Senin, 07 November 2016

Solo Trip Swarnadwipa 04: Museum Sepuluh Ribu Rupiah!

Pagi kedua di Palembang tampaknya akan sangat padat. Meskipun mega mendung menggantung di langit, namun aku memutuskan untuk terus berjalan. Terlalu penasaran untuk diam saja. Setelah perjumpaan tidak terduga di Bukit Siguntang, aku tidak sabar untuk menantikan "kejutan" lain dari kota ini.

Nah karena aku masih penasaran dan tidak tahu banyak mengenai Palembang, Maka aku berencana untuk kembali menggali sejarahnya dengan mengunjungi museum. Museum yang akan dikunjungi ialah museum Balaputra Dewa dan Sultan Mahmud Badarudin II.

Museum yang disebut duluan ialah tujuan pertama. Motifnya tidak lain karena keberadaan rumah limas, rumah yang digambarkan di uang sepuluh ribu rupiah. Aku ingin berswafoto dengan latar museum ini, karena itu aku memutuskan untuk mengunjungi museum ini terlebih dahulu daripada Sultan Badarudin II. Motifnya murni narsis.

Yah tentu saja selain untuk belajar sejarah. Karena memang sejarah yang membuatku penasaran saat itu. Jadilah aku meluncur dari daerah rumah kawanku di Talang Kelapa menuju museum tersebut dengan sepeda motor pinjaman.

Museum yang namanya diambil dari salah satu tokoh Sriwijaya ini berada di dalam kota meskipun bukan di pusatnya. Jalan menuju kemari relatif sepi. Malah agak tersembunyi dari keramaian kota. Tidak seperti museum Sultan Badarudin II yang berada tepat di pusat keramaian Palembang.

Menurut Oka, museum ini lebih banyak menceritakan sejarah kerajaan Sriwijaya daripada kesultanan Palembang. Sedangkan museum yang banyak menyimpan sejarah Palembang ialah museum Sultan Badarudin II. Kesan itu memang terasa ketika memasuki taman prasasti, dimana beberapa prasasti yang berasal dari Bukit Siguntang dipajang di museum ini.

Area prasasti. Masih sangat butuh dikembangkan jadi lebih menarik lagi.

Jumlahnya tidak terlalu banyak dan terkesan seadanya saja. Tergeletak disana lebih karena keharusan alih-alih memuliakan masa lalu. Mungkin museum ini terkendala dana, entahlah. Yang pasti museum ini masih butuh gairah, butuh dikunjungi, butuh dipelihara dan diperhatikan lebih oleh masyarakat dan pemerintah. Prasasti-prasasti ini tampak kesepian dan terlupakan.

Keprihatinan ini agak berkurang ketika aku memasuki halaman belakang atau bagian terakhir dari museum ini. Pada area luar ruang ini terpajang beberapa rumah khas Sumatra Selatan dengan ukuran yang sebenarnya. Primadonanya apalagi kalau bukan rumah limas. Rumah uang sepuluh ribu rupiah. Tampaknya si pelukis uang langsung menggambarnya dari tempat ini. Sudut pengambilan gambarnya benar-benar pas antara yang asli dengan yang tergambar di lembaran uang sepuluh ribu.

Rumah Sepuluh Ribu Rupiah diambil dari sini.

Rumah ini dinamakan rumah limas karena atapnya berbentuk limas. Orang Palembang sendiri menyebut rumah ini sebagai rumah bari, artinya rumah lama. Beginilah bentuk rumah orang Palembang di masa lalu.

Rumah ini sendiri terdiri dari dua bagian besar yang terhubung. Bagian pertama rumah ini berisi pelaminan ala Palembang. Kamar-kamar pengantin, lemari besar, kotak untuk menyimpan perhiasan, dan benda-benda yang biasa dipakai dalam acara-acara besar. Satu kesamaan dari benda-benda ini ialah warnanya didominasi oleh warna kuning. Wajar karena kuning ialah warna kebesaran Melayu. Selain itu pengaruh Cina juga terasa dalam kamar pengantin Palembang yang meriah dengan berbagai warna.

Pelaminan pengantin Palembang. Akulturasi Melayu-Cina

Aksesoris perabotan. Didominasi warna emas.

Sedangkan bagian kedua rumah ini relatif sepi dari berbagai pajangan barang. Dari penjelasan yang aku dapatkan dari penjaga museum, bagian ini ialah tempat aktivitas keseharian orang Palembang. Sedangkan bagian pertama tadi merupakan aktivitas ketika ada acara-acara besar atau tempat menyambut tamu.

Bagian belakang. Sepi perabotan.

Bagian belakang rumah terdiri dari kamar tidur, dapur, ruang tenun. Tidak banyak barang yang dipajang disini. Ada beberapa miniatur rumah adat Sumatra Selatan seperti rumah adat OKU alias Ogan Komerin Ulu, dan rumah adat dari daerah lainnya.

Miniatur rumah adat. Tergeletak menyedihkan di pojok ruangan
Alat pintal. Berdebu dan butuh diperhatikan.

Pada akhirnya, kunjungan ke museum ini terasa singkat. Meskipun terisi pengetahuan baru, namun rasanya agak hambar. Mungkin karena terlalu banyak informasi yang aku dengar dari penjaga museum. Atau mungkin juga karena Palembang sudah "terlalu kota" sehingga kekhasan daerahnya terasa agak hilang. Memasuki museum Balaputra Dewa, aku merasa sedikit mirip saat memasuki museum gajah sebelum direnovasi. Agak old fashioned. Kurang bergairah meskipun keberadaan rumah sepuluh ribu rupiah cukup menarik untuk berswafoto.

Spot wajib narsis meskipun panas menyengat

Ah aku kira seharusnya rumah-rumah adat ini menjadi pusat museum. Menempati lahan yang luas adalah sebuah keuntungan, nilai tambah, Modal ini harusnya dilengkapi dengan cerita dari isi rumah. Barang-barang yang dipajang benar-benar "mati". Diam dalam sunyi. Enggan bercerita kepada pengunjung yang datang. Minim keterangan, tanpa foto, tanpa cerita. Harusnya keberadaan barang-barang ini dapat bercerita lebih banyak. Menceritakan tentang Palembang. Melantunkan kehidupan masyarakat Sumatra Selatan kepada mereka yang datang. Entah peminat sejarah-budaya atau pelajar lokal yang ingin mengenal kebudayaannya sendiri. Semoga museum ini dapat berbenah dan berkembang dalam menceritakan tentang Palembang dan Sumatra Selatan. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar