Kamis, 31 Desember 2015

Catper Lombok 5 : Sekilas cerita dari Desa Sade

Desa Sade merupakan desa tradisional suku Sasak yang menghuni pulau Lombok. Desa ini dikenal karena warganya masih mempertahankan kehidupan tradisional meski mereka juga membuka diri terhadap modernisasi. Meskipun desa Sade sudah menjadi desa wisata, namun kehidupan warganya berlangsung normal. Desa ini tidak hanya sekedar etalase pariwisata (yang dibangun dan dipertahankan hanya untuk ditonton). Desa ini juga berfungsi sebagai desa sebenarnya, tempat masyarakatnya berkumpul, beraktivitas, berproduksi, dan melanjutkan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai tradisi mereka.

Narsis Sade satu
Narsis di depan papan nama desa sebelum menjelajahi isinya

Namun, sebagaimana layaknya desa wisata, selalu ada warga lokal yang menawarkan jasa pemandu untuk menemani wisatawan menjelajahi desa yang tidak terlalu luas ini. Sebenarnya bisa saja saya menolak dan menjelajahi desa ini sendiri, namun saya rasa tidak terlalu memberatkan untuk mengeluarkan sedikit uang kepada warga lokal. Hitung-hitung membantu penghidupan mereka dan ikut melestarikan budaya Sasak. Saya hanya berdoa semoga biaya yang disebutkan “seikhlasnya” tidak berubah menjadi “minimalnya sekian” seperti yang pernah saya alami ketika mengunjungi Pura Besakih.

Pemandu ini didominasi oleh kaum lelaki (saya tidak melihat perempuan yang menawarkan jasa guide). Mereka biasanya langsung mendekati setiap kendaraan yang berhenti di pelataran depan desa. Busana mereka serupa tapi tak sama: kaos dan sarung serta bersandal jepit. Selain itu, mereka sangat fasih dalam menceritakan kebiasaan-kebiasaan suku Sasak seperti tradisi menculik anak gadis. Menurut tuturan si pemandu, warga Sasak Sade kebanyakan menikah dengan sesama warga desa juga meskipun tidak dilarang untuk menikah dengan suku lain diluar warga desa atau diluar suku Sasak.

Memasuki desa Sade lebih dalam, saya banyak menemui rumah-rumah yang memajang hasil kerajinan warga. Salah satu hasil kerajinan yang banyak ditemui ialah kain tenun. Beragam warna dan motif kain dari berbagai ukuran banyak saya jumpai disini. Dari pengamatan sekilas, tampaknya warga Sade senang membuat tenunan dengan warna-warna yang mencolok. Selain itu motifnya meskipun menarik, cenderung monoton dan pasaran. Rasanya seperti melihat barang buatan pabrik jika tidak melihat sendiri prosesnya.

Sade 05
Sang Penenun

Sade 02
Warna-warna yang mencolok mendominasi kain ini

Sade 06
Kain-kain yang ramai terhias cantik di depan rumah. Siap ditawarkan kepada pengunjung.

Selain kain tenun, berbagai aksesoris lain juga ditawarkan warga kepada para wisatawan. Mulai dari gelang, kalung, hiasan-hiasan rumah, topi jerami, dan lain-lain. Gadis-gadis berkain dengan lincah menawarkan berbagai macam barang kepada saya dan wisatawan-wisatawan lain yang mengunjungi desa. Hal ini semakin menegaskan bahwa ini desa wisata dan masyarakatnya sudah “sadar wisata” dengan menawarkan berbagai barang kepada wisatawan.

Sade 03
Lincah menawarkan dagangan kepada wisatawan. Harga pembukanya memang gila tapi masih bisa ditawark kok ;)

Tawar-menawar harga pun kerap terjadi antara warga dan wisatawan, namun hal ini hanya terjadi pada warga yang masih berusia muda sebab para sesepuh desa tidak dapat berbicara bahasa Indonesia. Tawar-menawar merupakan hal yang jamak terjadi dalam berdagang. Saya memaklumi jika warga Sade membuka harga tinggi untuk dagangannya, hanya saya berharap kesadaran warga Sade tidak hanya terbatas pada bagaimana mengeruk keuntungan dari wisatawan tapi juga menjaga kenyamanan berwisata dengan tidak terlalu memaksa dan memanipulasi wisatawan yang datang untuk mengeluarkan biaya yang berlebihan seperti yang pernah saya alami di Pura Besakih.

