salah satu objek wisata utama Bengkulu.

Bagian depan rumah

Narsis dulu di dalam rumah, di tengah ruang utama.

Rumah ini menjadi vital karena disinilah konon bung Karno bertemu dengan Fatmawati yang kelak menjadi istrinya. Tidak heran jika di rumah ini tersimpan beberapa barang kenangan yang menjadi saksi kisah cinta sang Proklamator dengan ibu Fatmawati. Selain menjadi istrinya, ibu Fatmawati juga berperan besar dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Beliau adalah penjahit bendera Merah Putih yang pertama kali dikibarkan di republik ini. Mesin jahit untuk menjahit bendera tersebut konon masih di pajang di rumah Fatmawati yang jaraknya tidak jauh dari rumah ini. Namun sayangnya aku tidak sempat mengunjungi rumah tersebut.

Surat cinta bung Karno kepada Fatmawati.

Bung Karno sendiri diasingkan kemari dari Ende. Beliau menempati rumah ini sejak tahun 1938 sampai tiga tahun sebelum proklamasi. Selain kisah percintaannya dengan Fatmawati, bung Karno juga mengasuh tonil Monte Carlo. Kostum pementasannya masih tersimpan disini. Sayangnya hanya sekedar tersimpan dalam lemari kaca. Menurutku akan lebih menarik jika ada display dangan manekin. Suhu ruangan juga perlu diperhatikan karena tidak ada pengatur suhu di ruangan ini. Agak khawatir jika kostum-kostum ini rusak karena suhu. Begitu pula buku-buku Soekarno yang dipajang di ruang utama. Koleksi penting terakhir ialah sepeda onthel yang digunakan bung Karno selama masa pengasingannya di Bengkulu.

Aku selesai mengeksporasi rumah ini setelah 30 menit. Meski tidak lama, tapi matahari sudah tinggi. Maklum, ketika memasuki rumah tersebut pun, matahari sudah cukup terik. Dengan kondisi badan belum mandi, aku merasa mendapatkan kesempatan mandi disini ketika memasuki wc nya. Bersih dan airnya melimpah. Segar pula. Untungnya waktu itu pengunjung yang masih ada tinggal aku sendiri. Nekat bin niat, aku mengeluarkan perlengkapan mandi dari carrier. Bersama tas kamera, handuk dan kolor aku memasuki kamar mandi di rumah Soekarno. Carrier aku tinggalkan di dalam. Tidak terjaga meski letaknya agak tersembunyi. Bodo dah, abis mau minta tolong siapa buat nungguin? Yah inilah enggak enaknya pergi sendirian. Tapi aku berani meninggalkan carrier itu karena isinya hanya baju. Yang bersih dan yang kotor. Jadi kalaupun aku kehilangan tas itu, aku "hanya" kehilangan pakaian saja. Ponsel, kamera dan dompet aku bawa ke dalam kamar mandi. That's why aku membawa mirrorless yang ukurannya jauh lebih ringkas daripada kamera SLR.

Kamar mandinya terletak di ruangan paling ujung..

Jadilah aku menyegarkan diri disini. Kegiatan sederhana yang berasa "sesuatu banget". Numpang mandi di rumah proklamator. Kegiatan senderhana yang nanti berulang di rumah bujang bung Hatta di Bukittinggi. Menemukan kamar mandi yang bener kadang menjadi sebuah kemewahan tersendiri dalam perjalanan seperti ini. Apalagi di tempat bersejarah.

Akhirnya aku memutuskan untuk melepaskan kesempatan mengunjungi pantai Pasir Panjang. Aku memilih untuk berisitirahat sambil menunggu waktu sholat Jumat. Kebetulan di depan rumah ini ada masjid. Jadilah aku beristirahat disana. Lumayan, kesempatan meluruskan badan dan meletakkan bawaan yang mulai terasa berat. Untungnya sambutan pengurus masjid cukup baik. Aku merasa benar-benar menjadi musafir. Jadi begini ya, rasanya.. pantas saja Islam memberi kemuliaan kepada mereka yang menolong musafir dan memuliakan tamu. Aku tidak bisa membalas apa-apa pada saat itu kecuali doa. Berasa jadi fakir miskin sesaat karena banyak menerima bantuan yang benar-benar aku butuhkan. Tempat istirahat. Tempat mandi dan membersihkan diri. Informasi perjalanan. A simple important things.


Travelling is a brutality. It forces you to trust strangers and to lose sight of all the familiar comfort of home and friends. You are constantly off balance. Nothing is yours except the essentials: air, sleep, dreams, sea, the sky - all the things towards the eternal or what we can imagine of it.  ― Cesare Pavese

Tidak ada komentar:

Posting Komentar