Untungnya, hal ini tidak terjadi pada si pemandu yang menemani saya mengelilingi Desa ini. Tampaknya dia sudah cukup lama menjalani profesi sampingan ini. Selain tuturannya sudah seperti hafalan text-book, ia juga paham titik/spot yang menarik untuk memotret wisatawan. Misalnya, ketika sampai di depan rumah adat yang letaknya agak tinggi, si pemandu menawarkan saya untuk difoto pada titik/spot tersebut. Hasilnya lumayan bagus. Belakangan saya baru tahu itu adalah titik/spot sejuta umat dan rumah tersebut merupakan salah satu icon dari Desa Sade.

Narsis Sade
Mejeng di depan rumah adat Sasak yang merupakan salah satu spot sejuta umat di desa ini.

Setelah berfoto narsis diluar rumah adat Sasak, maka bagian selanjutnya dan juga bagian terakhir tur kali ini adalah mengeksplore bagian dalam rumah tersebut. Rumah adat Sasak sangat sederhana dan tidak besar. Pintu masuknya dibuat rendah (saya harus sedikit menundukkan kepala ketika masuk) dan konon sengaja dibuat demikian agar tamu yang masuk sedikit membungkuk pertanda menghormati tuan rumah. Rumah ini terbagi dalam dua bagian, bale luar dan bale dalam. Bale luar ialah tempat untuk menjamu tamu dan area tidur bagi laki-laki. Sedangkan bale dalam terdapat dapur dan area tidur untuk perempuan. Bale dalam juga merupakan daerah privasi bagi penghuni rumah, namun tamu wisatawan masih diperkenankan untuk melihat bagian tersebut.

Lantai rumah Sasak konon dilumuri kotoran kerbau sehingga terasa lebih liat. Untungnya saya tidak mencium bau kotoran sama sekali ketika berkunjung. Menurut si pemandu, bau kotoran kerbau akan hilang tidak lama setelah lantai tersebut dilapisi oleh kotoran tersebut. Sayang sekali saya tidak sempat melihat sendiri tradisi yang unik ini. Hal unik lain dari rumah Sasak ialah tiga tangga yang menghubungkan bale luar dan bale dalam. Tiga tangga ini memiliki filosofi Wetu Telu, yaitu tiga tahapan kehidupan: lahir, berkembang, mati.
Secara umum, perabot rumah Sasak sangat sederhana. Paling-paling hanya lemari kayu, alat-alat dapur tradisional dan kepala kerbau saja yang menjadi isi rumah ini. Untuk penerangan pada malam hari, suku Sasak menggunakan lampu minyak yang terbuat dari bambu dan kerang laut. Saya cukup tertarik dengan keunikan lampu ini, namun sayangnya saya agak telmi untuk mencoba menawar lampu tersebut dan menjadikannya oleh-oleh dari desa ini. Mungkin jika nanti mendapat kesempatan berkunjung kembali, saya akan mencoba membeli lampu tersebut.

Secara umum, tidak banyak pemahaman baru yang saya dapatkan dari kunjungan kali ini. Mungkin disebabkan ketergesaan saya dalam memburu tujuan-tujuan lain di Lombok sehingga waktu yang saya habiskan disini sangat sebentar. Tidak sempat “bersatu dengan alam” istilahnya. Ketergesaan yang membuat saya tidak sempat menyelami, memahami dan menghayati suatu tempat baru. Namun seperti hal-hal tradisional lainnya, saya harap nilai dan tradisi yang masih dijunjung warga Sade tidak lantas berubah menjadi pertunjukan semata. Pariwisata kadang menyisakan dilemma. Disatu sisi, penghasilan masyarakat sekitar mungkin meningkat, namun disisi lain kemurnian tradisi rentan berubah menjadi “pertunjukan tradisi”, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan hanya untuk ditonton wisatawan dan perlahan-lahan melupakan kebijaksanaan lokal (local wisdom) yang terkandung didalamnya.

Manusia memiliki kecenderungan dinamis, berkembang. Budaya memang senantiasa berubah. Interaksi antar budaya (yang secara sadar ataupun tidak sering dibawa oleh wisatawan) tentu memiliki pengaruh terhadap budaya tradisional yang menjadi objek wisata. Perubahan tradisi mungkin tidak terelakkan. Kemurnian tradisi yang berubah menjadi “sebuah pertunjukan” karena tuntutan pasar (pariwisata) juga sangat mungkin terjadi. Namun semoga kebijaksanaan lokal tidak berubah, sebab jika hal ini berubah, maka identitas suatu suku juga akan berubah, malah mungkin akan hilang. Celakalah jika hal ini terjadi sebab ini berarti hilang pula salah satu keberagaman dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar